Menjelang pukul delapan malam, sudah tidak ada aktivitas yang terdengar di rumah dokter Silas. Kamar tempat Suri beristirahat pun terasa begitu sunyi. Hanya penerangan dari lampu tidur yang memancarkan cahaya temaram di dalam ruangan. Suri berbaring di ranjang kamar tamu, tetapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya berkelana, mencemaskan operasi tumor hidung yang akan dijalaninya esok pagi. Setiap kali dia menutup mata, bayangan ruang operasi, suara-suara alat medis, dan tangan para dokter yang melakukan pembedahan muncul silih berganti. “Apa aku bisa melewati ini? Apakah aku akan selamat?” gumamnya lirih pada diri sendiri. Bunyi ketukan yang terdengar dari pintu kamar, membuat Suri terkejut dan segera bangkit. Ketika ia membuka pintu, Bi Lena sudah muncul di sana. Wanita itu membawa nampan dengan secangkir teh yang mengepulkan uap harum.“Maaf, Nona Suri,” ucap Bi Lena dengan suara halus, “Saya membawakan teh chamomile untuk Anda. Dokter Silas meminta agar Anda meminu
Diva terperanjat. Wajahnya langsung memucat, tetapi dia berusaha keras untuk mempertahankan senyum palsunya. “Foto apa? Aku tidak mengerti apa yang Kak Romeo bicarakan,” jawabnya dengan suara pelan, mencoba berlagak tidak tahu. Sejenak, Diva mengalihkan pandangan dan pura-pura sibuk membaca pesan di ponsel. “Aku butuh kejujuranmu,” potong Romeo dengan tegas. “Suri memiliki fotoku yang sedang tertidur di kamar apartemen. Hanya kamu yang bisa mengambil foto itu, karena tidak ada orang lain di sana.”Diva mengerjap beberapa kali, otaknya berputar cepat mencari alasan yang masuk akal. Dia tidak menyangka Romeo akan tahu tentang foto yang ia kirimkan kepada Suri, dalam waktu secepat ini. “Bukan aku pelakunya, Kak,” jawab Diva dengan nada sedih, mencoba memainkan perannya sebagai wanita yang tersakiti. “Malam itu, kepalaku sangat pusing dan perutku mual. Aku tertidur lebih dulu dari Kak Romeo. Mana mungkin aku bisa mengambil foto lalu mengirimkannya kepada Suri,” sangkal Diva.Romeo me
Suri terbangun dengan perlahan. Kepalanya terasa berat, dan ia merasakan denyutan nyeri yang tajam di bagian hidung. Rasa pusing itu membuat penglihatannya sedikit buram, seakan-akan semua yang ada di sekitarnya bergerak lambat. Namun, rasa nyeri yang mendera telah menariknya kembali pada kenyataan. Dengan jari-jari yang masih gemetar, Suri meraba wajahnya. Ada perban yang membungkus rapat di sekitar tulang hidung, bekas operasi yang baru saja ia jalani.Desahan lirih keluar dari bibirnya. Pandangan Suri masih kabur, tetapi samar-samar ia menangkap bayangan seseorang di samping brankar. Perlahan, bayangan itu menjadi lebih jelas. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan, dengan seragam putih dan topi kecil berwarna senada. Mata perempuan itu yang semula menatap monitor pemantau detak jantung tiba-tiba teralih, dan segera menunjukkan sorot lega begitu menyadari Suri telah sadar.“Oh, syukurlah, Anda sudah sadar!” kata perawat itu, senyum tulus menghiasi wajahnya. “Saya akan pang
Bibir Nyonya Valerie memucat. Alih-alih membenci Suri, putranya malah memihak wanita itu secara terang-terangan. Terlebih, Romeo berani mempertanyakan tuduhan yang ia sematkan terhadap menantunya yang mandul itu.“Romeo, sejak kapan kamu terpengaruh oleh ucapan Suri?” tanya Nyonya Valerie dengan suara bergetar. Ia mengira bahwa Suri yang sudah meracuni pikiran putranya.“Suri tidak mengatakan apa-apa,” pungkas Romeo.Wajah Nyonya Valerie merah padam, antara marah dan bingung. Ia tak terbiasa melihat Romeo berbicara dengan nada setajam ini. Sementara Aira, yang biasanya sering membalas perkataan kakaknya, kali ini diam membatu, seperti seorang bocah yang ketahuan berbuat nakal.Romeo melanjutkan dengan nada suara yang lebih dingin dan tegas, seolah memberi peringatan. “Aku dan Suri belum bercerai,” katanya, menatap tajam ibu dan adiknya secara bergantian. “Dan aku akan segera membawanya pulang.”
