"Jika semua pencuri sepertimu, alangkah bagusnya." Anggara."Pencuri?." Angel mengernyitkan kening sejenak dengan sebuah gumaman kecil. Entah mengapa ia merasa tak pernah ada bahasa bagus yang keluar dari bibir bos di depannya sekarang."Kakekmu pencuri, bapakmu pencuri, bahkan adik kamu juga pencuri." Lanjutnya lagi, masih dengan kebungkaman bibir.Perasaan kesal yang mulai ada semakin kuat menjalar, layaknya akar kecambah yang tumbuh subur dengan hanya kerlingan mata.Namun, lagi-lagi ia hanya bisa memasang wajah normal serta penuh rasa hormat untuk Anggara.Bagaimanapun, dan apapun yang di dengar oleh kedua telinga miliknya, harus tetap bisa di sikapi dengan bijak.Dalam keengganan yang di paksakan, bibir Angel menjawab secara perlahan. "Benar...jika pencuri seperti saya, mungkin tidak akan ada kehilangan di dunia ini."Meski baris kalimat itu terdengar pasrah dan tak memiliki makna lain, namun dalam penerimaan Anggar
"Batalkan rencana yang tadi, kirim saja semua keruanganku.""Mengapa tidak memaafkannya saja?." Lanjut Anggara lirih, setelah meletakkan ponsel.Wajah itu masih tenang, serta terlihat tidak ambil pusing tentang jawaban apa yang akan keluar dari bibir Angel.Sementara, sosok wanita cantik yang sedari tadi lebih banyak menunduk, mulai mengangkat kepala untuk melihat lebih jelas sosok di depannya.Ada gambaran ragu serta kesulitan pada wajah itu, sert berupaya untuk tampil tenang."Mengapa harus memaafkan?, apakah karena kalian satu klan sehingga saling memahami dan memberi dukungan?." Pikir Angel dalam hati, dengan semburat rasa kesal, untuk sosok Anggara.Sebuah helaan nafas berat terdengar di telinga Anggara, dan tentu saja ia mengerti makna di dalamnya."Iya...mengapa saya tidak memaafkannya?." Angel bergumam pelan, sebuah ucapan yang memiliki makna berbeda dengan apa yang terdengar.Suara lirih itu terdengar h
Yang jelas saya bisa, dan bersedia untuk berusaha dengan sebaik mungkin hanya dengan satu pria seumur hidup. Lalu mengapa tidak bisa melakukan itu untuk saya?." Lanjutnya lagi, dengan bahasa yang tak jauh berbeda dari sebelumnya.Dengan ucapan tersebut, dari sorot mata yang ada Anggara seolah merasa wanita ini tengah menunjukkan sebuah kemarahan kepadanya.Entah mengapa secara reflek Anggara terhenyak, dengan rasa tidak nyaman dalam hati.Ada rasa ketidak Adilan menyeruak ringan sekilas, bahwa sosok sang suami bajingan milik Angel, tengah beralih menempati tubuh sendiri dan siap untuk menjadi penerima kemarahan. Jelas saja, Anggara merasa sikap tersebut tidak relevan, ia berpikir kapan dirinya bisa menjadi sosok pengganti?, bahkan jika itu diri sendiri yang berbuat kesalahan kapan seorang Aditama bisa terima dipersalahkan?."Heeei....Ada apa dengan tatapanmu?." Anggara mendengus sedikit keras, ia ingin memberikan sedikit teguran sikap Angel yang di rasanya
"Kapan giliranmu untuk mengoreksi kehidupanku?." Suara magnetis yang terdengar jauh lebih berat, kembali meluncur dari bibir Anggara."Ti..tidak pak, maaf saya telah tidak sopan dan lancang." Kali ini, Angel tahu telah membuat kesalahan, namun apa yang bisa di lakukan bukankah dia(Anggara) yang memulainya.Anggara tak habis pikir, dengan kejelian yang di miliki serta sifatnya yang enggan menerima ketidaksempurnaan, dengan penjelasan apapun wanita ini tidak memenuhi syarat kriterianya.Sebab dalam pandangan Anggara sejauh ini, selain ceroboh, lamban, dan tidak dalam kategori miliki kecantikan yang sensasional, terlebih lagi, Angel juga memiliki bibir yang lancang.Akan tetapi, lagi dan lagi Anggara di buat bingung dengan keengganan melepas wanita tersebut dari genggaman tangannya."Sial...!" Pekiknya dalam hati. Anggara sangat gusar dengan kesabaran baru yang di miliki hatinya, untuk sosok sekertaris ini."Bruugh." Anggara melempa
"Setidaknya telah sebaik mungkin untuk berupaya, dan dengan ini akhirnya bisa melihat batas kisah kami tanpa penyesalan." Ada beban berat dalam hati Anggara yang lolos seketika, disaat mendengar perkataan tersebut.Entah karena bahasa Angel yang terlihat tenang dan terdengar lebih enak di dengar, atau karena makna di dalamnya yang berarti telah mengikhlaskan hubungan dengan sang suami, yang jelas perasaan pria tersebut jauh lebih nyaman."Thok....thok..thok..." Tepat ketika hatinya merasa baik, suara pintu di ketuk dari luar dengan nyaring."Masuk." Jawab Anggara singkat."Rumah makan xx mengirimkan pesanan anda pak." Ucap Linda, salah satu pegawai di ruangan depan, yang sejajar dengan meja kerja Angel, setelah membuka pintu.Wanita tersebut tidak masuk kedalam ruangan, dan hanya menyampaikan ucapan dari bibir pintu."Heeemz..." Anggara.Seolah telah saling memahami, Linda yang menerima jawaban tersebut, segera berbali
"Apa di koloni tempat tinggal mu tidak ada piring, sendok dan perlengkapan makan?." Suara Anggara terdengar sengit serta penuh kekesalan."Zeblaaar." Seperti sebuah Sambaran petir yang menyapu ruang kebingungan ganda, Angel membulatkan mata dengan lebar dan segera bergerak cepat menuju pintu kecil di ujung ruang, dimana Anggara beberapa saat yang lalu keluar dari sana.Ia membuka lemari kecil yang tergantung anggun, di atas meja dapur dengan kompor listrik kecil di atasnya. Wanita itu mengambil sebuah piring, serta sepasang sendok dan garpu sebelum berbalik berjalan ke arah Anggara dengan wajah yang masih menunjukkan semburat malu.Iya, Angel merasa malu saat ini. Bagaimana mungkin ia tidak mengerti dan memahami apa pokok pembicaraan Anggara beberapa saat yang lalu dengan menyebut "Piring", siapa yang tidak mengetahui benda itu?. Dengan berusaha setenang mungkin, Angel meletakkan piring makan keramik berdasar warna putih denga
Mungkin kurang lebih itulah makna dari tatapan tersebut.Angel kembali terhenyak di saat tatapan keduanya bertemu, Ia tidak menyangka suara dengan ala dengungan nyamuk barusan, telah tertangkap telinga Anggara.Namun, ketika tak mendapat respon lain dan Anggara kembali terfokus pada makan siangnya, rasa takut serta ke khawatiran dalam hati sedikit berkurang."Ambil piring lain." Anggara."Hah..". Angel."Yang polos.." Anggara lagi."Oh...Baik .." Jawab Angel yang sempat terjeda sejenak.Wanita itu dengan cepat menuju ruang kecil di ujung ruang, mengambil piring keramik putih polos dengan ukuran sedikit lebih besar dari yang sebelumnya, serta sepasang sendok dan garpu lagi."In...ni...?" Angel bingung harus meletakkan piring polos tersebut dimana, sebab di depan Anggara telah ada piring sebelumnya dan juga sudah di isi dengan beberapa hidangan. Sebelum Angel menyelesaikan perkataan untuk bertanya, Anggara kembali
"Terimakasih." Ucapnya dengan wajah yang masih bersemu merah."Sudah makan siang?." Lanjut Anggara lagi, sambil menoleh kearah Handoko dan sengaja mengabaikan ucapan Angel barusan.Ketika mendengar perkataan tersebut, Angel bukannya merasa tersinggung, justru ia segera berdiri dari duduk, dan hendak mengambil piring untuk Handoko. Akan tetapi, saat melihat Anggara menoleh kearahnya dengan tatapan tajam, wanita itu membeku sejenak dan secara alami melenggangkan tubuh duduk kembali.Entah itu insting atau pemahaman kilat yang di dapat, Angel merasa bahwa sang bos tidak ingin ia bergerak dari sana, atau dengan bahasa lain dirinya harus melanjutkan makanan yang belum terselesaikan.Dengan tatapan tak berdaya wanita itu menatap kearah Handoko sejenak, sebelum akhirnya menunduk kembali melanjutkan makan.Menyaksikan kepatuhannya, wajah Anggara sedikit melunak. Di tambah lagi, ketika melihat punggung Handoko yang berjalan menuju ruang kecil di ujung untuk mengambil piring sendiri, sebuah tari