Ivy tak menyangka, rumah besar yang selama ini ia kagumi ternyata adalah milik keluarga Nicolas.Ingatannya kembali ke pagi itu, Ivy berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dengan dedaunan kering dan aroma tanah basah. Desa ini mungkin terpencil, tapi keindahannya tidak bisa disangkal. Rumah-rumah dengan gaya tradisional dikelilingi taman yang penuh dengan bunga warna-warni, memberikan kesan damai yang tidak bisa ditemukan di kota besar. Ivy baru saja selesai berbelanja di pasar desa dan memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak untuk refreshing. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sambil memikirkan kehidupannya yang sederhana—sungguh berbeda jauh dari kehidupan megah yang pernah ia jalani bersama Daniel.Namun, saat ia berbelok di tikungan jalan, pandangannya tertuju pada sebuah rumah besar yang berdiri megah di ujung jalan. Rumah itu terlihat berbeda dari yang lain. Tidak seperti rumah-rumah tradisional di sekitar desa, rumah ini memiliki desain yang lebih modern.T
Ivy berdiri di depan cermin besar di dalam kamar, matanya fokus pada gaun tidur sutra tipis yang baru saja dikenakannya. Gaun itu berwarna biru gelap, meluncur dengan lembut di tubuhnya, dan menyentuh lantai dengan begitu halus, menyisakan kesan elegan. Namun, menggoda. Punggungnya terbuka sedikit, renda di bagian lehernya memberi sentuhan lembut yang semakin menonjolkan bentuk tubuhnya. Ivy berdecak, Mr. Jacob membawakan gaun tersebut sebagai pakaian ganti Ivy sementara barang-barangnya sedang dibawa kemari. Ivy merasa canggung, apalagi harus sekamar dengan Nicolas. Apa pria itu akan berpikir dia berusaha menggodanya?Ivy menggeleng kesal. Ia hanya ingin mengenakan sesuatu yang nyaman setelah hari yang panjang dan penuh kecemasan.Tepat saat Ivy melangkah menuju tempat tidur, pintu kamar terbuka dengan suara pelan. Nicolas muncul di ambang pintu, mengenakan pakaian tidur kasual, piama putih yang sedikit terbuka di bagian dada, memperlihatkan tulang selangkanya yang seksi. Nicolas b
Tanpa bertanya pun Ivy sudah tahu apa yang sedang terjadi. Wanita cantik itu memutar tubuhnya, terburu-buru ingin meninggalkan kamar mandi, tapi sayangnya keinginan untuk buang air kecil sudah di ujung tanduk. Ivy menggertakkan gigi, berbalik kembali dan menunggu. Nicolas memukul kepalanya dengan tangan, dia tak tahu harus berbuat apa. Tak sanggup bertemu pandang dengan Ivy. "Hei ... ehm, Nic. Aku butuh ke kamar kecil." Ivy tak bisa menunggu lebih lama lagi."Oh, o-ok." Nicolas buru-buru merapikan pakaiannya, bergegas keluar kamar mandi. Pria itu tak berani memandang Ivy sewaktu berpapasan.Ivy juga tak berani memandang wajahnya, dia segera masuk dan menutup pintu."Oh shit. Apa yang kulakukan?" gumam Nicolas malu, membenamkan wajahnya ke bantal. Ia ingin berteriak, melampiaskan rasa malunya.Cukup lama Ivy berada di kamar mandi. Dia tak siap keluar, jantungnya berdegup tak karuan. Apalagi kenyataan dia melihat langsung bagian bawah Nicolas yang terekspos. Well yeah! Ivy wanita norm
