Erzha kembali ke kantornya setelah baru saja mendatangi apartemen Sakina untuk menjemput wanita itu. Di sana Erzha melihat sesuatu yang tidak terduga. Ya, dengan jelas ia melihat Sakina naik motor bersama Biru.Sungguh, Erzha benar-benar tidak menyangka. Pria itu pun memikirkan berbagai kemungkinan … kenapa Sakina bisa bersama Biru?Sebenarnya Erzha sangat berharap Sakina bisa menerbitkan naskahnya di Aluna. Namun, jika untuk bekerja, Erzha benar-benar tidak pernah berpikir sejauh itu. Entah kenapa firasatnya justru tidak begitu bagus.Awalnya, Erzha tak menyangka bisa kembali dipertemukan dengan wanita itu setelah sekian lama. Sakina dulu gadis yang ceria, tapi Erzha merasa gadis ceria itu kini menjelma menjadi wanita yang pendiam. Rasanya canggung. Padahal, dulu mereka begitu dekat. Sangat dekat.Bahkan dulu teman-temannya di SMP mengira mereka berpacaran. Kini, Erzha merasa wanita itu selalu berusaha menghindarinya. Entah apa alasan di balik itu semua.Sampai kemudian, Erzha menget
"Ini ruangan apa?" tanya Sakina pada Ujang saat mereka sudah ada di depan sebuah pintu salah satu ruangan yang ada di lantai satu."Ruang tempur," jawab Ujang seraya membuka pintunya. Ia memang diperintahkan oleh Erzha agar mengajak Sakina berkeliling dan menjelaskan yang penting-penting. Dalam kata lain, ini office tour. "Ayo masuk," sambungnya.Setelah masuk, Sakina memperhatikan sekeliling. Ada seperangkat meja kerja di sudut ruangan, banyak kertas, tumpukan plastik, lakban dan buble wrap.Sakina yakin ini ruangan packing. Sebelumnya ia pernah melihat tempat seperti ini di toko buku online milik Elina. Ya, tidak salah lagi. Ruangan ini pasti tempat untuk membungkus pesanan-pesanan novel."Ini tempat tempur alias packing-packing. Maaf berantakan, belum sempat diberesin. Lagian kalau diberesin pun nantinya bakalan berantakan lagi," kata Ujang."Sebenarnya saya yang bertanggung jawab urusan packing. Kadang kalau orderan membludak ... semuanya turun tangan. Sampai Mas Erzha pun pernah
"Hmm, tadi katanya Mas Erzha jarang di kantor. Kalau boleh tahu, dia biasanya ke mana?" tanya Sakina lagi."Bisnis dia nggak hanya penerbitan aja, tapi banyak. Makanya dia sibuk."Sakina mengangguk paham. Bagus jika Erzha benar-benar jarang berada di Aluna. "Ah iya, aku resmi kerjanya besok, kan? Setelah selesai bantu ngurusin novel baru ... apa aku boleh pulang?" tanya Sakina ragu-ragu."Boleh, sekarang pun sebenarnya boleh."Jawaban Ujang membuat Sakina bersemangat. Jika ia pulang lebih cepat, kemungkinan Erzha tidak akan bisa mengantarnya pulang. Bukankah tadi Erzha bilang akan kembali nanti sore? Ya, itu artinya Sakina harus pergi sebelum sore. Diliriknya jam tangan yang kini menunjukkan pukul 14.00."Beneran boleh pulang sekarang?" Sakina memastikan sekali lagi."Ya masa se-ganteng ini ngebohong, sih? Boleh, kok," jawab Ujang penuh percaya diri. "Orang ganteng kayak saya mah nggak suka ngebohong dong."Belum sempat Sakina menjawab, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti."Mobil
Detik itu juga, Sakina langsung menyesal. Kenapa ia melakukan ini tanpa berpikir terlebih dahulu? Ditatapnya wajah Biru yang tampak kebingungan."Lo abis maling ayam tetangga atau—""Sttt," potong Sakina seraya menempelkan jari telunjuk di bibirnya, sebagai isyarat agar Biru diam. "Sebelumnya maaf, di luar ada sahabatku yang rempong-nya minta ampun. Aku nggak mau dia salah paham, jadi please ... Mas Biru sembunyi sebentar," pinta Sakina setengah berbisik."Lo pikir gue mau? Konyol banget," balas Biru yang kemudian memutar tubuh, hendak membuka pintu."Dia bakal lebih curiga kalau Mas Biru keluar dari sini. Aku mohon," tahan Sakina."Kenapa tadi lo nggak nyuruh gue pergi aja? Parahnya malah diajak masuk.""Jarak dia nggak memungkinkan buat aku ngomong, Mas Biru pasti nggak akan ngerti dan bakal terus nanya. Alhasil, dia keburu ngelihat kita.""Emang kenapa kalau dia ngelihat? Kita bisa dipenjara, gitu?""Bu-bukan begitu, tapi—" Sakina sontak menghentikan ucapannya begitu bel mulai terd
