Blake Hagen tampak berdiri di depan kaki ranjang dengan kepala menunduk lelah, sedangkan matanya menatap pada satu tubuh feminim yang terbaring lemah tak berdaya di sana. Sudah dua hari dia melakukan hal yang sama, seolah-olah itu adalah satu-satunya yang dapat membuatnya tetap berpikir secara waras. Rasa marah dan kebencian yang selama beberapa hari ini menguasai akal sehat tampak memudar seiring waktu. Meskipun dia tidak dapat memaafkan orang-orang yang berani mengusik Camellia, tetapi setidaknya mereka sudah tertanam bersama cacing di bawah sana. Jika saja Jaxon Bradwood beserta bawahannya tidak datang tepat waktu, mungkin saja cerita hari ini akan berbeda. Dan jauh dalam dirinya, Hagen tahu, bahwa kematian Camellia bisa saja menghitung langkah. Sembari memejamkan mata dan mengangkat kepala, Hagen pun mengusap wajah dengan kedua tangan. Suara tarikan napasnya terdengar sangat berat dan penuh penekanan di dada. “Shit,” umpat Hagen pelan, sembari kedua telapak tangannya menyapu
Camellia tidak mampu berkata-kata. Dia terlihat terkejut dengan lamaran pria itu, tetapi kesadarannya mulai kembali. Terutama saat Camellia menyadari bahwa Hagen tidak sedang meminta, melainkan memberi sebuah pernyataan. Itu artinya, tidak ada pilihan. Sama halnya dengan kehamilannya saat ini.Dengan rasa marah di dada, satu tangan Camellia pun mendarat di pipi pria itu. Hingga terdengar suara keras benturan kulit bertemu kulit, yang menyebabkan suara-suara bergema dan menyebabkan keheningan setelahnya.Tanpa sedikit pun mengusap wajahnya yang memerah, Hagen pun memalingkan kepalanya kembali ke arah Camellia yang wajahnya sangat memerah dengan napas memburu.“Keluar dari kamar ini, sekarang!” jerit gadis itu.Melihat wajah Camellia yang hendak menangis keras, Hagen pun menariknya ke dalam dekapan.Tidak sekalipun dia mendengarkan permintaan gadis itu yang mengusirnya keluar dari ruangan.“Sssshh … maaf kan aku,” bisik Hagen dengan nada rendah dan suara menenangkan.Kedua tangannya mel
“A-aku ….” Beberapa kali Camellia menarik napas sembari terbata saat memberikan jawaban.Gadis itu bahkan menggigit sudut bibirnya, yang seketika saja menarik perhatian Hagen ke sana.Sadar akan apa yang baru saja dilakukannya, Camellia pun melepas gigitan tersebut, lalu, dengan susah payah dirinya kesulitan menelan saliva, hingga pada akhirnya gadis itupun memejamkan mata sembari menghembuskan napas pelan.“Baiklah … ok.”Untuk beberapa waktu, suasana di sekitar keduanya terasa mati.Bahkan, jam dinding pun tampak enggan berdetak, seolah-olah sadar akan ketegangan di dalam ruangan.Ketika Camellia hendak membuka suara kembali, tiba-tiba saja Hagen menaruh satu jemari telunjuknya di bekas bibir yang gadis itu baru saja gigit.Dan dengan gerakan lembut, Hagen mengusap permukaan sensitive yang tampak sangat sensual di manik obsidiannya yang … lapar.“Aku tahu ini sangat tiba-tiba, tetapi yakinlah Princess, aku tidak akan pernah mengabaikanmu ataupun menyakitimu,” bisik Hagen, sebelum ak
Setelah meninggalkan Camellia di kamar perawatan, Hagen pun bergegas keluar dan menemui Frank yang saat itu menunggu di luar pintu. Dengan tatapan sangat pasif, bawahannya itu terlihat menanti antisipasi perintah selanjutnya.Dan benar saja, begitu mata mereka bertabrak pandang, Hagen pun mengeluarkan kata pertamanya setelah dua hari pria itu diam di dalam ruangan Camellia.“Aku ingin pergi ke toko perhiasan,” ucap Hagen, yang seketika mendapat perhatian penuh dari tangan kanannya tersebut. “Kita membutuhkan berlian sebesar telur angsa dan benda-benda berkilau lainnya.”Jelas sekali, hal itu bukanlah apa yang Frank duga sebelumnya.Namun, dengan pembawaannya yang tenang, pria itu pun mengangguk sembari memberikan Hagen jalan.“Aye, Boss.”Baru saja keduanya menelusuri lorong rumah sakit, saat tiba-tiba Jaxon bersama beberapa anggota Red Cage lainnya datang dari arah berlawanan.Tampaknya, mereka memang sengaja menunggu di sekitar. Dan terang saja kehadiran mereka tidak disambut dengan