Pagi itu, suasana di rumah Mr. Jacob dipenuhi kegembiraan. Udara segar di desa terpencil itu seolah menyambut acara syukuran kehamilan Ivy yang diadakan di taman luas belakang rumah. Bunga-bunga yang bermekaran dan hamparan rumput hijau yang luas memberi nuansa damai, sementara tenda-tenda putih dipasang rapi di sepanjang halaman. Suara tawa dan obrolan ringan mengisi udara, sementara meja-meja penuh dengan hidangan lezat dan kue-kue manis, menambah keceriaan suasana.Ivy berdiri di dekat meja utama, mengenakan gaun indah berwarna merah muda. Senyum hangat terukir di wajahnya saat para tamu undangan datang menghampiri, memberikan ucapan selamat dan doa terbaik untuk dirinya dan calon bayinya."Selamat, Ivy. Kamu benar-benar cantik hari ini," ucap salah satu wanita tua yang mengenakan gaun hijau tua, memberikan pelukan hangat. "Anakmu pasti akan tumbuh menjadi anak yang cantik seperti ibunya."Ivy tersenyum, terharu, dan menerima semua ucapan dengan tulus. Setiap kata yang diucapkan me
Wajah Ivy mengeras. Apa semua pria sama saja, hanya menginginkan tubuhnya?Ia menggertakkan gigi, merasa kecewa dengan Nicolas. Matanya menatap pria itu tak berkedip, Nicolas bergerak gugup, menunggu cemas."Benar kan? Kau masih mencintainya."Tidak! Ivy ingin membuang jauh-jauh pemikiran itu, ia tak ingin Nicolas juga menyangka dia masih berharap pada Daniel."Iv ...." Nicolas tanpa sadar menyentuh bagian depan celananya yang sudah memgembung besar.Ivy merasa dilema, kemarahan, malu, dan juga hasrat berpadu menjadi satu. Baiklah, dia akan membuat pria ini takut padanya, jika dia tahu Ivy punya kelainan, mungkin Nicolas akan mundur secara perlahan."Ok. Kita melakukannya.""Kau yakin?" Nicolas membuncah penuh kebahagiaan."Tapi ... kita melakukannya sesuai caraku.""Caramu?" Nicolas kebingungan. Bukannya sex hanya sex, maksudnya apa?"Ya, caraku. Terserah padamu Nic, kau bisa mundur jika tak mau."Mundur?! Tidak ada kata itu dalam kamusnya, apalagi Ivy sudah bersedia. Lagi pula kepal
Gudang kosong itu terletak di pinggir kota, dikelilingi oleh pagar besi tinggi yang menambah kesan suram pada tempat tersebut. Udara malam terasa lembap, dengan lampu yang hanya menyinari bagian-bagian tertentu dari bangunan yang berdebu itu. Beberapa mobil van terparkir di sekitar area dan pria-pria bertubuh kekar mengawasi sekitar dengan tatapan tajam, siap menghadapi potensi ancaman.Daniel Forrester mengenakan jas hitam yang rapi, melangkah tenang memasuki gudang itu bersama Christian dan beberapa orang bodyguard. Mata hijaunya yang tajam menilai setiap sudut dengan cepat. Ia tahu betul bahwa transaksi yang akan terjadi malam ini bukanlah hal yang biasa, tetapi ini adalah kesempatan yang tak bisa ia lewatkan. Mr. Sean, seorang pengusaha senjata ilegal yang sudah lama dikenal, sedang menunggu di dalam untuk membicarakan urusan besar yang akan menguntungkan keduanya.Seseorang bergerak mendekat dengan langkah cepat. Mr. Sean, pria bertubuh tinggi dengan rambut abu-abu yang mulai tip
Ivy membuka matanya, merasa sesuatu yang berat menindih tubuhnya. Terkejut, wanita cantik itu mundur sampai hampir terjatuh dari tempat tidur."Ada apa?!" Nicolas terbangun oleh gerakan mendadak Ivy. Ia menggosok kelopak mata sambil menguap lebar. Pertempuran semalam menguras habis energinya. Wajah Ivy merona malu, merasakan cairan menetes di antara kakinya. Ia bergegas turun dari ranjang, hampir jatuh dan membuat Nicolas jantungan. "Hei, hati-hati, Iv."Ivy menggertakkan gigi, membanting pintu kamar mandi dengan suara memekakkan telinga. Nicolas menggaruk kepalanya, merasa bersalah. Dia tahu Ivy sedang hamil muda, tapi tetap memaksakan kehendak.Nicolas turun dari ranjang, langsung menarik lepas seprai, menggantinya dengan yang baru dan membawanya keluar kamar. "Kau bangun kesiangan, mana menantuku?" tanya Mr. Jacob yang kebetulan berpapasan dengan putranya."Sedang mandi," jawab Nicolas sekilas, dia berlalu ke ruang laundri.Mr. Jacob terkekeh. "Dasar anak muda. Hati-hati, istrim
