Share

Bab 7 - Takut Khilaf

Setelah Alfian pergi tanpa berkata apa-apa lagi, sekarang di sinilah Sakina berada, duduk di sofa ruang tamu bersama Erzha. Sumpah demi apa pun, keadaan seperti ini tak pernah sedikit pun masuk dalam daftar hal yang Sakina pikirkan.

"Maaf kedatanganku ke sini pasti bikin kamu bingung. Sebelumnya aku datang ke rumah makan Tante Nita buat antar ini." Erzha membuka pembicaraan seraya menyodorkan ponsel yang sejak tadi Sakina cari-cari. Jadi benar, ternyata ketinggalan di mobil Erzha.

Sakina langsung cemas. Itu artinya Erzha bertemu lagi dengan Nita. Sakina berharap mamanya tidak menyinggung tentang sopir taksi online kepada Erzha. Ya Tuhan, andai tahu kejadiannya akan seperti ini, Sakina pasti tidak akan mengatakan bahwa Erzha adalah seorang sopir.

"Makasih ya, Mas Erzha," balas Sakina sedikit kikuk. "Ngomong-ngomong, mama tadi nggak bilang apa-apa, kan?"

"Apa-apa gimana maksudnya?" Erzha malah balik bertanya.

"Eng-enggak, kok." Sakina berusaha tersenyum. Tidak membahasnya adalah cara terbaik menuju aman.

"Tante Nita cuma kasih tahu alamat kamu aja, Sakina. Dan kebetulan aku ada urusan di daerah sini, jadi bisa sekalian antar ponselnya," jelas Erzha. "Aku juga baru sadar sore, kalau ponsel kamu ketinggalan di mobil," tambahnya.

"Sekali lagi terima kasih ya, Mas," jawab Sakina.

Sakina tidak tahu apa yang harus dikatakan selain berterima kasih. Pikirannya masih bercabang antara; bingung harus membahas apa, memikirkan apa yang Erzha bahas bersama Nita, dan yang terakhir ... apakah Erzha mendengar pembicaraan Sakina dengan Alfian barusan?

Kalau sudah seperti ini, Sakina hanya bisa berharap Erzha segera pulang. Lagi pula urusannya sekadar mengantarkan ponsel, kan? Jadi sudah bisa dianggap selesai.

"Oh ya, apa sudah dipertimbangkan?" tanya Erzha kemudian.

Sontak pertanyaan itu berhasil membuat Sakina mengernyit. Memangnya apa yang harus wanita itu pertimbangkan? Jangan bilang Erzha meminta Sakina jadi pengasuh anaknya. Sakina memang saat ini adalah pengangguran, tapi tetap saja ia tidak mau mengurusi anak Erzha. Anak dari cinta pertamanya. Gila!

"Ma-maksudnya?" Sakina menuntut penjelasan.

"Tentang menerbitkan naskah kamu, Sakina," jelas Erzha.

Ya Tuhan, Sakina kira apa. Kenapa pemikirannya bisa sejauh itu? Mana mungkin Erzha meminta Sakina menjadi pengasuh anaknya? Tentang menerbitkan naskah, Sakina memang sempat membahas ini dengan Erzha tadi, tapi ia sama sekali tidak berpikir serius tentang tawaran itu. Ditambah lagi, naskahnya belum selesai.

"Ya ampun, Mas. Naskahnya belum selesai."

"Saya tadi intip sedikit cerita kamu, ternyata part-nya sudah banyak. Ada catatan penulis juga yang menyatakan hanya tinggal beberapa part lagi ceritanya tamat."

"Mas Erzha tadi bilang nggak suka baca, kenapa tiba-tiba—"

"Ngintip bukan berarti baca, kan? Aku cuma lihat prosesnya sampai mana. Aku juga nggak baca keseluruhan, hanya buka beberapa part aja. Tapi, yang pasti ... aku rasa ceritanya menarik."

Please, Sakina. Jangan tergiur! Terlepas dari harapan Sakina sejak dulu, yakni ingin menovelkan tulisannya, tapi wanita itu harus ingat siapa Erzha. Ya, kalau ia menerima tawaran Erzha, bukankah ke depannya mereka akan lebih sering berkomunikasi? Sakina rasa, sepertinya Erzha sangat mengenal baik penerbit itu.

"Mas Erzha agen naskah atau apa? Kenapa gencar banget nawarin naskahku?"

"Ya anggap saja begitu," balas Erzha santai.

"Kalau begitu, kenapa nggak cari cerita yang udah tamat aja?"

