Arin berada di dapur dia menatap punggung Samuel dia tersenyum saat Samuel melangkah ke arahnya. "Silahkan dinikmati, Nyonya," ucap Samuel yang menyajikan steak di depan Arin. Arin tadi memang meminta Samuel untuk membuat steak karena dia menginginkannya. Dia tidak menyangka jika suaminya langsung menuruti permintaannya itu. Samuel seperti tidak kesulitan untuk membuat steak yang Arin minta. Arin mengambil pisau untuk memotong steak itu lalu dia memakannya. Samuel menatap Arin menunggu reaksi istrinya tersebut. Arin menggoyangkan kepalanya membuat Samuel langsung tahu jika Arin menyukai makanan itu. "Kakek dimana Mas?" tanya Arin yang belum melihat batang hidung Kakek Indra. "Tidur, tadi Paman Hendrik mengatakan jika Kakek tidur setelah minum obat," jelas Samuel. "Oh ya besok aku ke cafe ya Mas," tutur Arin. "Kamu tidak lelah Sayang tiap hari keluar?" tanya Samuel yang mengkhawatirkan istrinya itu. Arin menggelengkan kepalanya, "Justru aku senang karena berada di rumah t
Arin bersama dengan Luna menuju ke hotel saat mobil berhenti Arin tak langsung turun karena dia mengenal seseorang. "Ada apa Nyonya?" tanya Luna. "Cari tahu apa yang wanita itu lakukan di hotel," ucap Arin menunjuk Bella yang keluar dari hotel bersama dengan seorang pria."Baik Nyonya," jawab Luna yang kemudian lebih dulu keluar dari mobil. Arin masih berada di dalam mobil melihat Bella yang masuk ke dalam mobil bersama pria muda itu. Setelah mobil Bella pergi dari area hotel maka Arin pun turun dari mobil. Mereka masuk ke dalam hotel menuju ke ruangan khusus, tak lupa Arin memakai masker karena dia tidak mau para karyawan melihat wajahnya. "Nyonya," panggil Luna yang menyambut Arin. Arin duduk di sofa, "Bella masuk ke hotel tadi pagi dan setelah saya telusuri ternyata dia sering keluar masuk hotel ini," jelas Luna. "Sekarang aku tahu sifat Miko menurun dari siapa," gumam Arin dalam hati yang membuat sudut bibirnya terangkat. "Apa perlu saya cari tahu lebih dalam lagi, Nyonya?" t
Samuel pulang ke rumah dia langsung menuju ke kamar, Arin terlihat memakai dress berwarna pink. Dia langsung berjalan ke arah Samuel membantu Samuel melepas jas dan dasinya. "Pulang jam berapa tadi?" tanya Samuel. "Jam satu lewat," jawab Arin. "Oh ya tadi Ola main ke sini, maaf tidak izin dulu sama Mas," sambung Arin."Tidak apa-apa Sayang, ini rumah kamu jadi kamu bebas membawa siapapun kecuali laki-laki ya," tutur Samuel yang kemudian mencium bibir Arin. "Aku mandi dulu ya gerah," tutur Samuel yang kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Arin menyiapkan pakaian untuk Samuel lalu dia meminta Sinta membawa kopi dan cemilan ke kamar. Tak butuh waktu lama Sinta pun datang membawa kopi untuk Samuel, Arin membiarkannya masuk ke dalam kamar. Sinta meletakkannya di atas meja lalu dia langsung keluar dari kamar itu. Samuel keluar dari kamar mandi hanya dengan melilitkan handuk di pinggangnya. Dia segera memakai pakaiannya lalu duduk di samping Arin. "Irawan tadi ke kantor," ucap Samuel. "Un
