“Saya minta maaf, Om.”
“Tidak masalah.”
“Maksudnya, saya menang.”
“Hahaha ya,ya,ya anak muda yang cukup lihai dalam perhitungan.” Mereka terkekeh bersama.
Ajisaka pamit pulang karena sudah malam. Rara mengantarkan sampai ke tempat parkir mobil Aji. Sedangkan Handoyo hanya mengintip dari celah horden.
“Ra, tidak semua selesai hanya dengan diam. Terima kasih makan malamnya. Lain kali, aku undang kamu makan di rumah, sekaligus kenalan dengan Elsa. Semoga kamu menyukainya. Dia anakku, berumur enam tahun. Kau bersedia?” Rara hanya tersenyum. Ajisaka mengerti, bagi seorang gadis, apalagi semandiri Rara, tentu butuh pemikiran yang matang, untuk menerima ajakannya. Terutama, karena Aji sudah tidak lagi sendiri. Ada anak di sampingnya.
“Baiklah, aku mengerti. Pamit pulang dulu, ya?” Ajisaka masuk
“Kalau, ya? Memang kenapa? Dia lebih segalanya dari kamu, satu lagi, dia tidak pernah menjadikanku barang taruhan.” Rara menghempaskan tangan Rendi. Dia setengah berlari memasuki rumahnya. Gerbangnya belum dia kunci, karena masih ada Rendi. Dadanya penuh dengan sesak. Handoyo sudah melihat dan mendengar semua saat Rara dan Rendi berantem tadi. Jadi dia tidak menanyakan mengapa putrinya menangis.***Meyyis_GN***“Ra, Ra! Aku belum selesai ngomong, Ra. Aku akan menunggumu sampai kamu mau memaafkanku dan kita baikan.” Rara tidak menggubris ucapan Rendy. Dia menutup pintunya dengan dentuman, hingga hampir saja Rendi kejedot pintu tersebut. Dia masuk ke dalam rumahnya kemudian berlari menuju kamarnya. Dia menutup pintu kamarnya dan bersandar di pintu yang tertutup tersebut. Tumbuhnya merosot ke bawah, berguncang karena tangis yang semakin menguasai diri.“Memang sepertinya aku tidak boleh j
“Tidak masalah, kamu cukup pejamkan mata, maka netralkan semua pertengkaran hari ini. Selamat malam dan selamat tidur. Aku tutup dulu, ya? Assalamualaikum.” Rara menarik napas.“Waaalaikumsalam.”“Arghhh … ‘kan jadi ketahuan. Apa yang harus aku lakukan. Ck, aku malu ketahuan cerewet dan suka mengomel.” Rara bangkit, kemudian mondar-mandir. Dia tidak tahu lagi, pikirannya menemui kebuntuan.Rara dan Aji di tempat terpisah saling memikirkan. Rara mengingat kembali pertemuan mereka saat pertama kali. Hanya dengan senyum Ajisaka, membuat hatinya kebat-kebit tidak karuan. Dia langsung terpesona dengan duda tersebut, padahal dia tahu usia Aji juga jauh di atasnya. Selisih sekitar sepuluh tahunan. Dia membayangkan, garis rahangnya yang tegas, bibirnya yang tipis, hidungnya yang tidak terlalu mancung tapi pas pada porsinya. Dadanya yang bidang dan langkahnya yang jenjang mengisi k
“Terserah kamu, Pak Dokter.” Si kembar Devan dan Davin berlari dan keduanya menabrak meja acara, untung saja tidak memberantaki semuanya. Keduanya menangis tersedu-sedu. Bayu malah tertawa melihat kedua putranya menangis yang terkesan lucu.Ajisaka terbangun saat menyadari ada berisik di luar kamarnya. Dia kaget karena ternyata yang membuat berisik adalah Sabrina mantan istrinya yang dia ceraikan sebulan yang lalu. Dia menarik napas lelah. “Brin, Elsa sudah tidur! Pulanglah! Pak Seno! Usir dia kelauar. Tolong panggil taksi.” Ajisaka ingin kembali ke atas, tapi Sabrina memeluknya dari belakang.“Mas, tolong! Aku sudah hancur. Jangan mengabaikanku seperti ini.” Ajisaka tersenyum kecut.“Lepas Sabrina! Kita sudah bukan suami istri lagi. Jadi haram hukumnya untuk kita bersentuhan.” Ajisaka mencoba melepaskan Sabrina, tapi dia berulah dan hampir saja menciumnya. Tapi untung saja
