Sekian lama menelusuri pantai. Akhirnya terlihat wanita yang sejak tadi di cari oleh Linda.
“Oh di situ ternyata” ucapnya.
“kenapa sih Lin?” dengan santai Jessica berkata tampa merasa bersalah meninggalkan Linda, menggenggam butiran pasir lalu memainkannya.
“ enak – enakkan lo di sini ya, lah gue nyariin lo dari tadi, gitu santuy berasa gak ada apa apa.” Ucapnya kesal menyodorkan makanan “Nih punya lo!”
“Makasih Lin, lo emang sahabat gue,maaf ya,udah ninggalin lo, hehehe ...” Jessica memeluk Linda sebagai tanda maaf darinya.
“ Ah, apaan si lo, dikira orang kita Lesbi tau gak!” Linda melepaskan tangan yang telah merangkul leher, seperti telah mencekiknya itu.
Jessica dan Linda menikmati suasana pantai, sambil melahap makan yang telah dibawa dari jauh tempat.
Hembuskan angin yang menghempas tubuh, membuat suasana menjadi nyaman. Ombak yang srakan sedang berkejaran, naik turun di kaki seakan terasa dingin.
“Asyik kan disini!” ungkap Jessica
“bah, iya lah, setidaknya gue tenang hari ini. Makasih ya!” Balasnya dengan senang, sudah lama tidak seperti ini sebelumnya. Itu membuat Linda bahagia. Wajahnya berseri-seri kala itu.
“Ah, biasa aja pun. Kita ‘kan sahabat jadi harus susah senang sama-sama ”ucapnya.
Tak terasa hari mulai sore, Matahari telah menampakkan sinar jingganya pada dunia. Membuat mereka harus Pulang.
Linda yang terlihat tak ingin beranjak pergi. Dan masih ingin berlama-lama di sana! Baginya semua masalah telah hilang sejenak dalam keindahan alam.
“Sunggu indah ciptaanmu Tuhan” ungkap batinnya.
"Lama banget lo, gue nungguin dari tadi." Jessica menyeret tangan Linda, setibanya di ruangan.
"Kenapa?"
"Ini, proposal gue yang mau dilaporin ke Bu Irma, koreksiin." Ia menyodorkan map merah.
"Kebiasaan," ucap Linda.
"Ayolah. Gue nggak mau kenak semprot Bu Irma."
Linda memeriksa lembar-perlembar yang tersuguh di depannya.
"Dari toilet yah?"
"Siapa?" tanya balik Linda.
"Lo, lah," cebik kesal Jessica.
Sudah tau, mereka berdua saja saat ini. Masak tanya sama tembok?
"Nggak. Gue habis dari ruangan Direktur."
"Apa? Ngapain lo ke sana?" tanya heran Jessica.
"Nih, proposalnya sudah bagus."
"Makasih." Raut wajah Jessica terlihat senang.
"Jawab yang tadi. Kok bisa?" tanya lagi Jessica yang terlanjur kepo.
Linda mengetuk jarinya ke meja. Ragu untuk menceritakan hal memalukan yang terjadi sebelumnya.
"Hm, jadi gini. Tadi aku mau nyerahin laporan bulan lalu ke Bu Intan. Taunya beliau lagi mau ke belakang."
Jessica masih menyimak kelanjutannya.
"Terus, aku mau balik kan. Ternyata telepon Bu Intan berbunyi. Awalnya aku nggak mau angkat, setelah aku angkat ternyata disuruh ke ruangan Pak Direktur."
Jessica mendesah panjang.
"Oh, gitu doang?"
Linda mengangguk.
"Gue kirain lo mau naik jabatan atau apa gitu."
Nggak tau saja jika ia yang mengalami berasa latihan jantung. Batin Linda.
"Nggaklah. Gue saja masih junior. Masih banyak senior yang lain yang pantes buat naik jabatan."
"Bisa saja, emang mesti jadi senior agar jadi atasan? Yang penting itu kerjaannya bagus. Oh iya, kok lo ngasih langsung ke Bu Intan, kan seharusnya ke Bu Irma dulu."
Linda menepuk jidatnya. "Itu, karena Bu Irma nggak masuk hari ini. Katanya sih, ambil cuti hamil."
"Wah, berarti saat ini kita harus langsung setor ke Bu Intan, dong?"
"Iya."
"Yes, yes, yes!" Jessica lompat kegirangan.
"Wait, kok seneng sih?"
Jessica mengerlingkan sebelah matanya. "Itu artinya, gue nggak oerlu dengerin omelan Bu Irma lagi plus punya kesempatan bertemu Pak Direktur."
"Nggak, nggak. Gue nggak mau ketemu Pak Direktur lagi," ungkap Linda berbanding terbalik.
"Lo mati rasa sih kalau sama cowok padahal pas perkenalan itu Pak Angga bilang anaknya masih 20-an. Pasti cakep kayak papanya."
