Malam itu, istana dihias dengan megah dan gemerlap di seluruh penjuru yang ada. Sebuah perayaan besar yang dilaksanakan di istana tentu terlihat begitu indah. Banyak jenis makanan yang tertata rapi di atas meja, juga anggur pilihan yang memiliki harga yang sangat mahal. Suara riuh memenuhi aula utama istana kekaisaran yang saat ini dipenuhi dengan para Bangsawan yang datang dari seluruh penjuru Kekaisaran. Meski pesta yang diadakan terbilang cukup mendadak, tapi persiapannya seperti telah dimulai sejak beberapa bulan lalu dan para undangan yang datang pun tidak sedikit.Terlihat jelas bahwa ini adalah sebuah perayaan skala besar yang tentu saja tidak akan bisa dilakukan oleh sembarang orang. Semua orang terlihat sibuk berbincang dengan para kenalannya, dan beberapa juga terlihat sibuk mencari relasi baru. Namun dalam pikiran mereka, tentu semua yang ada sudah menunggu sang tokoh utama yang telah membuat mereka penasaran selama beberapa hari terakhir ini. "SANG BULAN KEKAISARAN, YAN
"Kami memberi salam pada sang Matahari Agung. Semoga cahaya Anda selalu menerangi Kekaisaran ini." Semua yang hadir lantas membungkuk serentak. Memberi hormat pada sosok dengan kekuasaan tertinggi yang memerintah Hillario. Sang Kaisar yang datang ditemani para bawahan setianya kini tengah menuju ke arah Bellanca yang memandang kesal meski bibirnya mengulas senyum. Padahal tadi Bellanca sangat senang. Dia bahkan dengan sengaja tidak memedulikan Peony dan anak-anak wanita itu yang hadir dalam pesta ini untuk membuat suasana hatinya tetap terjaga. Tapi Theron tanpa tahu malu telah merusak semuanya. Theron membuat suasana hati Bellanca langsung memburuk hanya dengan melihat wajah suaminya itu. Belum lagi, Bellanca dan Arxen nantinya harus memberi salam secara langsung pada Theron sebagai orang yang menjadi penyelenggara pesta. Meski sangat enggan, mereka terpaksa harus melakukannya karena posisi Theron sebagai Kaisar. Kalau dalam situasi lain mungkin Bellanca dan Arxen bisa bersikap s
Pesta malam itu berakhir dengan baik. Semua berjalan dengan lancar, terlebih niat Bellanca untuk pamer. Terlihat dengan jelas bahwa semua Bangsawan mulai menunjukkan sikap yang lebih berhati-hati lagi di hadapan mereka.Setelah ini, pasti akan sangat banyak orang yang mengubah keberpihakan mereka. "Selamat pagi, Ibu." Pagi itu, Arxen datang menemui Bellanca di istana permaisuri setelah sebelumnya wanita itu meminta Arxen untuk menemuinya. "Oh, putraku sudah tiba." Bellanca seperti biasa menampakkan senyum cerahnya. Dia kemudian menyuruh Arxen untuk menempati sofa di sebelahnya setelah Bellanca memberi kode pada semua pelayan untuk pergi dari sana. "Duduklah, Arxen. Ada hal penting yang ingin Ibu bicarakan denganmu." Arxen mengangguk dan dengan patuh menempati tempat kosong di sebelah Bellanca. Dia melihat ibunya dengan tatapan ingin tahu, "hal penting apa yang ingin Ibu bicarakan denganku sepagi ini?" "Kau masih ingat tentang sihir yang Ibu pernah sebutkan padamu dulu?" Kening A
Atas bantuan dari kekuatan sihirnya yang diberkati langsung oleh dewa, kemampuan Arxen jadi semakin meningkat. Terbukti, hanya dalam beberapa hari Arxen jadi mampu menguasai sihir pengendali pikiran yang Bellanca ajarkan padanya. Sihir yang normalnya baru bisa dikuasai setelah melalui latihan yang panjang dan rumit itu segera bisa Arxen gunakan hanya dalam berapa hari pembelajarannya. Kemampuannya yang bertambah dratis itu sampai membuat merinding. Arxen kini bagaikan tengah berdiri di atas awan. Dia bisa mengendalikan pikiran dan tindakan orang lain dengan satu gerakan saja. Ditambah dengan kekuatan sihir yang diberikan dewa padanya, Arxen benar-benar telah menjadi sosok yang terlalu beruntung dan 'berkuasa'. "Siapkan semua dengan pelayanan terbaik. Pastikan tidak ada yang kurang."Pagi itu, istana Arxen tengah disibukkan dengan berbagai macam hal. Sang pangeran yang tidak biasa melakukan hal semacam ini, tiba-tiba turun tangan langsung untuk mengecek dan mengarahkan mereka melaku