"Tentu. Kami juga mencari yang sudah tamat, kok. Hanya saja, kebetulan banget ada penulis dan orangnya aku kenal. Kenapa nggak dicoba?" jawab Erzha. "Aku tadi juga sempat kaget saat kamu bilang iseng menulis, bisa jadi ini jalan. Setelah bertahun-tahun kita nggak pernah ketemu, ini mungkin alasan kita dipertemukan lagi," lanjutnya.

Bagi Erzha, pertemuan ini mungkin terasa biasa saja. Namun, berbeda dengan Sakina. Bagaimana mungkin ia bisa berpura-pura biasa saja dan seolah tidak pernah ada rasa pada pria itu?

Meskipun 'cinta pertama' itu dirasakan Sakina di masa lalu, tapi pertemuan mereka di masa kini kembali membuat hati Sakina bergetar, seperti benih-benih cinta yang sudah lama terpendam mulai kembali memberontak. Sakina tentu tidak ingin cintanya pada Erzha tumbuh lagi. Jangan sampai. Sakina terus menyangkalnya.

"Sakina?" Suara Erzha sukses membuat lamunan Sakina buyar. "Sepertinya kamu nggak fokus. Sebelumnya maaf, ini karena pria tadi, kan?"

Sakina terkejut, ini yang ia takutkan sejak tadi. Mungkinkah Erzha benar-benar mendengar perdebatannya dengan Alfian? Bukankah tadi pintunya tidak tertutup rapat? Jika Erzha sudah cukup lama berdiri di depan pintu, sudah pasti pria itu mendengarnya.

"Kamu jangan anggap aku orang lain, ya. Meskipun lama nggak ketemu, tetap aja nggak mengubah fakta kalau dulu kita cukup dekat," ucap Erzha lagi.

"Apa Mas Erzha mendengar pembicaraan aku sama pria tadi?" tanya Sakina hati-hati.

Alih-alih menjawab, Erzha malah tersenyum. Senyuman yang membuat Sakina terpesona dan panik dalam waktu yang bersamaan. Ya, hal yang paling tidak diinginkannya adalah ... ada orang lain mengetahui tentang hubungannya dengan Alfian.

"Sejauh apa Mas Erzha mendengarnya?" tanya Sakina lagi, kali ini seakan menuntut jawaban.

"Kamu maunya sejauh apa?" Erzha malah balik bertanya.

"Aku serius."

"Aku nggak bercanda, Sakina," balas Erzha seraya tersenyum manis.

Senyuman sialan! batin Sakina.

Selama beberapa saat hanya ada keheningan, sampai kemudian Erzha kembali bertanya, "Pria tadi itu ... pacar kamu?"

"Bukan. Enak aja!" jawab Sakina cepat.

"Kalau begitu, berarti mantan pacar?" tebak Erzha lagi.

"Bukan juga, Mas." Sungguh, bahkan sekadar menganggap pria berengsek itu sebagai mantan pacar, Sakina tidak sudi.

"Semuanya bukan, jangan bilang dia itu selingkuhan."

Mata Sakina membelalak, ekspresinya spontan berubah setiap mendengar kata 'selingkuh'. Ia malu pada diri sendiri saat mendengarnya.

Melihat itu, Erzha berdeham. "Jangan tegang begitu. Sejak kapan kamu jadi se-serius ini? Aku cuma bercanda, Sakina," kata Erzha kemudian. Sakina hanya merespons dengan senyuman terpaksa.

"Ngomong-ngomong, kamu sekarang lagi sibuk?"

"Sebenarnya iya, Mas. Aku lagi ngetik kelanjutan ceritaku." Sakina tentu bohong, sangat tidak mungkin ia mengatakan sedang mencari lowongan pekerjaan.

"Kalau begitu baguslah, semangat melanjutkan ceritanya, ya. Aku pamit, lagian udah malam."

Pamit adalah kata yang sejak tadi ingin Sakina dengar. Jika dulu ia ingin berlama-lama berdekatan dengan Erzha, sekarang keadaannya sudah berbeda.

"Sekali lagi terima kasih ya, Mas Erzha."

"Tolong pertimbangkan lagi untuk menerbitkan naskahnya ya, Kina."

Sakina hanya mengangguk. Jika ia menolak sekarang, pasti urusannya akan makin panjang. Sakina sudah tidak nyaman, ia ingin Erzha segera meninggalkan apartemennya.

"Kita bahas naskahnya lain waktu, saat kita ketemu lagi," pungkas Erzha.

Sakina berjanji akan berusaha tidak bertemu Erzha di mana pun. Wanita itu tidak ingin pesona Erzha menyihirnya seperti dulu, apalagi senyumannya. Senyuman sialan itu seakan bisa menggetarkan hati.

Sungguh, Sakina takut khilaf mencintai suami orang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status