"Makanlah terlebih dahulu, Aruna."Aruna berkedip memandang sepiring kue yang diletakkan Bellanca di depannya. Menoleh, dia melihat Bellanca yang tersenyum sangat manis padanya kemudian mengelus sekilas puncak kepala Aruna. "Putraku telah mempersiapkan semua ini hanya untukmu." Bellanca memberi tahu tanpa ragu. "Jujur saja, aku bahkan sama sekali tidak mengambil bagian dalam persiapan ini. Aku sendiri pun cukup kaget karena hasilnya lebih baik dari yang kupikirkan. Bukankah itu hebat?" Setelah mendengar itu, Aruna langsung menoleh pada Arxen. Sebuah senyum lebar langsung terbit di wajah yang terlihat bahagia dan bersemu itu. Mata sang gadis tampak bercahaya. Dia mengangguk tanpa ragu. "Hm! Arxen sangat hebat!"Yang dipuji justru tersipu dan wajahnya langsung bersinar. Arxen terlihat senang sekali sampai Bellanca yang memerhatikan sedari tadi jadi termenung dan sempat kehilangan kata-kata, bertanya-tanya dalam hati apakah itu benar-benar putranya atau bukan. Bellanca rasanya bisa mel
Hari itu, waktu terasa berlalu dengan cepat. Matahari yang tadinya bertakhta di langit kini digantikan oleh bulan yang bersinar indah dan menunjukkan kemegahannya. Malam itu, langit gelap terlihat cerah. Bintang-bintang yang menghias angkasa seolah ikut merayakan hal baik yang terjadi hari itu. Di bawah langit malam itu, Arxen berdiri termenung di tengah taman yang letaknya dekat istana. Matanya menerawang ke depan dan tatapannya tidak terlihat fokus. Sedangkan bibirnya menampilkan senyuman tipis yang seolah menggambarkan isi hatinya saat ini.Otak Arxen memutar kembali kejadian pada siang tadi, saat Ibunya menunjukkan ketertarikan pada Aruna dan memberi persetujuan secara tersirat bagi Arxen untuk menikahi gadis itu. Tentu saja Arxen merasa senang. Meski dia sudah tahu dan memperkirakan kalau Ibunya pasti akan memberi persetujuan, tapi saat dia mengalaminya secara langsung tentu itu membuat Arxen merasakan sebuah kebahagiaan dan kelegaan. Apalagi Arxen tahu kalau sang ibu pasti aka
Warna putih dari api yang membakar istana terpantul di iris berwarna hazel terang itu. Api yang membara dan berkobar menghiasi malam yang gelap dengan kemewahannya, seolah memurnikan semua yang dilahapnya dalam panas yang membakar. Memperdengarkan dengan samar jeritan-jeritan yang memilukan. Di tempatnya berdiri, Arxen tersenyum lebar dengan mata yang fokus memandang pada satu titik. Dadanya bergemuruh akibat pemandangan yang terjadi di depannya. Sedikit merinding dengan keberhasilan telak yang diciptakannya. Mata Arxen bergulir lalu memandang seorang pria yang berdiri beberapa meter di depan sana dengan kedua tangannya yang terulur, mengeluarkan sihir untuk membakar istana milik selir kesayangan kaisar. Pria itu adalah penyihir yang tadi bersama dengan Arxen. "Kau telah melakukannya dengan sangat baik." Arxen merasa senang. Padahal baru beberapa waktu lalu dia kalut memikirkan cara untuk membalas Damon. Tapi berkat penyihir yang datang secara kebetulan dan memamerkan tentang sihir
Saat fajar menyingsing, berita tentang insiden kebakaran yang membakar hangus sebagian besar anggota Keluarga Kekaisaran langsung menyebar secepat angin. Pada pagi-pagi buta, orang-orang sudah berkabung dan menangis meratapi ketidakberuntungan yang melanda Kekaisaran. Bahkan di Ibukota Kekaisaran, hampir semua rakyat yang ada berdesak-desakkan di depan gerbang istana sambil membawa bunga sebagai bentuk rasa dukacita mereka. Satu Kekaisaran diliputi duka. Mereka tidak hanya sekedar kehilangan para pangeran dan putri saja, tapi mereka nyaris kehilangan semua orang yang nantinya akan menjadi pemimpin mereka.Tidak hanya itu. Ada banyak keluarga yang terpuruk karena anggota keluarga mereka yang bekerja sebagai pelayan di istana ikut menjadi korban. Orang-orang marah dan memaki penyihir yang diketahui sebagai dalang dari pembakaran semalam. Mereka semakin murka saat diberitahu kalau niat penyihir itu adalah untuk melenyapkan semua anggota Keluarga Kekaisaran agar Kekaisaran Hillario ini
"Kau benar-benar--ck!"Bellanca lagi-lagi berdecak kesal dan meminum tehnya untuk menenangkan diri sendiri. Kepalanya terasa pening. Matanya sejak tadi menatap tajam, memelototi sang putra yang malah mengalihkan pandangan darinya. "Kau beruntung Ibumu ini masih belum terlalu tua sehingga tidak mati terkejut karena perbuatanmu!" Bellanca lagi-lagi memarahi Arxen untuk yang kesekian kalinya. Wanita itu tetap menjaga volume suaranya bahkan memasang sihir di sekitar mereka agar percakapan itu tidak sampai ke luar ruangan dan didengar oleh para pelayan dan prajurit yang menunggu di luar. "Kau beruntung Ibu selalu memihakmu dan bahkan membantu tindakan gilamu walau hal itu jadi memberi dampak besar bagi Kekaisaran ini!" Arxen meringis pelan. Mungkin ini sudah yang keseratus kalinya dia dimarahi oleh Bellanca. Sejak semalam sampai pagi ini, Bellanca terus mengomeli Arxen saat sedang tidak ada orang lain di sekitar mereka. Sebenarnya, omelan sang ibu sempat berhenti cukup lama sampai Arxen
"Hey, kau sudah dengar beritanya? Katanya Tuan Beroz ....""Ya, Tuan Grand Duke sangat marah. Nyonya juga sempat menyerang wanita itu, tapi Tuan Beroz melindunginya dan bertengkar dengan Nyonya.""Ah, apa kalian sudah melihatnya? Aku bertemu dengannya saat dia baru tiba tadi, dan kuakui wanita itu sangat cantik. Dia juga masih muda." Siang itu, kediaman Evanthe cukup berisik. Para pelayan yang bekerja di tempat yang sama pasti akan membentuk kelompok-kelompok kecil dan membahas suatu masalah yang sedang hangat sekarang. Mereka bahkan melalaikan pekerjaan mereka dan tidak memerhatikan saat Aruna lewat. Aruna sedikit penasaran, tapi dia tetap melangkahkan kakinya. Dia baru keluar dari kamar setelah menghabiskan pagi harinya di kamar, dan saat keluar tiba-tiba suasana kediaman terlihat berbeda. Orang-orang tampak membahas sesuatu yang tidak dapat Aruna pahami. Wanita? Wanita apa? Apa hubungannya itu dengan ayahnya?Aruna bertanya-tanya dalam hati. Begitu meluruskan pandang, di depan sa
Banyak hal yang berubah di kediaman Evanthe sejak kedatangan selir baru Beroz. Wanita yang usianya masih pertengahan kepala dua, memiliki paras cantik yang tentunya lebih segar dari Yeslyhn. Wanita bernama Eissha Deviella yang merupakan satu-satunya putri yang terlahir bagi Count Deviella. Memiliki penampilan menarik dengan rambut berwarna kuning lemon dan mata hijau terang. Banyak pelayan yang awalnya enggan berdekatan dengan wanita itu karena takut dengan amukan Yeslyhn. Namun mereka yang ditugaskan langsung untuk melayani wanita itu tidak bisa menghindar. Dengan terpaksa, mereka harus melayaninya dengan baik dan selalu berada di dekatnya. Terlebih, wanita itu sedang hamil. Mengandung anak Beroz yang setelah lahir nanti pasti akan menyandang nama Evanthe dan menikmati semua kemewahan dan kekuasaan yang pantas dimiliki oleh seorang Evanthe. Awalnya, para pelayan yang melayaninya memandang Eissha dengan tatapan yang buruk. Apalagi desas-desus yang beredar di kediaman adalah Eissha y
"Eissha."Suara berat seorang lelaki yang menyebut namanya membuat tubuh wanita itu menegang seketika. Tangannya berubah jadi sedingin es saat dia merasa takut. Trauma yang masih cukup membekas dalam ingatannya membuat dia rasanya ingin segera pergi dari sini untuk menghindari si pemanggil. "Eissha!" Suara Beroz meninggi saat wanita bersurai kuning lemon di depannya tidak juga membalikkan badan untuk menghadapnya. Beroz menggeram. Dia mengusir semua pelayan yang ada di sana lalu melangkahkan kaki menghampiri Eissha yang tubuhnya jadi sedikit gemetaran. Pria itu tiba-tiba menarik kuat pergelangan tangan Eissha, memaksa gadis itu untuk melihatnya. "Apa kau berniat mengabaikanku sekarang?!" Beroz terlihat marah. Memandang nyalang pada wanita itu. "Beraninya kau?!""Ti-tidak." Eissha menggeleng keras dengan wajah yang pasi. "A-aku ti-dak--""Jangan kau lupakan! Aku telah membelimu dengan harga yang sangat mahal."Beroz tiba-tiba memajukan wajah, membuat tubuh Eissha semakin gemetar. Ba