"Aruna.""Ya?" Aruna menoleh karena namanya dipanggil. Saat ini dia masih ditarik Arxen dan mengikuti pemuda itu, dituntun untuk memasuki wilayah dari sebuah istana yang tampak megah dan ramai dengan banyaknya pelayan dan ksatria yang langsung memberi salam saat melihat mereka. Aruna berkedip beberapa kali. Dia memerhatikan wajah Arxen dari samping. Dapat melihat dan merasakan adanya perubahan dalam diri pemuda itu. Untuk alasan yang tidak Aruna ketahui, Arxen terlihat sedang menahan emosi. Pria itu seperti memendam sebuah amarah yang tidak bisa dia luapkan. Tapi tidak hanya itu saja. Aruna dapat merasakan adanya emosi lainnya, hanya saja dia tidak terlalu mengerti dengan semua itu. Arxen terlihat ragu-ragu untuk sesaat. Mulutnya terbuka, namun ucapan yang keluar cukup terlambat. "Apa ... yang kalian bicarakan?" Arxen sempat melirik ke arah Aruna. Mencoba melihat wajah gadis yang sedang menatapnya itu. Aruna terlihat kebingungan dengan pertanyaan Arxen. "Bicarakan? Dengan siapa
"Makanlah terlebih dahulu, Aruna."Aruna berkedip memandang sepiring kue yang diletakkan Bellanca di depannya. Menoleh, dia melihat Bellanca yang tersenyum sangat manis padanya kemudian mengelus sekilas puncak kepala Aruna. "Putraku telah mempersiapkan semua ini hanya untukmu." Bellanca memberi tahu tanpa ragu. "Jujur saja, aku bahkan sama sekali tidak mengambil bagian dalam persiapan ini. Aku sendiri pun cukup kaget karena hasilnya lebih baik dari yang kupikirkan. Bukankah itu hebat?" Setelah mendengar itu, Aruna langsung menoleh pada Arxen. Sebuah senyum lebar langsung terbit di wajah yang terlihat bahagia dan bersemu itu. Mata sang gadis tampak bercahaya. Dia mengangguk tanpa ragu. "Hm! Arxen sangat hebat!"Yang dipuji justru tersipu dan wajahnya langsung bersinar. Arxen terlihat senang sekali sampai Bellanca yang memerhatikan sedari tadi jadi termenung dan sempat kehilangan kata-kata, bertanya-tanya dalam hati apakah itu benar-benar putranya atau bukan. Bellanca rasanya bisa mel
Hari itu, waktu terasa berlalu dengan cepat. Matahari yang tadinya bertakhta di langit kini digantikan oleh bulan yang bersinar indah dan menunjukkan kemegahannya. Malam itu, langit gelap terlihat cerah. Bintang-bintang yang menghias angkasa seolah ikut merayakan hal baik yang terjadi hari itu. Di bawah langit malam itu, Arxen berdiri termenung di tengah taman yang letaknya dekat istana. Matanya menerawang ke depan dan tatapannya tidak terlihat fokus. Sedangkan bibirnya menampilkan senyuman tipis yang seolah menggambarkan isi hatinya saat ini.Otak Arxen memutar kembali kejadian pada siang tadi, saat Ibunya menunjukkan ketertarikan pada Aruna dan memberi persetujuan secara tersirat bagi Arxen untuk menikahi gadis itu. Tentu saja Arxen merasa senang. Meski dia sudah tahu dan memperkirakan kalau Ibunya pasti akan memberi persetujuan, tapi saat dia mengalaminya secara langsung tentu itu membuat Arxen merasakan sebuah kebahagiaan dan kelegaan. Apalagi Arxen tahu kalau sang ibu pasti aka
Warna putih dari api yang membakar istana terpantul di iris berwarna hazel terang itu. Api yang membara dan berkobar menghiasi malam yang gelap dengan kemewahannya, seolah memurnikan semua yang dilahapnya dalam panas yang membakar. Memperdengarkan dengan samar jeritan-jeritan yang memilukan. Di tempatnya berdiri, Arxen tersenyum lebar dengan mata yang fokus memandang pada satu titik. Dadanya bergemuruh akibat pemandangan yang terjadi di depannya. Sedikit merinding dengan keberhasilan telak yang diciptakannya. Mata Arxen bergulir lalu memandang seorang pria yang berdiri beberapa meter di depan sana dengan kedua tangannya yang terulur, mengeluarkan sihir untuk membakar istana milik selir kesayangan kaisar. Pria itu adalah penyihir yang tadi bersama dengan Arxen. "Kau telah melakukannya dengan sangat baik." Arxen merasa senang. Padahal baru beberapa waktu lalu dia kalut memikirkan cara untuk membalas Damon. Tapi berkat penyihir yang datang secara kebetulan dan memamerkan tentang sihir