Aira menimbang sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Bagian dari dirinya ingin mengabaikan Ivan, tetapi di sisi lain, ia merasa senang melihat bahwa pria itu masih tertarik padanya.Percakapan dimulai dengan canggung. Ivan mencoba menarik kembali ingatan masa lalu, tentang momen-momen ketika mereka bersama, tetapi Aira hanya menjawab sekenanya. Ia tidak mau terlihat lemah, apalagi masih menyimpan cinta terhadap pria itu. Hanya saja, setelah mereka berdua menghabiskan beberapa gelas minuman, Aira mulai terbuka. Perlahan-lahan senyumnya kembali mengembang, bahkan gadis itu tak canggung untuk bersandar di bahu Ivan. Sebagai mantan kekasih, Ivan tahu persis bagaimana caranya membuat Aira luluh, dan hal itu mulai melemahkan pertahanan yang telah ia bangun.“Baby, apa kamu pernah berpikir untuk bersamaku lagi?” Ivan bertanya tiba-tiba, membuat jantung Aira berdegup lebih cepat. Apalagi, Ivan menatapnya dengan tatapan serius yang sulit diabaikan.Aira menghela napas, mencoba menutupi kebimba
Suri melirik dokter Silas yang berdiri di sebelah dokter Richard. Pria itu hanya tersenyum kecil, seolah sudah biasa mendengar pujian semacam itu.“Terima kasih atas sarannya, Dok,” jawab Suri terdengar ragu.Menghilangkan bekas luka itu terasa seperti membuka luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam. Namun, di sisi lain, ada sedikit harapan untuk bisa meninggalkan kenangan buruk itu selamanya. Bagaimanapun, ia berhak untuk tampil sempurna sebagai seorang wanita. Setelah melakukan pemeriksaan menyeluruh, dokter Richard pun berpamitan. “Baiklah, saya rasa cukup untuk pagi ini. Nanti sore, dokter Daniel yang akan memeriksa kondisi Anda.”Dokter Richard berjalan keluar, diikuti oleh perawat yang menjaga Suri. Sepertinya, ia ingin memberikan beberapa instruksi tambahan kepada perawat tersebut.Kini, hanya ada Suri dan dokter Silas di dalam kamar rawat yang sunyi. Dokter Silas pun mendekat, lalu memperhatikan selang infus dan alat pemantau denyut jantung secara bergantian. “Bagaimana ko
Setelah Yonas pergi, Romeo menarik napas panjang untuk meredakan amarahnya. Aira selalu menjadi tanggung jawabnya sejak ayah mereka meninggal, tetapi gadis itu kini semakin sulit diatur. Ini semua karena Aira selalu dimanjakan dan dipenuhi semua keinginannya sejak kecil. Untuk sesaat, ruangan terasa hening, hanya terdengar suara napas Romeo yang teratur. Di saat seperti ini, ia tidak boleh goyah dan terhanyut oleh perasaan. Bagaimanapun, tumpukan dokumen di mejanya masih menanti untuk diperiksa. Romeo duduk di belakang meja kerjanya, menatap layar laptop dengan alis yang sedikit berkerut. Ia melepas jas dan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku. Kurang lebih tiga jam, Romeo tenggelam dalam pekerjaan, hingga ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. “Masuk,” katanya tanpa mengangkat pandangan.Yonas masuk dengan langkah tenang sebelum menghampiri meja sang CEO. “Pak Romeo, Detektif Austin sudah datang. Dia sedang menunggu di luar.”Romeo mengangguk pelan. “Suruh dia masuk
