Saat bubar jam sekolah, Fitri yang sudah dalam rombongan siswa yang berbondong-bondong keluar kelas mendadak dihalangi jalannya oleh Arjun. Mulanya Fitri berpikir itu hanya perbuatan usil dan canda. Tapi melihat pria itu melihati dengan senyam-senyum Fitri jadi penasaran karena berarti ada sesuatu yang hendak pria itu sampaikan pada dirinya.
“Lu ngalangin jalan gue. Ada apa?”
“Gue baru denger gosip terbaru tentang lu. Gosip itu benar?”
Fitri terdiam dan balik menatap dengan canggung. Ada rona ketakutan dalam pancaran wajah seolah baru saja terciduk melakukan sesuatu.
“Koq bengong?”
Gadis itu melihat kiri-kanan sebelum kemudian ganti dirinya yang menarik tangan Arjun untuk menjauhi tempat itu. Saat berada di tempat yang agak lengang dengan orang-orang, barulah ia berucap.
“Arjun, gue minta tolong. Please.”
“Please apa?”
“Please jangan bocorin kabar soal gue itu.”
Arjun
Pak Aldo kembali mengangguk-angguk. Waiter datang untuk membawakan pesanan minuman untuk mereka berdua. “Kembali ke soal puteri kami, menurutmu ada sikap dia yang kurang baik?” Adri mengerenyit kening. Seperti tak percaya dengan pertanyaan tadi. “Kenapa harus fokus pada kekurangbaikan seseorang? Toh tidak ada orang yang sempurna.” Pak Aldo gelagapan. Bu Avril buru-buru berkata. “Maksudmu, semua sikap puteri kami masih dalam batas normal kan? Tidak ada yang aneh kan?” “Ya. Sangat normal,” Adri menjawab tandas. Namun sesaat kemudian ia teringat sesuatu. “Hanya akhir-akhir ini dia banyak mengeluh soal perutnya. Terkadang mengeluh nyeri, terkadang mengeluh diare. Nafsu makannya juga berkurang.” “Dessy emang suka kurang disiplin makan.” “Maaf. Kenapa oom dan tante bertanya seperti tadi itu di awal?” “Menanyakan bagaimana?” “Ketika aku bilang Dessy itu baik, kenapa oom dan tante seperti mengejar?
Kehadiran Adri pada mulanya hanya ia anggap sebagai pijakan, atau batu loncatan, untuk ia semakin berkilau – setidaknya menurut pendapatnya sendiri – di antara teman-teman satu sekolah. Adri itu benar-benar ia anggap sebagai mangsa empuk. Sifatnya yang lugu, bodoh, introvert, serta terlalu berpikir positif, membuat Adri menjadi bulan-bulanan keusilan dirinya. Menjadi pelampiasan gelora untuk nakal dan ajang penunjukan jati diri. Lebih dari tiga bulan ia menikmati kejumawaannya. Sampai peristiwa creative event itu. Ajang dimana dirinya menjadi ketua panitia. Ajang untuk sebuah event yang ia harapkan akan menjadi legacy ketika ia tidak lagi bersekolah di sana. Ajang dimana banyak orang – khususnya guru – akan mengenai sampai sekian tahun ke depan akan prestasi yang ia kerjakan. Namun secara tak terduga, ajang itu justeru mencemarkan namanya. Semua terjadi cepat dan tak terduga. Ia melihat kesempatan untuk mengerjai orang paling katrok satu
‘So beautiful. You are so beautiful,’ Adri membantin. “Gue di sini mau ada perlu lah...” OMG. Bagi Adri, Dessy saat ini sedang tersenyum seindah dan secantik yang ia bisa lakukan. Begitu terpana dirinya sampai-sampai salah satu pot di tangan terjatuh dari tangan. Dengan kegugupan luar biasa, Adri membungkuk dan coba menjangkau benda itu. Tangannya sudah menjulur ketika pot yang bentuknya memang asimetris yang mulanya menjauh, kini berbalik arah. Dengan satu tangan masih memegang beberapa pot kosong maka hanya dengan satu tanganlah Adri berusaha menjangkau pot bunga. Benda itu rupanya ‘nakal’ juga karena ketika berbalik arah ia kini melaju di antara kedua kaki Dessy dan Adri dengan lugunya ‘main comot’ benda itu. Dan saat itulah muka Dessy memerah. Betapa tidak, ketika si bopung mencomot pot bunga, ia harus melewati dua betisnya sampai bersentuhan dengan tangannya! Awalnya Adri hanya ‘cengengesan’ ketika berhasil mendapat
“Sampai sejauh itu? Seperti itu perlakuannya?” “Ya. Ia melakukan itu tanpa Bapak minta.” Dessy tercekat. Tak seperti yang ia duga, Adri ternyata memiliki kebesaran hati yang besar dengan menolong kaum difabel. Dessy juga malu karena telah salah duga dengan mengiranya bodoh karena selalu turun di halte yang lebih jauh dari lokasi sekolah. “Anak itu pernah menolak?” “Tidak pernah, Dik. Gara-gara Adri jugalah bapak jadi punya kerjaan sesuai bidang bapak di farmasi dengan jadi pegawai di perusahaan di dekat halte tersebut. Biar pun hanya freelance, tapi lumayan lah." “Aku tak menyangka dia sebaik itu.” “Bapak juga tak menyangka. Selain itu Adri itu jugalah yang menyadarkan bahwa keterampilan Bapak yang dulu pernah jadi petani pun bisa diandalkan. Dia mengajarkan teknik pembuatan akuaponik,” Pak Waluyo menunjuk rangkaian pipa-pipa PVC yang tersambung ke sebuah kolam terpal berisi ikan mujair.
