“Ya Tuhan, kamu harus menerima kenyataan ini, Nak. Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, bukan ingin papa begini. Tapi mamamu sudah keterlaluan saat ini, papa tidak sanggup lagi,” batin Aji. Dia mengelus puncak kepala sang anak. Derita seakan luruh, melihat putri kecilnya.
Pagi hari, Ajisaka sudah bangun untuk membersihkan gigi. Setelah itu, tentu saja mandi. Dia mengenakan stelan jas warna coklat, namun saat berkaca merasa tidak cocok. Setelah itu berganti dengan stelan jas warna abu-abu, masih tidak cocok juga. Sampai berkali-kali, tapi merasa tidak ada yang cocok.
Hari ini, dia berencana ingin menghampiri Rara. Dia tersenyum sendiri melihat tingkahnya sendiri. Selama ini, tidak masalah dengan penampilannya. Namun, mengapa hari ini? Dia mengenakan dasi polos warna hitam. Setelah itu, siap untuk meluncur ke rumah Rara. Dia mengembangkan senyumnya, menggelengkan kepalanya dengan pelan, menyadari ada yang salah dengan diri
“Katakan!” Diandra menyampaikan jadwal Ajisaka seharian ini, hingga esok pagi. Lelaki itu mendengarkan dengan seksama. Setelah menyampaikan jadwalnya, Diandra keluar dari ruangan Ajisaka untuk membuatkan kopi. Sedangkan Ajisaka sendiri membuka laptop untuk memindai pekerjaannya. Sejenak, rasa malu tadi pagi sudah lenyap dari pandangannya. Ajisaka larut dalam pekerjaannya.Rara tersenyum sambil terus melihat mobil Aji yang mengikutinya, hingga sampai di belokan kemudian lelaki itu memilih jalan terpisah. “Ada-ada saja, tapi untuk alasan apa aku senang?” Rara kembali fokus ke jalanan. Dia mengemudikan mobilnya dengan penuh hati-hati. Mobil jenis BMW itu memang properti perusahaan. Mobil berwarna putih susu itu memang warna kesukaan Bayu selain hitam. Rara sudah sampai di depan rumah Bayu. Setelah komputer melakukan pemindaian, maka pintu gerbang terbuka.“Pagi Mbak Rara. Sudah ditunggu Pak Bayu dari lima men
“Baik, Nyonya. Setelah menemukan kepastian, Anda yang pertama saya hubungi.” Bayu menggeleng. Proteksi Eliana yang terlalu over, kadang membuat Bayu tidak mengerti. Istrinya itu kadang terlalu bertindak berlebihan, yang sebenarnya tidak begitu sangat mendesak.“Sayang, Rara sudah dewasa. Bukan seperti dulu saat SMP yang akan nangis saat ada anak lelaki menggodanya. Biarkan dia menyelesaikan perasaannya sendiri.” Bayu meyakinkan sang istri.“Tapi, Mas. Aku tidak mau Rara dibohongi lagi kayak sama siapa itu? Si Rendi yang hanya manfaatin dia. Aku tidak mau.” Eliana mencibik bibirnya.“Ais, kali ini tidak, Sayang. Dia Ajisaka, Direktur PT. Aksana Perkasa. Dia juga teman SMA-ku. Tapi duda. Sudah, dia sudah menunggu. Bye, Cinta.” Bayu berbalik dan meninggalkan Eliana setelah pamit padanya. Eliana tetap menaruh curiga. Dia akan ikut menyelidiki Ajisaka. Jangan sampai kasus bersam
“Baik, Nyonya. Segera akan saya kirim biodatanya.” Neo permisi untuk berlalu. Eliana memandang nyalang ke arah kepergian orangnya tersebut.Jangan pernah bermain-main dengan orang yang dekat dengan Eliana. Kalau kamu memang baik, berarti lolos uji verivikasi. Tapi jika ada celah saja untuk menyakiti Rara. Pasti pisau cincang akan siap mencincang daging manusia.Neo segera mencari data tentang Ajisaka. Dia mencari via web perusahaan maupun beberapa data yang dia cari manual. Neo seperti seorang detektif membuntuti Ajisaka. Hingga dia sampai pada restoran siang itu.“Mas, mari kita bicara!” Sabrina menemui Ajisaka. Neo memfotonya.“Apa lagi? Kalau kamu mau ketemu sama Elsa, dia ada di rumah.” Ajisaka ingin bangkit, namun ditahan oleh Sabrina.“Mas, bisakah kamu sedikit memberikan ruang untuk kita? Kes
