waktu berlalu tak menunggu siapapun, dalam sepenggal hari terakhir terlewati dengan segudang kegiatan dan pikiran beraneka ragam milik setiap penghuni mayapada.
Di gedung perkantoran APC, Angel dengan cepat merapikan meja kerjanya setelah jarum jam menunjukkan pukul 3 sore. Dengan secepat mungkin berjalan menuju lift seperti anak panah yang lepas dari busur, dan enggan berbalik sekedar untuk menoleh kebelakang.Iya...selain menghindari sesuatu kejadian yang mendadak(panggilan /tugas tambahan dari Anggara) di luar jam kerja, wanita itu juga ingin segera pulang menuju peraduan indahnya yang nyaman. Maklum, semalam Angel memang tidak tidur dengan baik demi menjaga Anggara. Meskipun, ia telah cukup beristirahat sebelum datang ke sana(di rumah sakit).Entahlah, jika hal tersebut mencakup tentang tidur tak ada perdebatan yang berarti baginya." Lebih oke.....kurang jangan!." Mungkin bahasa itu cocok untuk mendeskripsikan tentang kebiasaannya yang sedikit unik.Perkataan Angel tidak terselesaikan, ketika dengan jelas melihat sosok yang kini menyunggingkan senyum tepat di depannya. Dan ketika manik mata cantik itu beralih menatap tangan kiri sang pria yang tengah memegang segerombol kunci, serta sedikit menggoyangkan benda tersebut."Krincing...krincing." Suara kunci yang bergoyang di tangan Handoko.Secara reflek Angel berdiri dengan cepat, akan tetapi karena sudah berjongkok cukup lumayan lama, kakinya menjadi sedikit kaku dan kesemutan sehingga tak mampu menopang tubuh itu dengan baik."Hati-hati." Seru pria yang tak lain adalah Handoko tersebut, serta dengan cepat meraih pergelangan tangan Angel dan membantunya stabil berdiri."Sudah berapa lama kau duduk di sini?." Sambung Handoko lagi, ketika melepas pergelangan tangan Angel setelah dirasanya wanita itu telah seimbang berdiri.Angel yang merasa beruntung dengan kecepatan gerak Handoko hanya bisa tersenyum canggung, terlebih ketika posisi
"Masuk dulu kak.... kopi buatanku lumayan enak lho." Angel.Handoko yang telah selesai memutar gagang pintu rumah dan bersiap untuk pamit pulang, masih menampilkan wajah yang sama ketika mendengar tawaran Angel. Seakan apa yang di dengar barusan adalah hal biasa dan sebuah keharusan.Namun hanya tuhan dan hatinya saja yang tahu, bahwa sebaris pendek kalimat wanita ini adalah sebuah harapan besar, yang telah ditunggu sejak melangkah ke halaman rumah tadi."Benarkah?, patut di coba kalau begitu." Jawabnya ringan dengan sedikit mimik wajah yang seolah tengah berpikir sejenak."Tentu saja kakak harus mencobanya, meski tidak bisa di bilang mahir tapi tidak akan buruk juga." Sahut Angel dengan senyum lembut terpasang di wajah.Wanita itu merasa senang dan tulus mengundang Handoko, sebab saat ini sosok itu seperti "Superman" yang turun dari langit, dalam tanda kutip pria super pembawa "kunci" keberuntungan baginya."Ayo masuk dan duduk dulu kak...anggap rumah sendiri." Wanita itu berjalan men
"5 Menit lagi." Handoko."????." Anggara."Tidak di rumah?." Anggara ingin kembali bertanya, namun dari sisi Handoko sambungan telpon telah terputus.Pria tersebut melipat kening sejenak sebelum mematikan ponsel, ada sekilas pemikiran terlintas di benak. Namun dengan cepat segera di tepis sembari bergumam lirih. "Toh bukan urusanku." Bahasa tersebut terdengar seperti sebuah ketidak pedulian yang tengah menggambarkan kenyataan atas diri orang asing. Akan tetapi dari ekspresi yang terlihat pada wajah tampan miliknya, pada kenyataan yang ada jelas sedang menampilkan sisi tolak belakang dari yang terlontar barusan.Handoko tiba lebih cepat 2 menit dari yang dia janjikan. Dan itu memang sudah diperhitungkan nya, hal ini menjadi kebiasaan bagi sosok Handoko, bahwa ia akan menambahkan sedikit perpanjangan waktu ketika mengucapkan sebuah janji, meskipun tahu dengan benar bahwa dirinya akan tiba di sana hanya dalam hitungan 2-3 menit saja.Handoko berpikir banyak hal yang dapat terjadi di luar
"Apa kau masih perlu meragukan itu?, bahkan sejak kalian kuliah dulu bukankah dia sudah mengejar mu seperti orang gila." Handoko."Ngiiiing...."Sorot mata Anggara yang sedikit menunjukkan semangat beberapa menit lalu, segera lenyap tersapu kekuatan bibir Handoko."Hah...mengemudi saja dengan benar." Ucap Anggara kesal.Ia menyadari bahwa sosok di sampingnya saat ini tidak sedang berada di dunia yang sama dengan dirinya. "Sungguh membuat kesal." Lanjutnya masih dengan suara pelan."Kenapa?, salah?." Handoko. "Tidak...hanya mulutmu berbau busuk." Sarkas Anggara, dengan pandangan yang telah beralih ke depan.Wajah Anggara tidak menampilkan sedikitpun bias kebencian untuk Handoko, namun dengan pemahaman yang di miliki, Anggara menyadari bahwa ada gejolak asing di dalam hati untuk sahabatnya ini, ketika mengingat kedekatan diantara keduanya(A dan H)." Apa aku sedang kesal?, mengapa?." Pertanyaan itu sering hadir dalam benak Anggara beberapa hari terakhir, bahkan hingga sekarang belum jug
