4 Weeks ago
Seorang pria mengerjapkan matanya begitu sinar matahari masuk melalui cerah gorden, ia memegangi kepalanya yang teramat pusing. Tubuhnya membeku, ia baru menyadari dirinya tidak memakai baju sama sekali.
Pria itu mengecek keadaannya, noda darah terpampang jelas pada sprei putih. Ia mencoba mengingat -ingat apa yang sebenarnya terjadi. Kilasan demi kilasan peristiwa semalam berputar di otaknya. Dirinya datang ke hotel dan mabuk berat akibat perempuan itu. Semalam seorang pelayan datang ke kamarnya untuk memberikan wine yang ia minta dan terjadilah pergulatan panas. Edmund merutuki dirinya sendiri sambil mencoba berdiri.
Kakinya menginjak sesuatu saat hendak pergi ke kamar mandi. Edmund mengambil ponsel itu dan mengeceknya. Kini ia tahu siapa wanita yang menjadi korbannya semalam. Ia melihat ke arah pintu yang di buka tiba-tiba, Edmund terkejut begitu seorang wanita yang sangat ia hormati mendekat ke arahnya.
Parahnya Edmund sekarang tidak memakai sehelai benang pun. Sontak ia cepat-cepat mengambil selimut dan menutupi tubuh polosnya. Wanita itu memandang Edmund tidak suka, ia berjalan mendekati Edmund dan menjitak kepalanya dengan cincin emas kebanggannya.
"Aw... Mom !!" Edmund mengaduh kesakitan dan menatap wanita itu tidak suka.
"Aku mencarimu ke mana-mana anak nakal, Nicholas bilang kau tidak naik pesawat."
"Aku ada urusan lain, Mom," jawab Edmund datar dan hendak pergi kekamar mandi, namun Rose mencekal lengan puteranya.
"Kenapa kau telanjang?" Edmund terdiam kaku. Rose menarik selimut yang menutupi tubuh anaknya secara paksa, dan terjadilah perebutan selimut antara ibu dan anak hingga akhirnya Rose memelintirkan telinga Edmund yang membuat selimut itu lepas dari tubuhnya.
"Darah.. !!" tangan kanan Rose menunjuk sesuatu milik Edmund yang berdarah, sementara tangan yang satunya menutupi mulutnya tak percaya. Edmund langsung berlari kekamar mandi dengan telanjang, meninggalkan ibunya yang masih terdiam seperti orang bodoh.
Edmund mengguyur kepalanya dengan air dingin berharap kejadian semalam tidaklah benar. Namun ingatan Edmund semalam semakin teringat jelas. Bagaimana perempuan itu memohon, menangis, berteriak, bahkan ia sekarang ingat bagaimana saat mengikatnya tanpa belas kasihan.
"Apa yang aku pikirkan !" Edmund mengadahkan kepalanya mencoba menghapus ingatan yang tidak bisa ia lupakan.
Ia bingung apa yang harus dilakukannya sekarang, tidak mungkin ia melupakannya begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa. Dalam kamus hidupnya, tanggung jawab adalah hal yang utama. Sayangnya hatinya juga dipertaruhkan di sini, Edmund tidak bisa melabuhkan hatinya pada seseorang yang salah.
"Siapa wanita itu, D'allesandro ?" Edmund kaget melihat ibunya masih ada di sini, padahal dirinya mandi begitu lama.
Edmund berharap begitu keluar ibunya sudah pergi dan ia akan mengurus semuanya sendiri. Edmund berjalan melewati ibunya, ia hendak memakai baju yang sudah tersedia di lemari yang memang miliknya tanpa menjawab pertanyaan ibunya. Rose kesal tidak mendapat redpon dari Edmund, Rose mendekati anaknya dan menarik handuk yang melilit dipinggang Edmund dengan paksa.
"Mom !" teriak Edmund membuat Rose menutup telinganya dan kembali duduk disisi ranjang.
"Tidak usah berteriak," ucap Rose melemparkan bantal pada tubuh polos Edmund.
"Berhenti membuatku kesal, Mommy."
"Kau anak durhaka !" teriak Rose menunjuk punggung anaknya yang sibuk memakai baju.
"Mommy....," ucap Edmund dengan frustasi. Rose segera menetralkan napasnya dan duduk dengan anggun seperti biasa.