Arin berpikir jika Samuel telah pergi tetapi sebenarnya suaminya itu berada di ruang bawah tanah. Samuel menatap Hendrik yang terikat, teriakan terdengar seakan sangat tersiksa. Seekor kambing tengah menjilati kakinya. Terdengar lucu saat Samuel memberi hukuman jilatan kambing. Kambing bukankah hewan yang berbahaya tetapi hukuman itu akan menyebabkan penderitaan yang tak terbayangkan. Kaki Hendrik sebelumnya telah direndam dengan air asin lalu disebabkan dan diikat. Kakinya dibiarkan terbuka dan seekor kambing pun mulai menjilatinya. Awalnya mungkin nampak lucu dan menggelikan bagi Hendrik yang terikat. Tetapi lidah kambing yang kasar bertindak seperti amplas alami yang akan mengikis kulit. Rasa sakit mengubah tawa dan siksaan itu menjadi tak tertahankan. Kekejaman Samuel terlihat dari lamanya dia menyiksa Hendrik. Hewan yang sebelumnya tidak berbahaya itu ternyata jendela dalam jiwa manusia yang menunjukkan jika kekejaman bisa muncul dalam bentuk yang tidak terduga.Kurang lebih t
Arin sekarang berada di Zaanse Schans. Zaanse Schans adalah tempat terbaik untuk melihat kincir angin. "Mas naik sepeda yuk," ajak Arin. "Tidak mau, kita disini saja jangan jauh-jauh," tutur Samuel. "Aku mau berkeliling, lagipula kita sudah sampai sini," rengek Arin yang ingin berkeliling dengan sepeda. Samuel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Alec yang ikut dengan mereka berdiri tak jauh di belakang mereka. Samuel menoleh ke arah Alec membuat Alec langsung mengerti. Tak lama kemudian Alec membawa sebuah sepeda yang entah dia dapat dari mana. "Kenapa Mas?" tanya Arin yang melihat wajah Samuel nampak bingung. "Bagaimana caranya naik sepeda?" seketika tawa terdengar renyah di telinga Samuel. Alec yang berdiri tak jauh dari mereka pun mengulum tawanya mendengar pertanyaan Samuel. "Mas tidak bisa naik sepeda?""Bukan tidak bisa, tidak pernah," jawab Samuel segera. "Sini aku ajarin," ucap Arin. Dia mengambil alih sepeda itu lalu dengan mudah mengayuh sepeda itu. "Seperti ini Ma
Arin membuka matanya terlihat Samuel yang berada di sampingnya tengah menatap wajahnya. Arin dengan manja mendekat dan menyembunyikan wajahnya di dada Samuel. "Mau makan apa, Baby?" tanya Samuel. "Aku mau makanan Indonesia," jawab Arin karena sejak kemarin dia tidak menjumpai makanan Indonesia. "Mau apa?""Sate lilit.""Baiklah Sayang."Samuel meraih benda pipih yang ada di atas nakas dia menelpon Alec. Setelah memberi perintah maka Samuel mematikan teleponnya. Dia kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. "Mau mandi sekarang?" tanya Samuel. "Malas bangun, capek sekali.""Padahal Mas ingin satu ronde lagi," ucapa Samuel sontak membuatnya mendapat pukulan dari Arin. Arin memukul dada Samuel dengan kesal karena suaminya itu tidak pernah terlihat lelah. Bukannya merasa sakit tetapi Samuel justru tertawa saat menerima pukulan dari Arin. "Suruh siapa kamu menggoda hm?""Tidak ada yang menggoda ih... " kesal Arin. "Tuh menggoda lagikan sengaja memperlihatkan dadanya," tutur Samuel m
Arin menatap ponselnya dia melihat foto-foto yang dia nabil saat liburan bersama Samuel. Mereka sampai di tanah air tadi pagi, dan sekarang dia berada di kamarnya sedangkan Samuel telah kembali ke aktivitas bekerjanya. Tiga hari di Belanda membuat Arin bahagia, semua kenangan manis tercipta. Dia juga sempat menaiki Kanal bersama dengan Samuel. Semuanya nampak indah tercetak di memori Arin, Pernikahan yang berawal karena hutang ini ternyata membuatnya bahagia. Suara ketukan pintu membuat Arin menoleh. "Siapa?""Saya Fani, Nyonya.""Masuk Fan," ucap Arin. Pintu kamar di buka nampak Fani dan Sinta yang membawakan makan siang untuk Arin. "Kenapa di bawa ke kamar?""Tuan berpesan agar membawa makan siang Nyonya ke kamar, beliau takut jika Anda masih kelelahan," jelas Fani. Arin tersenyum, "Makasih," ucap Arin. "Oh ya ini untuk kalian berdua," tutur Arin memberi Sinta dan Fani paper bag. "Terimakasih banyak Nyonya," ucap keduanya bersamaan. "Ini kalian bagikan ke maid dan pekerja yang