Hagen baru saja kembali dari salah satu toko perhiasan. Tangannya terus saja memegang sebuah kotak cincin yang berada di dalam saku celana meskipun saat itu dirinya dalam keadaan berjalan.Kaki jenjangnya teru saja membawa pria itu mendekati kamar perawatan Camellia. Namun, sebelum dia benar-benar tiba, sebuah firasat membuatnya seketika mempercepat langkah.Dan benar saja. Setelah pintu ruang perawatan itu dibuka, Camellia tidak ada di dalam sana.Dengan perasaan marah dan kesal, Hagen pun segera menghubungi seseorang yang kemungkinan bertanggung jawab akan semua ini.“Angkatlah, brengsek!” umpat Hagen, dikarenakan panggilannya ditolak berkali-kali. Dan sebanyak itu pula dia tidak menyerah.Saat panggilan yang entah ke berapa, barulah telinganya mendengar sebuah sapaan di ujung sambungan.“Aku tidak mengira kau akan terus mencoba, Hagen,” ejek Jaxon, yang dengan sangat jelas memancing amarah.Mendengar suara langkah kaki yang mendekat, kepala Hagen sedikit terangkat. Dan saat itu dia
“Ha-happy Wedding?” gumam Hagen dengan gumaman bertanya. Matanya menatap marah bercampur bingung ke arah Jaxon yang kini menepuk pundaknya pelan. “See, tidak sulit membuat hari ini menjadi lebih indah lagi,” ucap Jaxon dengan kepuasan yang kentara di wajah. Jelas sekali bahwa pria itu sangat senang akan rencananya yang sama sekali tidak melibatkan Hagen sedikit pun. Sejenak, tangan Hagen mengepal, dan dia menahannya agar tetap berada di sisi tubuh. Sementara manik obsidiannya menatap panas ke arah Jaxon yang mulai berjalan menuju pintu dan diikuti oleh yang lain. Sebelum mereka tiba di depan pintu, kepala Jaxon menoleh ke arah Hagen yang seolah hendak melubangi punggungnya dengan tatapan laser nan membara. “Kenapa berdiri saja? Masuklah,” ajak Jaxon, mengisyaratkan dengan tangannya pada pintu di hadapan mereka.Tanpa mengatakan sesuatu, kaki Hagen melangkah cukup lebar dan hanya dalam kerlingan mata, sebuah bogem mentah melesat tajam ke wajah Jaxon yang seketika menghapus senyum
Sekembalinya dari rumah sakit, Camellia ditempatkan di sebuah ruangan yang cukup besar dengan nuansa pastel. Gadis itu bahkan tertidur sangat lelap, hingga tidak menyadari sesosok tubuh yang hangat tengah berbaring di sebelah. Dia mengira sedang bermimpi, sehingga tangannya seakan-akan meraba tubuh hangat yang kini memeluknya erat. Tanpa ada infus di lengan, Camellia bergerak lebih leluasa. Dia bahkan merasa jauh lebih baik dari sejak bangun pagi tadi. Dan kini, sebuah bantal besar yang hangat tengah memeluk, hingga menularkan panas yang membuat tidurnya semakin nyaman. “Mmm,” gumam gadis itu sembari terus membenamkan wajah di antara bantalan empuk di bawah kepala. Namun, wangi maskulin yang sangat familiar seketika membuka mata Camellia. Dan benar seperti dugaannya, bantal hangat itu adalah tubuh Hagen yang juga ikut tidur di sebelah. “A-apa yang kau lakukan?” tanyanya sembari memperhatikan pintu, takut bila seseorang melihat mereka dalam posisi berbaring bersebelahan. Lagi pul
Langkah kaki Hagen terdengar sedikit menggema saat dia melintas di atas lantai keramik sebuah rumah tua. Kepalanya yang sempat menunduk pun sedikit terangkat ketika mendengar seseorang memanggil namanya dari arah pintu. “Kau baru saja tiba?” tanya Rey yang berdiri sembari menyandarkan bahu pada kusen pintu. Melihat senyum simpul pria itu, rasanya Hagen ingin melemparkan sebuah tinju ke wajah pria-pria di Red Cage. Berani-beraninya mereka mengundang pendeta dan membuatnya menikah di hari itu juga. Untungnya tidak terjadi perkelahian selama pengikraran janji suci berlangsung, tetapi melihat ekspresi Camellia yang menghunus geram ke arahnya malam itu, membuat Hagen meringis kembali. Bahkan, dengan sangat marah, Camellia menutup pintu kamar tepat di depan wajahnya, sehingga mereka tidak tidur bersama. Benar-benar bukan sebuah pernikahan impian. Dengusnya kesal, karena membuatnya harus tidur di kamar terpisah dengan istrinya tepat di malam pertama mereka. Bahkan, sampai saat ini, Ca