“Tuan Romeo, saya harus jujur. Dengan minimnya petunjuk seperti ini, akan sangat sulit untuk menemukan identitas gadis kecil itu. Belasan tahun adalah waktu yang panjang, dan lokasi spesifik kejadian sudah berubah banyak,” jelas Austin apa adanya. “Saya paham,” kata Romeo cepat. “Tapi, jika ada cara untuk mencari tahu, saya ingin Anda mencobanya.”Austin mengangguk perlahan, ekspresinya penuh pertimbangan. “Baiklah, saya akan mencoba. Hanya saja, saya tidak bisa menjanjikan hasil yang pasti. Lagi pula, prioritas saya saat ini adalah melacak keberadaan Nyonya Suri.”“Saya mengerti,” kata Romeo. “Bawa saja jepit kupu-kupu ini. Mungkin bisa membantu Anda dalam penyelidikan.”Austin menyimpan jepit tersebut ke dalam kantong kecil di jasnya. “Saya akan menyelidiki saat ada waktu luang dari tugas utama saya. Jika saya menemukan sesuatu, saya akan segera mengabari Anda.”Detektif itu membungkuk singkat, lalu melangkah keluar. Romeo memandangi punggungnya hingga hilang di balik pintu. Kenan
Begitu mendengar tuduhan kasar yang keluar dari mulut Zico, Serin sontak menggeleng, nyaris berteriak dalam kepanikan yang bercampur luka.“Aku bukan wanita simpanan siapapun, Kak Zico! Aku sekarang bekerja. Aku mencari nafkah sendiri, dan hidup dengan cara yang jujur.”Suara Serin gemetar, tetapi sorot matanya menyala dengan keberanian—sebuah keberanian yang ia pelajari dari malam-malam penuh air mata.Namun, Zico hanya mendengus pelan, seperti meremehkan keteguhan yang ditunjukkan Serin. Ia melangkah maju ke arah adik tirinya itu. Tangan kekarnya menjulur cepat, mencengkeram lengan Serin dengan kasar. Serin tersentak, matanya melebar panik.“Kamu kira mamaku akan percaya begitu saja pada kebohonganmu?" desis Zico tajam. “Aku akan memberitahu Mama tentang kamu yang tinggal di kos murahan. Tentang kamu yang bersama pria ini. Kamu akan menerima hukuman yang pantas, karena telah mencoreng nama baik keluarga!”Serin menggeleng kuat-kuat, tetapi genggaman Zico semakin erat dan menarikny
Dengan suara yang gemetar, Serin mulai berbicara, “Kak Liora,” katanya lirih, nyaris seperti berbisik kepada angin. “Nama saya Serin. Saya ... yang menerima sepasang kornea matamu.”Ia menunduk lebih dalam, pipinya basah oleh air mata, dan suaranya bergetar menahan emosi.“Saya tidak tahu … apakah saya pantas menerima pemberian ini. Tapi, saya ingin berterima kasih. Sangat... sangat berterima kasih,” isaknya lirih, “Dan saya juga meminta maaf. Maaf jika keberadaan saya menyakiti keluarga dan orang-orang yang mencintai Kak Liora."Jevandro memejamkan mata mendengar kata-kata itu. Tenggorokannya tercekat, tetapi ia belum bergerak dari tempatnya berdiri.Serin melanjutkan dengan suara pelan, seolah sedang berbicara kepada sahabat lama.“Saya tidak akan menyia-nyiakan pemberianmu ini, Kak. Saya akan menjaganya dengan baik, agar mata Kak Liora tidak pernah menyesal telah menatap lewat diri saya.”Jevandro akhirnya melangkah maju. Ia menarik lengan Serin, dan memaksa gadis itu untuk berdiri