Tas atau sarung yang membalut kondisi gitar memang sudah tak enak dilihat mata. Namun yang lebih parah adalah isi di dalamnya. Sebuah gitar akustik yang Adri khawatirkan bisa membuat penampilannya tak akan optimal ketika nanti di atas panggung. Ponsel Adri mendadak bergetar. Ia mengeluarkan gadget tadi dari kantung celana dan melihat sesaat siapa penelponnya. “Wuih, sejak pake ponsel baru jadi sibuk terus nih,” Farel menggoda. Adri memberi isyarat agar Farel diam dahulu. “Selamat siang, oom.” “Kamu udah di foodcourt?” “Sudah, oom.” “Bagus lah. Kamu emang harus begitu. Gak boleh terlambat ya apalagi ini debut kamu.” “Iya, oom.” “Tapi kamu udah siap dong dengan penampilanmu. Jangan malu-maluin lho. Oom udah cerita kemana-mana, khususnya ke teman oom itu, bahwa kamu hebat bisa begini begitu biarpun faktanya oom sebetulnya belum pernah liat penampilan kamu secara langsung. Jadi akhirnya
Pak Minggus hadir di sana. Sang Direktur Utama perusahaan pengelola mall, rekan pak Aldo, ingin menyaksikan penampilan Adri. Ada sedikit rasa gentar dalam diri Adri ketika tadi sempat berkenalan dengan pria Ambon itu. Untunglah orang itu juga penikmat musik dan sangat ramah. Saat waktunya tiba, orang yang sangat tepat waktu itu meminta Adri untuk segera naik ke atas panggung. Dessy benar-benar jadi malaikat penolong. Adri udah mulai jalan ke arah panggung di tengah padatnya pengunjung Foodcourt ketika sebuah panggilan dengan suara seseorang yang sangat ia kenal membuatnya menoleh. Rasa ingin tahu dan kaget seketika muncul ketika ia melihat dari balik bahu akan kehadiran Dessy. Gadis itu berlari-lari kecil sambil menenteng gitar akustik yang sudah pasti miliknya. “Dessy?” Adri membalik badan. “Kamu di sini?” “Iya, gue bawain gitar gue.” “Untuk aku?” Adri terpana. “Iye!” Dessy pura-pura galak. “Nyokap, bokap, sama g
Wajah Dessy memerah. Jantung berdetak lebih cepat dari biasa. Bulu kuduknya meremang saat melihat garis mulut Adri membentuk sudut menyungging senyum kecil. Dentang-denting senar pertama mulai terdengar. Suaranya yang jernih tertangkap mike, masuk ke dalam perangkat ampli dan beresonansi ke seluruh ruang. Adri masuk ke dalam intro. Here I am. Broken wings, quiet thoughts, unspoken dreams. Here I am. Alone again and I need her now to hold my hand. [Ini aku, sang sayap patah, berhenti berpikir dalam mimpi tak terkatakan. Ini aku, sendiri lagi dan kuingin ia tahu betapa ku ingin memegang tangannya]. Entah hanya Dessy saja yang merasa, tapi intro vokal yang dimainkan Adri terasa begitu menyentuh. Kesan romansa yang kuat amat terasa. Vokal lembut tapi bertenaga itu secara spontan membuat hampir semua pengunjung dewasa lagi-lagi terusik makannya. Serentak mereka menolehkan kepala ke arah panggung.
Waluyo menggeleng kepala. Sebuah bentuk kekaguman karena melihat apa yang Adri pagi itu lakukan: mencuci mobil. Jam menunjukkan sekitar pukul 9 pagi dan matahari di atas langit Jakarta sudah buas memancarkan radiasi panasnya. Mengantar suhu 33 derajat merambah seluruh permukaan bumi dimana Adri dan Waluyo berada. “Rajin banget kamu.” “Pak Syukur tadi minta tolong cuciin mobilnya.” “O,” Waluyo mengangguk. Orang itu memang baru pulang dari kampungnya di Sumatera Selatan. Saat tiba di rumah kemarin malam kondisinya memang sangat kotor di sana-sini. Pak Syukur rupanya meminta tolong pada anak muda itu untuk membersihkan mobil dan itu dipenuhi Adri. Tentu ada biaya jasa untuk itu dan Waluyo selama ini mengizinkan Adri untuk sedikit mendapat tip atas jasa mencuci mobil para penghuni kost. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu dan tentu saja Adri jadi punya waktu untuk melakukan apa yang pak Syukur minta.