"Itu Mas Biru," ucap Ujang pelan. "Dasar pria nakal, masih aja bawa minuman ke atas," lanjutnya yang pastinya tidak akan terdengar oleh orang yang ia bicarakan."Panjang umur juga, ya," timpal Sutaryo.Biru menoleh sejenak ke arah mereka, tapi tetap melangkah ke meja kerjanya untuk menyimpan cangkir. Sontak Sakina menjadi tahu pemilik meja super rapi itu ternyata Biru. Tak lama kemudian, Biru berjalan menghampiri empat orang itu."Kalian ngapain berdiri di sini?" tanya Biru, matanya kemudian menyadari kehadiran orang asing. Sakina. "Oh, ada tamu.""Ini penulis yang Mas Erzha bilang itu," jelas Elina.Biru kemudian mengangguk. "Suruh duduk, dong. Bikinin minum," ucapnya seraya menunjuk sofa yang ada di pojok ruangan."Sakina, kita duduk, yuk!" ajak Elina kemudian.Sakina pun mengangguk. Akhirnya ia dan Elina duduk di sofa, sedangkan Ujang, Sutaryo dan Biru kembali ke tempatnya masing-masing."Oh iya!" teriak Elina yang baru teringat perintah Erzha. "Ujang sama Tayo disuruh bantuin Mas
Sebenarnya sulit bagi Sakina untuk mengiyakan ajakan Elina. Namun, di sinilah ia berada. Diliriknya jam di tangan kirinya yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sumpah demi apa pun, Sakina tidak habis pikir akan memiliki teman baru yang tidak lain merupakan istri dari cinta pertamanya.Sakina masih berharap ini mimpi atau sekadar lelucon, tapi kenyataannya ia kini bersama Elina sekarang. Jika ini adalah sebuah FTV, mungkin judul yang tepat untuk kisah Sakina adalah Aku hendak menghabiskan hari bersama istri dari cinta pertamaku. Konyol sekali!Begitu sampai di tempat yang dituju, mereka berdua turun dari mobil Elina. Sakina langsung disambut tulisan EL ICE CREAM."Kamu yakin belum pernah ke sini?" tanya Elina."Belum, tapi aku sempat mendengar beberapa teman ngomongin tentang kedai ini, sih. Kayaknya viral banget deh. Aku nggak nyangka sekarang bisa datang ke sini sama pemiliknya," balas Sakina."Eits, ini punya suamiku," koreksi Elina.Kini Sakina merasa apa yang dikatakan Fifi memang
Erzha langsung menutup teleponnya setelah berbicara dengan Ujang via telepon. Pria itu sangat terkejut saat mendengar alasan Ujang tidak mengunggah lowongan pekerjaan di situs resmi Aluna. Bagaimana tidak, ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau Sakina akan bekerja di kantornya.Mobil Erzha meluncur cepat, dan kurang dari setengah jam sudah sampai di parkiran kantor. Ia segera naik ke lantai dua untuk mencari Ujang. Di sana, tentu saja Ujang tampak bingung dan jadi merasa bersalah sendiri, padahal ia tidak tahu apa-apa.Ujang pikir, Erzha akan senang kalau wanita yang dikenalnya bekerja di sini, apalagi wanita tersebut merupakan seorang penulis."Gimana ceritanya kamu bisa rekrut Sakina? Dia ngelamar sendiri atau bagaimana?" tanya Erzha serius.Melihat ekspresi Erzha yang seperti itu, Ujang jadi takut. Sedangkan Sutaryo terus sibuk dengan Adobe Photoshop dan berpura-pura tak mendengar. Ya, Sutaryo lebih memilih tidak ikut campur."Maaf, Mas ... awalnya saya memang mau upload, tapi
Erzha kembali ke kantornya setelah baru saja mendatangi apartemen Sakina untuk menjemput wanita itu. Di sana Erzha melihat sesuatu yang tidak terduga. Ya, dengan jelas ia melihat Sakina naik motor bersama Biru.Sungguh, Erzha benar-benar tidak menyangka. Pria itu pun memikirkan berbagai kemungkinan … kenapa Sakina bisa bersama Biru?Sebenarnya Erzha sangat berharap Sakina bisa menerbitkan naskahnya di Aluna. Namun, jika untuk bekerja, Erzha benar-benar tidak pernah berpikir sejauh itu. Entah kenapa firasatnya justru tidak begitu bagus.Awalnya, Erzha tak menyangka bisa kembali dipertemukan dengan wanita itu setelah sekian lama. Sakina dulu gadis yang ceria, tapi Erzha merasa gadis ceria itu kini menjelma menjadi wanita yang pendiam. Rasanya canggung. Padahal, dulu mereka begitu dekat. Sangat dekat.Bahkan dulu teman-temannya di SMP mengira mereka berpacaran. Kini, Erzha merasa wanita itu selalu berusaha menghindarinya. Entah apa alasan di balik itu semua.Sampai kemudian, Erzha menget