Tiba-tiba saja seluruh tubuh Serin menggigil, seolah udara di ruangan mewah itu berubah menjadi es yang membekukan setiap helaan napasnya. Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir Jevandro terasa menghantam rongga dadanya, seperti badai yang menerjang tanpa aba-aba.Dugaannya ternyata benar. Nama yang disebut Dara, nama tunangan mendiang Liora, kini berdiri nyata di hadapannya. Jevandro Albantara ternyata adalah CEO dari Verdant Group, sosok yang memegang kendali atas perusahaan tempatnya bekerja. Pria berkuasa, dingin, dan saat ini menatap matanya dengan kemarahan yang nyaris meledak. Serin tidak pernah menyangka bahwa takdir membawanya sejauh ini. Ia yang hanya seorang gadis sederhana, yang baru saja mendapatkan kembali penglihatannya, kini berada di bawah tatapan penuh benci dari pria yang mencintai Liora.Tubuh Serin terasa ringan seperti hendak rubuh, sementara matanya mulai memanas, membiaskan pandangan. Tanpa bisa ditahan, cairan bening mulai menggenang di pelupuk, mencipt
Setelah meninggalkan kantin, Aura dan dua orang temannya bersiap untuk sesi pelatihan berikutnya. Mereka kembali menjalani serangkaian simulasi telepon. Serin belajar menjawab panggilan dengan suara yang profesional, mencatat keluhan fiktif dari "konsumen", hingga menyampaikan solusi sesuai dengan skrip yang telah disediakan. Tak terasa, waktu sudah merambat ke pukul empat sore. Matahari mulai condong ke barat, dan ruang kerja disinari oleh bias cahaya jingga yang mengintip dari balik jendela. Pelatihan pun mendekati babak akhir.Ketika akan mengakhiri sesi latihan, ponsel Citra yang tergeletak di atas meja bergetar, menarik perhatian semua orang di ruangan itu. Citra mengangkatnya dengan cepat dan menjauhkan sedikit dari keramaian. Suaranya terdengar berubah menjadi lebih formal.“Baik, Bu, akan saya sampaikan,” ujarnya sopan, lalu mematikan sambungan.Wajah Citra yang biasanya datar kini terlihat sedikit berbeda—seperti menyimpan sesuatu yang mengejutkan. Ia melangkah ke depan dan
Serin melangkah menyusuri koridor lantai tiga dengan hati-hati, penuh rasa ingin tahu. Setelah mengikuti petunjuk arah yang tertempel rapi di dinding, akhirnya ia tiba di depan sebuah pintu dengan papan nama bertuliskan “Ibu Marisa - Human Resource Development.”Serin menarik napas pelan, menenangkan degup jantungnya yang tak menentu, lalu mengetuk pintu tiga kali.“Masuk,” terdengar suara tegas dari dalam.Serin membuka pintu perlahan lalu melangkah dengan sopan. Begitu pandangan Bu Marisa terangkat dari berkas di meja, wanita itu sejenak tertegun. Matanya menyipit sedikit, seolah memastikan bahwa penglihatannya sendiri tidak menipunya. Serin berdiri di sana, dengan mata bening yang memancarkan cahaya kehidupan dan fokus yang begitu nyata.“Silakan duduk, Serin. Kamu bisa melihat saya?” tanya Bu Marisa, setengah tak percaya.Serin tersenyum lembut dan mengangguk. “Iya, Bu. Saya menjalani operasi transplantasi kornea. Ini berkas yang Ibu minta,” katanya sambil menyodorkan map berisi i
Di sudut kota yang lain, seorang gadis muda bernama Serin sedang bersiap memulai babak baru dalam hidupnya. Udara pagi yang masih segar menyentuh kulit wajahnya, menyusup lembut ke balik rambutnya yang tersanggul rapi. Hatinya penuh semangat dan debar-debar kecil yang tak henti berdentang.Setelah bersiap, Serin keluar dari kos sembari menggandeng tangan kecil Tristan. Ia ingin mengantar sang keponakan ke sekolah, sebelum berangkat ke kantor Verdant Group.Dengan pelukan hangat dan bisikan semangat di telinga Tristan, Serin melepas bocah kecil itu ke dalam gerbang sekolah. Kemudian, ia melangkah ringan menuju pinggir jalan, menunggu ojek motor yang telah ia pesan sejak tadi.Tangan kiri Serin menggenggam map berisi berkas-berkas penting yang diminta oleh Bu Marisa —identitas, fotokopi ijazah, dan buku tabungan. Mengingat hari ini adalah hari pertamanya bekerja, ia sengaja berangkat lebih pagi. Bukan hanya tak ingin terlambat, melainkan karena adanya dorongan yang begitu kuat di dalam
