Dessy tersenyum riang. Ia menurut perkataan Arjun dan pedal gas pun ditekan lebih dalam.
Adri yang tengah berjalan kaki nampak kaget dengan mobil Arjun tapi dikemudikan Dessy yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Ia sempat menghindar namun tak urung sebuah buku catatannya jatuh dan terlindas ban mobil sampai tercabik-cabik.
“Ups, sori!” dari balik jendela kaca mobil yang tertutup, Dessy meminta maaf pada Adri walau tahu itu percuma karena Adri pasti tak mendengarnya.
Dari kaca spion ia tahu bahwa mobil yang dikemudikan menggilas salah satu buku pelajarannya sampai rusak. Tapi pikir Dessy itu pasti takkan bermasalah. Ia pasti akan datang nanti dan meminta maaf pada pemuda itu.
Ia sempat mendengar Adri seperti meneriaki sesuatu. Namun konsentrasi Dessy yang tengah sepenuhnya tertuju pada cara mengemudi dan bisingnya suara musik cadas membuatnya tidak mengetahui hal itu. Ia tidak mendengar dan tidak juga me
Kalau ada pilihan untuk menghindar, Adri jelas ingin sekali menghindar dari pertemuan dengan Dewi. Tapi ia sadar bahwa menghindar masalah justeru berpotensi membangkitkan masalah baru. Sebuah masalah – seberat apapun – harus dihadapi dengan jiwa besar. Dan itu yang dilakukan Adri ketika sore itu ia kembali menghadap Dewi untuk menetapkan bahwa ia hanya akan bergaul biasa saja dengan gadis itu. “Kejam. Kak Adri kejam.” Itu respon yang langsung Adri dapatkan setelah ia selesai menceritakan semua dengan berpanjang lebar. “Maaf. Ini memang salah aku. Saat kejadian aku tidak menyangka akan...” “Kenapa kak Adri seperti ini? Tega betul mencampakkan setelah aku mencurahkan segala isi hati.” “Ini memang benar-benar salah kakak.” “Saat ini Dewi nggak butuh permintaan maaf. Kakak ternyata raja tega. Bisa-bisanya menipu. Kakak menipu perasaan saya! Bagaimana perasaan kakak kalau punya Mama yang terlanjur bahagi
Dessy menaruh telunjuk di depan mulut. Memberi isyarat bahwa suara Monique sudah terlalu keras. “Gue gak mau discuss soal itu. Ngapain ngomong begitu? Lagian gue sama Arjun udah jalan biasa lagi koq.” Monique hanya mengangkat bahu. Sama halnya seperti Adri, ia pun memelototi nilai ulangannya. Nilai 9 yang dicapai dengan cara sepotek – separo nyontek. “Terus, elo tau gak kenapa si Adri jadi gitu sama gue.” Mendengar itu Monique tidak langsung menjawab. Ia merasa ada yang jagal dengan sikap sahabatnya. Berkali-kali pernyataan Dessy menunjukan betapa sebal dirinya pada Adri. Kendati begitu tetap ada rasa penasaran dengan sikap Adri yang jadi sedikit acuh. Monique sangat tahu bahwa walau pun Dessy sudah bersama-sama Arjun, ia bisa membaca gelagat bahwa sebetulnya ada rasa tertarik yang kuat dalam diri Dessy terhadap Adri. Ada beberapa pengalaman yang Dessy alami berkaitan dengan Adri dan hampir semua merupakan penga
Monique mengangguk. “Cuma ada 1 orang yang namanya begitu di sini. Dia pacarnya Fitri. Kelas 12 IPA.” “Kumis tipis, kulit hitam, pesek, rambut agak botak?” “Agak botak karena barusan cukur. Iya, semua info lu betul. Kemarin gue ketemu dia. Mukanya juga bengap kayak elo dan dia…..” omongan Monique terputus saat dia melihati Adri sambil menggeleng kepala. “No way! Elo nggak berantem sama dia kan?” Adri mengangguk. “Iya apa? Iya berantem, atau iya nggak berantem.” “Iya berantem.” Monique terkaget sambil menutup mulut. “Elo itu cupu tapi galak juga ya. What’s up, man?” Adri tak langsung menjawab. “C’mon, ada apa?” “Bukan berantem sih. Aku dikeroyok, tapi aku bisa balas dengan satu kali pukulan ke salah satu dari mereka.” “O shit.” Monique terpaku. “Apa ini ada kaitannya dengan Fitri….” Terdengar suara deheman dari belakang punggung. Monique menole
“Apa ngana pe maksud?” “Maksud gue? Elo berubah sikap jadi picik sama gue ya? Kenapa sih? Cuma soal gue belajar mobil sama Arjun, eh... elo jadi sentimen kaya’ gini. Kenapa nggak elo lupain aja sih? Ini kan cuma soal kecil! Kenapa dibesar-besarin segala?” “Sembarangan! Jangan karena kita ini orang kampung jadi kamu anggap bahwa kasus itu adalah peristiwa kecil.” “Emang iya. Gue bilang itu cuma peristiwa sepele.” “Jadi karena kamu banyak uang, anak orang kaya, lantas kamu anggap itu sepele?” Kemarahan Dessy memuncak. “Koq jadi nyinggung kaya-miskin segala? Elo jadi parno gitu kenapa sih? Bilang aja kalo elo cemburu ngeliat gue sama Arjun?” Kejengkelan seolah menguasai Adri hingga ke seluruh sel tubuh sedangkan Dessy terus mencecarnya. "Tahu dari mana ngana? Tahu dari mana ngana kalau kita cemburu?" "Gue? Tahu dari mana? Dari tatapan elo. Bahasa tubuh elo." "Tatapan? Bahasa tubuh? Sejak kapan ngana jadi dokter mata? Sejak kapan ngana jadi tukang ramal?" “Gue jadi dokter mata da
24 jam kemudian, Adri keluar dari kantor Kepala Sekolah. Wajahnya tertekuk. Meninggalkan tak hanya Kepala Sekolah tapi juga Mamah Tanti, Ibu Sissy, dan Dessy di dalam ruangan. Vonis sudah dijatuhkan atas perbuatan Adri yang kemarin membajak mobil antar jemput sehingga berdampak merugikan pada Dessy, Monique, Mamah Tanti, Pak Syaiful, dan siswa-siswa lain. Perbuatan itu jelas tak dapat dibenarkan. Laporan yang masuk dari Mamah Tanti ke pihak sekolah akhirnya berujung pada sanksi tegas - baik secara ekonomi maupun sosial – yang harus Adri jalani mulai hari itu juga. Sejak sidang dimulai di kantor Kepala Sekolah sampai vonis dijatuhkan, Adri tidak mengeluarkan bantahan sekali pun. Ia tak banyak berkata-kata. Reaksinya dingin. Sangat dingin. Kecuali ketika mendengar nominal rupiah tertentu yang dituntut Mamah Tanti yang harus ia bayarkan sebagai akibat perbuatannya. Rasa takut, kecewa, sedih, membaur dengan keput
“Nggak apa-apa. Cuma nggak sreg aja soalnya gue belum mandi.” Monique meleletkan lidah. “Elo sih, banguninnya pagi banget.” “Biar elo gak mandi seharian pun gue gak bisa nyium bau badan elo.” “Koq baru sekarang contact gue? Kemarin-kemarin ngapain?” “Gue ke kampung nyokap. Sinyalnya jelek banget di sana. Nggak ada gunanya bawa ponsel biarpun katanya smartphone karena disana cuma bisa SMS atau nelpon doang.” Monique tertawa. “Kesian. Terus, oleh-oleh gue mana?” Dessy menunjukkan dua kardus pia Surabaya melalui webcam di laptopnya. “Gue nggak lupa koq. Nih, barangnya. Puas?” “Wuiiih, kuenya banyak amat. Gitu dong. Gue bisa jual lagi dah di sekolah.” “Dasar. Eh, tau nggak. Gue beli banyak soalnya lagi diskon gede-gedean. Sampe tujuh puluh persen!” “Buset. Apa nggak rugi tuh orang yang jual?” “Nggak lah. Daripada dibuang, hayo?” “Koq dibuang?” “Iya, soalnya k