Nicolas mendengar nama itu dengan jelas. Daniel, nama suami Ivy yang wanita itu sebut bahkan dalam tidurnya.Ekspresinya seketika berubah masam. Perasaan cemburu menguasai. Tidak! Dia tak ingin Ivy bertemu dengan Daniel. Nicolas takut Ivy akan jatuh cinta lagi dengan suaminya itu."Iv, biar aku yang mengatasinya." Nicolas berdiri di depan Ivy, menghalangi pandangan Daniel.Pria tampan bertubuh tinggi itu menyipitkan matanya melihat tingkah Nicolas, ia berdecih meremehkan, menggertakkan gigi. Tak percaya jika Ivy akan tertarik dengan pria modelan nerd seperti ini. Dia jelas jauh di atas pria itu.Sesuatu terasa mengiris hati Daniel, melihat Ivy mencengkeram punggung Nicolas. Daniel mengulurkan tangannya, hendak menarik Ivy, tapi tangannya langsung ditahan oleh Nicolas."Hei, mau apa kau? Jangan ganggu istriku!"Daniel tidak menjawab, matanya tetap terfokus tajam pada Ivy, dengan tatapan penuh obsesi yang tak bisa disembunyikan. "Ivy," katanya pelan, suaranya penuh tekanan. "Aku datang
"Tidak! Tidak! Berapa kali harus kukatakan, bukan aku pelakunya!" teriak Amy marah di ruang interogasi."Lalu kenapa Mrs. Forrester harus berangkat hari ini? Jelas tiket baru dibeli hari ini." Sang penyidik melampirkan kertas berisi informasi pembelian tiketnya. Pengacara Amy berusaha menjelaskan dengan singkat, bahwa ini sebenarnya bukan mendadak, tapi Amy lupa membeli tiket. Alibi yang sungguh buruk. Amy mengusap wajahnya lelah. Siapa yang membunuh suaminya?"Ini juga ditemukan di kamarmu." Tumpukan berkas ditaruh di meja, menampilkan aset atas nama Amy. "Nyonya, kau mengincar harta suamimu bukan?""Tidak!" Astaga, jangan katakan kalau dia sudah ditipu oleh Christian. Apa Christian yang telah membunuh Mr. Forrester? Kenapa? Bukankah hubungan mereka terlihat baik. "Oh tidak! Tidak! Kalian!" Amy berdiri tiba-tiba, menarik tangan salah satu petugas. "Cepat! Kalian harus menyelamatkan Daniel Forrester!""Tenanglah Nyonya. Kami sudah memeriksa Daniel Forrester, dia baik-baik saja. Alibi
Puri Forrester, jam 9 pagi,Sinar matahari pagi menyinari garasi mewah milik Mr. Forrester. Di dalamnya, sebuah sedan hitam mengilap terparkir rapi. Seorang pria berpakaian teknisi, salah satu anak buah Christian, masuk dengan langkah tenang. Ia membawa tas peralatan dan berpura-pura memeriksa kendaraan.Dengan cekatan, ia memasang sebuah Under Vehicle Improvised Explosive Device (UVIED) di bawah kursi pengemudi. Bom ini dilengkapi dengan tilt fuse, sebuah tabung kecil berisi merkuri yang akan mengalir dan menutup sirkuit listrik saat kendaraan bergerak, memicu detonasi."Sudah selesai." Pria itu tersenyum, mengangguk pada bodyguard yang mengira pria teknisi ini adalah orang suruhan Mr. Forrester."Beri tahu Tuanmu untuk hati-hati lain kali, biayanya bisa dua kali lipat."Bodyguard terkekeh. "Bos punya banyak uang," ucapnya sombong."Ya, tapi kalau mogok di jalan lagi, dia harus mengganti mobil baru ini dengan yang lain.""Mobil mahal memang hanya tampilannya saja yang keren, isinya b
Cinta, benci, kecewa, marah, semua berpadu dalam hormoni bernama rumah tangga. Ivy sudah merasakan semua itu. Setiap orang bisa mengatakan bahwa dia bodoh. Ya! Dia bodoh, dia sangat bodoh karena ingin kembali bersama pria yang sudah mengkhianatinya. Tak hanya sekali, tidak ... berkali-kali.Namun, satu hal juga yang Ivy pahami, dia juga sang pendosa. Apa haknya menghakimi Daniel. Dia juga berkhianat walaupun bukan inginnya. Bersama Nicolas selama beberapa waktu membuatnya merasa nyaman. Bukankah itu juga bentuk pengkhianatan? Ketika suaminya mencarinya setengah mati, dia malah menikmati hidup.Jika Ivy hanya melihat dari perspektifnya, tentu saja ego yang akan berbicara. Ya. Bagaimana dia bisa bersama pria yang sudah membuahi wanita lain. Bahkan mereka sudah memiliki anak.Akan tetapi, hidup dalam kesendirian membuat Ivy menjadi pengamat. Dia selalu menempatkan dirinya di belakang, melihat melalui kacamata orang lain. Hal terakhir yang bisa wanita baik itu lakukan adalah menghakimi o
Mobil Christian sampai di puri. Kepala pelayan yang mengenali pria itu langsung mempersilakannya untuk masuk.Amy duduk di sofa mewahnya, mengenakan gaun satin berwarna merah anggur. Di tangannya, secangkir teh hangat berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh."Masuk saja, pintunya tidak dikunci."Pintu terbuka, menampilkan Christian yang berdiri dengan ekspresi datar, tapi matanya menyimpan bara."Kau sendirian saja, mana Mr. Forrester?"Amy tersenyum tipis, menepuk sofa di sebelahnya. "Duduklah. Aku yakin kita punya banyak hal untuk dibicarakan."Christian melangkah masuk, tapi tidak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Amy dengan tajam. "Langsung saja. Aku tahu kau yang mengirim orang-orang itu ke rumah Ivy."Amy tertawa pelan, mengangkat alisnya. "Tuduhan yang serius. Apa buktimu?"Christian mendekatkan wajahnya, ia mengecup bibir Amy. "Di antara kita, apa masih perlu bukti?""Kau menganggapku seperti penjahat, Christ." Amy meletakkan cangkir
"Jika bukan kau, Amy ....""Apa yang sebenarnya terjadi?" Nicolas masih tak mengerti jelas dengan tingkah aneh Christian. Dia kira Christian merebut Ivy darinya dan diserahkan pada Daniel, tapi pria itu malah datang mencarinya dengan raut penuh kekhawatiran.Christian menatapnya sejenak. Mungkin bisa menjadikan Nicolas sebagai rekan lagi. Dia sudah cukup menoleransi sikap gila Amy, kali tak akan lagi. Christian merasa sudah melakukan bagiannya dalam menebus rasa bersalahnya."Ada darah di rumah yang ditempati Ivy, tapi aku belum pasti darah siapa?""Apa?! Oh tidak, tidak! Bagaimana dengan Dean?" Nicolas panik, tangannya mencengkeram ujung baju, sedikit gemetar."Entahlah, aku tak tahu." Christian sama sekali tak peduli dengan nasib Dean, dia hanya khawatir dengan nasib Ivy."Aku akan meminta bantuan Mr. Sean. Apa kau yakin Amy pelakunya? Siapa tahu Daniel yang sudah menculik Ivy.""Mungkin saja, tapi Daniel tak akan pernah melukai Ivy.""Kau yakin sekali. Mungkin saja dia dendam karen
Ivy membekap mulutnya tak percaya, antara lega dan takjub. Daniel berhasil menahan serangan pria itu dan malah membalikkan serangan dengan memuntir lengan si pria hingga menusuk dirinya sendiri.Temannya tak tinggal diam, ia langsung menyerang Daniel menggunakan pisau dapur."Daniel awas!" teriak Ivy histeris.Satu hal yang mereka tak tahu, Daniel bukan orang sembarangan. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya dunia hitam hingga mempelajari banyak jenis beladiri.Buk! Prak!Pria satunya lagi terkapar di lantai dengan tangan kanan patah. Keduanya mengaduh kesakitan.Daniel berjongkok, menjambak rambut pria yang ia patahkan lengannya. "Siapa yang menyuruhmu?"Pria itu membungkam mulutnya, tapi matanya jelas memperlihatkan ketakutan mencekam."Oh, jadi kau memilih mati daripada berbicara?" Dengan kasar, Daniel mengambil pisau dan menggores lengan pria itu.Si pria mengerang semakin keras. "Le-lepaskan kami! Kami hanya orang suruhan!" Keningnya sudah banjir oleh keringat."Siapa yang menyuruh