"Apa hubunganmu dengan Sara sudah ti-"
"Berhenti menyebut namanya, Mommy !" teriak Edmund memotong ucapan Rose.
"Baiklah-baiklah. Tapi Mommy tidak mengajarimu untuk menjadi brengsek, Edmund."
"Aku mengerti maksudmu, Mom."
"Aku pergi, ya," ucap Edmund mencium pipi kiri Rose. Ia berjalan keluar meninggalkan Rose yang mulai melepaskan sprei yang semalam Edmund tiduri.
Semua staf hotel menunduk hormat begitu Edmund lewat dihadapan mereka. Namun Edmund dapat merasakan beberapa pasang mata yang menatapnya heran, seperti menyelidik sesuatu. Edmund tahu orang-orang itu, mereka yang bekerja sebagai pengantar kebutuhan para tamu. Dan perempuan yang ia tiduri, pasti bekerja di bagian itu.
"Buenos días, Señor, (Selamat pagi, Tuan)" Nicholas membuka kan pintu mobil untuk Edmund dan menutupnya kembali saat tuannya sudah berada di dalam. Sepanjang perjalanan Edmund menatap keluar kaca mobil dengan tatapan kosong, hingga suara telepon membuyarkan pikiran Edmund saat itu juga.
"Hallo, Dad," ucap Edmund begitu ia mengangkat teleponnya.
"....."
"Baiklah Dad, aku akan melakukannya, tapi aku tidak bisa langsung pulang," lanjut Edmund.
"...."
"Agradecimiento, Dad. (Terima kasih, Ayah)"
"...."
Edmund menyimpan ponselnya di kursi sebelahnya saat ayahnya menutup telpon. Ia mengusap wajahnya kasar dan menghembuskan napas lelahnya. Bagaimana mungkin ia tidak lelah jika semalam telah berolahraga malam.
"Kita ke bandara, Nich." Nicholas mengangguk mendengar perintah tuannya.
"Dan.. bisakah kau melakukan sesuatu untukku ?" tanya Edmund dengan tubuh sedikit condong ke depan untuk mendengar jawaban dari Nicholas.
"Cualquier para usted, Señor, (Apapun untuk anda, Tuan)" jawab Nicholas membuat Edmund tersenyum senang.
"Cari informasi dari ponsel ini." Edmund menyodorkan ponsel milik perempuan yang menjadi korbannya.
"Bueñ, Señor. (Baik, Tuan)"
***
Now
Sophia berjalan terburu-buru karena keterlambatannya bekerja. Ia selalu tidur larut malam, semuanya karena memikirkan bayi yang sedang ia kandung, di dalam sana ada sebuah kehidupan yang seharusnya tidak ada. Pikiran Sophia kacau kemarin malam, ia tak bisa berpikir jernih.
Bahkan terbesit di pikirannya bagaimana jika dirinya mengugurkan kandungannya. Lagipula tidak akan ada yang tahu, Sophia tidak mungkin mengurus seorang bayi di saat seperti ini. Dirinya harus bekerja. Bayi ini hanya merepotkan saja, itu pikiran Sophia semalam.
Tapi bayi ini juga tidak salah, ia memang hadir karena sebuah kesalahan. Tapi tidak ada bayi yang tidak suci, semuanya datang dengan tujuan tersendiri. Mungkin Tuhan mengirimkan bayi ini untuk menemaninya. Sophia teringat akan ibunya, bagaimana Selyla menyayanginya dengan sepenuh hati. Bayi ini juga butuh kasih sayang lebih, apalagi ayahnya tidak ada, atau tidak akan pernah ada.
Sophia bertekad akan bekerja keras dan menghidupi anaknya. Namun ia belum sepenuhnya menerima bayi ini, tapi setidaknya pikiran untuk mengugurkan janin kecil ini sudah kandas dan hilang dari kepala Sophia.
"Bagaimana ini, aku terlambat," gumam Sophia sembari terus berjalan menuruni tangga apartemen kumuhnya.
Ia mulai berlari mengejar bus pagi yang akan mengantarkannya menuju Pet Shop. Seolah mengerti, tangan Sophia memegang perutnya saat ia berlari. Ia seakan melindungi janinnya agar tidak terguncang. Mata Sophia membulat saat bus yang biasa mengantarnya berjalan melewatinya. Sophia berusaha mengejar namun kecepatannya tidak sebanding.
