Apakah Romeo akan melihat Suri dan mencegahnya untuk pergi? Yuk, komen dan berikan gems serta like untuk mendukung Suri. Update selanjutnya nanti sore ya.
Sebelum keluar dari kafe, mau tak mau Suri harus berjalan melewati meja Romeo. Dengan kepala tertunduk, ia pun mencoba berlalu secepat mungkin. Namun nasib berkata lain—tepat saat ia melintasi meja itu, Romeo berdiri untuk menuju toilet dan tanpa sengaja menabraknya. “Suri?!”Romeo terhenyak. Kedua mata pria itu melebar seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di depannya berdiri Suri, istrinya yang seharian ini ia cari mati-matian. Romeo segera mencengkeram pergelangan tangan Suri dengan kuat, membuat wanita itu terhenti di tengah langkah.“Ke mana saja kamu? Ikut aku pulang sekarang!” tukas Romeo tak ingin dibantah. Suri meronta, berusaha melepaskan dirinya dari Romeo. Namun, genggaman pria itu terlalu kuat. “Lepaskan aku, Romeo!” tukasnya dengan suara dingin. “Tidak akan!” Mata Romeo menyipit, suaranya berubah keras. “Aku sudah pusing mencarimu, dan sekarang kamu malah berkeliaran di kafe ini! Apa sebenarnya yang kamu inginkan?” “Aku tidak perlu memberikan penjelasan a
Setiba di rumah sakit, Romeo langsung membawa Diva ke ruang pemeriksaan. Diva mendengus pelan, merasa tindakan pria itu terlalu berlebihan. Padahal, sebenarnya ia tidak pusing sama sekali. Sebagai seorang aktris, ia punya kemampuan yang hebat dalam berakting, termasuk pura-pura sakit di hadapan Romeo. Dokter memeriksa Diva dengan cermat, mengukur tekanan darah dan memantau kondisinya. Beberapa saat kemudian, dokter tersenyum tipis.“Nona Diva tidak apa-apa. Mungkin hanya sedikit kelelahan karena tekanan darah rendah. Saya akan beri resep vitamin agar kondisinya membaik.” Diva memutar bola matanya dengan malas, merasa semua ini tidak perlu. “Sudah aku bilang, aku baik-baik saja,” gumamnya pada Romeo begitu keluar dari ruang pemeriksaan.Namun, Romeo tidak peduli. Tatapannya tajam dan tak terbantahkan. “Kamu harus istirahat di rumah sakit malam ini, supaya dokter bisa memantau kondisimu.”Diva langsung membelalak, merasa keberatan dengan keputusan yang diambil Romeo. “Aku tidak mau
Suri hanya terdiam, matanya menerawang keluar jendela sepanjang perjalanan menuju bandara. Hatinya berat, meski ia tahu keputusan ini adalah yang terbaik. Harus diakui bahwa meninggalkan kota kelahirannya bukanlah hal yang mudah. Namun ia harus pergi, meninggalkan kehidupan yang selama ini hanya memberinya rasa sakit.Tidak ada lagi Romeo. Tidak ada lagi air mata karena cinta yang kosong. Yang ia butuhkan saat ini adalah kesembuhan jiwa dan raga, dan itu semua hanya bisa ia dapatkan jika jauh dari keluarga Albantara.Ia sudah mencoba bertahan, mengabaikan segala luka dan penghinaan. Namun, kini ia sadar bahwa cinta yang tidak dihargai hanya akan menghancurkannya.Setibanya di bandara, Kevin membantu Suri menurunkan koper dan mengantarnya hingga ke pintu keberangkatan. Sebelum berpisah, ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya lalu menyerahkan ke tangan Suri.“Nona, ini alamat rumah Dokter Silas. Begitu Anda tiba di Herona, langs
Suri turun dari pesawat dengan langkah yang sedikit gontai, melepaskan napas panjang begitu kakinya menyentuh lantai bandara kota Herona. Udara hangat menyambutnya, seolah menandakan bahwa perjalanan panjang yang melelahkan ini akhirnya berakhir, setidaknya untuk sementara. .Setelah melewati deretan penumpang yang sibuk dengan koper mereka, Suri segera mencari taksi di luar bandara. Ia sedikit terkejut dengan hiruk pikuk yang berbeda dari kotanya. Kota Herona memang asing, tetapi justru itulah yang diinginkannya. Ia membutuhkan suasana baru untuk menyegarkan jiwanya yang terasa lelah. Suri melangkah menuju taksi yang menunggu di tepi jalan, menyerahkan alamat yang ditulis oleh Tuan Josua kepada sopir. "Ke alamat ini, Pak," ucapnya pelan sambil mengamati secarik kertas itu untuk memastikan.Sopir taksi itu mengangguk tanpa banyak bicara, dan segera mengarahkan mobil keluar dari kawasan bandara. Sembari duduk di kursi belakang, Suri memandangi pemandangan di luar jendela. Kota Herona
Dengan mata terbelalak, Suri menatap pria itu, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi. Sekilas, ia melihat sesuatu yang familiar - stetoskop yang menggantung di leher pria itu. Pikiran Suri yang masih linglung segera menghubungkan potongan informasi tersebut, dan rasa cemasnya perlahan berkurang. Ternyata ini benar-benar dokter Silas, dokter sekaligus keponakan Tuan Josua yang ia tunggu. Sontak, Suri menarik napas pelan, meski jantungnya masih berdetak dengan cepat.Dokter Silas—tersenyum tipis, lalu berkata, "Saya minta maaf jika kehadiran saya mengejutkanmu, Suri. Saya hanya ingin memeriksa kondisi kesehatanmu, karena Bi Lena tadi melapor bahwa kamu mengalami mimisan."Suri mengangguk pelan, meskipun tubuhnya masih terasa lemas. "Iya, Dok, saya tiba-tiba pusing dan mengalami mimisan," ucap Suri dengan suara parau.“Tidak apa-apa. Mari kita periksa dulu kondisimu,” kata dokter Silas dengan nada profesional. Dokter Silas meletakkan tas medisnya di atas meja, mengeluarkan bebera
“Bagus. Tetap tenang, dan pastikan Anda beristirahat malam ini,” pungkas dokter Richard. Suri mengangguk lemah. Ketika ia bangkit dari kursi pemeriksaan, tubuhnya terasa lebih ringan, seolah sebagian dari beban yang selama ini dipikulnya telah hilang. Namun, ia tahu pertempuran yang sebenarnya baru saja akan dimulai.Dokter Richard memberikan beberapa instruksi tambahan, lalu memanggil perawat untuk membantu Suri keluar ruangan. Ketika ia berjalan menuju pintu, ternyata dokter Silas sudah menunggu di luar dengan wajah cemas.“Bagaimana?” tanyanya.“Operasi dijadwalkan besok pagi,” jawab Suri dengan nada datar, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Dokter Silas tersenyum dan menepuk bahu Suri perlahan, memberikan dukungan tanpa kata.“Jangan terlalu banyak pikiran, Suri. Malam ini, kamu harus tidur nyenyak,” kata dokter Silas, mencoba menyemangati.Suri hanya tersenyum tipis walaupun terselip kekhawatiran besar yang tidak dapat ia sembunyikan. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk
Menjelang pukul delapan malam, sudah tidak ada aktivitas yang terdengar di rumah dokter Silas. Kamar tempat Suri beristirahat pun terasa begitu sunyi. Hanya penerangan dari lampu tidur yang memancarkan cahaya temaram di dalam ruangan. Suri berbaring di ranjang kamar tamu, tetapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya berkelana, mencemaskan operasi tumor hidung yang akan dijalaninya esok pagi. Setiap kali dia menutup mata, bayangan ruang operasi, suara-suara alat medis, dan tangan para dokter yang melakukan pembedahan muncul silih berganti. “Apa aku bisa melewati ini? Apakah aku akan selamat?” gumamnya lirih pada diri sendiri. Bunyi ketukan yang terdengar dari pintu kamar, membuat Suri terkejut dan segera bangkit. Ketika ia membuka pintu, Bi Lena sudah muncul di sana. Wanita itu membawa nampan dengan secangkir teh yang mengepulkan uap harum.“Maaf, Nona Suri,” ucap Bi Lena dengan suara halus, “Saya membawakan teh chamomile untuk Anda. Dokter Silas meminta agar Anda meminu
Diva terperanjat. Wajahnya langsung memucat, tetapi dia berusaha keras untuk mempertahankan senyum palsunya. “Foto apa? Aku tidak mengerti apa yang Kak Romeo bicarakan,” jawabnya dengan suara pelan, mencoba berlagak tidak tahu. Sejenak, Diva mengalihkan pandangan dan pura-pura sibuk membaca pesan di ponsel. “Aku butuh kejujuranmu,” potong Romeo dengan tegas. “Suri memiliki fotoku yang sedang tertidur di kamar apartemen. Hanya kamu yang bisa mengambil foto itu, karena tidak ada orang lain di sana.”Diva mengerjap beberapa kali, otaknya berputar cepat mencari alasan yang masuk akal. Dia tidak menyangka Romeo akan tahu tentang foto yang ia kirimkan kepada Suri, dalam waktu secepat ini. “Bukan aku pelakunya, Kak,” jawab Diva dengan nada sedih, mencoba memainkan perannya sebagai wanita yang tersakiti. “Malam itu, kepalaku sangat pusing dan perutku mual. Aku tertidur lebih dulu dari Kak Romeo. Mana mungkin aku bisa mengambil foto lalu mengirimkannya kepada Suri,” sangkal Diva.Romeo me
Di dalam minimarket, ponsel Suri bergetar di dalam tasnya. Ia segera mengambilnya dan melihat nama yang tertera di layar—Romeo.Secepatnya, Suri mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Sayang, aku belum sampai di rumah.”“Suri, kamu di mana?” Suara Romeo terdengar lembut dan ceria.Suri mengernyit bingung. “Aku… sedang berbelanja di salah satu minimarket di Spring Season. Kenapa, Sayang?”“Aku ada di depan kantormu, tetapi security bilang kamu sudah pulang,” kata Romeo dengan nada sedikit menggoda.Suri terkejut mendengar perkataan Romeo yang terdengar ambigu. “Di depan kantorku? Maksudnya kamu sudah pulang dari luar negeri?”Romeo tertawa kecil. “Iya, Sayang, aku sudah kembali. Ini kejutan yang aku maksud.”Senyum merekah di wajah Suri. Tak pernah terpikir olehnya bahwa suaminya akan pulang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia pun merasa bahagia sekaligus sedikit bersalah, karena tidak ada di tempat saat Romeo datang mencarinya. “Aku kira kamu baru datang besok pagi. Tahu begini, ak
Di apartemennya, Diva baru saja menggeliat di tempat tidur. Kebiasaannya bangun siang membuatnya enggan beranjak. Akan tetapi, dering ponsel memaksanya untuk meraih perangkat itu dengan malas.Begitu melihat nama di layar, Diva segera menjawab dengan suara lembut.“Halo, Tante Valerie?""Diva, Tante ingin bertanya. Apakah kamu yang mengirimkan foto-foto Suri ke mansion? Kami baru saja menerima sebuah paket tak bernama berisi foto-foto itu."Rasa malas Diva hilang seketika, berganti dengan senyum lebar yang tersungging di wajahnya. "Iya, Tante. Aku menyewa orang untuk memata-matai Suri,” katanya penuh antusiasme. “Apakah Nyonya Miranda sudah melihatnya? Bagaimana reaksinya?”Ada jeda sejenak sebelum Nyonya Valerie menjawab. "Ya, Mama Miranda sudah melihat foto-foto itu. Tangannya gemetar, bahkan dia hampir pingsan.""Bagus! Itu artinya Beliau sangat marah. Lalu, apakah Suri akan dipanggil hari ini dan dipaksa untuk bercerai dari Kak Romeo?” tanya Diva tak sabar.Nyonya Valerie mendesah
Aira membuka amplop besar itu dengan rasa penasaran. Begitu matanya menangkap isi di dalamnya, tubuhnya langsung membeku. Deretan foto-foto yang terjatuh ke pangkuannya menampilkan sosok Suri bersama seorang pria yang terlihat mesra. Di dalam foto pertama, Suri dan pria itu tampak sedang makan siang bersama di sebuah kafe. Senyum mereka begitu akrab, seolah tidak ada jarak. Dalam foto lain, pria itu merangkul Suri, memegang tangannya bahkan memeluknya di halaman rumah tanpa rasa malu.Aira merasa napasnya tersendat. “Tidak mungkin… Suri?” bisiknya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Tangannya gemetar saat menggenggam foto-foto itu. Selama ini, ia memang tidak menyukai Suri, tetapi ia tidak pernah menyangka sang kakak ipar akan melakukan perselingkuhan. Nyonya Miranda yang sejak tadi memperhatikan cucunya, melangkah perlahan. Ia mendekat sambil mencengkeram tongkatnya dengan erat. Garis wajahnya yang mulai menua memancarkan ketegasan.“Ada apa, Aira?”Aira tersen
Hati Suri terasa lebih ringan usai melihat kondisi sang tante, yang akhirnya bersedia menjalani pengobatan. Ia meletakkan tasnya di sofa, lalu bergegas menuju kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitnya, menghapus penat yang melekat setelah seharian bekerja. Selesai mandi, Suri mengenakan piyama berbahan katun lembut dan berjalan menuju ruang makan. Di atas meja, terdapat semangkuk sup ayam dengan potongan wortel dan kentang, sepiring nasi putih, serta sari buah segar yang disiapkan pelayan. Suri duduk dan mulai menyantap makanan dengan tenangDi tengah suapan makan malamnya, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Suri mengambilnya dan melihat nama Raysa terpampang di layar. Ia segera menjawab panggilan itu dengan senyum."Halo, Raysa.""Suri, aku mau berbagi sesuatu!" suara Raysa terdengar penuh kebahagiaan di seberang sana.Suri menaruh sendoknya, penasaran dengan kabar yang akan disampaikan sahabatnya itu. "Apa itu? Suaramu terdengar sangat bahagia."Raysa tertawa kecil sebel
Suri melangkah mengikuti Axel ke dalam kamar yang beraroma obat. Di atas ranjang berkanopi putih, seorang wanita paruh baya terbaring lemah. Wajahnya yang dulu penuh wibawa kini tampak pucat dan tirus.Lingkaran hitam di bawah matanya semakin menegaskan betapa sakitnya ia selama ini. Napasnya terdengar berat, dan tangannya yang dulu tampak berisi kini terlihat ringkih dan berurat.Suri terkejut melihat kondisi tantenya yang begitu rapuh. Ada rasa iba yang tiba-tiba menyelubungi hatinya. Walau masih ada bekas luka atas apa yang terjadi di masa lalu, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita di depannya ini adalah keluarga.Axel mendekati ranjang terlebih dahulu, membangunkan sang ibu dengan suara lembut. "Mama, aku membawa Suri ke sini. Dia ingin menjenguk Mama."Mata wanita itu terbuka perlahan, tampak terkejut dan tidak percaya. Dengan usaha yang terlihat menyakitkan, ia mencoba bangun dari posisinya. Suri segera melangkah maju, tangannya menopang tubuh sang tante. "Jangan,
Tepat pukul dua belas, Suri melangkah masuk ke Kafe Eclesia, tempat yang telah ia sepakati dengan Axel. Aroma kopi yang khas bercampur dengan wangi roti panggang menyambutnya, memberikan suasana hangat di tengah kepenatan. Matanya segera menangkap sosok pria yang duduk di sendirian di meja nomor sebelas, menunggunya dengan wajah penuh harap. Axel segera berdiri begitu melihat Suri datang. Ia berjalan ke pintu masuk dengan senyum mengembang, lalu meraih tangan Suri dan menariknya ke dalam pelukan.Suri sempat terkejut, tubuhnya menegang sejenak, tetapi ia tidak menolak. Ia menganggap pelukan itu sebagai ungkapan persaudaraan semata. Bagaimanapun, Axel adalah putra dari sang tante, walaupun hubungan mereka memiliki riwayat yang pelik. "Aku senang kamu datang," ujar Axel sambil melepas pelukannya. Ia kemudian menggandeng tangan Suri, membimbingnya menuju meja yang telah ia pesan sebelumnya.Suri duduk dengan sopan, menarik tangannya secara perlahan dari genggaman Axel. Matanya menatap