Memang cakep sih tapi galak. Rutuk Linda.
"Tapi kayaknya nggak asing deh," ujar Linda mengingat wajah bosnya.
"Ah, masak? Ketemu di jalan kali," ejek Jessica tertawa.
"Resek. Sudah sana, kasih laporan lo."
Jessica tersenyum mendekati Linda, berbisik di telinganya.
"Doain gue semoga disuruh ke ruangan Pak Direktur juga."
Linda yang mendengernya, bergidik geli. "Dasar tuh bocah. Semiga nggak nyesel aja pas tau kalau galak," gerutu Linda, sepeninggal Jessica.
"Tapi dimana, yah," gerutunya lagi mencoba mengingat. "Oh, iya cowok yang di pantai itu."
Linda syok baru sadar akan hal itu. Bagaimana ia bisa lupa. Linda menenggelamkan wajahnya pada meja, meratapi nasibnya yang berada di bawahan cowok itu.
****
Seisi kantor membicarakan kedatangan Reina, mantan kekasih sang bos.
Linda acuh dan memilih mengerjakan pekerjaannya.
"Parfumnya enak banget, belum pernah gue nyium yang kayaak gitu." Teman Linda berbisik pada yang lain.
"Ya namanya higt class. Kita apa atuh."
Kikikan kecil keluar dari mulut mereka dan telinga Linda menangkap dengan baik.
Sebenarnya merasa terganggu akan tetapi karena yang rumpi di pojokan sana adalah seniornya. Ia hanya mampu memasang headset yang bersuarakan lagu kesukaannya.
Saking meleburnya mengerjakan tugas. Linda tak sadar jika waktu istirahat sudah tiba hingga Jessica membuka headset dan berteriak di telinganya.
"Aduh, apaan sih, Jes?"
Linda menggosokkan telinganya berkali-kali, merasakan telinganya berdenyut kesakitan.
"Udah waktunya makan siang. Ayok, buruan!"
Jessica menyeret tangan Linda secara paksa.
"Lepasin!"
"Kalau nggak gini, lo nggak akan makan seharian. Dasar penggila kerja!"
Linda memandangi pergelangan tangannya yang masih sakit dan mengusapnya perlahan.
"Nggak gitu juga kali, Jes."
"Ini demi kebaikan lo, juga. Apa lo nggak inget kalau lo punya maag?"
"Iya, gue inget." Linda menekuk wajah.
"Itu karena gue bilang tadi." Jessica menyodorkan sandwich. "Tinggal makan aja kok repot."
"Oke, aku makan, ibuku sayang," ucap Linda manis seperti anak kecil.
Jessica berdecih, merasa teman di depannya menganggapnya sebagai ibu.
"Terserah, deh."
Linda dan Jessica berjalan berdampingan di lorong, menuju ruang kerja. Sepanjang lorong, ada saja yang membicarakan kekaguman terhadap mantang Sang Bos.
Dari pembicaraan mereka, Linda menyimpulkan jika Reina adalah seorang model yang kehidupannya selalu diikuti oleh pemberitaan selebritis setelah sebelumnya diisukan menjalani cinta dengan aktor ternama.
"Aku cuma liat di i* dia, cakep banget. Ternyata aslinya abohay. Panteslah dia jadi model," ungkap seorang cowok yang berdiri dekat pintu masuk.
"Permisi." Tidak ada yang berniat menepikan badannya dari pintu.
Mereka tuli mungkin, yah. Umpatku dalam hati.
"Permisi!" Kali ini Jessica membentak ke arah mereka.
"Woles, dong. Jadi cewek kok sangar banget."
Tak menanggapi umpatan para karyawan cowok. Linda dan Jessica memilih mencelos pergi.
Pintu lift mendadak terbuka kembali karena ada sebuah kaki yang mencegatnya.
Tak percaya, pelakunya adalah Pak Ariel. Jangan lupakan wanita yang menjadi perbincangan sejak kedatangannya, si Reina disampingnya yang menempel bak perangko.
"Aduh, sempit. Kalian berdua keluar, dong." Reina mengusir duo sahabat.
"Apaan sih, Rei. Mereka kan, karyawan. Seharusnya kamu yang keluar."
Linda dan Jessica saling berpandangan, melongo tak percaya jika Sang bos mengeluarkan ucapan pedas pada Reina yang dieluh-eluhkan kecantikannya itu.
"Lagian kenapa sih, nggak pakek lift VVIP yang khusus buat kamu?"
Pak Ariel menghembuskan nafas pelan.
"Lagi pengecekan," jawab Pak Ariel singkat.
Pak Ariel terlihat ingin terlepas dari belitan pegangan Reina yang bergelayut manja di lengannya. Kebungkaman selama di lift tak terhindarkan hingga pintu lift terbuka.
Setibanya di ruangan, Jessica meledakkan tawanya.
