Setelah Yonas pergi, Romeo menarik napas panjang untuk meredakan amarahnya. Aira selalu menjadi tanggung jawabnya sejak ayah mereka meninggal, tetapi gadis itu kini semakin sulit diatur. Ini semua karena Aira selalu dimanjakan dan dipenuhi semua keinginannya sejak kecil. Untuk sesaat, ruangan terasa hening, hanya terdengar suara napas Romeo yang teratur. Di saat seperti ini, ia tidak boleh goyah dan terhanyut oleh perasaan. Bagaimanapun, tumpukan dokumen di mejanya masih menanti untuk diperiksa. Romeo duduk di belakang meja kerjanya, menatap layar laptop dengan alis yang sedikit berkerut. Ia melepas jas dan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku. Kurang lebih tiga jam, Romeo tenggelam dalam pekerjaan, hingga ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. “Masuk,” katanya tanpa mengangkat pandangan.Yonas masuk dengan langkah tenang sebelum menghampiri meja sang CEO. “Pak Romeo, Detektif Austin sudah datang. Dia sedang menunggu di luar.”Romeo mengangguk pelan. “Suruh dia masuk
“Tuan Romeo, saya harus jujur. Dengan minimnya petunjuk seperti ini, akan sangat sulit untuk menemukan identitas gadis kecil itu. Belasan tahun adalah waktu yang panjang, dan lokasi spesifik kejadian sudah berubah banyak,” jelas Austin apa adanya. “Saya paham,” kata Romeo cepat. “Tapi, jika ada cara untuk mencari tahu, saya ingin Anda mencobanya.”Austin mengangguk perlahan, ekspresinya penuh pertimbangan. “Baiklah, saya akan mencoba. Hanya saja, saya tidak bisa menjanjikan hasil yang pasti. Lagi pula, prioritas saya saat ini adalah melacak keberadaan Nyonya Suri.”“Saya mengerti,” kata Romeo. “Bawa saja jepit kupu-kupu ini. Mungkin bisa membantu Anda dalam penyelidikan.”Austin menyimpan jepit tersebut ke dalam kantong kecil di jasnya. “Saya akan menyelidiki saat ada waktu luang dari tugas utama saya. Jika saya menemukan sesuatu, saya akan segera mengabari Anda.”Detektif itu membungkuk singkat, lalu melangkah keluar. Romeo memandangi punggungnya hingga hilang di balik pintu. Kenan
Malam itu, begitu sampai di mansion, Romeo tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia bermaksud langsung menuju kamarnya di lantai dua. Namun, sang adik ternyata sudah menunggu di ruang tamu dengan tangan terlipat di dada.Begitu Romeo melangkah lebih dekat, Aira bangkit dari sofa sembari memasang wajah cemberut. “Kak, kenapa kartu kreditku diblokir?” protesnya tanpa basa-basi.Romeo berhenti sejenak, menatap Aira dengan sorot mata tajam yang membuat siapapun merasa terkunci di tempatnya. Meski begitu, Aira tidak mundur. Gadis itu menatap balik dengan berani, biarpun di dalam hati ia merasa gentar. “Itu pelajaran untukmu, Aira,” jawab Romeo dingin, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. “Selama ini kamu hanya tahu bagaimana menghamburkan uang. Kamu selalu bersikap manja dan menolak bekerja keras. Bahkan, skripsimu sampai sekarang belum selesai.”Kata-kata Romeo menghujam Aira seperti panah berapi. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi dia tidak ingin menangis di depan kakaknya. Harga dirin
