Pak Aldo kembali mengangguk-angguk. Waiter datang untuk membawakan pesanan minuman untuk mereka berdua.
“Kembali ke soal puteri kami, menurutmu ada sikap dia yang kurang baik?”
Adri mengerenyit kening. Seperti tak percaya dengan pertanyaan tadi. “Kenapa harus fokus pada kekurangbaikan seseorang? Toh tidak ada orang yang sempurna.”
Pak Aldo gelagapan. Bu Avril buru-buru berkata. “Maksudmu, semua sikap puteri kami masih dalam batas normal kan? Tidak ada yang aneh kan?”
“Ya. Sangat normal,” Adri menjawab tandas. Namun sesaat kemudian ia teringat sesuatu. “Hanya akhir-akhir ini dia banyak mengeluh soal perutnya. Terkadang mengeluh nyeri, terkadang mengeluh diare. Nafsu makannya juga berkurang.”
“Dessy emang suka kurang disiplin makan.”
“Maaf. Kenapa oom dan tante bertanya seperti tadi itu di awal?”
“Menanyakan bagaimana?”
“Ketika aku bilang Dessy itu baik, kenapa oom dan tante seperti mengejar?
Kehadiran Adri pada mulanya hanya ia anggap sebagai pijakan, atau batu loncatan, untuk ia semakin berkilau – setidaknya menurut pendapatnya sendiri – di antara teman-teman satu sekolah. Adri itu benar-benar ia anggap sebagai mangsa empuk. Sifatnya yang lugu, bodoh, introvert, serta terlalu berpikir positif, membuat Adri menjadi bulan-bulanan keusilan dirinya. Menjadi pelampiasan gelora untuk nakal dan ajang penunjukan jati diri. Lebih dari tiga bulan ia menikmati kejumawaannya. Sampai peristiwa creative event itu. Ajang dimana dirinya menjadi ketua panitia. Ajang untuk sebuah event yang ia harapkan akan menjadi legacy ketika ia tidak lagi bersekolah di sana. Ajang dimana banyak orang – khususnya guru – akan mengenai sampai sekian tahun ke depan akan prestasi yang ia kerjakan. Namun secara tak terduga, ajang itu justeru mencemarkan namanya. Semua terjadi cepat dan tak terduga. Ia melihat kesempatan untuk mengerjai orang paling katrok satu
‘So beautiful. You are so beautiful,’ Adri membantin. “Gue di sini mau ada perlu lah...” OMG. Bagi Adri, Dessy saat ini sedang tersenyum seindah dan secantik yang ia bisa lakukan. Begitu terpana dirinya sampai-sampai salah satu pot di tangan terjatuh dari tangan. Dengan kegugupan luar biasa, Adri membungkuk dan coba menjangkau benda itu. Tangannya sudah menjulur ketika pot yang bentuknya memang asimetris yang mulanya menjauh, kini berbalik arah. Dengan satu tangan masih memegang beberapa pot kosong maka hanya dengan satu tanganlah Adri berusaha menjangkau pot bunga. Benda itu rupanya ‘nakal’ juga karena ketika berbalik arah ia kini melaju di antara kedua kaki Dessy dan Adri dengan lugunya ‘main comot’ benda itu. Dan saat itulah muka Dessy memerah. Betapa tidak, ketika si bopung mencomot pot bunga, ia harus melewati dua betisnya sampai bersentuhan dengan tangannya! Awalnya Adri hanya ‘cengengesan’ ketika berhasil mendapat
“Sampai sejauh itu? Seperti itu perlakuannya?” “Ya. Ia melakukan itu tanpa Bapak minta.” Dessy tercekat. Tak seperti yang ia duga, Adri ternyata memiliki kebesaran hati yang besar dengan menolong kaum difabel. Dessy juga malu karena telah salah duga dengan mengiranya bodoh karena selalu turun di halte yang lebih jauh dari lokasi sekolah. “Anak itu pernah menolak?” “Tidak pernah, Dik. Gara-gara Adri jugalah bapak jadi punya kerjaan sesuai bidang bapak di farmasi dengan jadi pegawai di perusahaan di dekat halte tersebut. Biar pun hanya freelance, tapi lumayan lah." “Aku tak menyangka dia sebaik itu.” “Bapak juga tak menyangka. Selain itu Adri itu jugalah yang menyadarkan bahwa keterampilan Bapak yang dulu pernah jadi petani pun bisa diandalkan. Dia mengajarkan teknik pembuatan akuaponik,” Pak Waluyo menunjuk rangkaian pipa-pipa PVC yang tersambung ke sebuah kolam terpal berisi ikan mujair.
Tas atau sarung yang membalut kondisi gitar memang sudah tak enak dilihat mata. Namun yang lebih parah adalah isi di dalamnya. Sebuah gitar akustik yang Adri khawatirkan bisa membuat penampilannya tak akan optimal ketika nanti di atas panggung. Ponsel Adri mendadak bergetar. Ia mengeluarkan gadget tadi dari kantung celana dan melihat sesaat siapa penelponnya. “Wuih, sejak pake ponsel baru jadi sibuk terus nih,” Farel menggoda. Adri memberi isyarat agar Farel diam dahulu. “Selamat siang, oom.” “Kamu udah di foodcourt?” “Sudah, oom.” “Bagus lah. Kamu emang harus begitu. Gak boleh terlambat ya apalagi ini debut kamu.” “Iya, oom.” “Tapi kamu udah siap dong dengan penampilanmu. Jangan malu-maluin lho. Oom udah cerita kemana-mana, khususnya ke teman oom itu, bahwa kamu hebat bisa begini begitu biarpun faktanya oom sebetulnya belum pernah liat penampilan kamu secara langsung. Jadi akhirnya
Pak Minggus hadir di sana. Sang Direktur Utama perusahaan pengelola mall, rekan pak Aldo, ingin menyaksikan penampilan Adri. Ada sedikit rasa gentar dalam diri Adri ketika tadi sempat berkenalan dengan pria Ambon itu. Untunglah orang itu juga penikmat musik dan sangat ramah. Saat waktunya tiba, orang yang sangat tepat waktu itu meminta Adri untuk segera naik ke atas panggung. Dessy benar-benar jadi malaikat penolong. Adri udah mulai jalan ke arah panggung di tengah padatnya pengunjung Foodcourt ketika sebuah panggilan dengan suara seseorang yang sangat ia kenal membuatnya menoleh. Rasa ingin tahu dan kaget seketika muncul ketika ia melihat dari balik bahu akan kehadiran Dessy. Gadis itu berlari-lari kecil sambil menenteng gitar akustik yang sudah pasti miliknya. “Dessy?” Adri membalik badan. “Kamu di sini?” “Iya, gue bawain gitar gue.” “Untuk aku?” Adri terpana. “Iye!” Dessy pura-pura galak. “Nyokap, bokap, sama g
Wajah Dessy memerah. Jantung berdetak lebih cepat dari biasa. Bulu kuduknya meremang saat melihat garis mulut Adri membentuk sudut menyungging senyum kecil. Dentang-denting senar pertama mulai terdengar. Suaranya yang jernih tertangkap mike, masuk ke dalam perangkat ampli dan beresonansi ke seluruh ruang. Adri masuk ke dalam intro. Here I am. Broken wings, quiet thoughts, unspoken dreams. Here I am. Alone again and I need her now to hold my hand. [Ini aku, sang sayap patah, berhenti berpikir dalam mimpi tak terkatakan. Ini aku, sendiri lagi dan kuingin ia tahu betapa ku ingin memegang tangannya]. Entah hanya Dessy saja yang merasa, tapi intro vokal yang dimainkan Adri terasa begitu menyentuh. Kesan romansa yang kuat amat terasa. Vokal lembut tapi bertenaga itu secara spontan membuat hampir semua pengunjung dewasa lagi-lagi terusik makannya. Serentak mereka menolehkan kepala ke arah panggung.
Waluyo menggeleng kepala. Sebuah bentuk kekaguman karena melihat apa yang Adri pagi itu lakukan: mencuci mobil. Jam menunjukkan sekitar pukul 9 pagi dan matahari di atas langit Jakarta sudah buas memancarkan radiasi panasnya. Mengantar suhu 33 derajat merambah seluruh permukaan bumi dimana Adri dan Waluyo berada. “Rajin banget kamu.” “Pak Syukur tadi minta tolong cuciin mobilnya.” “O,” Waluyo mengangguk. Orang itu memang baru pulang dari kampungnya di Sumatera Selatan. Saat tiba di rumah kemarin malam kondisinya memang sangat kotor di sana-sini. Pak Syukur rupanya meminta tolong pada anak muda itu untuk membersihkan mobil dan itu dipenuhi Adri. Tentu ada biaya jasa untuk itu dan Waluyo selama ini mengizinkan Adri untuk sedikit mendapat tip atas jasa mencuci mobil para penghuni kost. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu dan tentu saja Adri jadi punya waktu untuk melakukan apa yang pak Syukur minta.
“Aku jadi kurang enak. Bagaimana kalau aku pinjam saja? Kalau penampilan di panggung bisa menambah uang saku yang cukup untuk membeli gitar baru, barulah aku kembalikan gitarmu. Bagaimana, setuju?” Dessy tak keberatan. “No problem. Jadi, gitarku yang ada di kamu itu jangan kamu kembaliin tiap kali habis mentas. Kamu simpan aja untuk setiap kali kamu tampil di panggung. Paham?” Dan lagi-lagi Adri terharu. “Kalian berbuat terlalu banyak untuk aku. Apa yang harus aku lakukan untuk membalas semua kebaikan ini?” Dessy mengebas rambut. Sebuah tindakan kecil yang entah mengapa menurut Adri menjadikan Dessy jadi semakin nyata dalam kecantikannya. “Kamu udah nolong aku di kolam renang.” “Kenapa itu terus yang kamu ulang?” “Emangnya gak boleh, sayangku?” Sementara Adri terdiam, Dessy lebih terdiam lagi. ‘Damned! Kenapa gue bilang ‘sayangku’ segala? Dasar najong! Ini kan artinya ketahua
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang
Dessy merasa seolah-olah kembali ke peradaban ketika menginjakan kaki kembali di mall yang merangkap sebagai hotel tempatnya tinggal. Kendati tak ada lagi hawa beraroma kelembaban laut, ia lebih senang berada disana. Ia lebih menikmati seliweran kendaraan di sana-sini, deretan gedung, keramaian orang, dan sajian kuliner di resto atau cafe. Seolah merayakan kemerdekaannya, kakinya langsung ia ayunkan ke cafe yang sehari sebelumnya ia datangi bersama Jason. Setelah mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca segelas Vanilla Latte beserta tiga cupcakes dan brownies langsung ia pesan. Badannya terasa sedikit capek setelah perjalanan dengan kapal kayu. Rasanya tak salah sedikit memanja diri dan menambah energi dengan kudapan tadi. Penampilan live music seorang pengunjung yang secara mendadak mendaftarkan diri mencipta suasana yang semakin rileks. Dari posisi tempatnya duduk, Dessy m
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....