Chapter 29"Kau seharusnya berterima kasih kepadaku," ucap William menggoda Grace yang sedang terkagum-kagum melihat desain ruangan itu. Desainnya sangat cocok dan sesuai seleranya seolah William bisa membaca apa yang ada di dalam angannya."Aku sudah melakukannya tadi." Grace memajukan bibirnya."Itu belum cukup." William berbicara pelan sangat dekat di telinga Grace membuat bulu kuduknya terasa meremang. Grace menjauhkan tubuhnya dari lengan William yang sejak tadi merangkul pundaknya. "Apa di otakmu hanya ada itu?" bola mata Grace membesar menatap William dengan tatapan galak.William menaikkan sebelah alisnya. "Benar," ucapnya di sertai seringai di Bibirnya.Andai bukan karena kau mewujudkan mimpiku, aku benar-benar ingin menendang bokongmu hingga kau terpental dari atas sini!"Kalau begitu, ayo lakukan," ucap Grace dengan nada kesal.William berjalan menuju sofa bed lalu dengan nyaman meletakkan bokongnya di sana, ia menyandarkan punggung dan kepalanya. "Aku ingin kau yang melak
Chapter 30"Grace? Kenapa berdiri di situ? Angin malam tidak baik untuk kesehatanmu." William melangkah mendekati Grace yang terpaku melihat kedatangannya.Grace mendengus, ia menatap William dengan tatapan permusuhan tanpa membuka mulutnya."Kau pasti lapar, bukan? Ayo kita makan aku membeli banyak makanan kesukaanmu," kata William."Aku tidak lapar," jawab Grace dengan nada ketus."Kau pasti belum makan, 'kan?" "Aku tidak lapar," ucap Grace dengan nada semakin ketus. "Bagaimana mungkin kau tidak lapar? kau memesan makanan melalui....""Kubilang, aku tidak lapar!" potongnya dengan nada meninggi, dengan kasar ia melangkah dan naik ke atas ranjangnya kemudian mengubur tubuhnya ke dalam selimut.William mengerutkan keningnya, ia tidak tahu apa salahnya. "Grace, jangan seperti anak kecil." ucapnya sambil mendekati ranjang dan duduk di tepi ranjang."Pergi!" hardik Grace dari balik selimutnya. Ia benar-benar tidak ingin melihat wajah pria yang mungkin baru saja berkencan dengan gadis l
Chapter 31Hari pertama William tidak ada di tempat tinggal mereka, Grace memanfaatkan waktu bebasnya pergi berbelanja perlengkapan keperluan workshop miliknya. Hari ke dua dan hari ke dua kebetulan ia memiliki banyak waktu luang. Grace merenung beberapa saat memikirkan hidupnya, baru sehari saja tidak memiliki kesibukan dirinya sudah mulai akan bosan dan berpikir jika dirinya kesepian tinggal sendirian, seperti dulu ketika tinggal di Moscow. Untunglah saat itu ada Khaim, workshop milik Khaim adalah tempat paling menenangkan bagi Grace di masa lalu. Saat ia jenuh dengan pekerjaannya ia biasanya pergi untuk menemui Khaim meski hanya untuk sekedar mengobrol santai atau belajar mendesain bahkan pergi berdua dengan Khaim untuk sekedar meminum kopi di sebuah cafe.Grace berguling-guling di atas tempat tidur William, entah mengapa meski ia memiliki kamar sendiri nyatanya ia lebih memilih tidur di kamar William. Ia menyukai aroma William yang tertinggal di bantalnya. Setelah puas menghirup
Chapter 32"Alicia, Bagaimana kabarmu sayang?" Ford merangkul bahu Grace dengan gerakan lembut. Ia menyapukan bibirnya di atas kepala Grace.Grace tidak menghindar, dengan senang hati ia membiarkan lengan Ford berada di pundaknya sambil bibirnya tersenyum hingga menampakkan deretan giginya yang rapi, ia mendongak untuk menatap wajah Ford. "Aku baik-baik saja, senang sekali akhirnya kalian tiba juga di London, selamat datang Ford, Halifa," ucap Grace. "Terima kasih, Sayang. Kau tampak dalam suasana hati yang bagus, Alicia." Ford menggoyangkan bahu Alicia beberapa kali. Tentu saja karena aku akan perlahan memberi kalian pelajaran di sini. "Benar, suasana hatiku sangat baik hari ini," jawab Grace seraya melingkarkan sebelah tangannya ke pinggang Ford tanpa memedulikan Halifa yang berdiri sambil memegangi kedua kopernya yang berukuran besar. Jauh di dalam hati Grace mencibir Halifa yang berpenampilan seolah ia seorang biduan, gadis itu mengenakan rok potongan pensil selutut kemudian
Chapter 33Di sebuah ruangan tertutup di Glamour Entertainment. Mengenakan blouse berwarna putih lengan panjang yang dipadukan dengan celana panjang berbahan kain yang berwarna cream, Grace tampak sangat menawan. Ia juga mengenakan sepatu dengan hak tinggi yang tampak runcing berwarna senada dengan celana yang di kenakan, rambut panjangnya yang berwarna kuning kemerahan diikat ekor kuda rendah. Dengan anggun ia melangkah menuju bangku didampingi oleh Ford. Di sana, Leonel telah menunggunya. Senyum tampak tak lepas dari bibirnya yang berwarna pink kemerahan. Grace duduk di kursi yang telah disediakan untuknya diapit dua pria tampan. Leonel berdehem. "Aku Leonel Johanson, kali ini mengundang teman-teman wartawan di sini untuk memberitahukan bahwa terhitung dari hari ini saudara kembarku, Grace Elizabeth Johanson secara resmi dia telah bergabung bersama Glamour Entertainment," ucap Leonel mengawali pidatonya pagi itu. Grace melirik dengan ekor matanya ke arah Ford yang duduk di sampin
Chapter 34"Bagaimana pekerjaanmu?" William membelai rambut Grace dengan lembut, sore itu ia sengaja menjemput Grace di lobi gedung Glamour Entertainment. "Semuanya berjalan dengan baik, aku menerima beberapa kontrak dari brand ternama tetapi ada juga satu yang harus melalui penjurian, semacam kompetisi atau... seleksi," jawab Grace sambil memasang seat beltnya. William memindah persneling kemudian menginjak pedal gas, perlahan mobil melaju meninggalkan gedung Glamour Entertainment. "Kau pasti bisa melewatinya, kapan seleksinya di laksanakan?" "Kudengar dua minggu yang akan datang jadi selama dua minggu aku harus berlatih berjalan di atas catwalk, menjaga berat tubuhku dan aku harus menjaga pola makanku," jawab Grace sambil membuka kunci ponselnya. Ia membalas pesan yang masuk, itu adalah pesan dari Halifa yang telah ia siksa dengan berbagai macam pekerjaan baru. "Apa ada ahli gizi yang akan mengatur pola makanmu?" "Ya, manajerku telah mengatur semuanya," jawab Grace sambil bibir
Chapter 35William berdiri di depan pintu kamarnya, ia tampak menyandarkan salah satu bahunya di dinding. Tubuhnya yang tinggi tegap tampak sedikit melengkung, tatapan matanya menatap lurus mengarah kepada Grace yang baru saja kembali ke tempat tinggalnya. Sama seperti dirinya yang masih mengenakan setelan formal lengkap dengan dasi yang terikat rapi di lehernya, kebetulan ia baru saja masuk dan tidak lama kemudian Grace datang bersama Halifa yang baru pertama kali dilihatnya.Kedua wanita itu tampak sibuk meletakkan barang-barang di tangan mereka di atas meja dan sofa, kedua gadis itu duduk dengan nyaman setelah barang bawaan mereka telah berjejer rapi di tempatnya di letakkan. William menebak Grace baru saja berbelanja. "Kau menghamburkan uangmu, Grace?" tanya William.Grace mendongakkan kepalanya. Ia melepas senyum manis kepada William, matanya yang seindah samudra tampak berkilat. "Sedikit," jawabnya. Ia hanya sedikit memanfaatkan uang Ford yang tiba-tiba menjadi sangat baik dan
Chapter 36"Kau sangat berisik, ini masih terlalu pagi," ucap William dengan nada datar. Ia tidak suka tidurnya terusik, ia memang bukan Leonel yang memiliki hobi tidur dan bermalas-malasan tetapi tadi malam ia dan Grace sudah terlalu banyak bekerja di atas ranjang hingga waktu tidur mereka berkurang. Halifa menatap figur tinggi menjulang di depannya. "Maaf, Will...." "Kau bisa memanggilku Tuan Johanson. Aku tidak suka orang asing memanggil nama depanku," potong William. Ucapannya bernada dingin disertai tatapan mata yang seolah menganggap Halifa adalah musuh. Memang sejak tadi malam Halifa berada di tempat itu, William sama sekali tidak menunjukkan sikap ramah, pria itu seolah tidak menyukai keberadaan Halifa. "Maafkan aku. Tapi, aku harus membangunkan Grace karena pukul delapan acara dimulai dan ini...." "Ini masih pukul enam pagi, dia masih memerlukan tidur." William membuka lebar pintu kamarnya, di sana terlihat jelas Grace tidur dengan posisi meringkuk membelakangi pintu. S
Aku ngakak baca komen di chapter end, pada kehilangan epilog yang emang belum di update.😆😆😆😆EpilogueTidak ada pernikahan yang terburu-buru, Grace yang rencananya ingin membatalkan kontrak dengan brand yang mengontraknya akhirnya menemukan jalan lain yang dirasa lebih baik dan William juga menyetujui dengan syarat semua kegiatan Grace berada di bawah kendalinya. Dimiliki pria yang posesif ternyata tidak buruk. Apa lagi William tahu betul cara memanjakan Grace hingga Grace merasakan jika dirinya merupakan wanita paling beruntung di muka bumi ini. Mereka menyiapkan pernikahan mewah di London tahun ini dan persiapan itu memakan waktu cukup lama hingga kontrak kerja Grace berakhir. William berulang kali menatap wajah cantik Grace di tengah pesta pernikahan mereka. Seluruh anggota keluarga Johanson berkumpul, juga keluarga besar ayah kandung Grace. Nathalia dan Theresia juga ada di sana. Tidak ketinggalan teman-teman Grace & William, mereka semua berkumpul dalam suasana hangat
Holla.Akhirnya aku bisa bernapas lega.Lega banget. Gak akan lagi ditanya-tanya kapan squel William dan Grace.HihiSelamat membaca dan jangan lupa untuk tinggalkan komentar dan rate.Selamat membaca.30. EndMeghan tersenyum penuh kemenangan. "Dia menunggumu." "Menunggu?" Sean masih tidak mengerti dengan maksud Meghan."Grace menunggumu di mobil, sopirku tahu ke mana dia harus mengantarkan kalian." Mengumpat, Sean meninggalkan Meghan. Setengah berlari ia menuju mobil yang dimaksud Meghan. Ia membuka pintu belakang dan mendapati Grace meringkuk di sana sambil memeluk lututnya seraya mengerang memanggil William. Ia menutup pintu mobil dengan perasaan frustrasi lalu membuka pintu bagian depan. Kali ini lebih mengejutkan lagi adalah mendapati orang yang duduk di belakang kemudi."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sean gusar."Aku melakukan tugasku." Sean menutup pintu mobil. "Kau asistennya!" Halifa tertawa pelan. "Bayaran yang Meghan tawarkan seratus kali lipat dari gajiku beker
Chapter 29CheatingGrace membuka matanya, yang terakhir ia ingat adalah ia meminta bantuan Meghan untuk menemukan William. Kejadian beberapa bulan yang lalu akhirnya kembali terulang di mana ia berakhir di atas ranjang William. Tetapi, kali ini ceritanya berbeda. Entah berada di hotel mana. Tanpa mengenakan apa pun selain selimut yang masih menutupi tubuhnya. Ia juga merasakan jika seluruh tubuhnya terasa sakit dan bagian pribadinya terasa tidak nyaman. Terasa perih. Sebuah konspirasi pasti telah terjadi dan ia tidak tahu siapa dalang dibalik konspirasi itu, ia hanya mampu menduga jika Meghan adalah otak dibalik semuanya. Tetapi, ia sama sekali tidak memiliki bukti jika menuduh Meghan dan sekarang siapa yang akan percaya padanya jika mengatakan telah dijebak?Ia dilemparkan ke atas ranjang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Grace sangat yakin jika orang itu mengingatkan kehancurannya. Kehancuran hidup dan kariernya. Sangat tragis, semua yang ia bangun benar-benar hancur.Dulu ia be
Chapter 28Your BrotherCalvin duduk di ruang keluarga. Matanya mengamati keliling ruangan dengan perasaan masam. Rumah itu ia beli dua bulan sebelum pernikahannya dan Meghan berlangsung. Ah, ia memang hanya pria biasa, manusia biasa yang lemah. Semua orang bisa merencanakan dengan siapa akan menikah, tetapi pada akhirnya tidak ada yang bisa merencanakan kepada siapa akan jatuh cinta. Dulu, ia mengejar Megan seperti hanya ada Meghan seakan hanya ada Meghan gadis di dunia ini. Ia menjadikan Meghan nomor satu, di atas segalanya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia, dan juga hal-hal yang dilewati, hati dan perasaan ternyata bisa berubah. Calvin berlama-lama menatap lukisan dirinya dan Meghan yang terpajang di dinding. Mata Meghan menatapnya, penuh cinta. Ia tahu jelas perasaan istrinya. Dirinyalah yang merusak rumah tangga. Benar kata Meghan, ia menyimpan wanita lain dalam rumah tangga mereka. Calvin sepenuhnya menyadari kesalahannya. Ia bertemu Aida, awalnya hanya k
Chapter 27The Real BoobsUntuk ke sekian kalinya William menoleh ke arah Grace yang kembali mengecek jam di ponselnya. Ia memutuskan meninggalkan kursi kerjanya dan menghampiri Grace yang merebahkan tubuhnya di sofa. "Operasi transplantasi ginjal memerlukan waktu setidaknya tiga sampai empat jam, kau tidak perlu terus mengecek jam," ucap William dengan nada sabar. Ia duduk di pinggir sofa tempat Grace merebahkan tubuhnya. "Aku tidak sabar menunggu hasilnya," gumam Grace, ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh ujung rambut di belakang kepala William. "Nathalia akan memberikan kabar padaku secepatnya." William mengusap-usap pundak Grace.Grace menatap William dengan sorot mata iri. "Kalian terlihat akrab." Ya, ia iri karena Theresia juga terlihat sangat akrab dengan William, ditambah Nathalia yang juga ramah setiap kali berbicara dengan William."Bagaimana jika Kau istirahat di dalam kamar?" William mengusulkan agar Grace mengistirahatkan tubuhnya di ruang khusus yang ada di balik
Chapter 26My DaughterMeghan berjalan mondar-mandir karena keresahan melingkupi seluruh raganya. Sudah beberapa hari jasad Calvin belum juga ditemukan, dari informasi yang ia dapatkan hanya bangkai mobil yang ditemukan dan anehnya pintu mobilnya masih tertutup. Ketika ponselnya berdering, ia mendengus dengan kasar lalu menjawab, "Kau memang tidak becus!" ucapnya ketus. "Aku melakukan semua yang kau perintahkan," sahut Wilona. Meghan mengumpat. "Kalau kau becus, seharusnya dia telah menjadi bangkai!" Wilona tertawa. "Tugasku adalah mengondisikan semua di lapangan. Dan lagi pula, ini bukan kesepakatan awal kita." Wilona dikeluarkan untuk mempermalukan Grace, untuk menghancurkan Grace dengan menjual cerita anak haram yang diadopsi kemudian merayu kakak angkatnya. Jika Grace hancur, otomatis William akan goyah, Meghan akan memanfaatkan Calvin untuk memasuki celah bisnis keluarga Johanson. Namun, semua berubah haluan dengan cepat saat ia mengetahui Calvin jatuh hati pada Aida, sahab
Chapter 25Rich WidowSean mengusap wajahnya dengan gerakan kasar karena merasa frustrasi. Di matanya, William benar-benar kakak yang menyebalkan bagi Grace dan tentunya kuno. Batinnya terus saja menggerutu karena menurutnya ini bukan lagi tahun 1700, di mana seorang gadis keluar bersama pria dianggap tabu. Sepanjang hidupnya sebagai pria dewasa, ia baru menemui pria seperti William."Wajahmu itu, aku yakin kau dalam suasana hati yang buruk." Meghan meletakkan gelas berisi wine ke atas meja. Sean melirik ke arah Meghan. "Tidak juga." Meghan mengedikkan kedua bahunya, seraya melemparkan senyuman. "Di mana suamimu?" tanya Sean kepada Meghan. Sean memanggil Meghan melalui telephone setelah berbincang-bincang dengan Grace dan Meghan meminta Sean datang ke tempat tinggalnya. Bukan tanpa alasan ia memanggil sepupunya, ia teringat jika Meghan pernah menawarinya untuk membantu mendapatkan Grace. "Aku kembali beberapa hari yang lalu, Calvin... kami bertengkar." Kilatan di mata Meghan men
Chapter 24Getting a TrapGrace berdiri di dekat fotografer yang sedang mengamati foto-foto hasil jepretannya, sama seperti fotografer itu, Grace juga mengamati foto-foto dirinya di layar laptop. Mereka berbincang-bincang mengenai hasil pekerjaan yang baru saja mereka lakoni, sesekali fotografer itu melayangkan pujian kepada Grace. Pujian itu terdengar tulus tidak dibuat-buat. Cara pria itu berbicara juga dan bersahabat tidak ada canggung menandakan jika itu memang pandai bergaul dan pastinya sangat profesional.Sama halnya dengan fotografer yang tidak segan-segan memberikan pujian kepadanya, Grace juga membalas pujian pria itu karena memang pada faktanya fotografer itu sangat piawai dalam mengarahkan kamera dan rasanya menyenangkan bekerja dengan fotografer yang terlatih dalam mengarahkan gaya hingga membuatnya merasa sangat cepat menyelesaikan pemotretan, ia hingga ia tidak perlu mengulang-ulang gaya yang diminta sang fotografer karena instruksinya sangat jelas.Suara deheman pria m
Chapter 23Good NewsGrace melongok ke arah tangga karena mendengar suara di lantai dua seraya berteriak, "Nina, kau datang?" "Ya." Suara Nina terdengar tidak kalah nyaring dari suara Grace. William yang sedang menyiapkan sarapan mengerutkan keningnya lalu bertanya, "Sepagi ini?" "Jangan-jangan ada sesuatu." Grace berjalan menuruni tangga dan mendapati Nina sedang melepaskan mantelnya. "Kenapa sepagi ini kau ke sini?" Nina mengedikkan bahunya. "Kau pasti tahu alasanku." Grace menyeringai. "Maafkan aku." "Lupakan." Nina mendengus. "Dan yang pasti, aku tidak ingin membuatkan sarapan untuknya." Ia tertawa. Grace juga tertawa. "Aku tidak yakin dia bisa menggoreng telur." "Kukunya akan patah jika ia menyentuh alat dapur," ujar Nina setelah menggantung mantelnya lalu ia menyisir rambutnya menggunakan jari-jarinya. "Omong-omong, terima kasih, setelan ini sangat bagus." Setelan yang dikenakan oleh Nina adalah pakaian yang ada di kamar Grace, setelan berwarna merah ruby itu tampak pa