Akhirnya Sophia terengah-engah kelelahan dan menghapus keringat pada dahinya. Ia bungkuk dengan tangan yang menyangga pada lutut. Matanya terus saja melihat bus yang meninggalkannua begitu saja. Sophia menegakan tubuhnya dan mengambil air dari tas yang digendongnya, ia meminumnya sampai hampir habis karena kehausan.
"Sophie ?"
Sophia berhenti meneguk air, perlahan ia menutup kembali botol itu tanpa melihat ke belakang. Ia hafal suara siapa itu, suara yang seringkali di dengarnya saat bekerja bersama di hotel terkutuk itu. Mendengar suara langkah kaki mendekat, Sophia berlari lagi dengan cepat menghindari Amel. Ia takut wanita itu akan banyak bertanya padanya, mengingatkannya pada sesuatu.
Sophia tersenyum saat Amel tidak lagi terlihat, matanya fokus melihat ke belakang sementara ia terus berlari. Ia tidak sadar berlari ke tepi jalan raya yang ramai.
TIN !
Sophia terkejut, ia berhenti berlari dan melihat mobil yang hampir saja menabraknya. Sophia melanglah mundur dengan gementar, ia ketakutan dan juga kelelahan. Sophia membungkukan badannya sebagai permintaan maaf pada seseorang di dalam mobil itu lalu kembali berjalan ke tempat penyebrangan yang tidak jauh dari sana. Mata Sophia menatap mobil hitam yang hampir menabraknya mulai menjauh.
Sementara seseorang yang ada di dalam mobil itu menatap ke belakang, tepatnya menatap seorang perempuan yang masih menunggu lampu hijau untuk menyebrang. Edmund menatap kembali ke depan. Ia mengingat perempuan itu, dialah korban dirinya.
Nicholas yang melihat perubahan wajah Edmund terdiam, tuannya yang dari tadi memperlihatkan wajah datar enggan mengatakan apapun kini memperlihatkan wajah panik, terkejut dan juga bingung. Dengan kepala Edmund yang sesekali melihat ke belakang lagi.
"Algo mal, Señor ? (Ada yang salah, Tuan ?)" tanya Nicholas melihat Edmund dari kaca.
"No, no," ucap Edmund melihat ke depan.
"Jadi, bagaimana perjalanan anda, Tuan ?"
"Melelahkan," jawab Edmund membuka kancing kemejanya. Akhir-akhir ini perusahaan yang ada di Belanda sedang kacau, terlebih lagi Edmund tidak mengurusinya.
Edmund tak memiliki waktu untuk mengurus perusahaan, dirinya terlalu sibuk mencari wanita itu. Kalau bukan karena perintah secara langsung dari ayahnya, Edmund enggan mengurusi perusahaan itu. Pikiran Edmund tidak fokus, semua perusahaan yang bermasalah ia anggap kecil yang bisa Edmund beli dengan separuh penghasilannya dalam sehari.
Untunglah seminggu ini para koruptor di negara kincir angin itu dapat diatasi dengan mudah, tak ada yang dapat melawan Edmund. Selesai dengan pekerjaannya Edmund tidak langsung pulang ke Los Angeles, ia mampir ke berbagai negara demi mencari wanita itu. Namun hasilnya nihil, tak ada tanda-tanda keberadaannya.
"¿qué pasa con la información que pido, Nich? (Bagaimana dengan informasi yang aku inginkan, Nich?)"
"Tengo que hacer, Señor. este resultado, (Saya sudah mencarinya, Tuan. Ini hasilnya)" ucap Nicholas memberikan map cokelat yang tadi disimpannya di kursi sebelahnya.
Edmund membuka berkas itu lembaran demi lembaran. Ia menghela napas dan mengusap wajahnya kasar, perempuan yang tadi hampir tertabrak adalah korbannya. Namun sesuatu membuat Edmund lebih terkejut, dari dalam map itu ada sebuah test pack dan hasil tes dokter kandungan.
"Astaga Sophia," gumam Edmund yang masih dapat didengar oleh Nicholas. Edmund membacanya secara teliti hingga ia tidak menyadari sudah sampai tujuannya.
Mobil yang Edmund tumpangi berhenti disebuah mansion yang sangat besar dan megah. Bahkan seharusnya mansion yang didominasi warna putih tulang dan emas ini disebut istana. Edmund menyimpan kertas-kertas itu dan keluar dari mobil setelah merapikan bajunya.
