"Kapan giliranmu untuk mengoreksi kehidupanku?." Suara magnetis yang terdengar jauh lebih berat, kembali meluncur dari bibir Anggara.
"Ti..tidak pak, maaf saya telah tidak sopan dan lancang." Kali ini, Angel tahu telah membuat kesalahan, namun apa yang bisa di lakukan bukankah dia(Anggara) yang memulainya.Anggara tak habis pikir, dengan kejelian yang di miliki serta sifatnya yang enggan menerima ketidaksempurnaan, dengan penjelasan apapun wanita ini tidak memenuhi syarat kriterianya.Sebab dalam pandangan Anggara sejauh ini, selain ceroboh, lamban, dan tidak dalam kategori miliki kecantikan yang sensasional, terlebih lagi, Angel juga memiliki bibir yang lancang.Akan tetapi, lagi dan lagi Anggara di buat bingung dengan keengganan melepas wanita tersebut dari genggaman tangannya."Sial...!" Pekiknya dalam hati. Anggara sangat gusar dengan kesabaran baru yang di miliki hatinya, untuk sosok sekertaris ini."Bruugh." Anggara melempa"Setidaknya telah sebaik mungkin untuk berupaya, dan dengan ini akhirnya bisa melihat batas kisah kami tanpa penyesalan." Ada beban berat dalam hati Anggara yang lolos seketika, disaat mendengar perkataan tersebut.Entah karena bahasa Angel yang terlihat tenang dan terdengar lebih enak di dengar, atau karena makna di dalamnya yang berarti telah mengikhlaskan hubungan dengan sang suami, yang jelas perasaan pria tersebut jauh lebih nyaman."Thok....thok..thok..." Tepat ketika hatinya merasa baik, suara pintu di ketuk dari luar dengan nyaring."Masuk." Jawab Anggara singkat."Rumah makan xx mengirimkan pesanan anda pak." Ucap Linda, salah satu pegawai di ruangan depan, yang sejajar dengan meja kerja Angel, setelah membuka pintu.Wanita tersebut tidak masuk kedalam ruangan, dan hanya menyampaikan ucapan dari bibir pintu."Heeemz..." Anggara.Seolah telah saling memahami, Linda yang menerima jawaban tersebut, segera berbali
"Apa di koloni tempat tinggal mu tidak ada piring, sendok dan perlengkapan makan?." Suara Anggara terdengar sengit serta penuh kekesalan."Zeblaaar." Seperti sebuah Sambaran petir yang menyapu ruang kebingungan ganda, Angel membulatkan mata dengan lebar dan segera bergerak cepat menuju pintu kecil di ujung ruang, dimana Anggara beberapa saat yang lalu keluar dari sana.Ia membuka lemari kecil yang tergantung anggun, di atas meja dapur dengan kompor listrik kecil di atasnya. Wanita itu mengambil sebuah piring, serta sepasang sendok dan garpu sebelum berbalik berjalan ke arah Anggara dengan wajah yang masih menunjukkan semburat malu.Iya, Angel merasa malu saat ini. Bagaimana mungkin ia tidak mengerti dan memahami apa pokok pembicaraan Anggara beberapa saat yang lalu dengan menyebut "Piring", siapa yang tidak mengetahui benda itu?. Dengan berusaha setenang mungkin, Angel meletakkan piring makan keramik berdasar warna putih denga
Mungkin kurang lebih itulah makna dari tatapan tersebut.Angel kembali terhenyak di saat tatapan keduanya bertemu, Ia tidak menyangka suara dengan ala dengungan nyamuk barusan, telah tertangkap telinga Anggara.Namun, ketika tak mendapat respon lain dan Anggara kembali terfokus pada makan siangnya, rasa takut serta ke khawatiran dalam hati sedikit berkurang."Ambil piring lain." Anggara."Hah..". Angel."Yang polos.." Anggara lagi."Oh...Baik .." Jawab Angel yang sempat terjeda sejenak.Wanita itu dengan cepat menuju ruang kecil di ujung ruang, mengambil piring keramik putih polos dengan ukuran sedikit lebih besar dari yang sebelumnya, serta sepasang sendok dan garpu lagi."In...ni...?" Angel bingung harus meletakkan piring polos tersebut dimana, sebab di depan Anggara telah ada piring sebelumnya dan juga sudah di isi dengan beberapa hidangan. Sebelum Angel menyelesaikan perkataan untuk bertanya, Anggara kembali
"Terimakasih." Ucapnya dengan wajah yang masih bersemu merah."Sudah makan siang?." Lanjut Anggara lagi, sambil menoleh kearah Handoko dan sengaja mengabaikan ucapan Angel barusan.Ketika mendengar perkataan tersebut, Angel bukannya merasa tersinggung, justru ia segera berdiri dari duduk, dan hendak mengambil piring untuk Handoko. Akan tetapi, saat melihat Anggara menoleh kearahnya dengan tatapan tajam, wanita itu membeku sejenak dan secara alami melenggangkan tubuh duduk kembali.Entah itu insting atau pemahaman kilat yang di dapat, Angel merasa bahwa sang bos tidak ingin ia bergerak dari sana, atau dengan bahasa lain dirinya harus melanjutkan makanan yang belum terselesaikan.Dengan tatapan tak berdaya wanita itu menatap kearah Handoko sejenak, sebelum akhirnya menunduk kembali melanjutkan makan.Menyaksikan kepatuhannya, wajah Anggara sedikit melunak. Di tambah lagi, ketika melihat punggung Handoko yang berjalan menuju ruang kecil di ujung untuk mengambil piring sendiri, sebuah tari
