Melepas harapan pada Dessy dan menjadikannya kembali sebagai teman biasa adalah keputusan yang Mamanya berikan. Ini berat. Tapi itu bukan semata sebuah saran melainkan keputusan dan perintah yang Adri tidak bisa abaikan.
*
Tidak ada cara lain untuk menyelesaikan kesalahpahaman selain mendatangi tempat Dewi tinggal. Gadis itu pernah menyebut tempat ia tinggal dan Adri akhirnya tiba di sana saat sore hari yang sejuk.
Gadis itu tinggal di sebuah rumah yang walau berbentuk sederhana namun berukuran lumayan besar. Memiliki pagar yang tinggi, rumah itu jadi terkesan sedikit tertutup dan tidak bisa dilihat dari luar. Jalan di depan rumah itu cenderung sepi karena berada di area yang agak menjorok ke dalam sehingga hanya warga atau pihak yang berkepentingan saja yang lalu-lalang atau berada di sana.
Ketika tiba di depan rumah yang ia pikir adalah rumah gadis itu, ia melihat kotak pos yang posisi kaca
“Iya. Gue merencanainkan yang mirip-miriplah,” Dessy mulai berbicara sedikit ketus. “EO yang sama?” “Ya.” “Kalau bagitu sebaiknya kita memang nyanda perlu datang.” “Kalo elo gak mau bugil ya gak usah naik ke panggung. Susah amat?” “Kita melihatnya nyanda sesederhana itu. Kalian, remaja di kota besar, sebetulnya telah dimasukii dengan nilai-nilai yang mengkhawatir pun. Ini bahaya. Etika kalian tergerus. Gawatnya, banyak dari kalian nyanda menyadarin karena menganggap itu hal biasa. Kalau di kampung kita nyanda boleh bagitu.” Dessy tertawa. Sinis. Namun Adri tetap meneruskan. “Kalau kamu menganggap kita salah, silahkan. Tapi undanganmu memang nyanda bisa kita terima.” Bagi Dessy yang seumur hidupnya hampir tak pernah mengalami penolakan, ucapan Adri tadi benar-benar terasa menyakitkan. Belasan tahun ia hidup dengan nilai seperti itu dan sejauh ini semuanya fine
Khusus mengenai hubungannya dengan Tante Sonya, ia merasa bahwa kedekatan wanita itu pada dirinya memiliki maksud terselubung. Ia sudah mendapat konfirmasi atau pembenaran dari Waluyo bahwa benar wanita bersuami itu punya maksud terselubung dan itu memiliki arti sebagai ajakan kencan. Sejak mendapat masukan dari Waluyo, ia juga jadi bersikap hati-hati. Tidak pernah lagi Adri masuk ke kamar tanpa mengunci pintu. Tidak pernah lagi ia membantu Waluyo dengan bertelanjang dada dengan alasan kepanasan. Pun Adri tidak pernah lagi menonton TV malam-malam seperti tempo hari ia lakukan. Intinya, segala hal yang berpotensi membuat Tante Sonya mendekati dirinya sudah ia kunci mati. Tidak seperti yang dikhawatirkan, Pak Syukur yang adalah suami dari wanita itu, ternyata bersikap biasa saja. Ia tidak nampak terlihat hendak menegur apalagi menyerang dirinya sekalipun mereka sesekali bertemu. Apakah ini artinya pak Syukur tidak tahu ulah isterinya? Deng
Ada apa dengan minggu ini? Adri merenung. Aksi anarkis yang ia alami kemarin adalah pengalaman kedua yang ia alami minggu ini karena di minggu lalu ada kejadian perkelahian antar seorang siswa di kelas Dessy dengan siswa sekolah lain. Dengan cepat peristiwa ini tersebar di antara dua sekolah dan mulai terjadi penyerangan antara satu sekolah dengan yang lainnya. Semua pihak merasa jadi korban dan karena itu berhak untuk membela diri atau melakukan penyerangan. Untunglah para pimpinan dari keduabelah pihak sepakat untuk mendamaikan dengan melibatkan pihak kepolisian. Dessy sempat dipanggil sebagai saksi ketika kasus ini coba didalami. Dan entah bagaimana ceritanya, belakangan tersiar kabar bahwa Dessy adalah pengompor peristiwa perkelahian. Ini jelas adalah laporan yang menyesatkan dan Dessy tidak terima. Masalahnya, info ini sudah tersebar luas kemana-mana dan Dessy yang tersinggung lantas mencari tahu siapa yang menyebarkan informasi men
Hubungan Dessy dengan Arjun hari-hari ini membaik kembali. Diawali dengan sikap Arjun yang mau merendahkan hati, hubungan mereka yang sempat vakum dan dingin kini menghangat kembali. Menjadi penanda membaiknya lagi hubungan mereka, Arjun siap mengajarkan Dessy belajar menyetir kendaraan 4x4 manual miliknya. Dessy menyambut gembira karena ini memang harapannya sejak lama. Sore itu, saat jam bubar sekolah, ia sudah standby. Mesin kendaraan milik Arjun mulai hidup. Siap bergerak meninggalkan tempat parkir sekolah. Setelah menyetel musik cadas kesukaannya dengan volume sedikit keras, Arjun menoleh ke gadis di sebelahnya. “Musiknya gue kencengin ya, Say.” Dessy yang masih berpikir-pikir mengenai hubungannya dengan Arjun yang hilang-timbul dan ada Adri di sisi lain hanya berdiam diri. Ia jadi tak menyimak ucapan Arjun. “Halo?” Gadis itu tersadar lalu menyibak rambutnya yang sedikit di bawah bahu. “Sori.” “Mikiri
Dessy tersenyum riang. Ia menurut perkataan Arjun dan pedal gas pun ditekan lebih dalam. Adri yang tengah berjalan kaki nampak kaget dengan mobil Arjun tapi dikemudikan Dessy yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Ia sempat menghindar namun tak urung sebuah buku catatannya jatuh dan terlindas ban mobil sampai tercabik-cabik. “Ups, sori!” dari balik jendela kaca mobil yang tertutup, Dessy meminta maaf pada Adri walau tahu itu percuma karena Adri pasti tak mendengarnya. Dari kaca spion ia tahu bahwa mobil yang dikemudikan menggilas salah satu buku pelajarannya sampai rusak. Tapi pikir Dessy itu pasti takkan bermasalah. Ia pasti akan datang nanti dan meminta maaf pada pemuda itu. Ia sempat mendengar Adri seperti meneriaki sesuatu. Namun konsentrasi Dessy yang tengah sepenuhnya tertuju pada cara mengemudi dan bisingnya suara musik cadas membuatnya tidak mengetahui hal itu. Ia tidak mendengar dan tidak juga me
Kalau ada pilihan untuk menghindar, Adri jelas ingin sekali menghindar dari pertemuan dengan Dewi. Tapi ia sadar bahwa menghindar masalah justeru berpotensi membangkitkan masalah baru. Sebuah masalah – seberat apapun – harus dihadapi dengan jiwa besar. Dan itu yang dilakukan Adri ketika sore itu ia kembali menghadap Dewi untuk menetapkan bahwa ia hanya akan bergaul biasa saja dengan gadis itu. “Kejam. Kak Adri kejam.” Itu respon yang langsung Adri dapatkan setelah ia selesai menceritakan semua dengan berpanjang lebar. “Maaf. Ini memang salah aku. Saat kejadian aku tidak menyangka akan...” “Kenapa kak Adri seperti ini? Tega betul mencampakkan setelah aku mencurahkan segala isi hati.” “Ini memang benar-benar salah kakak.” “Saat ini Dewi nggak butuh permintaan maaf. Kakak ternyata raja tega. Bisa-bisanya menipu. Kakak menipu perasaan saya! Bagaimana perasaan kakak kalau punya Mama yang terlanjur bahagi
Dessy menaruh telunjuk di depan mulut. Memberi isyarat bahwa suara Monique sudah terlalu keras. “Gue gak mau discuss soal itu. Ngapain ngomong begitu? Lagian gue sama Arjun udah jalan biasa lagi koq.” Monique hanya mengangkat bahu. Sama halnya seperti Adri, ia pun memelototi nilai ulangannya. Nilai 9 yang dicapai dengan cara sepotek – separo nyontek. “Terus, elo tau gak kenapa si Adri jadi gitu sama gue.” Mendengar itu Monique tidak langsung menjawab. Ia merasa ada yang jagal dengan sikap sahabatnya. Berkali-kali pernyataan Dessy menunjukan betapa sebal dirinya pada Adri. Kendati begitu tetap ada rasa penasaran dengan sikap Adri yang jadi sedikit acuh. Monique sangat tahu bahwa walau pun Dessy sudah bersama-sama Arjun, ia bisa membaca gelagat bahwa sebetulnya ada rasa tertarik yang kuat dalam diri Dessy terhadap Adri. Ada beberapa pengalaman yang Dessy alami berkaitan dengan Adri dan hampir semua merupakan penga
Monique mengangguk. “Cuma ada 1 orang yang namanya begitu di sini. Dia pacarnya Fitri. Kelas 12 IPA.” “Kumis tipis, kulit hitam, pesek, rambut agak botak?” “Agak botak karena barusan cukur. Iya, semua info lu betul. Kemarin gue ketemu dia. Mukanya juga bengap kayak elo dan dia…..” omongan Monique terputus saat dia melihati Adri sambil menggeleng kepala. “No way! Elo nggak berantem sama dia kan?” Adri mengangguk. “Iya apa? Iya berantem, atau iya nggak berantem.” “Iya berantem.” Monique terkaget sambil menutup mulut. “Elo itu cupu tapi galak juga ya. What’s up, man?” Adri tak langsung menjawab. “C’mon, ada apa?” “Bukan berantem sih. Aku dikeroyok, tapi aku bisa balas dengan satu kali pukulan ke salah satu dari mereka.” “O shit.” Monique terpaku. “Apa ini ada kaitannya dengan Fitri….” Terdengar suara deheman dari belakang punggung. Monique menole
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang
Dessy merasa seolah-olah kembali ke peradaban ketika menginjakan kaki kembali di mall yang merangkap sebagai hotel tempatnya tinggal. Kendati tak ada lagi hawa beraroma kelembaban laut, ia lebih senang berada disana. Ia lebih menikmati seliweran kendaraan di sana-sini, deretan gedung, keramaian orang, dan sajian kuliner di resto atau cafe. Seolah merayakan kemerdekaannya, kakinya langsung ia ayunkan ke cafe yang sehari sebelumnya ia datangi bersama Jason. Setelah mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca segelas Vanilla Latte beserta tiga cupcakes dan brownies langsung ia pesan. Badannya terasa sedikit capek setelah perjalanan dengan kapal kayu. Rasanya tak salah sedikit memanja diri dan menambah energi dengan kudapan tadi. Penampilan live music seorang pengunjung yang secara mendadak mendaftarkan diri mencipta suasana yang semakin rileks. Dari posisi tempatnya duduk, Dessy m
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....