Kaki Hagen berlari cepat hingga memasuki sebuah pekarangan sebuah rumah. Dia bahkan mengabaikan peringatan Frank yang memintanya untuk memperlambat diri di tengah-tengah hiruk pikuk bawahan Jaxon yng tersebar di sekitar halaman. Napas Hagen terdengar memburu, dan jantungnya berdegup cepat, sebelum akhirnya kaki itu pun terhenti di sebuah ruang tamu sesaat setelah matanya mendapati pemandangan darah ada di mana-mana. Dengan jakun naik turun, hingga kesulitan menelan saliva, Hagen pun mengedarkan pandangan pada sekitar; mencari-cari wajah yang familiar. Dan saat itulah dia mendapati Rey Fredrik berada di lorong penghubung ruangan itu dengan ruangan satunya. Mata Hagen yang melirik tepat pada Rey seakan bertanya; bagaimana Camellia? Dan seketika dia pun mendapatkan balasan dengan pandangan sayu yang sama; kemarilah, dan lihat sendiri. Bersama langkahnya yang lebar, Hagen pun mendekat ke arah Rey yang saat itu menaruh kedua tangan pada masing-masing saku celana. “Katakan padaku ...
“Camellia,” panggil Hagen dengan nada suara bergetar, menunjukkan luapan emosinya yang tertahan.Satu tangan pria itu mengusap lembut pipi Camellia, sedangkan satunya lagi menggosok pelan pada permukaan tangannya yang terlepas dari ikatan di pegangan kursi.Tampak Jaxon dan dua bawahannya mencoba melepaskan sisa ikatan yang lain.Tanpa memedulikan sekitar, Hagen memeriksa setiap inci tubuh gadis itu. Namun, yang dia temui hanyalah beberap luka dan memar di sekitar ikatan, juga bekas tamparan di pipi.Melihat hal itu, mata obsidian Hagen seketika menyala. Dia melirik ke arah tubuh tak bernyawa yang berada tidak jauh dari kakinya.Jika saja Copper masih bernapas, dapat dipastikan jantung pria itu berhenti berdetak hanya karena tatapan yang Hagen lemparkan padanya.“Dia sudah tidak bernyawa, jadi berhentilah menatap tubuh kosong itu,” ucap Jaxon tepat di dekat telinga.Kedua pria itu pun saling bertatapan untuk beberapa waktu, hingga akhirnya keduanya kembali sibuk sendiri. Jaxon dengan
Blake Hagen tampak berdiri di depan kaki ranjang dengan kepala menunduk lelah, sedangkan matanya menatap pada satu tubuh feminim yang terbaring lemah tak berdaya di sana. Sudah dua hari dia melakukan hal yang sama, seolah-olah itu adalah satu-satunya yang dapat membuatnya tetap berpikir secara waras. Rasa marah dan kebencian yang selama beberapa hari ini menguasai akal sehat tampak memudar seiring waktu. Meskipun dia tidak dapat memaafkan orang-orang yang berani mengusik Camellia, tetapi setidaknya mereka sudah tertanam bersama cacing di bawah sana. Jika saja Jaxon Bradwood beserta bawahannya tidak datang tepat waktu, mungkin saja cerita hari ini akan berbeda. Dan jauh dalam dirinya, Hagen tahu, bahwa kematian Camellia bisa saja menghitung langkah. Sembari memejamkan mata dan mengangkat kepala, Hagen pun mengusap wajah dengan kedua tangan. Suara tarikan napasnya terdengar sangat berat dan penuh penekanan di dada. “Shit,” umpat Hagen pelan, sembari kedua telapak tangannya menyapu
Camellia tidak mampu berkata-kata. Dia terlihat terkejut dengan lamaran pria itu, tetapi kesadarannya mulai kembali. Terutama saat Camellia menyadari bahwa Hagen tidak sedang meminta, melainkan memberi sebuah pernyataan. Itu artinya, tidak ada pilihan. Sama halnya dengan kehamilannya saat ini.Dengan rasa marah di dada, satu tangan Camellia pun mendarat di pipi pria itu. Hingga terdengar suara keras benturan kulit bertemu kulit, yang menyebabkan suara-suara bergema dan menyebabkan keheningan setelahnya.Tanpa sedikit pun mengusap wajahnya yang memerah, Hagen pun memalingkan kepalanya kembali ke arah Camellia yang wajahnya sangat memerah dengan napas memburu.“Keluar dari kamar ini, sekarang!” jerit gadis itu.Melihat wajah Camellia yang hendak menangis keras, Hagen pun menariknya ke dalam dekapan.Tidak sekalipun dia mendengarkan permintaan gadis itu yang mengusirnya keluar dari ruangan.“Sssshh … maaf kan aku,” bisik Hagen dengan nada rendah dan suara menenangkan.Kedua tangannya mel