"Ini ruangan apa?" tanya Sakina pada Ujang saat mereka sudah ada di depan sebuah pintu salah satu ruangan yang ada di lantai satu."Ruang tempur," jawab Ujang seraya membuka pintunya. Ia memang diperintahkan oleh Erzha agar mengajak Sakina berkeliling dan menjelaskan yang penting-penting. Dalam kata lain, ini office tour. "Ayo masuk," sambungnya.Setelah masuk, Sakina memperhatikan sekeliling. Ada seperangkat meja kerja di sudut ruangan, banyak kertas, tumpukan plastik, lakban dan buble wrap.Sakina yakin ini ruangan packing. Sebelumnya ia pernah melihat tempat seperti ini di toko buku online milik Elina. Ya, tidak salah lagi. Ruangan ini pasti tempat untuk membungkus pesanan-pesanan novel."Ini tempat tempur alias packing-packing. Maaf berantakan, belum sempat diberesin. Lagian kalau diberesin pun nantinya bakalan berantakan lagi," kata Ujang."Sebenarnya saya yang bertanggung jawab urusan packing. Kadang kalau orderan membludak ... semuanya turun tangan. Sampai Mas Erzha pun pernah
"Hmm, tadi katanya Mas Erzha jarang di kantor. Kalau boleh tahu, dia biasanya ke mana?" tanya Sakina lagi."Bisnis dia nggak hanya penerbitan aja, tapi banyak. Makanya dia sibuk."Sakina mengangguk paham. Bagus jika Erzha benar-benar jarang berada di Aluna. "Ah iya, aku resmi kerjanya besok, kan? Setelah selesai bantu ngurusin novel baru ... apa aku boleh pulang?" tanya Sakina ragu-ragu."Boleh, sekarang pun sebenarnya boleh."Jawaban Ujang membuat Sakina bersemangat. Jika ia pulang lebih cepat, kemungkinan Erzha tidak akan bisa mengantarnya pulang. Bukankah tadi Erzha bilang akan kembali nanti sore? Ya, itu artinya Sakina harus pergi sebelum sore. Diliriknya jam tangan yang kini menunjukkan pukul 14.00."Beneran boleh pulang sekarang?" Sakina memastikan sekali lagi."Ya masa se-ganteng ini ngebohong, sih? Boleh, kok," jawab Ujang penuh percaya diri. "Orang ganteng kayak saya mah nggak suka ngebohong dong."Belum sempat Sakina menjawab, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti."Mobil
Detik itu juga, Sakina langsung menyesal. Kenapa ia melakukan ini tanpa berpikir terlebih dahulu? Ditatapnya wajah Biru yang tampak kebingungan."Lo abis maling ayam tetangga atau—""Sttt," potong Sakina seraya menempelkan jari telunjuk di bibirnya, sebagai isyarat agar Biru diam. "Sebelumnya maaf, di luar ada sahabatku yang rempong-nya minta ampun. Aku nggak mau dia salah paham, jadi please ... Mas Biru sembunyi sebentar," pinta Sakina setengah berbisik."Lo pikir gue mau? Konyol banget," balas Biru yang kemudian memutar tubuh, hendak membuka pintu."Dia bakal lebih curiga kalau Mas Biru keluar dari sini. Aku mohon," tahan Sakina."Kenapa tadi lo nggak nyuruh gue pergi aja? Parahnya malah diajak masuk.""Jarak dia nggak memungkinkan buat aku ngomong, Mas Biru pasti nggak akan ngerti dan bakal terus nanya. Alhasil, dia keburu ngelihat kita.""Emang kenapa kalau dia ngelihat? Kita bisa dipenjara, gitu?""Bu-bukan begitu, tapi—" Sakina sontak menghentikan ucapannya begitu bel mulai terd
Dengan wajah khas orang baru bangun tidur, Biru bangun dan duduk dengan santainya. "Lo lagi ngapain di sini?"Belum sempat Sakina menjawab, Biru sudah bertanya lagi, "Sekarang jam berapa?""J-jam ... setengah dua belas," jawab Sakina takut-takut."Gila ya lo!" kata Biru seraya berdiri. "Lo habis ngerumpi atau ngerakit pesawat, sih?!""Maaf, aku nggak tahu bakalan se-lama ini.""Traktir gue makan."Sakina tentu terkejut. "Hah?!""Gue laper, gara-gara lo gue belum makan malam.""Tapi ini udah tengah malam, Mas.""Apa salah gue kalau sekarang udah tengah malam?"Sakina menghela napas. "Ya udah, aku kasih uangnya aja deh. Mas Biru bisa pesan—""Enggak, lo harus ikut!""Ini udah tengah malam, Mas. Aku—""Justru karena ini udah tengah malam, makanya jangan banyak omong. Kalau keburu pagi, gimana?" balas Biru, sontak membuat Sakina cemberut. "Kenapa? Lo takut gemuk? Jomlo ngapain takut gemuk, sih? Enggak ada yang peduli juga, kan?"Sadis sekali kata-katanya. Jika saja Sakina tidak memiliki r