“Hampir saja, Ra jangan marah! Aku tidak ada apa-apa dengan Sabrina. Dia sudah menjadi masa laluku.” Ajisaka sampai di lobi perusahaan. Dia bahkan keluar mobil, tidak mematikan mesin. Untung saja, satpam langsung mengambil alih kemudi.“Ra, kamu masih di sini? Aku menunggumu.” Rara hanya memandang dater sebentar, kemudian kembali ke pekerjaannya.“Ra, katakan sesuatu jangan seperti ini!” Ajisaka mencondongkan tubuhnya, sehingga Rara mengembuskan napas lelah.“Tuan Ajisaka, tolong jangan ganggu saya. Saya sedang bekerja!” Rara mulai kesal.“Aku akan terus mengganggumu. Apa tadi kamu datang ke restoran sebenarnya?” Rara melepas kaca matanya, kemudian memandang lurus ke arah Ajisaka.“Tidak, untuk apa?” Ajisaka mengerutkan keningnya.“Kalau kamu tidak datang, alasan kamu marah apa?&rdq
“Apa yang kamu inginkan?” Bayu terkekeh. Sebab, Ajisaka memang tidak pernah membawa apalagi memesan nasi box. Lelaki itu lebih senang makan di area restoran langsung.“Tidak ada, aku beli tiga box nasi.” Ajisaka mengangkat box nasi itu.“Ayolah, Ji. Aku bahkan lebih mengenalmu dari pada bayanganmu sendiri. Ada apa?” Bayu duduk di sebelah Ajisaka yang baru meletakkan kotak berisi makan siang itu.“Rara marah, aku butuh bantuanmu.” Bayu terkekeh.“Sudah kuduga, memang apa masalahnya?” Ajisaka mulai membuka kotak makan untuknya, dan memberikan untuk Bayu. Bayu mengambil sumpit yang sudah ada di dalamnya, karena menu makan siang memang spageti.“Rara melihat aku dengan Sabria, dan posisi kami tidak menguntungkanku.” Bayu memandang Ajisaka, meminta penjelasan yang lebih detail.&
“Dia yang menciderai pernikahan kita, Bay. Aku berusaha untuk keluarga, tapi dia?” Ajisaka berjalan ke arah kaca yang menampilkan pemandangan elok gedung berbaris di kota megapolitan itu.“Aku mengerti, Ji. Lebih baik, selain membujuk Rara, kamu juga mengintimidasi Sabrina. Sebab kalau tidak, bukan tidak mungkin, usaha mendekati Rara sia-sia.” Bayu menepuk pundak Ajisaka.“Pak, saya butuh tanda tangan Bapak segera.” Ajisaka dan Bayu kompak menoleh. Sejak kapan Rara ada di sana? Ajisaka mengusap wajah dengan kasar.“Oh, iya.” Bayu berjalan meninggalkan meja untuk membubuhkan tanda tangan ke dokumen yang Rara bawa. “Ra, kalian bicara sebentar di sini. Aku akan keluar. Masalah tidak baik berlarut-larut, jangan menduga-duga.” Rara akan menolak, namun Bayu sudah berbalik dan keluar dari ruangan, mengunci pintunya dan membawa kunci ruangan tersebut.
“Ck, belajar menjadi pria sejati. Aku masih lajang, masak begitu cara melamarnya?” Rara bangkit dan ingin keluar ruangan Bayu, tapi tidak bisa karena di kunci.“Hanya Bayu yang bisa membebaskanmu.” Ajisaka menangkap lengan Rara. Bayu datang membuka pintu. Ajisaka gelagapan dengan posisinya yang kurang menguntungkan baginya. Lelaki berparas tampan itu menggeruk kepala belakangnya, kemudian kembali duduk di sofa. “Aku tunggu,” ucap Rara. Dia berlalu meninggalkan ruangan Bayu.“Coba aku tebak, kalian baikan?” Ajisaka hanya tersenyum malu, bagai anak gadis yang mendapatkan lamaran dari seorang pria.“Belum, tapi lebih baik. Aku butuh bantuan ide darimu.” Bayu mengedikkan bahu.“Katakan,” ucap Bayu.“Dia minta lamaran yang romantis. Kau tahu sendiri, aku tidak bisa romantis.&rdquo
“Suasana romantis, perkataan romantis, perasaan romantis, akan membuat wanita bahagia dan mengenangnya seumur hidup. Wanita itu menyukai hal-hal yang berbau romantis. Mereka sangat suka dipuji dan dimanjakan.” Ajisaka mengerutkan kening.“Bukan itu terkesan menggombal?”“Wanita suka itu.” Aji mengangguk.Mereka sibuk dengan rencana mereka, ada banyak bunga yang sudah disusun dari mulai masuk ke rumah, hingga depan rumah. Rencana lamaran akan diadakan di depan rumah Rara sendiri. Konsepnya, tentu saja hanya Han yang tahu. Aji hanya menjalankan perannya sesuai dengan skrip. Mereka berdua menjalankan peran masing-masing.“Hufff … butuh perjuangan.” Handoyo terkekeh mendengar sedikit keluh dari Ajisaka.“Tentu saja, aku sama ibunya dulu, bukan hanya sekali. Namun berkali-kali. Yang ke lima belas, baru mau menerima. Itu juga