“O iya. Elo emang pernah cerita tapi nggak sampe tuntas karena elo disuruh pergi sama Ibu Sissy. Pas balik, elo lupa lanjutin. Gue juga lupa nanyain. Tapi gue nggak nyangka kalo sampe setragis itu.” “Nggak nyangka?” Wajah Dessy makin pucat. Ia langsung diliputi rasa bersalah yang hebat. “Astaga. Koq gue jadi ngerasa kejem banget.” “Adri marah bukan cuma karena anjingnya mati. Selain itu, respon elo waktu kejadian tuh biasa aja. Innocent kaya’ gak punya dosa dan malah sempat cengangas-cengenges. Emang waktu kejadian elo nggak liat apa-apa dan nggak denger apa-apa?” “Waktu itu Arjun pasang musik kenceng-kenceng, makanya gue nggak denger apa-apa. Dan gue juga nggak liat karena...” Dessy mengingat-ingat saat kejadian, “oh shit!” “Kenapa?” “Saat kejadian, Arjun ngalihin perhatian gue. Sebelumnya dia ngasih umpan roti sosis dengan cara dibuang di depan mobil.” “Terus?” “Waktu gue udah siap jalanin mobil, Si Arjun masih nahan-nahan. Dia celingak-celinguk, terus dia secara mendadak nga
Arjun tidak bodoh. Ia sangat tahu bahwa antara Adri dengan Dessy sebetulnya sama-sama memiliki chemistry yang amat kuat dan saling tertarik. Ia juga sangat paham bahwa Dessy belum berani melangkah sampai tahap menduakan hati. Keduanya memang memiliki amat banyak perbedaan. Tapi bak sepasang sepatu yang memang takkan pernah sama, perbedaan di antara merekalah yang justeru membuat mereka seiras seirama. Itu jelas sekali. Kasat mata. Sekali lagi, Arjun tidak bodoh. Dalam ‘badung’ dan ‘cuwek’ dirinya, ia melihat dan mencermati itu semua. Sempat marah dan dendam, ia kini berbalik 180 derajat. Atas apa yang Adri telah lakukan demi menyelamatkan nyawa adiknya, ia merasa perlu melakukan balas budi. Dan balasan itu adalah: ia merelakan Dessy pergi. Memutuskan hubungan darinya untuk kemudian menjalin tali kasih dengan yang lain. Pria lain yang tentu saja hampir pasti dan Arjun harapkan adalah Adrianus, si bocah kampung. Musisi dan vokalis hebat yang rendah hati itu.
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang
Dessy merasa seolah-olah kembali ke peradaban ketika menginjakan kaki kembali di mall yang merangkap sebagai hotel tempatnya tinggal. Kendati tak ada lagi hawa beraroma kelembaban laut, ia lebih senang berada disana. Ia lebih menikmati seliweran kendaraan di sana-sini, deretan gedung, keramaian orang, dan sajian kuliner di resto atau cafe. Seolah merayakan kemerdekaannya, kakinya langsung ia ayunkan ke cafe yang sehari sebelumnya ia datangi bersama Jason. Setelah mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca segelas Vanilla Latte beserta tiga cupcakes dan brownies langsung ia pesan. Badannya terasa sedikit capek setelah perjalanan dengan kapal kayu. Rasanya tak salah sedikit memanja diri dan menambah energi dengan kudapan tadi. Penampilan live music seorang pengunjung yang secara mendadak mendaftarkan diri mencipta suasana yang semakin rileks. Dari posisi tempatnya duduk, Dessy m
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....