Dengan wajah khas orang baru bangun tidur, Biru bangun dan duduk dengan santainya. "Lo lagi ngapain di sini?"Belum sempat Sakina menjawab, Biru sudah bertanya lagi, "Sekarang jam berapa?""J-jam ... setengah dua belas," jawab Sakina takut-takut."Gila ya lo!" kata Biru seraya berdiri. "Lo habis ngerumpi atau ngerakit pesawat, sih?!""Maaf, aku nggak tahu bakalan se-lama ini.""Traktir gue makan."Sakina tentu terkejut. "Hah?!""Gue laper, gara-gara lo gue belum makan malam.""Tapi ini udah tengah malam, Mas.""Apa salah gue kalau sekarang udah tengah malam?"Sakina menghela napas. "Ya udah, aku kasih uangnya aja deh. Mas Biru bisa pesan—""Enggak, lo harus ikut!""Ini udah tengah malam, Mas. Aku—""Justru karena ini udah tengah malam, makanya jangan banyak omong. Kalau keburu pagi, gimana?" balas Biru, sontak membuat Sakina cemberut. "Kenapa? Lo takut gemuk? Jomlo ngapain takut gemuk, sih? Enggak ada yang peduli juga, kan?"Sadis sekali kata-katanya. Jika saja Sakina tidak memiliki r
Setelah berbicara dengan Sakina melalui telepon, Erzha langsung menuju apartemen wanita itu tanpa memedulikan kalau ini masih terlalu pagi. Sebenarnya Erzha menelepon untuk mengajak Sakina agar berangkat ke kantor bersamanya, tapi Sakina menolak dengan alasan akan berangkat lebih pagi.Ya, wanita itu mengaku hendak ke rumah mamanya terlebih dahulu. Untuk itu, Erzha tak ingin melewatkan hal ini begitu saja. Sejak kemarin ia ingin mengantar Sakina pulang agar bisa berbicara empat mata, tapi gagal karena Sakina sudah pulang duluan.Menurut Erzha, berbicara dalam perjalanan bisa sedikit mengusir kecanggungan antara keduanya. Erzha tahu betul betapa canggungnya hubungan mereka sejak bertemu kembali. Sakina seakan terus menghindarinya, entah apa alasannya. Padahal, dulu Sakina tidak pernah mau jauh-jauh darinya. Sungguh, Erzha ingin mendengar langsung alasannya dari mulut Sakina, kenapa wanita itu terus menciptakan jarak sementara Erzha ingin mereka kembali menjadi dekat?Waktu menunjukkan
"Kalian pikir ini taksi online?"Itu adalah pertanyaan yang dilontarkan Erzha. Sakina hafal betul Erzha bukanlah tipe pria yang mudah ngegas seperti Biru. Ternyata sekarang pun masih sama. Buktinya, barusan pria itu bertanya dan nyaris tak terdengar nada kesal di dalamnya. Padahal Sakina yakin sebenarnya Erzha kesal. Bagaimana tidak, saat di lampu merah Biru turun lalu pindah duduknya ke belakang, tepat di samping Sakina sehingga membuat Erzha seolah menjadi sopir. Sakina pun jadi ragu, haruskah ia pindah ke depan? Atau tetap duduk di samping Biru.Alih-alih menjawab pertanyaan Erzha, kini Biru malah tertawa mengejek."Sebenarnya mau ke mana? Di sini cuma lo aja yang tujuannya nggak jelas. Kalau Sakina, kan, jelas mau ke tempat orangtuanya," kata Erzha lagi."Gue ikut lo aja deh, Zha. Gue kangen berduaan sama lo," jawab Biru lalu kembali tertawa."Lo sehat?" balas Erzha."Tenang, Bro. Nanti gue turun kalau pengen."Sakina tidak heran, akhir-akhir ini ia mengenal Biru, sikap pria itu m
"Mama kira, kamu masih betah istirahat," ucap Nita setelah Sakina cerita lebih detail tentang tempat kerja barunya. "Mama juga kaget, sih, saat kamu bilang via telepon kalau kamu sekarang udah punya kerjaan. Jadi, itu sebabnya kamu jarang ke sini? Selama ini kamu nyari-nyari pekerjaan."Bisa dibilang begitu. Sakina memang banyak memasukkan surat lamarannya pada banyak perusahaan. Anehnya, ia malah diterima di tempat yang sama sekali tidak ia kirimkan surat lamaran."Ya begitulah.""Baiklah, kalau begitu mama paham kalau kamu jarang ke sini," balas Nita. "Oh iya, pria yang kamu bilang sopir itu datang ke sini buat ngasih ponsel kamu yang ketinggalan di mobilnya. Mama mau tanya, maksud kamu apa bilang dia sopir? Dia itu Erzha, kan? Yang sering antar-jemput kamu waktu zaman sekolah dulu?"Sakina sudah mengira, pasti pertanyaan ini akan muncul. "Maaf, aku nggak bermaksud bohong, Ma.""Aku cuma nggak mau mama berharap lebih. Aku nggak pernah bawa pria ke sini, mama pasti salah paham kalau