Ivy menarik napas panjang saat ia membuka pintu rumah kecilnya. Bau kayu tua dan aroma lavender dari lilin yang biasa ia nyalakan menyambutnya. Hari ini, ia siap menghadapi kebenaran. Ya! Semua tentang Christian dan Nicolas. Bagaimana mereka bisa saling mengenal, bagaimana Christian tahu Nicolas meracuninya.Ia meletakkan recorder di atas meja, menyalakan lampu ruang tamu yang remang, dan mulai berjalan ke dapur untuk mengambil air. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat mendengar suara aneh dari luar jendela—seperti langkah berat, diseret.Tok! Tok! Tok!Ketukan keras mengentak pintu depan. Ivy mendekat, jantungnya mulai berdebar tak karuan. Sebelum sempat bertanya siapa di balik pintu, suara keras menghantam kayu, pintu didobrak paksa.“Apa yang—?!”Dua pria bertubuh besar berpakaian gelap masuk dengan cepat. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka langsung merusak isi rumah. Vas hancur, lampu terlempar ke lantai, dan recorder jatuh ke lantai, ditendang ke dinding sampai hancur.Ivy m
Amy duduk anggun di ruang baca pribadi miliknya, lampu gantung kristal memantulkan cahaya temaram ke rambutnya yang ditata rapi. Di tangannya, secangkir teh melati menghangatkan jemari. Pintu diketuk pelan, lalu seorang pria bersetelan gelap masuk membawa amplop cokelat tebal.“Saya membawa kabar terbaru, Nyonya.”Amy menaruh cangkirnya ke atas meja kecil, mengambil amplop itu dengan anggun, sorot matanya tajam penuh ekspektasi. Ia membuka perlahan dan menarik beberapa lembar foto.Satu per satu, foto-foto itu ia amati. Wajahnya datar, sampai matanya menangkap gambar Christian—berdiri di depan gerbang sebuah kompleks sederhana, mengenakan pakaian kasual. Beberapa foto lain memperlihatkannya keluar dari rumah kecil yang tampak akrab bagi Amy.Tatapannya membeku saat melihat Ivy muncul di foto berikutnya. Rambut Ivy terikat rapi, wajahnya pucat, tapi tetap terlihat memesona. Ia menggendong seorang bayi dan berdiri di depan rumah itu bersama Christian.Senyum tipis mulai membentuk di bib
Daniel terbangun dengan sakit kepala kuat, ia terkejut menyadari seseorang berada di sampingnya.Wanita itu meringkuk tak berdaya, kedua pergelangan tangannya lebam, begitu juga dengan sudut bibir yang pecah dan rambut berantakan."Siapa kau?" tanyanya heran. Sama sekali tak mengingat apa yang telah dia lakukan semalam, tangan Daniel terulur hendak menyentuhnya. Wajah wanita itu tampak familier.Si wanita menangis histeris, menggeleng kuat ketakutan."Fuck!" Daniel memaki kesal. Christian membawanya ke sini dan dia lagi lagi lepas kontrol. Ah! Kebiasaan buruknya sepertinya kembali lagi."Ivy ...," lirihnya galau.Daniel meraih bajunya buru-buru, ia membuka pintu ruang VIP itu. Anak buahnya menunggu sigap."Urus semuanya!" perintah Daniel, berjalan cepat menuju pintu keluar."Baik, Bos." Salah satu anak buahnya masuk ke dalam kamar, melemparkan uang pada wanita itu dan beranjak pergi."Mana Christ?" tanya Daniel setelah masuk ke dalam mobilnya. "Tuan Christ sudah menunggu di mansion."