"Ada apa dengan kalian?, mengapa tidak melanjutkan makan?."Handoko merasa sedikit tidak nyaman ketika menyaksikan ketertarikan diantara keduanya. "ketertarikan" setidaknya itulah bahasa yang terlintas di benak pria tersebut, yang menyebabkan rasa tak nyaman dan terancam perlahan menyeruak dalam hati. Handoko berimajinasi bahwa kedua sosok di depannya saat ini saling menunjukkan apresiasi, ketertarikan, serta tengah menyelam kedalam dunia indah milik berdua.Perasaan menggelitik tak enak di awal masuk keruangan tersebut kini kembali bergelayut, sehingga senyum yang dapat di deskripsikan sebagai "Jarang terlihat" pada wajah itu, seketika lenyap hanya dalam hitungan detik saja.Handoko berjalan mendekat dan langsung duduk di sisi sebelah kanan Angel. Mengambil makanan, dan bersiap untuk menikmati hidangan yang ada tanpa menghiraukan pemikiran, serta tanggapan kedua orang di sana perihal pertanyaan yang baru meluncur dari bibirnya. Seolah
"Yo...ternyata sebagian orang di kantor ini cukup berkemampuan, bahkan sudah bisa makan bersama dengan bos besar dalam hitungan hari saja." Karena Angel merasa bahwa perkataan tersebut tidaklah penting, sebab saat ini ia tidak merasa bahwa sosok yang sedang di utarakan oleh pemilik suara bukan dirinya.Wanita itu dengan tenang menghela nafas ringan ketika telah duduk di meja kerjanya, dan meraih ponsel dari dalam tas kecil.Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab selain dirinya di sana, masih ada seorang lain lagi tak jauh dari tempatnya sekarang.Ia tidak berfikir bahwa masalah orang lain akan masuk dalam nominasi perhatian, dan menyita waktu untuk di perhitungkan.Angel memang seperti itu, baginya hal-hal yang menyangkut orang lain tidak perlu di ambil pusing, terlebih jika terhubung dengan sesuatu yang memperburuk atau menjatuhkan orang lain(bergosip), dia paling anti dalam hal tersebut.Namun, jika itu mengenai dirinya sendiri apakah Angel akan menyikapi sama, biarlah waktu yang ak
waktu berlalu tak menunggu siapapun, dalam sepenggal hari terakhir terlewati dengan segudang kegiatan dan pikiran beraneka ragam milik setiap penghuni mayapada. Di gedung perkantoran APC, Angel dengan cepat merapikan meja kerjanya setelah jarum jam menunjukkan pukul 3 sore. Dengan secepat mungkin berjalan menuju lift seperti anak panah yang lepas dari busur, dan enggan berbalik sekedar untuk menoleh kebelakang.Iya...selain menghindari sesuatu kejadian yang mendadak(panggilan /tugas tambahan dari Anggara) di luar jam kerja, wanita itu juga ingin segera pulang menuju peraduan indahnya yang nyaman. Maklum, semalam Angel memang tidak tidur dengan baik demi menjaga Anggara. Meskipun, ia telah cukup beristirahat sebelum datang ke sana(di rumah sakit).Entahlah, jika hal tersebut mencakup tentang tidur tak ada perdebatan yang berarti baginya." Lebih oke.....kurang jangan!." Mungkin bahasa itu cocok untuk mendeskripsikan tentang kebiasaannya yang sedikit unik.
Perkataan Angel tidak terselesaikan, ketika dengan jelas melihat sosok yang kini menyunggingkan senyum tepat di depannya. Dan ketika manik mata cantik itu beralih menatap tangan kiri sang pria yang tengah memegang segerombol kunci, serta sedikit menggoyangkan benda tersebut."Krincing...krincing." Suara kunci yang bergoyang di tangan Handoko.Secara reflek Angel berdiri dengan cepat, akan tetapi karena sudah berjongkok cukup lumayan lama, kakinya menjadi sedikit kaku dan kesemutan sehingga tak mampu menopang tubuh itu dengan baik."Hati-hati." Seru pria yang tak lain adalah Handoko tersebut, serta dengan cepat meraih pergelangan tangan Angel dan membantunya stabil berdiri."Sudah berapa lama kau duduk di sini?." Sambung Handoko lagi, ketika melepas pergelangan tangan Angel setelah dirasanya wanita itu telah seimbang berdiri.Angel yang merasa beruntung dengan kecepatan gerak Handoko hanya bisa tersenyum canggung, terlebih ketika posisi
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan