Wajah Dessy memerah. Jantung berdetak lebih cepat dari biasa. Bulu kuduknya meremang saat melihat garis mulut Adri membentuk sudut menyungging senyum kecil. Dentang-denting senar pertama mulai terdengar. Suaranya yang jernih tertangkap mike, masuk ke dalam perangkat ampli dan beresonansi ke seluruh ruang. Adri masuk ke dalam intro.
Here I am. Broken wings, quiet thoughts, unspoken dreams.
Here I am. Alone again and I need her now to hold my hand.
[Ini aku, sang sayap patah, berhenti berpikir dalam mimpi tak terkatakan. Ini aku, sendiri lagi dan kuingin ia tahu betapa ku ingin memegang tangannya].
Entah hanya Dessy saja yang merasa, tapi intro vokal yang dimainkan Adri terasa begitu menyentuh. Kesan romansa yang kuat amat terasa. Vokal lembut tapi bertenaga itu secara spontan membuat hampir semua pengunjung dewasa lagi-lagi terusik makannya. Serentak mereka menolehkan kepala ke arah panggung.
Waluyo menggeleng kepala. Sebuah bentuk kekaguman karena melihat apa yang Adri pagi itu lakukan: mencuci mobil. Jam menunjukkan sekitar pukul 9 pagi dan matahari di atas langit Jakarta sudah buas memancarkan radiasi panasnya. Mengantar suhu 33 derajat merambah seluruh permukaan bumi dimana Adri dan Waluyo berada. “Rajin banget kamu.” “Pak Syukur tadi minta tolong cuciin mobilnya.” “O,” Waluyo mengangguk. Orang itu memang baru pulang dari kampungnya di Sumatera Selatan. Saat tiba di rumah kemarin malam kondisinya memang sangat kotor di sana-sini. Pak Syukur rupanya meminta tolong pada anak muda itu untuk membersihkan mobil dan itu dipenuhi Adri. Tentu ada biaya jasa untuk itu dan Waluyo selama ini mengizinkan Adri untuk sedikit mendapat tip atas jasa mencuci mobil para penghuni kost. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu dan tentu saja Adri jadi punya waktu untuk melakukan apa yang pak Syukur minta.
“Aku jadi kurang enak. Bagaimana kalau aku pinjam saja? Kalau penampilan di panggung bisa menambah uang saku yang cukup untuk membeli gitar baru, barulah aku kembalikan gitarmu. Bagaimana, setuju?” Dessy tak keberatan. “No problem. Jadi, gitarku yang ada di kamu itu jangan kamu kembaliin tiap kali habis mentas. Kamu simpan aja untuk setiap kali kamu tampil di panggung. Paham?” Dan lagi-lagi Adri terharu. “Kalian berbuat terlalu banyak untuk aku. Apa yang harus aku lakukan untuk membalas semua kebaikan ini?” Dessy mengebas rambut. Sebuah tindakan kecil yang entah mengapa menurut Adri menjadikan Dessy jadi semakin nyata dalam kecantikannya. “Kamu udah nolong aku di kolam renang.” “Kenapa itu terus yang kamu ulang?” “Emangnya gak boleh, sayangku?” Sementara Adri terdiam, Dessy lebih terdiam lagi. ‘Damned! Kenapa gue bilang ‘sayangku’ segala? Dasar najong! Ini kan artinya ketahua
“Hush! Jangan.” “Kenapa emangnya?” “Itu soal basic. Tanpa kamu perlu damprat pun dia akan sadar sendiri.” “Ah.” “Saat Arjun begitu, pasti moodnya lagi nggak bagus. Betul?” “Mmm.... emang dia lagi ada masalah sama orangtua dan pihak sekolah sih.” “Dengan kondisi batin Arjun yang lagi nggak bagus, seharusnya kamu memaklumi tindakan atau ucapan Arjun. Karena itu jangan terlalu reaktif dan emosional. Tidak lama lagi Arjun akan menyadari kesalahannya dan dia akan meminta maaf padamu. Dia akan sadar sendiri.” Dessy menaikkan alis. Tidak salah dengarkah dirinya? Bagaimana mungkin, ketika pria lain dengan senang hati siap mendengar curahan hatinya dan menyediakan diri sebagai a shoulder to cry on, Adri malah memintanya tetap setia dengan pacarnya! Naif atau bodoh? Hal itu baru mau disampaikan ketika ponselnya mendadak bergetar. Nama Arjun dengan status ‘menghubungi’ terpampang di layar ponsel.
Lagu itu adalah tembang Right Here Waiting yang dinyanyikan Adri dengan vokal lembut namun bertenaga serta menjadikannya lebih indah dari penyanyi aslinya, Richard Marx. Lagu itu memiliki arti bagi kedua orangtua Dessy karena hampir 20 tahun lalu dengan diiringi lagu itu yang dilantunkan dari sebuah music box di sebuah café – mereka saling mencurahkan isi hati dan menyatakan cinta. Lagu itu juga selalu jadi pengiring tiap kali mereka merayakan anniversary alias ulang tahun pernikahan dan Dessy rupanya telah membocorkan info itu pada Adri. Dan hari itu adalah anniversary ke-sekian. Mereka tak tahan dan menangis ketika dari atas panggung Adri mengumumkan hari bahagia itu kepada semua pengunjung yang memadati foodcourt. Dessy yang melihat momen itu hanya bisa ikut terharu dan merasakan kebahagiaan yang sama. Bersama dengan kedua orangtuanya, ketiganya berpegangan dan saling berpelukan. Larut dalam bahagia yang dengan sukses diramu oleh Adrianus. &nb
“Atau kamu oom kasih gitar akustik dan elektrik? Mengingat yang ada di kamu kan hanya pinjaman dari Dessy. Gak apa-apa oom kasih yang baru.” Adri makin setengah mati menolak. Namun setelah didesak berkali-kali dan ia terpikir akan sesuatu akhirnya ia menyampaikan satu permintaan. Permintaan itu adalah agar seorang sahabatnya yang memiliki latar belakang farmasi dicarikan pekerjaan. Orang itu tak lain adalah Waluyo. Ia difabel dan Adri berharap pak Aldo mungkin bisa memiliki koneksi agar orang itu bisa dipekerjakan di tempat yang sesuai. Pembicaraan telpon mereka baru berakhir ketika Adri menangkap bayangan seseorang. “Dessy!” Yang dipanggil menoleh. “Kenapa nyanda pake sepatu?” “Heran liat gue nyeker yah?” Dessy tergelak. “Gue taruh di luar gara-gara tadi sempat kecemplung di genangan air.” Adri manggut. Pagi tadi memang cuaca hujan terus dan menimbulkan banya
Kendati beberapa orang ikut menyanyi bersama Adri, Dessy memutuskan untuk hanya menyimak. Lagu yang dipilih Adri benar-benar seolah seperti menggoda dirinya gara-gara judulnya yang terasa provokatif: ‘How Deep Is Your Love.’ ‘Adri, ditujukan ke dirikukah pertanyaan itu?’ Adri tidak tampil di acara terakhir. Sesaat setelah turun dari panggung Dessy sudah menunggui di anak tangga panggung. Sebuah bahasa tubuh yang seolah tak sabar menunggu Adri kembali ‘mendarat’ di bumi setelah sebelumnya sukses membuat Dessy mengawang-awang dengan semua performancenya yang mempesona. [Catatan Penulis: Yang ingin tahu seperti apa lagunya seperti apa silahkan search di Youtube: Bee Gees – How Deep Is Your Love] Mereka bercakap sesaat di bawah tangga. Namun saat hendak kembali ke meja, Dessy sudah mendapati bahwa meja yang tadi ia duduki sudah diokupasi orang-orang lain. Ia sudah bergerak untuk
Mereka berjalan ke sisi luar mall yang lebih terbuka. Tangan Dessy bersedekap memegangi kedua lengan sendiri sebagai respon dingin malam yang mulai menggigit. Melihat itu Adri spontan melepas gitar dan kemudian melepas juga jaket yang ia pakai. Dessy sedang menatap ke suatu arah ketika tiba-tiba tubuhnya ditutupi jaket. “Lho?” “Aku nggak ingin kamu kedinginan.” “Tapi aku...” “Ssssh..... sudahlah. Kamu udah support aku sejauh ini, masa’ sih aku gak boleh balas kebaikan hatimu.” Ucapan itu membuat Dessy akhirnya mengambil keputusan mengalah. Lagipula kehadiran jaket yang hanya ditaruh begitu saja sudah menimbulkan rasa hangat. ‘Mungkin sehangat itu pula hatiku kalau bisa bersamanya,’ Dessy membatin. Pikirannya sempat melambung sesaat. Adri mendadak mengusik dirinya dengan sebuah pertanyaan. “Dessy, mmm....... kapan kita bisa tampil bareng?” “Maksudmu?” “Aku udah lihat penampilan kamu di Youtube.” Dessy menatap Adri dengan mimik kaget. Walau tanpa suara, mulutnya yang terbuka j
Dessy tentu tahu mengenai alat itu. Tapi tak menyangka bahwa ia kemudian akan memilikinya. Lebih tak menyangka lagi bahwa si bopung ternyata begitu memperhatikan dirinya sampai-sampai ‘bela-belain’ membeli perangkat imut semacam itu. "Mudah-mudahan dengan ini kamu nggak akan kepanasan lagi.” "Memang kalau aku kepanasan kenapa?" "Takut kamu nggak mau datang lagi." Cep! Jantung Dessy seperti ditancap sebuah panah. Entah panah apa. Panah Cupid mungkin. “Terima kasih.” Dessy menggeluarkan ponselnya dan menghubungkan dengan kabel. Seketika aksesoris kipas pun menyala. Namun suasana malam yang agak dingin tentu saja tak membuat dingin yang tercipta tak lagi berarti. Setelah puas mencoba, Dessy menaruh aksesoris ponsel tadi ke tas kecil yang ia bawa. “Terima kasih.” “Aku juga mau traktir kamu camilan. Boleh?” Dessy b