Raysa baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu calon pembeli apartemen. Setelah merapikan berkas-berkasnya, ia menghela napas sejenak sebelum bersiap menemui klien berikutnya—seseorang yang berniat membeli unit penthouse eksklusif dengan luas lebih dari 250 meter persegi di pusat kota. Pertemuan mereka dijadwalkan berlangsung di sebuah kafe, yang terletak di dekat area pengembangan apartemen.Setibanya di kafe, Raysa memesan secangkir kopi latte dan duduk di salah satu meja yang menghadap ke jendela. Ia mengecek kembali dokumen properti sambil menunggu kliennya datang.Namun, alih-alih sosok asing yang muncul, Raysa justru mendapati seorang pria yang sangat dikenalnya.Kenzo.Matanya melebar, tubuhnya menegang. Kenzo berjalan santai mendekatinya, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, memperlihatkan pergelangan tangan kokohnya. Senyum khasnya yang penuh percaya diri membuat Raysa semakin kesal."Apa yang kamu lakukan di sini?" Raysa langsung berdiri dari kursinya,
Hampir tiga minggu berlalu sejak pengakuan Romeo tentang kondisinya di depan keluarga. Sejak itu, Nyonya Miranda semakin sering mengundang mereka ke mansion, sekadar untuk makan malam bersama atau berjalan-jalan menikmati udara segar. Sementara itu, Nyonya Valerie, meskipun masih bersikap sinis, tampaknya belum melakukan apapun yang mengusik kehidupan rumah tangga putranya.Hanya saja, saat ini Suri sedang merasa kesepian. Romeo harus pergi ke luar negeri selama lima hari untuk melakukan kesepakatan kerja sama proyek pembangunan mal. Hari ini baru memasuki hari kedua, tetapi Suri sudah merindukan suaminya dengan begitu dalam. Sepulang dari kantor, ia hanya duduk termenung di kamar, memeluk erat boneka beruang besar pemberian Romeo. Walaupun tubuhnya lelah usai seharian meninjau proyek kota mandiri, Suri sama sekali tidak mengantuk.Biasanya, di malam-malam seperti ini, Suri terlelap dalam pelukan suaminya, merasakan kehangatan dan perlindungannya. Namun kini, ranjang tempatnya berbar
Gedung galeri seni di pusat kota Velmora berdiri megah dengan arsitektur bernuansa klasik. Dinding-dindingnya tinggi, dihiasi karya-karya para pelukis ternama. Aroma cat minyak samar-samar bercampur dengan wangi bunga yang disusun dalam vas kristal. Para tamu yang berlalu-lalang, mengamati lukisan-lukisan yang dipajang dengan pencahayaan sempurna.Nyonya Miranda berjalan perlahan, matanya menyusuri tiap kanvas yang memajang berbagai mahakarya dari tiga pelukis tersohor. Romeo dan Suri setia mendampinginya, memperhatikan ekspresi nenek mereka yang sesekali mengangguk kagum. Ia berhenti di depan lukisan malaikat yang melayang di atas hamparan bunga lili putih, serta lukisan burung camar yang terbang bebas di langit jingga. Kemudian, matanya berpindah lagi ke lukisan laut bergelora, dengan mercusuar yang berdiri kokoh di tengah badai. Lukisan-lukisan itu bercerita tentang warna dan goresan, menyuguhkan potret emosional dan abstrak yang menggugah imajinasi."Sungguh luar biasa," gumam N