"Rihana?, mengapa kau di sini?." Anggara terkesiap, bibir itu hampir saja meluncurkan perkataan tersebut.Namun, ketika menoleh kearah samping dan melihat senyum sinis penuh ejekan di wajah sang sahabat, Anggara mengunci bibirnya rapat."Benar sekali, kapan kail akan memberi umpan jujur kepada ikan?." Anggara mengerti bahwa sang manager tempat tersebut sengaja menipunya, dengan mengatakan bahwa Rihana tidak lagi di sana, demi pundi-pundi uang yang di miliki.Dan tentu saja sang manager juga enggan melepas kecantikan di depannya ini, yang memiliki daya pikat tinggi serta banyak penggemar dari kalangan menengah keatas.Bagaimanapun Rihana adalah gadis dengan intelektual, pendidikan yang seolah sengaja di persiapkan untuk calon istri idaman masa depan di kalangan atas. Meskipun pada kenyataan yang ada, kini keluarganya telah jatuh dan tidak lagi memiliki kekayaan serta kemampuan seperti dulu. Akan tetapi, dengan kepandaian, kepribadian serta kecantikan yang di miliki, masih banyak pengg
"Seandainya itu kamu." Meski hanya terlintas sejenak, Anggara berharap bahwa wanita yang kini mencoba memenangkan perhatian darinya adalah sosok sekertaris baru di kantornya pagi ini. Namun ketika mengingat banyaknya permasalahan dan ketidaknyamanan diantara mereka, Anggara tersenyum miris untuk diri sendiri.Dan malam ini, pria tersebut menikmati waktu santainya dengan rasa jenuh serta penat. Niat hati mencoba mencari pelepas lelah setelah seharian bekerja, akan tetapi justru menjadi hiburan bagi orang lain(H) karena ketidakberuntungannya malam ini. ..............."Cekling...cekling...cekling.." Pagi ini banyak pemberitahuan masuk pada ponsel Angel.Karena telat bangun dan buru-buru berangkat kekantor, Angel merogoh ponsel dan hanya melirik sekilas layar yang masih menampilkan pemberitahuan di sana.Setelah memastikan dari siapa pesan yang mendarat dan mengetahui bahwa semua adalah pemberitahuan dalam grup "FIKA", Angel memasukkan kembali kedalam tas yang di bawa, dan segera masuk
"Baru datang?, bagus...Datang keruangan ku sekarang!." Lanjut suara khas yang tak akan pernah di lupakan oleh Angel tersebut."Baik." Jawab wanita itu singkat, seraya memasukkan kembali ponsel yang di pegang kedalam tas. Dan dengan cepat mengikuti langkah Anggara yang berjalan melewati dirinya, tanpa perlu menoleh kembali."Duduklah." Ucap Anggara setelah keduanya memasuki ruang kerja presdir."Terimakasih." Angel.Anggara meraih kursi dan mendudukkan tubuh, sebelum meletakkan berkas kerja yang di bawa dari rumah pada meja kecil di samping tempat duduk.Angel hanya diam menunggu hingga pria tersebut menyelesaikan semua, sebelum kembali melihat atau berinisiatif membuka pembicaraan serta memberinya perintah.Diam, sabar, dan pasif menunggu, kini telah menjadi keahlian baru Angel akhir-akhir ini.Entahlah, mungkin akibat insting yang "tok cer" atau karena pikiran yang tengah narsis, yang jelas Angel merasa bahwa sosok di depannya saat ini ingin mengatakan sesuatu kepadanya tentang peri
"????." Angel semakin bingung, ia masih diam dan hanya menatap balik kearah Anggara."Princes adalah Vanessa." Lanjut Anggara lagi, ketika melihat ekspresi sosok di depannya. Ada perasaan malas, dongkol serta campuran enggan dalam baris kalimat tersebut.Akan tetapi, melihat tindakan Angel yang menatap balik kearahnya dengan sedikit kernyitan di kening, entah mengapa ia berpikir bahwa wanita tersebut tengah menyangsikan apa yang diucapkan. "Sejak kapan seorang Anggara harus repot memberi penjelasan untuk orang lain?." Gerutunya dalam hati. Sempat juga terlintas di benak Anggara, bahwa Angel bersikap demikian adalah untuk menutupi kekesalan hati akibat ketidak keberdayaannya berurusan dengan Vanesa, yang notabene adalah keluarga Aditama.Dan karena berpikir demikian, Anggara berusaha untuk mengambil tanggung jawab dengan sedikit bersikap lunak kali ini. "Salah siapa darah yang mengalir di tubuh mereka(Anggara dan Vanesa) dari keturunan orang yang sama" Pria tersebut juga berpikir bah
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan