Apa kau akan mati jika berdiri di depanku."
Anggara mendengus ringan, sebagai pernyataan bahwa wanita ini selain kurang dalam pengetahuan juga "limit" dalam hal pemahaman."Haah?." Kerutan di kening Angel kian menebal, jelas ia datang dengan segera dan langsung berada di sana, begitu selesai meletakkan gagang telepon.Mengetuk pintu sebelum masuk sebagai kesopanan, dan berdiri tegap di depan meja sang Presdir langsung tanpa membuang waktu.Meskipun, posisinya memang agak sedikit condong ke sisi samping, dan tidak benar-benar tepat di depan pria tersebut. Lalu apa masalahnya?, dari sisi pintu masuk ruangan dan tata letak meja kerja Anggara, posisi Angel sudah dapat di katakan berada pada tempat yang benar.Namun, ketika mengingat siapa dan bagaimana penjelasan Handoko tentang Anggara, dalam sekilas detik kemudian dia mengerti apa yang di maksud kesalahan dalam bahasa pria tersebut."Maaf." Ucapnya singkat, sembari berjalan beberapa langka"Harus kuat..harus!.""Tik..tik..tik..tik..." Karena suasana yang sunyi serta kidmat pada ruangan, dentingan detik di sana pun terdengar nyaring.Angel yang telah lama berdiri dengan kebisuan bibir, sesekali menghentakkan kelopak mata berusaha tetap fokus dan terjaga.Entah itu kelebihan yang patut di syukuri, atau sebuah kekurangan yang harus di tutupi, setiap kali hati dan pikiran Angel sedang kesal dan terganggu, wanita tersebut akan cepat merasa lapar dan mengantuk. Dan untuk kasusnya saat ini, rasa rindu buaian pulau kapuk tercinta yang paling sulit di tahan.Hal tersebut dapat di maklumi, karena selain kekesalan hati sebagai pemicu, berdiam diri dalam keheningan dan tidak melakukan apapun juga bisa membuatnya merasa mengantuk.Di tambah, semalam perjalan Angel menuju dan mencari Apartemen Anggara juga telah menyita waktu, wanita itu juga harus menjaga serta mengompres sang presdir hingga hampir fajar, dan itu benar-benar menyita banyak waktu istirahatnya.Akibatnya, meski ia be
"Pak...Saya......"Apa yang harus di katakan untuk pertanyaan tersebut?, Agung terjebak serta merasa seperti sedang meminang buah simalakama."Saya..." Bahkan setelah beberapa saat di tunggu, yang keluar dari bibir itu masih sulit di mengerti."Saya?."Handoko mengulang kalimat pendek Agung, dengan sedikit tarikan kecil di ujung kiri sudut bibir.Sebuah senyuman, yang tidak menyampaikan makna kebaikan senyum itu sendiri.Mendengar kalimat yang sama, nada yan sama, serta pengucapan yang hampir serupa tersebut, justru terdengar menakutkan dalam pendengaran Agung.Baginya salinan kalimat itu, lebih mirip dengan tambahan beban yang kian menindih ubun-ubun, akibat rasa takut yang semakin besar. Haruskah ia berkata bahwa dirinya teledor dan tidak profesional dalam tugas?. Jika itu di ucapkan, berarti dirinya tidak cukup cakap untuk pekerjaannya sekarang, dan itu berarti Agung harus rela berhenti.Jika harus jujur
"Lalu...Apa kelalaianmu?, dan mengapa saya harus memberimu kesempatan lagi?." Handoko.Baginya, kecerobohan Agung di pagi hari ini sangat mengesalkan untuk di ingat.Sebagai seorang sekuriti keamanan dia bisa dianggap tidak kompeten. Bagaimana bisa mata dan pikiran itu "Meleng" mengikuti gerak tubuh seseorang (tamu) yang datang ke perusahaan. Apakah dia sedang nongkrong di cafe atau di mall perbelanjaan, sehingga bisa seenaknya menggerakkan tubuh(kepala) menikmati pemandangan yang ada serta melintas di depannya?. Apa sebagai seorang penjaga keamanan sosok ini tidak tahu, bahwa kehadirannya disana adalah wajah awal yang terlihat oleh setiap orang yang datang ke APC?, selain itu jika sikapnya terlalu sembrono dan terlihat konyol, mampukah dia di anggap sebagai pemberi keamanan serta ke nyamanan untuk semua orang?." Wajah tampan Handoko semakin di buat jengkel ketika Agung dengan mudah meminta kesempatan kedua, bahkan sebelum mengutarakan kejahatan y
"Jeblaaaar...."Handoko melebarkan mata sekilas, pikiran yang semula masih bisa tenang dan memberi rasa tak nyaman untuk orang lain kini semakin terusik."Pikiran apa itu?, apa mungkin dia mengetahui sesuatu?." Ucapnya untuk diri sendiri, dengan hanya manik mata yang bereaksi lebih tajam menatap Agung."Cukup bagus, imajinasimu sensitif rupanya." Masih bergumam dalam hati, dan tentu saja Agung tak pernah mengetahui semua.Bagaimana sang penjaga akan peduli tentang keterkejutan orang lain, bahkan jika itu mungkin untuknya melihat perubahan singkat Handoko barusan, bisakah otaknya yang tengah terjepit erat mampu menebak?.Agung tengah terfokus untuk mencemaskan diri sendiri, masa depan ibu, serta adiknya.Dengan dirinya di berhentikan dari APC, maka setiap pengaturan rencana lanjutan untuk pengobatan sang ibu, serta biaya belajar sang adik akan menjadi kacau balau.Terlebih lagi, membayangkan di kota ini bahkan juga di kota-kot
"Apa yang kau maksud dengan calon orang penting APC?, siapa?." Handoko kembali bertanya."Orang penting?...... Atasan?....Siapa?....Angelkah?." Handoko merasa bahwa maksud perkataan dari Agung, adalah bahwa Angel kekasihnya, dan di masa depan wanita tersebut akan menjadi salah satu orang penting di APC karena sangkut paut dengan diri sendiri. Dengan pikiran yang demikian, Handoko merasa telah tertangkap basah, dan di telanjangi saat ini." Bagaimana mungkin secepat itu di ketahui oleh orang lain?." "Dari mana pria ini tahu tentang perhatiannya untuk Angel?, siapa yang telah memberitahukan hal tersebut?." Handoko semakin merapatkan bibir, dan dalam beberapa saat waktu ke depan tak ada baris kalimat apapun yang tercetak dari sana."Apa sikapnya begitu mencolok?""Dan benarkah ia sepeduli itu kepada Angel, sehingga tak dapat di tutupi dari penglihatan orang lain?, Lalu... benarkah ini dapat di kategorikan sebagai kasih sayang pria dan wanita?." Dalam sekilas saja, banyak pemikiran muncu
Beberapa saat setelah Angel keluar dari ruangan, Anggara merasa sedikit keterlaluan atas tindakan yang sengaja membiarkan wanita itu berdiri seperti patung di depannya.Meskipun itu di lakukan demi kepuasan hatinya, tetap saja tak bisa di pungkiri bahwa Anggara merasa ada yang tidak tepat.Sebenarnya, ia hanya ingin sekedar menegur dan membuatnya sedikit membayar atas ketidak kesopanannya tadi pagi, atau lebih tepatnya Anggara mencari alasan membuat wanita itu berputar di sekitar dirinya.Anggara seperti seorang yang tersesat dan kehausan di tengah laut, semakin banyak meminum air di sana, maka yang ada semakin haus di rasakan.Semakin lama ia berinteraksi dengan Angel, semakin buruk keinginan yang ada di dalam hatinya.Bahkan, ia juga miliki perasaan yang semakin liar untuk Angel saat ini.Hati Anggara tidak tenang serta marah, ketika melihat pria lain menatap wanita tersebut, dan itu juga berlaku untuk sahabatnya sendiri Handoko.
"Mati kau...!" Guman Anggara pelan, di sela langkah kaki berbalik masuk keruangan.Angel yang masih belum pulih dari perasaan kaget, mengikuti di belakang dengan wajah yang kuyu. "Bodohnya aku....bodoh...bodoh...."Wanita itu berjalan dengan pikiran yang bercampur aduk, meruntuki kebodohan diri sendiri, takut, gugup dan juga menyesali tindakannya yang kurang lihai dalam berkamuflase (menerima telepon tanpa ketahuan).Dengan statusnya yang menjadi incaran untuk dipersalahkan, seharusnya ia lebih berhati-hati dalam bertindak."Braaak...." Suara pintu tertutup dengan sedikit kasar.Angel berjalan di belakang Anggara dengan pikiran yang tidak pada tempatnya, telah menutup pintu secara reflek dan sedikit memberi hentakan.Sosok Anggara yang hendak duduk berbalik dan menatap wanita itu dengan tajam, seolah berkata dengan keras. "Apa maksudmu?, apa kau bodoh?, tidak terima?, marah?." Atau sejenis lainnya.Angel yang juga terkejut dari bunyi keras pintu, ota
"Jika semua pencuri sepertimu, alangkah bagusnya." Anggara."Pencuri?." Angel mengernyitkan kening sejenak dengan sebuah gumaman kecil. Entah mengapa ia merasa tak pernah ada bahasa bagus yang keluar dari bibir bos di depannya sekarang."Kakekmu pencuri, bapakmu pencuri, bahkan adik kamu juga pencuri." Lanjutnya lagi, masih dengan kebungkaman bibir.Perasaan kesal yang mulai ada semakin kuat menjalar, layaknya akar kecambah yang tumbuh subur dengan hanya kerlingan mata.Namun, lagi-lagi ia hanya bisa memasang wajah normal serta penuh rasa hormat untuk Anggara.Bagaimanapun, dan apapun yang di dengar oleh kedua telinga miliknya, harus tetap bisa di sikapi dengan bijak.Dalam keengganan yang di paksakan, bibir Angel menjawab secara perlahan. "Benar...jika pencuri seperti saya, mungkin tidak akan ada kehilangan di dunia ini."Meski baris kalimat itu terdengar pasrah dan tak memiliki makna lain, namun dalam penerimaan Anggar
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan