Arin turun dari mobil dengan sangat senang hingga rasanya ingin segera berlari tetapi Samuel mengingatkannya. Dia lalu berjalan masuk ke ruang Kakek Indra, kedatangannya sudah di tunggu Kakek Indra. "Kakek," panggil Arin yang berhambur ke pelukannya. "Cucuku, bagaimana perjalanannya melelahkan ya?" "Tidak kok Kek, Kakek apa kabar?" "Kakek sangat baik apalagi setelah mengetahui bahwa kamu hamil Kakek rasanya bisa hidup seratus tahun lagi," ujar Kakek Indra membuat mereka tertawa. "Istirahat dulu di kamar, ibu hamil ini pasti lelah." "Arin tidak lelah Kakek, Arin sangat senang bisa kemari," ucap Arin yang terus menempel pada Kakek Indra. Mereka akhirnya duduk di ruang keluarga, Arin duduk di samping Kakek Indra dia bercerita banyak tentang aktivitasnya akhir-akhir ini. Sedangkan Samuel sejak tadi hanya menyimak mendengarkannya. Dia ikut tersenyum ketika sang istri tertawa bahagia. "Kakek berdoa semoga pernikahan kalian selalu membawa kebahagiaan," tutur Kakek Indra meng
Arin berada di dalam kamarnya, sekarang jam menunjukkan pukul delapan malam tetapi Samuel belum kembali. Dia juga telah mengirim pesan kepada Samuel tetapi belum dibaca. Arin tahu jika suaminya itu pasti masih sibuk. Dering telepon terdengar membuat Arin langsung meraih ponselnya yang dia letakan di atas nafas. Tertera nama Samuel disana maka Arin langsung mengangkat telepon itu. "Halo Mas.""Halo Sayang, maaf maaf baru hubungin kamu," ucap Samuel yang merasa bersalah. "Sebentar lagi Mas jalan pulang ke rumah Kakek, kamu tidur saja kalau udah ngantuk ya," jelas Samuel. Arin melihat jam dinding, "Mas pulang ke rumah saja, ini sudah malam kalau Mas kesini pasti sampainya tengah malam yang ada Mas juga kelelahan.""Tapi Mas kangen.""Kan kita bisa ketemu besok atau lusa," tutut Arin. "Tapi beneran kamu tidak apa-apa.""Tidak apa-apa, Mas urus pekerjaan Mas aja dulu.""Yaudah iya, tapi kamu sudah makan?" "Sudah tadi aku makan sama Kakek, Mas Sam pasti belum makan," tebak Arin membua
Arin tidur dalam pelukan Samuel, Samuel memang memegang ucapannya untuk tidak melakukan hal aneh ketika mereka mandi. Tetapi Samuel melakukannya setelah mereka keluar dari kamar mandi. Sebenarnya dia ingin menahannya karena takut terjadi hal buruk dengan Arin dan anak mereka. Akan tetapi Samuel tidak bisa lagi menahannya, Arin pun tidak bisa menolak pesona Samuel. Saat melakukannya Samuel memastikan itu tidak menyakiti Arin. Arin terbangun dia menatap wajah Samuel yang masih terlelap. Samuel bertelanjang dada hingga Arin bisa melihat perut sixpack nya dan dada bidang itu. Arin lalu mengecup bibir Samuel sebelum dua turun dari tempat tidur. Arin memilih segera mandi sebelum Samuel bangun. Kali ini dia mandi tidak begitu lama hanya sepuluh menit. "Kenapa tidak membangunkan Mas?" tanya Samuel ketika Arin keluar dari kamar mandi dan langsung memeluknya. "Mas semalam belum tidur jadi aku ingin Mas mendapatkan tidur yang cukup," jelas Arin. "Lalu bagaimana dengan kamu? Apa kamu baik-ba
Hari ini Arin meminta Samuel untuk mengantarnya jalan-jalan. Dia ingin menghabiskan waktu di luar bersama suaminya. Arin menatap keluar jendela dia terlihat tersenyum, Samuel hanya memperhatikan istrinya itu. Dia mengelus rambut Arin membuat Arin menoleh, keduanya turun di taman kota. Pagi itu banyak yang berjogging, udara pun terasa segar. Samuel menggenggam tangan Arin, mereka berjalan beriringan. "Kalau lelah bilang ya," ujar Samuel. "Sepertinya sudah puluhan kali Mas mengatakan itu," gumam Arin membuat Samuel terkekeh. Keduanya memutari taman itu, ada beberapa pasangan yang mengajak anak mereka pula. Arin tersenyum melihatnya membayangkan bagaimana dia dan Samuel bersama anak mereka nanti. "Mas," panggil Arin membuat Samuel menoleh ke arahnya. "Aku ingin suatu saat kita seperti itu," ucap Arin. "Iya Sayang, weekend Mas nanti untuk kalian," ujar Samuel yang kemudian mencium kening Arin. "Mas foto yuk," ajak Arin yang kemudian mengeluarkan ponselnya. Samuel langsung menuruti
Setelah makan malam Arin kembali ke kamar untuk tidur, dia sudah berganti baju tidur. "Baby," panggil Samuel membuat Arin menoleh. "Iya kenapa Mas?" tanya Arin. Samuel berjalan ke arahnya dia lalu menunjukkan macbook nya. "Coba kamu lihat lebih suka yang mana?" ucap Samuel menunjukkan beberapa gambar pesawat pribadi. "Untuk apa?""Untukmu, kamu mau yang mana?""Mas?""Jangan menolak," ucap Samuel segera dia sama sekali tidak menerima penolakan. "Ini yang memiliki jendela terbesar di perusahaannya dan terkenal sebagai pesawat untuk berlibur, level suaranya juga renda. Kalau yang ini dikenal sebagai pesawat jarak jauh yang paling maju. Kapasitas 19 penumpang, mesin kolaborasi dari Rolls-Royce. Yang satu ini terkenal dengan kabin yang besar daripada dia pesawat yang tadi," Samuel menjelaskan sedikit tentang pesawat pribadi yang akan dia beli untuk Arin. Arin nampak bingung karena dia tidak mengerti tentang apa yang Samuel jelaskan. Dia juga tidak tahu pesawat itu akan dia gunakan kem
Kakek Indra mengantar Arin hingga keluar dari rumah, hari ini Arin akan kembali. Sebenarnya Arin mengatakan kepada Samuel jika ia akan kembali besok tetapi tiba-tiba Arin ingin sekali bertemu Samuel. Padahal mereka baru berpisah sebentar. Arin memutuskan untuk segera kembali ini, "Kek pamit ya, kapan-kapan Arin main lagi kesini," pamit Arin. "Iya Arin, hati-hati ya kabari jika sudah sampai," ucap Kakek Indra. "Selalu jaga kesehatan jangan sampai kelelahan apalagi sakit, katakan pada Samuel apapun yang kamu butuhkan kalau tidak kamu bisa mengatakan kepada Kakek. Meskipun kita tidak bersama tapi Kakek bisa melakukan apapun untukmu," jelas Kakek Indra membuat Arin tersenyum. Ia memeluk Kakek Indra dengan erat seakan tidak ingin berpisah dengan Kakeknya. "Arin sayang Kakek.""Kakek juga sayang kamu," balas Kakek Indra. Arin pun segera masuk ke dalam mobil, dia pulang bersama Fani, Sinta dan Rocky. Rocky yang menyetir mobil dan di samping Arin ada Fani di sana. "Saya mengantuk," ucap A
Arin bersama duduk di sofa menemani Samuel yang tengah bekerja. Dia lalu merebahkan dirinya di sofa dengan memainkan ponselnya itu. "Sayang kalau kamu lelah masuk ke kamar saja istirahat," tutur Samuel kepada Arin. "Tidak mau aku ingin tetap bersama Mas," rengek Arin. "Sebentar lagi Mas ada rapat, apa kamu mau ikut saja?" "Memangnya boleh?""Tentu saja boleh," jawab Samuel membuat Arin tersenyum lebar. Selang beberapa menit kemudian Hendrik mengetuk pintu ruangan Samuel. Dia datang untuk mengatakan jika rapat bulanan akan segera dimulai. Samuel pun bangkit diikuti oleh Arin, dia lalu menggandeng tangan Arin. Mereka menuju ke ruangan yang ada di samping ruangan Samuel. Saat Samuel dan Arin masuk para karyawan yang ada di sana terpesona dengan Arin. Arin nampak cantik dan anggun. Samuel menarikan kursi untuk Arin duduk, lalu rapat pun dimulai. Arin ikut menyimak apa yang mereka sampaikan, ini juga pertama kalinya dia bisa melihat suaminya memimpin rapat sebagai CEO bukan dosen. S
Sejak tadi Arin terus muntah-muntah membuat Samuel panik karena kali ini lebih parah dari sebelumnya. Samuel menggendong Arin menuju ke tempat tidur dia merebahkan tubuh Arin yang lemas itu dengan hati-hati. "Sayang kamu makan dulu ya sejak tadi muntah dan kamu belum sarapan," tutur Samuel dengan lembut. "Tidak mau! Perutku mual Mas mengerti tidak sih!" tolak Arin dengan kesal. "Lalu bagaimana? Di panggilkan dokter tidak mau, makan tidak mau. Kamu mau apa Baby?" "Bisa diam tidak! Aku lelah mau istirahat.""Tapi perutmu harus diisi," ucap Samuel yang masih berusaha membujuk Arin. "Aku tidak mau, sebaiknya Mas keluar jika terus cerewet seperti itu!""Sayang.""Mas tidak mengerti apa yang aku rasakan, Mas hanya bisa menuntutku untuk makan.""Mas minta maaf," ucap Samuel mengusap kepala Arin dengan lembut. "Jangan pegang-pegang!" Arin menepis tangan Samuel. "Kalau ada yang kamu inginkan katakan pada Mas ya.""Aku bilang aku tidak mau makan!""Iya Sayang, jangan marah-marah lagi ya
Langit pagi itu mendung, seolah menyelimuti bumi dengan kesedihan yang tenang. Angin bertiup lembut, menyapu dedaunan yang jatuh di sepanjang jalan menuju pemakaman. Arin berdiri diam di depan dua nisan yang tertata rapi, dengan nama kedua orang tuanya terpahat di atas batu marmer putih. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya menyunggingkan senyuman kecil yang penuh makna. Di sampingnya, Samuel berdiri memegang Noah yang tertidur dalam pelukannya. Bayi mungil itu tampak tenang, seolah memahami bahwa hari ini adalah momen penting bagi mamanya. Sementara itu, Fani berdiri beberapa langkah di belakang mereka, menjaga jarak, tapi tetap waspada seperti biasanya. Arin menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Akhirnya, aku kembali ke sini, Ayah, Ibu,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bergetar, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. “Aku tahu... sudah terlalu lama aku tidak datang. Tapi sekarang, aku punya banyak hal yang ingin aku ceritakan.” Samuel
Mila masuk ke apartemen bersama dengan Rocky, Rocky langsung berlutut untuk melepaskan heels yang Mila kenakan. “Aku bisa sendiri, Mas.”“Tapi selama ada aku, kamu tidak boleh melakukannya sendiri,” ucap Rocky yang menarik hidung Mila. “Bagaimana apa kamu lelah? Atau mual?“Tidak Mas, aku baik-baik saja. Gerah sekali, aku mau mandi dulu ya.”“Jangan mandi malam-malam,” larang Rocky.Dari dulu Rocky memang perhatian tapi setelah mengetahui jika Mila hamil dia semakin perhatian.“Gerah Mas.”“Nanti sakit Sayang, sudah ayo ganti baju lalu tidur,” tutur Rocky yang langsung menggendong Mila. Mila dengan refleks mengalungkan tangannya di leher Rocky. Mila akhirnya patuh dengan perkataan Rocky yang melarangnya untuk mandi. Dia hanya mengganti pakaiannya dengan baju tidur. “Loh Mas kok mandi?” protes Mila. “Gerah.”“Curang!”Rocky mencium pipi Mila dengan gemas, “Aku khawatir kamu sakit, Sayang. Kita tidur ya.”Rocky menuntun Mila naik ke atas tempat tidur, dengan lengan Rocky sebagai bant
Malam itu begitu tenang. Samuel duduk di samping Arin yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, tetapi senyum kecil tak pernah lepas dari bibirnya. Di pelukannya, seorang bayi mungil yang baru saja lahir beberapa jam lalu. "Noah," bisik Samuel, matanya menatap lembut ke wajah anak itu. "Aku ingin menamainya Noah. Untuk menghormati Ayahmu, Arin. Dia pasti bangga." Arin tersenyum meski lelah. Air mata hangat mengalir dari sudut matanya. "Noah... Nama yang indah.”Samuel membelai rambut Arin dengan penuh kasih. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga dua orang yang paling ia cintai ini dengan segenap jiwa raganya. "Kamu tahu, aku tidak pernah seberharap ini sebelumnya," ujar Samuel, suaranya pelan tapi penuh emosi. "Melihat kamu dan Noah… rasanya seperti semua perjuangan selama ini terbayar." Arin mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang cukup panjang. Tapi melihat bayi mereka yang sehat dan Samuel yang selalu ada di sisinya, ia meras
Mentari pagi menyelinap dari celah-celah tirai jendela kamar tidur mewah milik Samuel dan Arin. Suara burung yang berkicau terdengar lembut, seolah menyambut hari baru yang penuh kebahagiaan. Arin membuka matanya perlahan. Dia menoleh, menemukan Samuel yang sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengannya. Tatapan pria itu hangat, penuh cinta. “Pagi, istriku,” sapa Samuel sambil tersenyum. Arin tersenyum kecil, matanya masih setengah mengantuk. “Pagi, suamiku. Kenapa bangun pagi-pagi sekali? Biasanya kamu kan malas-malasan dulu.” Samuel tertawa kecil, lalu membelai rambut Arin dengan lembut. “Aku cuma ingin memastikan kamu istirahat dengan cukup. Lagipula, ada sesuatu yang spesial hari ini.” Arin mengerutkan kening, bingung. “Spesial? Apa? Hari ini bukan ulang tahun kita, kan?” Samuel mengangguk pelan, wajahnya penuh rahasia. “Nanti juga kamu tahu. Yang penting sekarang, kamu siap-siap, ya. Aku mau kita habiskan hari ini dengan santai, cu
Pagi itu, Arin berdiri di depan gedung utama Venus Corporation. Bangunan megah itu terlihat kokoh, tapi di matanya, gedung itu seperti menyimpan luka lama. Perusahaan yang dulu milik kedua orang tuanya telah mengalami begitu banyak perubahan buruk di tangan Irawan. Namun sekarang, semuanya ada di tangannya. Arin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya. Ini adalah langkah besar, dan dia tidak boleh gagal.Di sampingnya, Samuel berdiri dengan tenang. Wajahnya seperti biasa, penuh ketegasan, tapi ada senyum kecil yang membuat Arin merasa lebih percaya diri.“Kamu yakin bisa handle semuanya?” tanya Samuel, memecah keheningan.Arin menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus bis. Ini perusahaan orang tuaku, Mas. Aku tidak bisa biarin apa yang mereka bangun terbuang sia-sia.”Samuel mengangguk. “Kalau kamu butuh bantuan, Mas selalu ada. Mas tahu ini berat, tapi kamu tidak sendirian.”Mendengar itu, Arin merasa lebih lega. Ada kekuatan dalam kata-kata Samuel yang membuatnya yakin la
Clara berdiri di depan cermin besar di kamar pribadinya. Gaun merah yang membalut tubuhnya terlihat sempurna, namun wajahnya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, meskipun hatinya penuh amarah. Samuel. Nama itu terus berputar di kepalanya. Dia ingat betul bagaimana pria itu menatapnya dingin beberapa hari yang lalu, menolak kehadirannya tanpa sedikit pun ragu.“Dia tidak bisa terus seperti ini,” gumam Clara pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Matanya menatap pantulan dirinya dengan tajam, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa dia masih punya kendali. ---Di ruang tamu, Irawan berdiri dengan wajah merah padam. Di depannya, Bella berdiri dengan koper besar di tangannya. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana, tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini terlihat dingin dan penuh kebencian. “Kamu mau ke mana?” suara Irawan terdengar keras, hampir seperti teriakan. Bella menatapnya dengan tenang, tapi sorot
Pagi itu, suasana kantor pusat Venus terasa berbeda. Setelah konfrontasi besar yang terjadi kemarin, berita tentang keberanian Arin menyebar seperti api. Namun, meski kemenangan awal itu membuat hatinya sedikit lega, ia tahu ancaman belum berakhir. Irawan dan Clara tidak akan tinggal diam. Arin duduk di ruangannya, memandangi secangkir teh yang sudah dingin. Matanya menatap kosong ke luar jendela besar, pikirannya melayang pada langkah selanjutnya yang harus ia ambil. Fani mengetuk pintu perlahan sebelum masuk dengan membawa beberapa dokumen.“Nyonya Arin, ini proposal yang harus Nyonya tandatangani untuk rapat siang nanti,” ujar Fani sambil meletakkan map di meja. “Dan tadi ada kabar dari Tuan Samuel. Katanya beliau sudah di jalan ke sini.”Arin tertegun, menoleh cepat ke arah Fani. “Mas Samuel... akan datang ke sini?”“Iya, Nyonya. Katanya mau mendukung Ibu langsung di hadapan para pemegang saham,” jawab Fani dengan senyum kecil. “Sepertinya beliau tidak mau cuma diam melihat Nyony
Langit pagi itu cerah, tapi hati Arin penuh badai. Di balik ketenangan wajahnya, ada amarah yang telah lama ia simpan. Hari ini, ia akan menyelesaikan semuanya, mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya—Venus, perusahaan yang dibangun oleh kedua orang tuanya dengan penuh cinta dan kerja keras. Terakhir dia memang berhasil membuat Irawan dan Clara diusir tapi dengan licik mereka memanipulasi semua lagi. Para pemegang saham lebih percaya dengan omongan mereka daripada ArinArin berdiri di depan cermin besar di kamar utama. Gaun formal berwarna hitam yang ia kenakan memancarkan aura kekuatan. Rambutnya disanggul rapi, memberi kesan elegan namun tegas. Di belakangnya, Fani berdiri dengan tangan di pinggang, seperti biasa dengan ekspresi serius.“Bu Arin, semua dokumen sudah siap. Rekaman suara dan bukti saham yang Ibu minta sudah saya simpan di tas kerja. Kalau ada yang coba macam-macam, saya juga sudah siap.” Fani.Arin tersenyum tipis. “Terima kasih, Fani.”Ruang rapat di lant
Pernikahan Mila dan Rocky berjalan dengan sangat lancar. Arin yang ikut menyaksikan pernikahan mereka pun ikut merasa senang. Pernikahan yang penuh kebahagiaan dan rasa haru itu mampu membuat Arin sedikit iri. Iri karena kedua orang tua Mila yang hadir, kasih sayang orang tua Mila membuat Arin merindukan kedua orang tuanya. Samuel yang menggandeng tangan Arin merasakan tangan itu semakin dingin. "Apa kamu baik-baik saja, Baby?" tanah Samuel yang nampak cemas. Arin menganggukan kepalanya dengan tersenyum kecil. Samuel tak bisa ia bohong dia mengerti jika Arin sedang tidak baik-baik saja. Tapi Samuel tak mau bertanya lebih karena mereka belum kembali ke rumah. Keduanya berjalan keluar dari gedung pernikahan itu, Alec membukakan pintu mobil untuk mereka. Arin dan Samuel pun segera masuk ke dalam mobil. Samuel membawa Arin agar bersandar di dadanya. Pria itu mencium puncak kepala Arin membuat Arin merasa nyaman. Diusapnya perut Arin yang sudah membesar itu. "Baik-baik ya Sayang di dal