"Ajur, Pak bos kita tolak cewek yang seksi begitu. Kasian gue liat Reina yang ngemis cinta gitu."
"Udah, terusin kerjaan lo."
Jessica mencondongkan badan pada Linda. "Apa jangan-jangan, Pak Ariel itu seorang homo?"
"Hust, jangan jadi mak turah deh. Bukan urusan kita." Linda mengusir teman satu-satunya itu.
Jessica hanya menyipitkan mata.
"Ok deh. Salah tempat gue kalau mau rumpi dimana."
Aku menggelengkan kepala merasa hal yang konyol membicarakan kehidupan orang lain disaat diri sendiri juga masih menjalani kehidupan dan rintangan.
"Tapi sepertinya dia juga lupa sama gue. Semoga saja dia lupa selamanya agar tak balas dendam ke gue," kata Linda berbicara sendiri.
Berharap kehidupannya tak akan berjalan alot hanya gegara pertengkaran di pantai itu.
Linda Permata adalah seorang gadis yang pintar dan selalu bisa diandalkan di keluarganya. Setelah kepergian ayah beberbapa tahun yang lalu, Ia hanya tinggal dengan ibunya saja.Tak heran jika ibunya sangat menyayangi karena ia anak semata wayang di keluarga Linda yang telah ditinggalkan ayahnya.Linda terbangun dari tidurnya.“Sudah jam 06.30 wah aku hampir telat,” ujar Linda dan bangun dari ranjangnya.Linda adalah salah satu staf di sebuah perusahaan milik tuan angga sekaligus direktur utama.Krek ...Krek ...Pintu kamar terbuka.Ia keluar kamar dengan pakaian rapi sekaligus memakai jas hitam, siap untuk berangkat ke kantor.“Lin, nggak makan dulu?” kata sang Ibu dari meja makan yang sedang menyantap sarapan.“Nggak ma, aku hampir telat udah!” kata Lin
“Ah, aku lapar!” seru Linda.“Loh kenapa? Belum sempat sarapan ya?” tanya Jessica heran.“Iya nih, aku hampir kesiangan,” jawab Linda sedih sambil menutup laptop kerjanya." buruan la ...?" pandangan Linda ter alih dengan seorang wanita.Belum selesai percakapan Linda dan Jessica, Intan yang baru keluar dari ruangan Pak Angga lalu mendekati ruangan semua karyawan Seraya berkata,“Kalian jangan pulang dulu ya, karena ada yang mau disampaikan oleh Pak Angga di jam pulang,” ucap Intan sambil kembali kemejanya lagi.“Emm ... emang ada apa ini?” tanya Jessica penasaran.“Katanya Pak Angga mau pensiun,” jawab Intan seadanya sembari duduk di tumpatnya.“Loh Yang gantiin siapa dong?” tanya Jessica lagi.“Ya anaknya lah! Siapa lagi?” ucap intan.
“Hei, Sayang. Sudah pulang ternyata,” kata ibu Rianti yang baru saja selesai memotong sayur.“Em, sudah.”“Mama sedang apa?” kata Linda lagi sambil duduk di samping ibunya."Lagi masak lah.”Mama kesal dengan pertanyaan anaknya yang konyol, sudah lihat dirinya memasak malah masih lempar pertanyaan.“Hehehe,“ jawab Linda tak merasa aneh.“Aku besok mau ke pantai, Mama tidak apa kan jika besok aku tidak di rumah?” ucap Linda khawatir.Linda memang begitu, selalu menghawatirkan keadaan ibunya, ia sangat takut kalau terjadi apa-apa pada Ibunya. Takut mengalami kejadian apa yang ayahnya alami.“Memang mama sakit parah seakan tak mampu lagi berjalan? Apa kau meremehkan otot tulang besi mama ini,” ucap ibu Rianti seraya me
[halo Riel, aku dengar lo udah di Indonesia ya? Kok Ngga kasi kabar si lo!] tanya Iqbal kesal karna dia tidak mengabari temannya itu.[soryy. Bro, bukan maksud seperti itu, gua juga baru pulang minggu lalu. Kalau lo enggak yakin tanya aja sama bos gua!] ucap Ariel seadanya. Dan berusaha menjelaskan di telepon.[ayah lo. getu Riel?] tanya Iqbal seakan tak percaya.[Yaa. Jadi Siapa lagi coba kalau bukan ayah gua,] ucap Ariel sedikit bengis.[wah. Apa gerangan lo pulang ha? Untuk sekian lama!] tanya Iqbal lagi seakan memancing amarahnya di telepon.[berengsek lo. Jelas kamu uda tahu apa masalahnya, sekarang kamu bilang apa mau lo?] ucap Ariel ke intinya.Perkataan Iqbal seakan memperolok - olok atas ke pulangannya yang tiba – tiba itu dan dia juga sudah tahu apa perkara yang membuat Ariel kembali. Namun ia, hanya pura – pu