“Ya Tuhan, kamu harus menerima kenyataan ini, Nak. Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, bukan ingin papa begini. Tapi mamamu sudah keterlaluan saat ini, papa tidak sanggup lagi,” batin Aji. Dia mengelus puncak kepala sang anak. Derita seakan luruh, melihat putri kecilnya. Pagi hari, Ajisaka sudah bangun untuk membersihkan gigi. Setelah itu, tentu saja mandi. Dia mengenakan stelan jas warna coklat, namun saat berkaca merasa tidak cocok. Setelah itu berganti dengan stelan jas warna abu-abu, masih tidak cocok juga. Sampai berkali-kali, tapi merasa tidak ada yang cocok.Hari ini, dia berencana ingin menghampiri Rara. Dia tersenyum sendiri melihat tingkahnya sendiri. Selama ini, tidak masalah dengan penampilannya. Namun, mengapa hari ini? Dia mengenakan dasi polos warna hitam. Setelah itu, siap untuk meluncur ke rumah Rara. Dia mengembangkan senyumnya, menggelengkan kepalanya dengan pelan, menyadari ada yang salah dengan diri
“Katakan!” Diandra menyampaikan jadwal Ajisaka seharian ini, hingga esok pagi. Lelaki itu mendengarkan dengan seksama. Setelah menyampaikan jadwalnya, Diandra keluar dari ruangan Ajisaka untuk membuatkan kopi. Sedangkan Ajisaka sendiri membuka laptop untuk memindai pekerjaannya. Sejenak, rasa malu tadi pagi sudah lenyap dari pandangannya. Ajisaka larut dalam pekerjaannya.Rara tersenyum sambil terus melihat mobil Aji yang mengikutinya, hingga sampai di belokan kemudian lelaki itu memilih jalan terpisah. “Ada-ada saja, tapi untuk alasan apa aku senang?” Rara kembali fokus ke jalanan. Dia mengemudikan mobilnya dengan penuh hati-hati. Mobil jenis BMW itu memang properti perusahaan. Mobil berwarna putih susu itu memang warna kesukaan Bayu selain hitam. Rara sudah sampai di depan rumah Bayu. Setelah komputer melakukan pemindaian, maka pintu gerbang terbuka.“Pagi Mbak Rara. Sudah ditunggu Pak Bayu dari lima men
“Baik, Nyonya. Setelah menemukan kepastian, Anda yang pertama saya hubungi.” Bayu menggeleng. Proteksi Eliana yang terlalu over, kadang membuat Bayu tidak mengerti. Istrinya itu kadang terlalu bertindak berlebihan, yang sebenarnya tidak begitu sangat mendesak.“Sayang, Rara sudah dewasa. Bukan seperti dulu saat SMP yang akan nangis saat ada anak lelaki menggodanya. Biarkan dia menyelesaikan perasaannya sendiri.” Bayu meyakinkan sang istri.“Tapi, Mas. Aku tidak mau Rara dibohongi lagi kayak sama siapa itu? Si Rendi yang hanya manfaatin dia. Aku tidak mau.” Eliana mencibik bibirnya.“Ais, kali ini tidak, Sayang. Dia Ajisaka, Direktur PT. Aksana Perkasa. Dia juga teman SMA-ku. Tapi duda. Sudah, dia sudah menunggu. Bye, Cinta.” Bayu berbalik dan meninggalkan Eliana setelah pamit padanya. Eliana tetap menaruh curiga. Dia akan ikut menyelidiki Ajisaka. Jangan sampai kasus bersam
“Baik, Nyonya. Segera akan saya kirim biodatanya.” Neo permisi untuk berlalu. Eliana memandang nyalang ke arah kepergian orangnya tersebut.Jangan pernah bermain-main dengan orang yang dekat dengan Eliana. Kalau kamu memang baik, berarti lolos uji verivikasi. Tapi jika ada celah saja untuk menyakiti Rara. Pasti pisau cincang akan siap mencincang daging manusia.Neo segera mencari data tentang Ajisaka. Dia mencari via web perusahaan maupun beberapa data yang dia cari manual. Neo seperti seorang detektif membuntuti Ajisaka. Hingga dia sampai pada restoran siang itu.“Mas, mari kita bicara!” Sabrina menemui Ajisaka. Neo memfotonya.“Apa lagi? Kalau kamu mau ketemu sama Elsa, dia ada di rumah.” Ajisaka ingin bangkit, namun ditahan oleh Sabrina.“Mas, bisakah kamu sedikit memberikan ruang untuk kita? Kes
“Hampir saja, Ra jangan marah! Aku tidak ada apa-apa dengan Sabrina. Dia sudah menjadi masa laluku.” Ajisaka sampai di lobi perusahaan. Dia bahkan keluar mobil, tidak mematikan mesin. Untung saja, satpam langsung mengambil alih kemudi.“Ra, kamu masih di sini? Aku menunggumu.” Rara hanya memandang dater sebentar, kemudian kembali ke pekerjaannya.“Ra, katakan sesuatu jangan seperti ini!” Ajisaka mencondongkan tubuhnya, sehingga Rara mengembuskan napas lelah.“Tuan Ajisaka, tolong jangan ganggu saya. Saya sedang bekerja!” Rara mulai kesal.“Aku akan terus mengganggumu. Apa tadi kamu datang ke restoran sebenarnya?” Rara melepas kaca matanya, kemudian memandang lurus ke arah Ajisaka.“Tidak, untuk apa?” Ajisaka mengerutkan keningnya.“Kalau kamu tidak datang, alasan kamu marah apa?&rdq