“A-aku ….” Beberapa kali Camellia menarik napas sembari terbata saat memberikan jawaban.Gadis itu bahkan menggigit sudut bibirnya, yang seketika saja menarik perhatian Hagen ke sana.Sadar akan apa yang baru saja dilakukannya, Camellia pun melepas gigitan tersebut, lalu, dengan susah payah dirinya kesulitan menelan saliva, hingga pada akhirnya gadis itupun memejamkan mata sembari menghembuskan napas pelan.“Baiklah … ok.”Untuk beberapa waktu, suasana di sekitar keduanya terasa mati.Bahkan, jam dinding pun tampak enggan berdetak, seolah-olah sadar akan ketegangan di dalam ruangan.Ketika Camellia hendak membuka suara kembali, tiba-tiba saja Hagen menaruh satu jemari telunjuknya di bekas bibir yang gadis itu baru saja gigit.Dan dengan gerakan lembut, Hagen mengusap permukaan sensitive yang tampak sangat sensual di manik obsidiannya yang … lapar.“Aku tahu ini sangat tiba-tiba, tetapi yakinlah Princess, aku tidak akan pernah mengabaikanmu ataupun menyakitimu,” bisik Hagen, sebelum ak
Setelah meninggalkan Camellia di kamar perawatan, Hagen pun bergegas keluar dan menemui Frank yang saat itu menunggu di luar pintu. Dengan tatapan sangat pasif, bawahannya itu terlihat menanti antisipasi perintah selanjutnya.Dan benar saja, begitu mata mereka bertabrak pandang, Hagen pun mengeluarkan kata pertamanya setelah dua hari pria itu diam di dalam ruangan Camellia.“Aku ingin pergi ke toko perhiasan,” ucap Hagen, yang seketika mendapat perhatian penuh dari tangan kanannya tersebut. “Kita membutuhkan berlian sebesar telur angsa dan benda-benda berkilau lainnya.”Jelas sekali, hal itu bukanlah apa yang Frank duga sebelumnya.Namun, dengan pembawaannya yang tenang, pria itu pun mengangguk sembari memberikan Hagen jalan.“Aye, Boss.”Baru saja keduanya menelusuri lorong rumah sakit, saat tiba-tiba Jaxon bersama beberapa anggota Red Cage lainnya datang dari arah berlawanan.Tampaknya, mereka memang sengaja menunggu di sekitar. Dan terang saja kehadiran mereka tidak disambut dengan
Hagen baru saja kembali dari salah satu toko perhiasan. Tangannya terus saja memegang sebuah kotak cincin yang berada di dalam saku celana meskipun saat itu dirinya dalam keadaan berjalan.Kaki jenjangnya teru saja membawa pria itu mendekati kamar perawatan Camellia. Namun, sebelum dia benar-benar tiba, sebuah firasat membuatnya seketika mempercepat langkah.Dan benar saja. Setelah pintu ruang perawatan itu dibuka, Camellia tidak ada di dalam sana.Dengan perasaan marah dan kesal, Hagen pun segera menghubungi seseorang yang kemungkinan bertanggung jawab akan semua ini.“Angkatlah, brengsek!” umpat Hagen, dikarenakan panggilannya ditolak berkali-kali. Dan sebanyak itu pula dia tidak menyerah.Saat panggilan yang entah ke berapa, barulah telinganya mendengar sebuah sapaan di ujung sambungan.“Aku tidak mengira kau akan terus mencoba, Hagen,” ejek Jaxon, yang dengan sangat jelas memancing amarah.Mendengar suara langkah kaki yang mendekat, kepala Hagen sedikit terangkat. Dan saat itu dia
“Ha-happy Wedding?” gumam Hagen dengan gumaman bertanya. Matanya menatap marah bercampur bingung ke arah Jaxon yang kini menepuk pundaknya pelan. “See, tidak sulit membuat hari ini menjadi lebih indah lagi,” ucap Jaxon dengan kepuasan yang kentara di wajah. Jelas sekali bahwa pria itu sangat senang akan rencananya yang sama sekali tidak melibatkan Hagen sedikit pun. Sejenak, tangan Hagen mengepal, dan dia menahannya agar tetap berada di sisi tubuh. Sementara manik obsidiannya menatap panas ke arah Jaxon yang mulai berjalan menuju pintu dan diikuti oleh yang lain. Sebelum mereka tiba di depan pintu, kepala Jaxon menoleh ke arah Hagen yang seolah hendak melubangi punggungnya dengan tatapan laser nan membara. “Kenapa berdiri saja? Masuklah,” ajak Jaxon, mengisyaratkan dengan tangannya pada pintu di hadapan mereka.Tanpa mengatakan sesuatu, kaki Hagen melangkah cukup lebar dan hanya dalam kerlingan mata, sebuah bogem mentah melesat tajam ke wajah Jaxon yang seketika menghapus senyum
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid