Setelah Alfian pergi tanpa berkata apa-apa lagi, sekarang di sinilah Sakina berada, duduk di sofa ruang tamu bersama Erzha. Sumpah demi apa pun, keadaan seperti ini tak pernah sedikit pun masuk dalam daftar hal yang Sakina pikirkan.
"Maaf kedatanganku ke sini pasti bikin kamu bingung. Sebelumnya aku datang ke rumah makan Tante Nita buat antar ini." Erzha membuka pembicaraan seraya menyodorkan ponsel yang sejak tadi Sakina cari-cari. Jadi benar, ternyata ketinggalan di mobil Erzha.
Sakina langsung cemas. Itu artinya Erzha bertemu lagi dengan Nita. Sakina berharap mamanya tidak menyinggung tentang sopir taksi online kepada Erzha. Ya Tuhan, andai tahu kejadiannya akan seperti ini, Sakina pasti tidak akan mengatakan bahwa Erzha adalah seorang sopir.
"Makasih ya, Mas Erzha," balas Sakina sedikit kikuk. "Ngomong-ngomong, mama tadi nggak bilang apa-apa, kan?"
"Apa-apa gimana maksudnya?" Erzha malah balik bertanya.
"Eng-enggak, kok." Sakina berusaha tersenyum. Tidak membahasnya adalah cara terbaik menuju aman.
"Tante Nita cuma kasih tahu alamat kamu aja, Sakina. Dan kebetulan aku ada urusan di daerah sini, jadi bisa sekalian antar ponselnya," jelas Erzha. "Aku juga baru sadar sore, kalau ponsel kamu ketinggalan di mobil," tambahnya.
"Sekali lagi terima kasih ya, Mas," jawab Sakina.
Sakina tidak tahu apa yang harus dikatakan selain berterima kasih. Pikirannya masih bercabang antara; bingung harus membahas apa, memikirkan apa yang Erzha bahas bersama Nita, dan yang terakhir ... apakah Erzha mendengar pembicaraan Sakina dengan Alfian barusan?
Kalau sudah seperti ini, Sakina hanya bisa berharap Erzha segera pulang. Lagi pula urusannya sekadar mengantarkan ponsel, kan? Jadi sudah bisa dianggap selesai.
"Oh ya, apa sudah dipertimbangkan?" tanya Erzha kemudian.
Sontak pertanyaan itu berhasil membuat Sakina mengernyit. Memangnya apa yang harus wanita itu pertimbangkan? Jangan bilang Erzha meminta Sakina jadi pengasuh anaknya. Sakina memang saat ini adalah pengangguran, tapi tetap saja ia tidak mau mengurusi anak Erzha. Anak dari cinta pertamanya. Gila!
"Ma-maksudnya?" Sakina menuntut penjelasan.
"Tentang menerbitkan naskah kamu, Sakina," jelas Erzha.
Ya Tuhan, Sakina kira apa. Kenapa pemikirannya bisa sejauh itu? Mana mungkin Erzha meminta Sakina menjadi pengasuh anaknya? Tentang menerbitkan naskah, Sakina memang sempat membahas ini dengan Erzha tadi, tapi ia sama sekali tidak berpikir serius tentang tawaran itu. Ditambah lagi, naskahnya belum selesai.
"Ya ampun, Mas. Naskahnya belum selesai."
"Saya tadi intip sedikit cerita kamu, ternyata part-nya sudah banyak. Ada catatan penulis juga yang menyatakan hanya tinggal beberapa part lagi ceritanya tamat."
"Mas Erzha tadi bilang nggak suka baca, kenapa tiba-tiba—"
"Ngintip bukan berarti baca, kan? Aku cuma lihat prosesnya sampai mana. Aku juga nggak baca keseluruhan, hanya buka beberapa part aja. Tapi, yang pasti ... aku rasa ceritanya menarik."
Please, Sakina. Jangan tergiur! Terlepas dari harapan Sakina sejak dulu, yakni ingin menovelkan tulisannya, tapi wanita itu harus ingat siapa Erzha. Ya, kalau ia menerima tawaran Erzha, bukankah ke depannya mereka akan lebih sering berkomunikasi? Sakina rasa, sepertinya Erzha sangat mengenal baik penerbit itu.
"Mas Erzha agen naskah atau apa? Kenapa gencar banget nawarin naskahku?"
"Ya anggap saja begitu," balas Erzha santai.
"Kalau begitu, kenapa nggak cari cerita yang udah tamat aja?"
"Tentu. Kami juga mencari yang sudah tamat, kok. Hanya saja, kebetulan banget ada penulis dan orangnya aku kenal. Kenapa nggak dicoba?" jawab Erzha. "Aku tadi juga sempat kaget saat kamu bilang iseng menulis, bisa jadi ini jalan. Setelah bertahun-tahun kita nggak pernah ketemu, ini mungkin alasan kita dipertemukan lagi," lanjutnya.
Bagi Erzha, pertemuan ini mungkin terasa biasa saja. Namun, berbeda dengan Sakina. Bagaimana mungkin ia bisa berpura-pura biasa saja dan seolah tidak pernah ada rasa pada pria itu?
Meskipun 'cinta pertama' itu dirasakan Sakina di masa lalu, tapi pertemuan mereka di masa kini kembali membuat hati Sakina bergetar, seperti benih-benih cinta yang sudah lama terpendam mulai kembali memberontak. Sakina tentu tidak ingin cintanya pada Erzha tumbuh lagi. Jangan sampai. Sakina terus menyangkalnya.
"Sakina?" Suara Erzha sukses membuat lamunan Sakina buyar. "Sepertinya kamu nggak fokus. Sebelumnya maaf, ini karena pria tadi, kan?"
Sakina terkejut, ini yang ia takutkan sejak tadi. Mungkinkah Erzha benar-benar mendengar perdebatannya dengan Alfian? Bukankah tadi pintunya tidak tertutup rapat? Jika Erzha sudah cukup lama berdiri di depan pintu, sudah pasti pria itu mendengarnya.
"Kamu jangan anggap aku orang lain, ya. Meskipun lama nggak ketemu, tetap aja nggak mengubah fakta kalau dulu kita cukup dekat," ucap Erzha lagi.
"Apa Mas Erzha mendengar pembicaraan aku sama pria tadi?" tanya Sakina hati-hati.
Alih-alih menjawab, Erzha malah tersenyum. Senyuman yang membuat Sakina terpesona dan panik dalam waktu yang bersamaan. Ya, hal yang paling tidak diinginkannya adalah ... ada orang lain mengetahui tentang hubungannya dengan Alfian.
"Sejauh apa Mas Erzha mendengarnya?" tanya Sakina lagi, kali ini seakan menuntut jawaban.
"Kamu maunya sejauh apa?" Erzha malah balik bertanya.
"Aku serius."
"Aku nggak bercanda, Sakina," balas Erzha seraya tersenyum manis.
Senyuman sialan! batin Sakina.
Selama beberapa saat hanya ada keheningan, sampai kemudian Erzha kembali bertanya, "Pria tadi itu ... pacar kamu?"
"Bukan. Enak aja!" jawab Sakina cepat.
"Kalau begitu, berarti mantan pacar?" tebak Erzha lagi.
"Bukan juga, Mas." Sungguh, bahkan sekadar menganggap pria berengsek itu sebagai mantan pacar, Sakina tidak sudi.
"Semuanya bukan, jangan bilang dia itu selingkuhan."
Mata Sakina membelalak, ekspresinya spontan berubah setiap mendengar kata 'selingkuh'. Ia malu pada diri sendiri saat mendengarnya.
Melihat itu, Erzha berdeham. "Jangan tegang begitu. Sejak kapan kamu jadi se-serius ini? Aku cuma bercanda, Sakina," kata Erzha kemudian. Sakina hanya merespons dengan senyuman terpaksa.
"Ngomong-ngomong, kamu sekarang lagi sibuk?"
"Sebenarnya iya, Mas. Aku lagi ngetik kelanjutan ceritaku." Sakina tentu bohong, sangat tidak mungkin ia mengatakan sedang mencari lowongan pekerjaan.
"Kalau begitu baguslah, semangat melanjutkan ceritanya, ya. Aku pamit, lagian udah malam."
Pamit adalah kata yang sejak tadi ingin Sakina dengar. Jika dulu ia ingin berlama-lama berdekatan dengan Erzha, sekarang keadaannya sudah berbeda.
"Sekali lagi terima kasih ya, Mas Erzha."
"Tolong pertimbangkan lagi untuk menerbitkan naskahnya ya, Kina."
Sakina hanya mengangguk. Jika ia menolak sekarang, pasti urusannya akan makin panjang. Sakina sudah tidak nyaman, ia ingin Erzha segera meninggalkan apartemennya.
"Kita bahas naskahnya lain waktu, saat kita ketemu lagi," pungkas Erzha.
Sakina berjanji akan berusaha tidak bertemu Erzha di mana pun. Wanita itu tidak ingin pesona Erzha menyihirnya seperti dulu, apalagi senyumannya. Senyuman sialan itu seakan bisa menggetarkan hati.
Sungguh, Sakina takut khilaf mencintai suami orang.
"Kamu ngapain ngajak nongkrong di sini, sih? Gebetannya kerja di sini apa gimana?" tanya Fifi yang tampak kesal."Kita cuma nggak ketemu tiga mingguan loh, kamu kok jadi berubah gini? Kamu tahu, Mas Heru kelabakan nyari tempat ini. Biasanya dia kalau bilang on the way jemput ... kurang dari setengah jam udah datang, nah sekarang mana?" tambah Fifi.Sudah satu jam ini Fifi mengeluhkan hal yang sama. Betapa tidak, ia dan Sakina biasanya menghabiskan waktu di kafe dekat tempat tinggal mereka, tapi kali ini Sakina malah mengajaknya ke kafe yang jauh. Alhasil, sepertinya suami Fifi kesulitan menemukan tempat ini. Padahal biasanya Heru tidak pernah se-terlambat ini untuk menjemputnya.Sampai saat ini, Fifi tidak pernah tahu kalau ini dilakukan Sakina demi menghindari Erzha. Ya, sudah hampir sebulan Sakina berhasil menghindari pria itu. Sakina khawatir akan bertemu Erzha di kafe biasa, sehingga memilih kafe yang jauh sehingga tidak ada kemungkinan Erzha akan muncul.Sejak pertemuan mereka di
Sakina yakin itu suara Erzha!Wanita itu tidak mungkin salah dengar. Perlahan Sakina menoleh ke arah belakang untuk memastikan dugaannya, dan ternyata benar Erzha sudah berdiri seraya tersenyum padanya. Senyuman sialan itu lagi."Ternyata benar, itu kamu. Kamu ngapain di sini?" tanya Erzha, yang kemudian mengambil posisi di kursi depan Sakina yang semula diduduki oleh Fifi.Jujur, Sakina masih syok. Ia seperti buronan yang tertangkap basah. Kenapa suami orang di hadapannya ini selalu ada di mana-mana? Apa Erzha jelmaan hantu?"Sakina? Kamu kok sepertinya kaget banget? Sebelumnya maaf, aku nggak bermaksud ngagetin."Setelah beberapa saat terdiam demi menetralkan degup jantungnya, Sakina balik bertanya, "Mas Erzha kenapa ada di sini?""Aku memang ada urusan di sini. Tadi pas mau keluar ... aku nggak sengaja lihat kamu. Awalnya sempat nggak yakin, sih, kalau itu kamu. Tapi setelah disamperin, ternyata beneran kamu. Lagi apa di sini? Sendirian aja?""Sebelumnya aku sama Fifi, cuma beberap
"Kalian belum kenalan, ya." Suara Erzha berhasil membuyarkan segala imajinasi gila Sakina."Persetan dengan kenalan! Sebenarnya apa tujuan Mas Erzha mempertemukan aku dengan istrinya?!" batin Sakina kesal."Nanti juga kenal, kok," balas wanita di samping Erzha. Wanita itu kemudian menoleh ke belakang untuk memperlihatkan senyuman manisnya pada Sakina. "Katanya, kamu penulis. Iya, kan?"Sakina hanya mengangguk. "Wah, kebetulan banget. Aku juga sering baca novel online. Jangan-jangan aku salah satu pembaca kamu," ucap wanita itu lagi, sangat antusias."Iya betul," timpal Erzha. "Meskipun udah jadi seorang istri, dia nggak pernah absen baca novel online. Bahkan, dia juga nggak mau pensiun dari pekerjaannya. Apa nggak kasihan sama suaminya?""Mas Erzha ... mulai deh. Perlu dicatat, ya. Aku jadi pembaca sekaligus pebisnis itu sebelum punya suami. Jadi sah-sah aja kalau sekarang masih bergelut di bidang yang sama. Menurutku, yang penting bisa bagi waktu dan tentunya keluargalah yang lebih u
"Itu Mas Biru," ucap Ujang pelan. "Dasar pria nakal, masih aja bawa minuman ke atas," lanjutnya yang pastinya tidak akan terdengar oleh orang yang ia bicarakan."Panjang umur juga, ya," timpal Sutaryo.Biru menoleh sejenak ke arah mereka, tapi tetap melangkah ke meja kerjanya untuk menyimpan cangkir. Sontak Sakina menjadi tahu pemilik meja super rapi itu ternyata Biru. Tak lama kemudian, Biru berjalan menghampiri empat orang itu."Kalian ngapain berdiri di sini?" tanya Biru, matanya kemudian menyadari kehadiran orang asing. Sakina. "Oh, ada tamu.""Ini penulis yang Mas Erzha bilang itu," jelas Elina.Biru kemudian mengangguk. "Suruh duduk, dong. Bikinin minum," ucapnya seraya menunjuk sofa yang ada di pojok ruangan."Sakina, kita duduk, yuk!" ajak Elina kemudian.Sakina pun mengangguk. Akhirnya ia dan Elina duduk di sofa, sedangkan Ujang, Sutaryo dan Biru kembali ke tempatnya masing-masing."Oh iya!" teriak Elina yang baru teringat perintah Erzha. "Ujang sama Tayo disuruh bantuin Mas
Sebenarnya sulit bagi Sakina untuk mengiyakan ajakan Elina. Namun, di sinilah ia berada. Diliriknya jam di tangan kirinya yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sumpah demi apa pun, Sakina tidak habis pikir akan memiliki teman baru yang tidak lain merupakan istri dari cinta pertamanya.Sakina masih berharap ini mimpi atau sekadar lelucon, tapi kenyataannya ia kini bersama Elina sekarang. Jika ini adalah sebuah FTV, mungkin judul yang tepat untuk kisah Sakina adalah Aku hendak menghabiskan hari bersama istri dari cinta pertamaku. Konyol sekali!Begitu sampai di tempat yang dituju, mereka berdua turun dari mobil Elina. Sakina langsung disambut tulisan EL ICE CREAM."Kamu yakin belum pernah ke sini?" tanya Elina."Belum, tapi aku sempat mendengar beberapa teman ngomongin tentang kedai ini, sih. Kayaknya viral banget deh. Aku nggak nyangka sekarang bisa datang ke sini sama pemiliknya," balas Sakina."Eits, ini punya suamiku," koreksi Elina.Kini Sakina merasa apa yang dikatakan Fifi memang
Erzha langsung menutup teleponnya setelah berbicara dengan Ujang via telepon. Pria itu sangat terkejut saat mendengar alasan Ujang tidak mengunggah lowongan pekerjaan di situs resmi Aluna. Bagaimana tidak, ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau Sakina akan bekerja di kantornya.Mobil Erzha meluncur cepat, dan kurang dari setengah jam sudah sampai di parkiran kantor. Ia segera naik ke lantai dua untuk mencari Ujang. Di sana, tentu saja Ujang tampak bingung dan jadi merasa bersalah sendiri, padahal ia tidak tahu apa-apa.Ujang pikir, Erzha akan senang kalau wanita yang dikenalnya bekerja di sini, apalagi wanita tersebut merupakan seorang penulis."Gimana ceritanya kamu bisa rekrut Sakina? Dia ngelamar sendiri atau bagaimana?" tanya Erzha serius.Melihat ekspresi Erzha yang seperti itu, Ujang jadi takut. Sedangkan Sutaryo terus sibuk dengan Adobe Photoshop dan berpura-pura tak mendengar. Ya, Sutaryo lebih memilih tidak ikut campur."Maaf, Mas ... awalnya saya memang mau upload, tapi
Erzha kembali ke kantornya setelah baru saja mendatangi apartemen Sakina untuk menjemput wanita itu. Di sana Erzha melihat sesuatu yang tidak terduga. Ya, dengan jelas ia melihat Sakina naik motor bersama Biru.Sungguh, Erzha benar-benar tidak menyangka. Pria itu pun memikirkan berbagai kemungkinan … kenapa Sakina bisa bersama Biru?Sebenarnya Erzha sangat berharap Sakina bisa menerbitkan naskahnya di Aluna. Namun, jika untuk bekerja, Erzha benar-benar tidak pernah berpikir sejauh itu. Entah kenapa firasatnya justru tidak begitu bagus.Awalnya, Erzha tak menyangka bisa kembali dipertemukan dengan wanita itu setelah sekian lama. Sakina dulu gadis yang ceria, tapi Erzha merasa gadis ceria itu kini menjelma menjadi wanita yang pendiam. Rasanya canggung. Padahal, dulu mereka begitu dekat. Sangat dekat.Bahkan dulu teman-temannya di SMP mengira mereka berpacaran. Kini, Erzha merasa wanita itu selalu berusaha menghindarinya. Entah apa alasan di balik itu semua.Sampai kemudian, Erzha menget
"Ini ruangan apa?" tanya Sakina pada Ujang saat mereka sudah ada di depan sebuah pintu salah satu ruangan yang ada di lantai satu."Ruang tempur," jawab Ujang seraya membuka pintunya. Ia memang diperintahkan oleh Erzha agar mengajak Sakina berkeliling dan menjelaskan yang penting-penting. Dalam kata lain, ini office tour. "Ayo masuk," sambungnya.Setelah masuk, Sakina memperhatikan sekeliling. Ada seperangkat meja kerja di sudut ruangan, banyak kertas, tumpukan plastik, lakban dan buble wrap.Sakina yakin ini ruangan packing. Sebelumnya ia pernah melihat tempat seperti ini di toko buku online milik Elina. Ya, tidak salah lagi. Ruangan ini pasti tempat untuk membungkus pesanan-pesanan novel."Ini tempat tempur alias packing-packing. Maaf berantakan, belum sempat diberesin. Lagian kalau diberesin pun nantinya bakalan berantakan lagi," kata Ujang."Sebenarnya saya yang bertanggung jawab urusan packing. Kadang kalau orderan membludak ... semuanya turun tangan. Sampai Mas Erzha pun pernah