Begitu ucapan itu meluncur dari mulut sang manajer HRD, kelopak mata Jeandra terbelalak lebar, seolah baru saja mendengar kabar bahwa bumi akan berhenti berputar. Ia menatap Pak Andika dengan sorot tak percaya. Dalam hatinya, genderang protes sudah ditabuh habis-habisan.Sekalipun ia belum memiliki rencana untuk menikah dalam waktu dekat—bahkan dalam lima tahun ke depan pun tidak —namun tetap saja, larangan seperti itu melanggar ranah privasi seseorang. Dengan kata lain, Pradipta Group telah mencampuri urusan pribadi pegawainya, dengan mengatasnamakan “kontrak kerja”.“Maaf, Pak, apakah saya tidak salah dengar tadi?” tanya Jeandra hati-hati, kembali duduk di kursi di hadapan meja kerja Pak Andika. “Larangan menikah? Bukankah itu melanggar hak pribadi seseorang?”Pak Andika tersenyum tenang, tetapi senyum itu justru membuat dada Jeandra terasa makin sesak. Ekspresinya seolah mengatakan, bahwa pekerjaan terkadang bisa lebih kejam daripada percintaan.“Bukankah tadi saya sudah menyuruh
Kenan mengerjap, seolah tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Ia menatap Jeandra selama tiga detik penuh dengan bibir terkatup rapat. Sementara, Jeandra yang masih memegang gelang di tangan, melangkah mundur seperti sedang menghadapi makhluk gaib. Namun seketika, suasana berubah tegang saat suara berat Kenan memecah udara.“Jangan sentuh gelang-gelang itu!” serunya tajam, matanya menatap langsung ke arah tangan Jeandra.Refleks, karena terkejut dan gugup, Jeandra menjatuhkan gelang warna-warni yang sedari tadi ia pegang. Gelang itu jatuh berputar di udara, sebelum menggelinding dan mendarat dengan bunyi pelan di lantai marmer.“Ah, maaf—” gumam Jeandra panik.Kenan maju dengan cepat. Ia membungkuk hendak mengambil gelang tersebut, bersamaan dengan Jeandra yang juga ikut merunduk. Alhasil, dahi mereka saling bertubrukan dalam satu hentakan kecil yang tak terduga.Duk!“Aduh,” keluh Jeandra terpekik kaget.Keduanya mendongak bersamaan. Bukan hanya dahi mereka yang bertemu, tetapi t
Di balik gorden jendela apartemen yang terbuka separuh, Jeandra berdiri di hadapan cermin besar. Mata wanita itu menatap bayangan dirinya sendiri dengan tatapan penuh keyakinan. Hari yang mendebarkan akhirnya tiba. Hari di mana ia bukan lagi desainer ternama, Jeandra Albantara, melainkan seorang sekretaris baru yang memiliki misi tersembunyi.Untuk penampilan perdananya, Jeandra mengenakan blouse putih gading dengan kerah bulat, dan rok span abu-abu yang jatuh hingga selutut—gaya yang sopan, bersih, dan cenderung konservatif. Rambutnya yang sebelumnya cokelat terang kini telah berubah menjadi hitam legam. Kali ini, ia membiarkan rambut itu terurai menyentuh bahunya, dan dijepit sedikit di sisi kanan agar tetap rapi. Jeandra hanya mengenakan riasan tipis, dengan alas bedak ringan dan sedikit blush on yang menambahkan rona sehat. Namun, ada satu hal yang mencolok: bibirnya yang kini dilapisi lipstik merah mawar matte keluaran brand mewah —lipstik tanpa jejak, yang tak akan meninggalkan