Sampai di rumah Fani langsung menata sate ke dalam piring. Arin menunggunya di dalam kamar, dia duduk di sofa dan tidak lama Fani datang membawa sate dan cireng yang tadi mereka beli. "Makasih," ucap Arin ketika Fani masuk ke dalam kamar dan meletakkan sate itu di atas meja. "Sama-sama Nyonya, kalau begitu saya permisi untuk keluar," pamit Fani. Arin menganggukkan kepalanya, Fani pun keluar dari kamar utama. Arin langsung memotret sate dan cireng itu laku mengirimnya ke Samuel. Detik kemudian Samuel langsung menelponnya. "Halo Sayang kapan kamu beli?""Baru saja aku keluar sama Fani dan Pak Ujang.""Kenapa tidak menunggu Mas pulang.""Aku maunya sekarang.""Kan bisa telepon Mas biar Mas belikan jika kamu tidak mau maid yang beli," tutur Samuel yang terlihat khawatir. Arin memajukan bibirnya dia nampak sedih ketika Samuel memarahi dirinya. "Ya sudah tidak apa-apa, kamu makan ya. Jangan sedih lagi, Mas minta maaf."Arin menganggukkan kepalanya lalu mencoba sate yang dia beli. "Bagaima
Langit pagi itu mendung, seolah menyelimuti bumi dengan kesedihan yang tenang. Angin bertiup lembut, menyapu dedaunan yang jatuh di sepanjang jalan menuju pemakaman. Arin berdiri diam di depan dua nisan yang tertata rapi, dengan nama kedua orang tuanya terpahat di atas batu marmer putih. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya menyunggingkan senyuman kecil yang penuh makna. Di sampingnya, Samuel berdiri memegang Noah yang tertidur dalam pelukannya. Bayi mungil itu tampak tenang, seolah memahami bahwa hari ini adalah momen penting bagi mamanya. Sementara itu, Fani berdiri beberapa langkah di belakang mereka, menjaga jarak, tapi tetap waspada seperti biasanya. Arin menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Akhirnya, aku kembali ke sini, Ayah, Ibu,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bergetar, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. “Aku tahu... sudah terlalu lama aku tidak datang. Tapi sekarang, aku punya banyak hal yang ingin aku ceritakan.” Samuel
Mila masuk ke apartemen bersama dengan Rocky, Rocky langsung berlutut untuk melepaskan heels yang Mila kenakan. “Aku bisa sendiri, Mas.”“Tapi selama ada aku, kamu tidak boleh melakukannya sendiri,” ucap Rocky yang menarik hidung Mila. “Bagaimana apa kamu lelah? Atau mual?“Tidak Mas, aku baik-baik saja. Gerah sekali, aku mau mandi dulu ya.”“Jangan mandi malam-malam,” larang Rocky.Dari dulu Rocky memang perhatian tapi setelah mengetahui jika Mila hamil dia semakin perhatian.“Gerah Mas.”“Nanti sakit Sayang, sudah ayo ganti baju lalu tidur,” tutur Rocky yang langsung menggendong Mila. Mila dengan refleks mengalungkan tangannya di leher Rocky. Mila akhirnya patuh dengan perkataan Rocky yang melarangnya untuk mandi. Dia hanya mengganti pakaiannya dengan baju tidur. “Loh Mas kok mandi?” protes Mila. “Gerah.”“Curang!”Rocky mencium pipi Mila dengan gemas, “Aku khawatir kamu sakit, Sayang. Kita tidur ya.”Rocky menuntun Mila naik ke atas tempat tidur, dengan lengan Rocky sebagai bant
Malam itu begitu tenang. Samuel duduk di samping Arin yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, tetapi senyum kecil tak pernah lepas dari bibirnya. Di pelukannya, seorang bayi mungil yang baru saja lahir beberapa jam lalu. "Noah," bisik Samuel, matanya menatap lembut ke wajah anak itu. "Aku ingin menamainya Noah. Untuk menghormati Ayahmu, Arin. Dia pasti bangga." Arin tersenyum meski lelah. Air mata hangat mengalir dari sudut matanya. "Noah... Nama yang indah.”Samuel membelai rambut Arin dengan penuh kasih. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga dua orang yang paling ia cintai ini dengan segenap jiwa raganya. "Kamu tahu, aku tidak pernah seberharap ini sebelumnya," ujar Samuel, suaranya pelan tapi penuh emosi. "Melihat kamu dan Noah… rasanya seperti semua perjuangan selama ini terbayar." Arin mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang cukup panjang. Tapi melihat bayi mereka yang sehat dan Samuel yang selalu ada di sisinya, ia meras
Mentari pagi menyelinap dari celah-celah tirai jendela kamar tidur mewah milik Samuel dan Arin. Suara burung yang berkicau terdengar lembut, seolah menyambut hari baru yang penuh kebahagiaan. Arin membuka matanya perlahan. Dia menoleh, menemukan Samuel yang sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengannya. Tatapan pria itu hangat, penuh cinta. “Pagi, istriku,” sapa Samuel sambil tersenyum. Arin tersenyum kecil, matanya masih setengah mengantuk. “Pagi, suamiku. Kenapa bangun pagi-pagi sekali? Biasanya kamu kan malas-malasan dulu.” Samuel tertawa kecil, lalu membelai rambut Arin dengan lembut. “Aku cuma ingin memastikan kamu istirahat dengan cukup. Lagipula, ada sesuatu yang spesial hari ini.” Arin mengerutkan kening, bingung. “Spesial? Apa? Hari ini bukan ulang tahun kita, kan?” Samuel mengangguk pelan, wajahnya penuh rahasia. “Nanti juga kamu tahu. Yang penting sekarang, kamu siap-siap, ya. Aku mau kita habiskan hari ini dengan santai, cu
Pagi itu, Arin berdiri di depan gedung utama Venus Corporation. Bangunan megah itu terlihat kokoh, tapi di matanya, gedung itu seperti menyimpan luka lama. Perusahaan yang dulu milik kedua orang tuanya telah mengalami begitu banyak perubahan buruk di tangan Irawan. Namun sekarang, semuanya ada di tangannya. Arin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya. Ini adalah langkah besar, dan dia tidak boleh gagal.Di sampingnya, Samuel berdiri dengan tenang. Wajahnya seperti biasa, penuh ketegasan, tapi ada senyum kecil yang membuat Arin merasa lebih percaya diri.“Kamu yakin bisa handle semuanya?” tanya Samuel, memecah keheningan.Arin menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus bis. Ini perusahaan orang tuaku, Mas. Aku tidak bisa biarin apa yang mereka bangun terbuang sia-sia.”Samuel mengangguk. “Kalau kamu butuh bantuan, Mas selalu ada. Mas tahu ini berat, tapi kamu tidak sendirian.”Mendengar itu, Arin merasa lebih lega. Ada kekuatan dalam kata-kata Samuel yang membuatnya yakin la
Clara berdiri di depan cermin besar di kamar pribadinya. Gaun merah yang membalut tubuhnya terlihat sempurna, namun wajahnya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, meskipun hatinya penuh amarah. Samuel. Nama itu terus berputar di kepalanya. Dia ingat betul bagaimana pria itu menatapnya dingin beberapa hari yang lalu, menolak kehadirannya tanpa sedikit pun ragu.“Dia tidak bisa terus seperti ini,” gumam Clara pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Matanya menatap pantulan dirinya dengan tajam, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa dia masih punya kendali. ---Di ruang tamu, Irawan berdiri dengan wajah merah padam. Di depannya, Bella berdiri dengan koper besar di tangannya. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana, tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini terlihat dingin dan penuh kebencian. “Kamu mau ke mana?” suara Irawan terdengar keras, hampir seperti teriakan. Bella menatapnya dengan tenang, tapi sorot
Pagi itu, suasana kantor pusat Venus terasa berbeda. Setelah konfrontasi besar yang terjadi kemarin, berita tentang keberanian Arin menyebar seperti api. Namun, meski kemenangan awal itu membuat hatinya sedikit lega, ia tahu ancaman belum berakhir. Irawan dan Clara tidak akan tinggal diam. Arin duduk di ruangannya, memandangi secangkir teh yang sudah dingin. Matanya menatap kosong ke luar jendela besar, pikirannya melayang pada langkah selanjutnya yang harus ia ambil. Fani mengetuk pintu perlahan sebelum masuk dengan membawa beberapa dokumen.“Nyonya Arin, ini proposal yang harus Nyonya tandatangani untuk rapat siang nanti,” ujar Fani sambil meletakkan map di meja. “Dan tadi ada kabar dari Tuan Samuel. Katanya beliau sudah di jalan ke sini.”Arin tertegun, menoleh cepat ke arah Fani. “Mas Samuel... akan datang ke sini?”“Iya, Nyonya. Katanya mau mendukung Ibu langsung di hadapan para pemegang saham,” jawab Fani dengan senyum kecil. “Sepertinya beliau tidak mau cuma diam melihat Nyony
Langit pagi itu cerah, tapi hati Arin penuh badai. Di balik ketenangan wajahnya, ada amarah yang telah lama ia simpan. Hari ini, ia akan menyelesaikan semuanya, mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya—Venus, perusahaan yang dibangun oleh kedua orang tuanya dengan penuh cinta dan kerja keras. Terakhir dia memang berhasil membuat Irawan dan Clara diusir tapi dengan licik mereka memanipulasi semua lagi. Para pemegang saham lebih percaya dengan omongan mereka daripada ArinArin berdiri di depan cermin besar di kamar utama. Gaun formal berwarna hitam yang ia kenakan memancarkan aura kekuatan. Rambutnya disanggul rapi, memberi kesan elegan namun tegas. Di belakangnya, Fani berdiri dengan tangan di pinggang, seperti biasa dengan ekspresi serius.“Bu Arin, semua dokumen sudah siap. Rekaman suara dan bukti saham yang Ibu minta sudah saya simpan di tas kerja. Kalau ada yang coba macam-macam, saya juga sudah siap.” Fani.Arin tersenyum tipis. “Terima kasih, Fani.”Ruang rapat di lant
Pernikahan Mila dan Rocky berjalan dengan sangat lancar. Arin yang ikut menyaksikan pernikahan mereka pun ikut merasa senang. Pernikahan yang penuh kebahagiaan dan rasa haru itu mampu membuat Arin sedikit iri. Iri karena kedua orang tua Mila yang hadir, kasih sayang orang tua Mila membuat Arin merindukan kedua orang tuanya. Samuel yang menggandeng tangan Arin merasakan tangan itu semakin dingin. "Apa kamu baik-baik saja, Baby?" tanah Samuel yang nampak cemas. Arin menganggukan kepalanya dengan tersenyum kecil. Samuel tak bisa ia bohong dia mengerti jika Arin sedang tidak baik-baik saja. Tapi Samuel tak mau bertanya lebih karena mereka belum kembali ke rumah. Keduanya berjalan keluar dari gedung pernikahan itu, Alec membukakan pintu mobil untuk mereka. Arin dan Samuel pun segera masuk ke dalam mobil. Samuel membawa Arin agar bersandar di dadanya. Pria itu mencium puncak kepala Arin membuat Arin merasa nyaman. Diusapnya perut Arin yang sudah membesar itu. "Baik-baik ya Sayang di dal