"Ed..." Rose berjalan memeluk puteranya begitu ia membuka pintu. Edmund mengusap punggung ibunya kemudian melepaskan pelukannya.
Rose mengiring Edmund memasuki mansion, beberapa pelayan menunduk begitu tuan muda yang sudah lama keluar dari mansion ini. Edmund membuka jasnya dan duduk sembari mengadahkan kepalanya ke atas, ia menghela napas layaknya orang kelelahan.
"Kau sudah menemuinya ?" tanya Rose penasaran.
"Belum, Mom."
"Apanya yang belum ?" Sergío memotong pembicaraan mereka berdua.
"Dad.." Edmund duduk dengan tegak ketika ayahnya juga ikut duduk dihadapannya.
"Kau sudah membereskannya ?" Edmund mengangguk.
"Jangan lalaikan tugas dan tanggung jawabmu, Ed. Apalagi sampai merugikan orang lain," ucap Sergío dengan tenang.
Edmund terdiam, ia rasa ayahnya tahu sesuatu. Bahkan sekarang Edmund enggan menatap wajah ayahnya, ia terlalu takut mengakui kebenaran tentang Sophia. Dan Sergío tahu, Edmund memiliki masalah yang harus ia selesaikan sendiri.
***
Siang hari saat selesai bekerja di pet shop, Sophia mempir ke toko buah. Sophia berniat untuk membeli buah untuk neneknya sebelum pergi ke rumah sakit. Ia berjalan dengan senyuman terpatri di wajahnya.
"Selamat siang, Sophie," ucap sopir bus sembari membukakan pintu untuk Sophia.
"Selamat siang, Tuan Welt," jawab Sophia dengan ramah dan duduk di tempat biasa ia duduk. Matanya memandang keluar jendela menikmati keindahan kota Los Angeles. Ia turun dari bus ketika sudah sampai. Tangannya membawa tas berisi buah-buahan.
Ia memasuki rumah sakit tempat neneknya dirawat. Sophia berjalan ke ruangan no.135-B. Rumah sakit ini memang luas, jadi jangan ditanya jumlah kamarnya. Sophia membuka pintu kamar dan mematung di ambang pintu, ruangan Martina kosong. Bahkan kasurnya sudah dilipat pertanda tidak ada penghuni.
Buah yang Sophia bawa jatuh dan berserakan di lantai. Sophia segera berlari menemui dr.Allarick, sejuta pertanyaan dalam benak Sophia membuat air matanya jatuh. Pikirannya tak karuan, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari secepat mungkin.
"Sophie ?" dr.Allarick kaget saat Sophia masuk keruangannya tanpa mengetuk pintu. Langkah kaki Sophia semakin cepat dan memegang baju dr.Allarick.
"Ke.... kemana nenekku ?" Sophia bertanya dengan sesegukan.
"Tenanglah Sophie..." dr.Allarick menyuruh Sophia duduk di kursi dan memberikannya air namun ia tolak.
"Nenekmu sudah dipindahkan ke ruangan VVIP di lantai atas, kau tidak mengetahuinya ?" Sophia menghentikan isak tangisnya dan menatap dr.Allarick
"VVIP ?" ulang Sophia, dr.Allarick mengangguk.
"Kukira kau sudah mengetahuinya. Nenekmu dipindahkan tadi pagi."
"Siapa yang memindahkannya ?"
"Aku juga tidak tahu. Pihak rumah sakit memindahkannya begitu saja."
Setelah mendengar penjelasan dari dr.Allarick, Sophia segera memasuki lift menuju lantai atas dengan wajah masih cemas. Sophia berjalan menuju ruangan di ujung lorong yang dijaga oleh para bodyguard. Pintu ruangan itu terbuat dari kaca hitam, lantai atas ini sangat sepi. Tidak ada orang berlalu-lalang seperti biasanya.
'Apa yang sebenarnya terjadi ?' pikiran Sophia terus mengulang pertanyaan itu.
"Permisi. Apa nenekku di dalam ?" tanya Sophia pada perempuan yang sedang duduk di meja kerjanya sambil menelepon.
"Ah... anda Nona Sophia ?" Sophia mengangguk.
Perempuan berpakaian formal itu memberi isyarat pada para bodyguard agar Sophia bisa masuk. Bodyguard itu menundukan kepalanya begitu Sophia lewat. Sementara perempuan itu masih kebingungan dengan keadaan seperti ini.
"Nenek !" Sophia berlari memeluk Martina yang sedang menyandarkan bahunya di kasur.
"Sayang, kau kenapa ?" bahu Martina terasa basah.
"Kukira nenek pergi kemana." Sophia menghapus air matanya kemudian duduk di pinggir tempat tidur Martina.
"Tidak ada tempat selain ranjang untuk nenek." Martina mengelus pipi cucunya sayang, Sophia menggelengkan kepalanya.
"Siapa yang membawa nenek kemari ?" tanya Sophia penasaran.
"Beberapa perawat."
"Nenek !!" teriak Sophia dengan bibir yang mengerucut.
"Aku tidak tahu Sophie, seorang pria memberitahu bahwa itu perintah tuannya," jelas Martina.
Sophia melihat sekeliling ruangan. Kamar yang sangat luas, bahkan terdapat bathub di kamar mandi, televisi yang besar, sofa yang luas dan pemandangan langsung ke taman belakang rumah sakit. Sophia harus mencari tahu siappa yang melakukan ini, awalnya ia berpikir Gunner yang melakukannya. Tapi tidak mungkin, Gunner menghilang beberapa hari yang lalu layaknya ditelan bumi.
Sophia hendak kembali bekerja sesudah berpamitan pada Martina. Ia kembali menanyakan siapa yang memindahkaan neneknya pada dr.Allarick, tapi jawabannya masih sama. dr.Allarick juga berkata bahwa obat baru yang diberikan oleh pihak rumah sakit membuat keadaan Martina membaik.
Sophia tidak perlu mengeluarkan uang lagi, karena rumah sakit bilang itu memang khusus untuk Martina. Bukannya merasa tenang, Sophia malah gelisah. Sebenarnya ia ingin Martina kembali ke kamarnya yang lama, tapi melihat keadaan neneknya yang membaik dan Martina menyukai kamar itu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Mungkin kali ini ia harus bersyukur pada Tuhan telah mempermudah hidupnya.
Sophia kembali ke apartemennya setelah selesai bekerja. Nanti malam Sophia berniat mencari pekerjaan baru, ia harus mulai menabung untuk kedatanga anggota keluarga baru. Kebutuhan anaknya kelak harus tercukupi, bahkan harus lebih disaat ayahnya tidak ada.
Sophia memutar kunci apartemen dan masuk. Ia melepaskan sepatunya dan menyimpannya dengan rapi di rak sepatu miliknya. Tangannya sibuk mencari saklar lampu saat ia membuka jaket yang dikenakannya.
"Sophia." Lampu apartemen menyala bersamaan dengan panggilan itu.
Sophia mematung. Suara ini, ia ingat dengan jelas suara bariton yang sangat ia benci. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, jantung Sophia berdetak dengan kencang. Ia memberanikan mencari asal suara. Seorang pria sedang berdiri sambil menyilangkan tangannya dan bersandar didinding, matanya yang tajam menatap Sophia lekat.
"Anda salah orang, Tuan." ucap Sophia dengan nada datar.
Sophia membukakan pintu apartemennya bermaksud menyuruh pria itu keluar. Edmund tersenyum kecil, lagi-lagi jawaban ini yang ia dapatkan saat berdekatan dengan Sophia.
"Tidak mungkin kau melupakan malam itu, Sophia. Aku ingat dengan jelas bagaimana kau menjerit ketakutan hingga memasrahkan dirimu sendiri," ucap Edmund dengan nada menantang.
"Brengsek ! Pergi dari sini iblis ! Kau adalah makhluk terkutuk." Sophia berteriak sambil mendekat menunjuk wajah Edmund.
Edmund memegang tangan Sophia yang sedang menunjuknya dan menariknya hingga jarak mereka cukup dekat. Sophia berusaha melepaskannya namun Edmund memegang tangan itu semakin kencang.
"Dengar Sophia, aku datang dengan baik-baik dan kau harus memperlakukanku baik pula." Edmund berkata dengan penuh tekanan.
"Kau masuk tanpa izin sialan, jadi sudah seharusnya kau diusir," ucap Sophia masih berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Edmund.
"Aku akan menikahimu." terucap begitu saja dari bibir Edmund. Sophia yang terkejut segera mendorong dada Edmund hingga mereka kini memiliki jarak, ia tersenyum mengejek menatap Edmund.
"Aku tak pernah ingin dinikahi oleh pria sepertimu, pergi sebelum aku berteriak !"
"Ini perintah. Bukan tawaran." Edmund berjalan mendekati Sophia yang mulai mundur perlahan.
"Kau tidak berhak atas diriku." Sophia menahan air matanya.
"Tapi aku berhak atas bayi ini," Sophia menegang, bagaimana pria ini bisa tahu hal yang sangat ia sembunyikan. Bahkan dari neneknya.
"Ingat itu baik-baik." Edmund mengelus sekilas perut Sophia yang masih datar sebelum ia keluar dari apartemen dan meninggalka. Sophia yang masih tidak percaya.
---
IG : @ALZENA2108
Sudah beberapa hari setelah malam itu, Sophia tidak lagi melihat pria yang memperkosanya. Dia berpikir pria itu hanya bermain kata, karena mana mungkin di zaman sekarang ada pria yang berani bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Ada sedikit ruang pada hati Sophia menginginkan pria itu benar-benar dengan ucapannya, mewujudkan ucapannya agar bayi dalam kandungannya lahir dengan status yang jelas. Sayangnya ruang itu mulai menyempit seiring berjalannya waktu. Nyatanya pria itu berbohong, dia sama sekali tidak datang. Seharusnya pria itu kembali dan meminta pengampunan Sophia atas apa yang dilakukannya.Lelah memikirkan pria yang tidak jelas itu, Sophia memilih pergi ke rumah sakit siang ini. Dr. Allarick bilang kalau dia ingin membicarakan sesuatu dengannya. Setiap kali dr.Allarick memanggilnya, hati Sophia tidak luput memanjatkan doa kepada Tuhan agar berita yang akan disampaikan D
Kesepakatan itu dibuat tanpa adanya penandatanganan di atas kertas, hanya ucapan saja. Edmund menyetujui permintaan Sophia, tetapi dia meminta Sophia untuk berhenti bekerja di mana pun dengan alasan bayi yang ada dalam kandungan. Keduanya melewati perdebatan panjang dalam mobil mengenai hal itu hingga akhirnya Sophia tidak bisa melawan, dia mengangguk pasrah setelah telinganya panas mendengar perkataan Edmund.Pandangan Sophia terpaku ke luar jendela mobil, sementara Edmund fokus menyetir. Keduanya dalam perjalanan menuju rumah orangtua Edmund. Sebenarnya ada rasa takut pada diri Sophia. Dia takut akalu kedua orangtua Edmund menolak dirinya sebagai menantu dalam keluarga D'allesandro.Beberapa jam dalam mobil mereka lewati dengan keheningan hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah mansion. Sophia tersadar dari lamun
Sophia mengejapkan mata begitu sinar matahari masuk melalui celah gorden, menelusup hingga mengenai wajahnya. Perlahan, mata Sophia terbuka, dia bingung di mana dirinya berada. Sedetik kemudian, Sophia mengingat apa yang terjadi. Dia berada di apartemen Edmund karena semalam pria itu memaksanya.Dengan tubuh yang terasa lemah, Sophia duduk di ranjang dan melihat sekeliling kamar hingga matanya berakhir di meja rias. Keningnya berkerut mengingat di mana dia tidur semalam. Mata Sophia beralih pada tempatnya duduk, ranjang yang sangat empuk menjadi tempatnya tidur. Akan tetapi, dia segera melupakan keanehan itu saat mulutnya menguap lebar.Tangan Sophia menggaruk kepala bagian belakang kemudian menoleh ke atas nakas, tepatnya pada sebuah jam. Matanya memelotot saat melihat angka pada jam. Ini adalah angka paling parah dari sekian kalinya S
"Astaga, aku lupa menanyakan kode apartemennya." Sophia mendengus kesal begitu sampai di pintu apartemen.Tangan Sophia terus menerus menekan angka yang salah, semakin lama rasa marahnya semakin bertambah. Sebelumnya Sophia sudah menekan bel berulang-ulang, tapi tidak ada jawaban dari dalam.Tiba-tiba saja seseorang memegang tangan Sophia yang sedang menekan kode kemudian tubuh seseorang itu mengurung tubuh kecil Sophia dari belakang. Tangan itu menekan kode dengan benar hingga membuat Sophia penasaran siapakah orang itu. Sophia membalikan badannya untuk mengetahui siapa orang itu dengan bahu kanan yang bersandar pada pintu. Mata Sophia langsung bertatapan dengan mata biru safir milik Edmund.Beberapa saat, Sophia terpana dengan mata Edmund, menikmatinya dengan punggung bersandar pada
Sophia menggeliat dari tidur saat sinar matahari menerpa matanya, dia merasa gerakannya terbatas. Saat membuka mata, ternyata ada tangan tengah memeluknya erat dari belakang. Sophia menguap, berniat melanjutkan kembali tidurnya. Sedetik kemudian dia membulatkan mata, menarik tangan yang melingkari pinggang kemudian membalikkan badan. Tubuh Sophia tersentak kaget saat wajah Edmund berada tepat di hadapannya dengan mata yang terpejam.Sesaat Sophia menahan napas kemudian tatapannya beralih ke bagian bawah tubuh. Matanya menangkap tubuh Edmund yang bertelanjang dada. Selimut yang seharusnya menutupi tubuh itu telah tersingkap, sementara tubuh Sophia masih terlilit selimut hangat yang tebal. Perempuan itu menelan ludah kasar saat melihat perut datar Edmund yang di penuhi otot, setelahnya wajah Sophia memperlihatkan ekspresi heran karena Edmund bertelanjang dada.
"Nyonya mengalami hipotermia ringan, untunglah Tuan mengambil tindakan benar dengan skin to skin contact. Bayi yang ada dalam kandungan Nyonya baik-baik saja. Saya sarankan Nyonya memakai air hangat jika mandi dan memakai jaket jika akan keluar ruangan." Penjelasan dari dokter membuat hati Edmund dan Sophia mendesah lega, kekhawatiran pada calon bayi mereka kini mulai mereda."Lalu bagaimana dengan kakinya?" Edmund bertanya sambil menatap kaki Sophia yang kini tidak tertutup perban."Saya sudah melakukan penanganan utama untuk lukanya, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lukanya akan infeksi." Ucapan dokter itu membuat Edmund menganggukkan kepala. "Ini resep vitamin dan salep untuk luka kaki yang harus anda beli," lanjutnya memberikan resep obat pada Edmund."Terima kasih," ucap Sophia saa
"Astaga, Edmund."Rose berjalan mendekati Edmund dan memeluknya beberapa saat. Setelah melepaskan pelukan, Rose kembali menatap anaknya penuh tanya. Ia sama sekali tidak tahu tentang kepulangan Edmund. Biasanya Nicholas memberitahunya sehari sebelum kepulangan sang anak, tetapi kali ini tidak."Kapan kau kembali, Nak?" Rose mundur beberapa langkah, menjauhkam tubuhnya."Kemarin malam, Mommy," jawab Edmund tanpa menatap seseorang yang ada di belakang Rose. Seseorang itu menatap Edmund penuh dengan kerinduan, berharap pria itu kembali menatap hangat seperti seminggu yang lalu."Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Mommy," ucap Edmund sambil membalikkan badan, tetapi tangannya ditahan oleh Rose sebelum keluar dari ruangan itu.
Bibir itu tidak bisa berhenti tersenyum. Sophia terus saja menarik bibir ke atas. Martina yang sudah biasa dengan sikap manja Sophia hanya tersenyum kecil. Kini keduanya sedang berada di ruang tengah, dekat perapian. Sophia tidur di atas paha Martina, tangan keriput wanita tua itu mengusap pelan rambut cucunya dengan lembut.Kebahagiaan yang pernah hilang kini telah kembali, Sophia bisa bermanja-manja lagi pada Martina. Tidak ada yang lebih membahagiakan mendengar neneknya telah pulih, bahkan kini tinggal di rumah sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Edmund. Rasa bahagia itu semakin bertambah saat mengetahui bahwa keluarga Edmund begitu peduli pada neneknya. Martina juga menceritakan tentang kebaikan Rose yang selalu datang menjenguknya."Maafkan Nenek, Sophie. Ini semua salah Nenek," ucap Martina, membuat Sophia terbangun dari tidur, kemudian duduk dan menghadap Martina."Berhenti mengatakan itu, Nek. Ini sudah lebih dari sepuluh kali Nenek mengatakan m
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."