Kamar rumah sakit itu diselimuti ketenangan. Suri membuka mata perlahan, merasakan kegelapan samar mulai berganti dengan cahaya putih yang berpendar dari langit-langit ruangan. Kesadarannya berangsur pulih, tetapi rasa nyeri yang menusuk di pipi kirinya segera mencuri perhatian. Suri mengangkat tangannya, ingin menyentuh pipinya, tetapi ia ragu. Ia tahu, menyentuhnya hanya akan memperparah rasa sakit. Sejak menjalani operasi tumor hidung beberapa waktu lalu, tubuhnya seperti terbiasa menghadapi rasa sakit. Namun, operasi plastik di pipi kirinya ini membawa rasa yang berbeda—nyeri yang berdenyut dan terasa seperti ribuan jarum menusuk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Tidak apa-apa,” gumamnya lirih. “Aku hanya perlu bersabar.” Meski nyeri itu menyakitkan, ia tidak akan mengeluh. Dalam hati, Suri percaya, rasa sakit ini adalah harga yang pantas untuk sebuah awal baru. Perawat yang menjaga Suri langsung tersenyum hangat dan menyapanya, "Selamat pagi, No
Cakrawala biru memayungi gedung pencakar langit dengan awan tipis yang tersapu angin. Romeo melangkah keluar dari mobilnya dengan mengenakan setelan jas krem, matanya yang tajam menatap pintu kaca kantor. Agendanya hari ini sangat padat, mulai dari rapat pagi hingga meninjau proyek pembangunan hotel. “Selamat pagi, Tuan Romeo. Dan selamat ulang tahun,” ucap Yonas dengan nada formal, disertai senyum kecil. Seperti biasa, pria itu sudah menanti kehadiran Romeo di lobi. “Terima kasih,” jawab Romeo datar. Tidak ada antusiasme dalam suaranya. Baginya, ulang tahun hanyalah hari biasa. Bahkan, ia hampir lupa bahwa hari ini adalah ulang tahunnya yang ketiga puluh satu, hingga Yonas mengingatkan. Dengan wajah tanpa ekspresi, Romeo berjalan menuju lift khusus CEO sementara Yonas mengekor di belakangnya. Namun, baru beberapa langkah, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakang. Resepsionis muda kantor, seorang wanita bertubuh jangkung, memanggilnya. “Tuan Albantara!” Romeo menghe
Yonas menelan ludah, mencoba memahami alasan di balik permintaan tersebut. Ia mengangguk perlahan. “Akan saya sampaikan ke manajer HRD, supaya tidak mengumumkan hari ulang tahun Anda mulai tahun depan,” jawab Yonas patuh.Di sepanjang perjalanan menuju proyek, suasana di dalam mobil terasa tegang. Yonas memilih diam, merasa ini bukan waktu yang tepat untuk berbasa-basi. Namun, pikirannya sibuk menganalisis perubahan sikap Romeo pagi ini. Ia yakin semuanya berawal dari hadiah yang dikirimkan oleh Suri. Di sisi lain, Romeo duduk di kursi belakang dengan tangan terlipat. Matanya memandang ke arah jalan raya, tetapi pikirannya tidak berhenti berputar. Ia masih penasaran mengapa Suri mengirim parfum itu? Apa tujuannya? Kenangan tentang wanita itu kembali menghantam dirinya. Romeo ingat betul bagaimana dulu ia sering bersikap dingin atas perhatian Suri. Ia berpikir bahwa menunjukkan kelemahannya berarti memberikan Suri kendali penuh atas dirinya. Namun sekarang, ia justru merasa diabaik
Romeo melangkah turun dari mobilnya, melepas jas yang seakan membuat tubuhnya terasa panas. Yonas memegang pintu mobil sembari berpamitan. "Selamat malam, Tuan Romeo. Saya pulang dulu," kata Yonas sopan. Romeo mengangguk kecil, terlalu lelah untuk merespons lebih dari itu. Ia memberi isyarat kepada sopirnya agar mengantarkan Yonas pulang, sementara ia sendiri berjalan melintasi halaman mansion. Langit malam begitu gelap, hanya diterangi lampu taman yang redup. Ketika membuka pintu utama mansion, Romeo terkejut. Gelap. Tak ada satu pun lampu yang menyala di ruangan luas itu. Biasanya, lampu gantung besar di ruang tengah selalu menyala, memperlihatkan kemegahan interior rumahnya. Kini, hanya kegelapan yang menyambutnya. Romeo mengerutkan kening, lalu merogoh saku untuk mengeluarkan ponselnya. Ia menyalakan senter dari layar ponsel, berusaha menerangi jalan di depannya. “Ke mana mereka semua?” gumamnya. Ibu, adiknya, bahkan pelayan-pelayan biasanya masih berkeliaran hingga laru
Dua minggu telah berlalu, dan tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Suri — hari di mana dokter Silas akan membuka perban yang menutupi pipinya. Ia duduk di ranjang rumah sakit dengan jantung berdebar kencang. Perban itu, yang menjadi penghalang antara dirinya dan cermin, kini akan dilepaskan, mengungkapkan apa yang tersembunyi di baliknya. “Siap, Suri?” tanya dokter Silas dengan senyum lembut. Tangannya yang cekatan mulai membuka simpul perban dengan hati-hati. Suri mengangguk kecil, meskipun hatinya bergejolak. Ia menggenggam cermin kecil di tangannya, tetapi belum berani menatap bayangannya sendiri. Tangannya sedikit bergetar, penuh dengan ketegangan yang sulit ia kendalikan. Saat perban terakhir dilepaskan, dokter Silas menggeser tubuhnya sedikit, memberi ruang agar Suri bisa melihat wajahnya sendiri. Dengan napas yang tertahan, Suri mengangkat cermin itu. Sejenak, ia terdiam. Matanya membelalak, dan perlahan air mata menggenang. Bekas luka yang selama ini menghantuinya telah
Lampu merah yang menyala, tak menjadi penghalang bagi mobil putih dengan tanda palang merah di bagian atapnya untuk terus melaju dengan kecepatan penuh. Di dalamnya, tubuh Romeo terbaring di atas tandu. Selang oksigen sudah terpasang di hidungnya.Seorang paramedis berusaha menekan luka di dada Romeo dengan kain kasa tebal untuk mengurangi pendarahan. Monitor kecil di sebelahnya memperlihatkan detak jantung yang masih berjalan, meskipun melemah.Suri duduk di samping tandu itu, menggenggam tangan Romeo yang mulai terasa dingin. Tangisnya tak kunjung reda, air mata terus mengalir membasahi wajahnya yang pucat. Sungguh, ia tak akan sanggup kehilangan suami, sesudah ia ditinggalkan oleh sang ayah untuk selamanya. “Kenapa … kamu mengorbankan diri demi aku?” tutur Suri dengan air mata yang mengalir deras.Ia meremas jemari Romeo lebih erat, berharap suaminya memberi respons, meskipun hanya sekadar gerakan kecil. Namun, Romeo tetap diam, tak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Andai saja bi
Di dalam minimarket, ponsel Suri bergetar di dalam tasnya. Ia segera mengambilnya dan melihat nama yang tertera di layar—Romeo.Secepatnya, Suri mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Sayang, aku belum sampai di rumah.”“Suri, kamu di mana?” Suara Romeo terdengar lembut dan ceria.Suri mengernyit bingung. “Aku… sedang berbelanja di salah satu minimarket di Spring Season. Kenapa, Sayang?”“Aku ada di depan kantormu, tetapi security bilang kamu sudah pulang,” kata Romeo dengan nada sedikit menggoda.Suri terkejut mendengar perkataan Romeo yang terdengar ambigu. “Di depan kantorku? Maksudnya kamu sudah pulang dari luar negeri?”Romeo tertawa kecil. “Iya, Sayang, aku sudah kembali. Ini kejutan yang aku maksud.”Senyum merekah di wajah Suri. Tak pernah terpikir olehnya bahwa suaminya akan pulang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia pun merasa bahagia sekaligus sedikit bersalah, karena tidak ada di tempat saat Romeo datang mencarinya. “Aku kira kamu baru datang besok pagi. Tahu begini, ak
Di apartemennya, Diva baru saja menggeliat di tempat tidur. Kebiasaannya bangun siang membuatnya enggan beranjak. Akan tetapi, dering ponsel memaksanya untuk meraih perangkat itu dengan malas.Begitu melihat nama di layar, Diva segera menjawab dengan suara lembut.“Halo, Tante Valerie?""Diva, Tante ingin bertanya. Apakah kamu yang mengirimkan foto-foto Suri ke mansion? Kami baru saja menerima sebuah paket tak bernama berisi foto-foto itu."Rasa malas Diva hilang seketika, berganti dengan senyum lebar yang tersungging di wajahnya. "Iya, Tante. Aku menyewa orang untuk memata-matai Suri,” katanya penuh antusiasme. “Apakah Nyonya Miranda sudah melihatnya? Bagaimana reaksinya?”Ada jeda sejenak sebelum Nyonya Valerie menjawab. "Ya, Mama Miranda sudah melihat foto-foto itu. Tangannya gemetar, bahkan dia hampir pingsan.""Bagus! Itu artinya Beliau sangat marah. Lalu, apakah Suri akan dipanggil hari ini dan dipaksa untuk bercerai dari Kak Romeo?” tanya Diva tak sabar.Nyonya Valerie mendesah
Aira membuka amplop besar itu dengan rasa penasaran. Begitu matanya menangkap isi di dalamnya, tubuhnya langsung membeku. Deretan foto-foto yang terjatuh ke pangkuannya menampilkan sosok Suri bersama seorang pria yang terlihat mesra. Di dalam foto pertama, Suri dan pria itu tampak sedang makan siang bersama di sebuah kafe. Senyum mereka begitu akrab, seolah tidak ada jarak. Dalam foto lain, pria itu merangkul Suri, memegang tangannya bahkan memeluknya di halaman rumah tanpa rasa malu.Aira merasa napasnya tersendat. “Tidak mungkin… Suri?” bisiknya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Tangannya gemetar saat menggenggam foto-foto itu. Selama ini, ia memang tidak menyukai Suri, tetapi ia tidak pernah menyangka sang kakak ipar akan melakukan perselingkuhan. Nyonya Miranda yang sejak tadi memperhatikan cucunya, melangkah perlahan. Ia mendekat sambil mencengkeram tongkatnya dengan erat. Garis wajahnya yang mulai menua memancarkan ketegasan.“Ada apa, Aira?”Aira tersen
Hati Suri terasa lebih ringan usai melihat kondisi sang tante, yang akhirnya bersedia menjalani pengobatan. Ia meletakkan tasnya di sofa, lalu bergegas menuju kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitnya, menghapus penat yang melekat setelah seharian bekerja. Selesai mandi, Suri mengenakan piyama berbahan katun lembut dan berjalan menuju ruang makan. Di atas meja, terdapat semangkuk sup ayam dengan potongan wortel dan kentang, sepiring nasi putih, serta sari buah segar yang disiapkan pelayan. Suri duduk dan mulai menyantap makanan dengan tenangDi tengah suapan makan malamnya, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Suri mengambilnya dan melihat nama Raysa terpampang di layar. Ia segera menjawab panggilan itu dengan senyum."Halo, Raysa.""Suri, aku mau berbagi sesuatu!" suara Raysa terdengar penuh kebahagiaan di seberang sana.Suri menaruh sendoknya, penasaran dengan kabar yang akan disampaikan sahabatnya itu. "Apa itu? Suaramu terdengar sangat bahagia."Raysa tertawa kecil sebel
Suri melangkah mengikuti Axel ke dalam kamar yang beraroma obat. Di atas ranjang berkanopi putih, seorang wanita paruh baya terbaring lemah. Wajahnya yang dulu penuh wibawa kini tampak pucat dan tirus.Lingkaran hitam di bawah matanya semakin menegaskan betapa sakitnya ia selama ini. Napasnya terdengar berat, dan tangannya yang dulu tampak berisi kini terlihat ringkih dan berurat.Suri terkejut melihat kondisi tantenya yang begitu rapuh. Ada rasa iba yang tiba-tiba menyelubungi hatinya. Walau masih ada bekas luka atas apa yang terjadi di masa lalu, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita di depannya ini adalah keluarga.Axel mendekati ranjang terlebih dahulu, membangunkan sang ibu dengan suara lembut. "Mama, aku membawa Suri ke sini. Dia ingin menjenguk Mama."Mata wanita itu terbuka perlahan, tampak terkejut dan tidak percaya. Dengan usaha yang terlihat menyakitkan, ia mencoba bangun dari posisinya. Suri segera melangkah maju, tangannya menopang tubuh sang tante. "Jangan,
Tepat pukul dua belas, Suri melangkah masuk ke Kafe Eclesia, tempat yang telah ia sepakati dengan Axel. Aroma kopi yang khas bercampur dengan wangi roti panggang menyambutnya, memberikan suasana hangat di tengah kepenatan. Matanya segera menangkap sosok pria yang duduk di sendirian di meja nomor sebelas, menunggunya dengan wajah penuh harap. Axel segera berdiri begitu melihat Suri datang. Ia berjalan ke pintu masuk dengan senyum mengembang, lalu meraih tangan Suri dan menariknya ke dalam pelukan.Suri sempat terkejut, tubuhnya menegang sejenak, tetapi ia tidak menolak. Ia menganggap pelukan itu sebagai ungkapan persaudaraan semata. Bagaimanapun, Axel adalah putra dari sang tante, walaupun hubungan mereka memiliki riwayat yang pelik. "Aku senang kamu datang," ujar Axel sambil melepas pelukannya. Ia kemudian menggandeng tangan Suri, membimbingnya menuju meja yang telah ia pesan sebelumnya.Suri duduk dengan sopan, menarik tangannya secara perlahan dari genggaman Axel. Matanya menatap
Raysa baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu calon pembeli apartemen. Setelah merapikan berkas-berkasnya, ia menghela napas sejenak sebelum bersiap menemui klien berikutnya—seseorang yang berniat membeli unit penthouse eksklusif dengan luas lebih dari 250 meter persegi di pusat kota. Pertemuan mereka dijadwalkan berlangsung di sebuah kafe, yang terletak di dekat area pengembangan apartemen.Setibanya di kafe, Raysa memesan secangkir kopi latte dan duduk di salah satu meja yang menghadap ke jendela. Ia mengecek kembali dokumen properti sambil menunggu kliennya datang.Namun, alih-alih sosok asing yang muncul, Raysa justru mendapati seorang pria yang sangat dikenalnya.Kenzo.Matanya melebar, tubuhnya menegang. Kenzo berjalan santai mendekatinya, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, memperlihatkan pergelangan tangan kokohnya. Senyum khasnya yang penuh percaya diri membuat Raysa semakin kesal."Apa yang kamu lakukan di sini?" Raysa langsung berdiri dari kursinya,
Hampir tiga minggu berlalu sejak pengakuan Romeo tentang kondisinya di depan keluarga. Sejak itu, Nyonya Miranda semakin sering mengundang mereka ke mansion, sekadar untuk makan malam bersama atau berjalan-jalan menikmati udara segar. Sementara itu, Nyonya Valerie, meskipun masih bersikap sinis, tampaknya belum melakukan apapun yang mengusik kehidupan rumah tangga putranya.Hanya saja, saat ini Suri sedang merasa kesepian. Romeo harus pergi ke luar negeri selama lima hari untuk melakukan kesepakatan kerja sama proyek pembangunan mal. Hari ini baru memasuki hari kedua, tetapi Suri sudah merindukan suaminya dengan begitu dalam. Sepulang dari kantor, ia hanya duduk termenung di kamar, memeluk erat boneka beruang besar pemberian Romeo. Walaupun tubuhnya lelah usai seharian meninjau proyek kota mandiri, Suri sama sekali tidak mengantuk.Biasanya, di malam-malam seperti ini, Suri terlelap dalam pelukan suaminya, merasakan kehangatan dan perlindungannya. Namun kini, ranjang tempatnya berbar