Suri terbangun dengan perlahan. Kepalanya terasa berat, dan ia merasakan denyutan nyeri yang tajam di bagian hidung. Rasa pusing itu membuat penglihatannya sedikit buram, seakan-akan semua yang ada di sekitarnya bergerak lambat. Namun, rasa nyeri yang mendera telah menariknya kembali pada kenyataan. Dengan jari-jari yang masih gemetar, Suri meraba wajahnya. Ada perban yang membungkus rapat di sekitar tulang hidung, bekas operasi yang baru saja ia jalani.Desahan lirih keluar dari bibirnya. Pandangan Suri masih kabur, tetapi samar-samar ia menangkap bayangan seseorang di samping brankar. Perlahan, bayangan itu menjadi lebih jelas. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan, dengan seragam putih dan topi kecil berwarna senada. Mata perempuan itu yang semula menatap monitor pemantau detak jantung tiba-tiba teralih, dan segera menunjukkan sorot lega begitu menyadari Suri telah sadar.“Oh, syukurlah, Anda sudah sadar!” kata perawat itu, senyum tulus menghiasi wajahnya. “Saya akan pang
Bibir Nyonya Valerie memucat. Alih-alih membenci Suri, putranya malah memihak wanita itu secara terang-terangan. Terlebih, Romeo berani mempertanyakan tuduhan yang ia sematkan terhadap menantunya yang mandul itu.“Romeo, sejak kapan kamu terpengaruh oleh ucapan Suri?” tanya Nyonya Valerie dengan suara bergetar. Ia mengira bahwa Suri yang sudah meracuni pikiran putranya.“Suri tidak mengatakan apa-apa,” pungkas Romeo.Wajah Nyonya Valerie merah padam, antara marah dan bingung. Ia tak terbiasa melihat Romeo berbicara dengan nada setajam ini. Sementara Aira, yang biasanya sering membalas perkataan kakaknya, kali ini diam membatu, seperti seorang bocah yang ketahuan berbuat nakal.Romeo melanjutkan dengan nada suara yang lebih dingin dan tegas, seolah memberi peringatan. “Aku dan Suri belum bercerai,” katanya, menatap tajam ibu dan adiknya secara bergantian. “Dan aku akan segera membawanya pulang.”
Aira menimbang sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Bagian dari dirinya ingin mengabaikan Ivan, tetapi di sisi lain, ia merasa senang melihat bahwa pria itu masih tertarik padanya.Percakapan dimulai dengan canggung. Ivan mencoba menarik kembali ingatan masa lalu, tentang momen-momen ketika mereka bersama, tetapi Aira hanya menjawab sekenanya. Ia tidak mau terlihat lemah, apalagi masih menyimpan cinta terhadap pria itu. Hanya saja, setelah mereka berdua menghabiskan beberapa gelas minuman, Aira mulai terbuka. Perlahan-lahan senyumnya kembali mengembang, bahkan gadis itu tak canggung untuk bersandar di bahu Ivan. Sebagai mantan kekasih, Ivan tahu persis bagaimana caranya membuat Aira luluh, dan hal itu mulai melemahkan pertahanan yang telah ia bangun.“Baby, apa kamu pernah berpikir untuk bersamaku lagi?” Ivan bertanya tiba-tiba, membuat jantung Aira berdegup lebih cepat. Apalagi, Ivan menatapnya dengan tatapan serius yang sulit diabaikan.Aira menghela napas, mencoba menutupi kebimba
Suri melirik dokter Silas yang berdiri di sebelah dokter Richard. Pria itu hanya tersenyum kecil, seolah sudah biasa mendengar pujian semacam itu.“Terima kasih atas sarannya, Dok,” jawab Suri terdengar ragu.Menghilangkan bekas luka itu terasa seperti membuka luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam. Namun, di sisi lain, ada sedikit harapan untuk bisa meninggalkan kenangan buruk itu selamanya. Bagaimanapun, ia berhak untuk tampil sempurna sebagai seorang wanita. Setelah melakukan pemeriksaan menyeluruh, dokter Richard pun berpamitan. “Baiklah, saya rasa cukup untuk pagi ini. Nanti sore, dokter Daniel yang akan memeriksa kondisi Anda.”Dokter Richard berjalan keluar, diikuti oleh perawat yang menjaga Suri. Sepertinya, ia ingin memberikan beberapa instruksi tambahan kepada perawat tersebut.Kini, hanya ada Suri dan dokter Silas di dalam kamar rawat yang sunyi. Dokter Silas pun mendekat, lalu memperhatikan selang infus dan alat pemantau denyut jantung secara bergantian. “Bagaimana ko
Setelah Yonas pergi, Romeo menarik napas panjang untuk meredakan amarahnya. Aira selalu menjadi tanggung jawabnya sejak ayah mereka meninggal, tetapi gadis itu kini semakin sulit diatur. Ini semua karena Aira selalu dimanjakan dan dipenuhi semua keinginannya sejak kecil. Untuk sesaat, ruangan terasa hening, hanya terdengar suara napas Romeo yang teratur. Di saat seperti ini, ia tidak boleh goyah dan terhanyut oleh perasaan. Bagaimanapun, tumpukan dokumen di mejanya masih menanti untuk diperiksa. Romeo duduk di belakang meja kerjanya, menatap layar laptop dengan alis yang sedikit berkerut. Ia melepas jas dan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku. Kurang lebih tiga jam, Romeo tenggelam dalam pekerjaan, hingga ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. “Masuk,” katanya tanpa mengangkat pandangan.Yonas masuk dengan langkah tenang sebelum menghampiri meja sang CEO. “Pak Romeo, Detektif Austin sudah datang. Dia sedang menunggu di luar.”Romeo mengangguk pelan. “Suruh dia masuk
“Tuan Romeo, saya harus jujur. Dengan minimnya petunjuk seperti ini, akan sangat sulit untuk menemukan identitas gadis kecil itu. Belasan tahun adalah waktu yang panjang, dan lokasi spesifik kejadian sudah berubah banyak,” jelas Austin apa adanya. “Saya paham,” kata Romeo cepat. “Tapi, jika ada cara untuk mencari tahu, saya ingin Anda mencobanya.”Austin mengangguk perlahan, ekspresinya penuh pertimbangan. “Baiklah, saya akan mencoba. Hanya saja, saya tidak bisa menjanjikan hasil yang pasti. Lagi pula, prioritas saya saat ini adalah melacak keberadaan Nyonya Suri.”“Saya mengerti,” kata Romeo. “Bawa saja jepit kupu-kupu ini. Mungkin bisa membantu Anda dalam penyelidikan.”Austin menyimpan jepit tersebut ke dalam kantong kecil di jasnya. “Saya akan menyelidiki saat ada waktu luang dari tugas utama saya. Jika saya menemukan sesuatu, saya akan segera mengabari Anda.”Detektif itu membungkuk singkat, lalu melangkah keluar. Romeo memandangi punggungnya hingga hilang di balik pintu. Kenan
Malam itu, begitu sampai di mansion, Romeo tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia bermaksud langsung menuju kamarnya di lantai dua. Namun, sang adik ternyata sudah menunggu di ruang tamu dengan tangan terlipat di dada.Begitu Romeo melangkah lebih dekat, Aira bangkit dari sofa sembari memasang wajah cemberut. “Kak, kenapa kartu kreditku diblokir?” protesnya tanpa basa-basi.Romeo berhenti sejenak, menatap Aira dengan sorot mata tajam yang membuat siapapun merasa terkunci di tempatnya. Meski begitu, Aira tidak mundur. Gadis itu menatap balik dengan berani, biarpun di dalam hati ia merasa gentar. “Itu pelajaran untukmu, Aira,” jawab Romeo dingin, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. “Selama ini kamu hanya tahu bagaimana menghamburkan uang. Kamu selalu bersikap manja dan menolak bekerja keras. Bahkan, skripsimu sampai sekarang belum selesai.”Kata-kata Romeo menghujam Aira seperti panah berapi. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi dia tidak ingin menangis di depan kakaknya. Harga dirin
Kamar rumah sakit itu diselimuti ketenangan. Suri membuka mata perlahan, merasakan kegelapan samar mulai berganti dengan cahaya putih yang berpendar dari langit-langit ruangan. Kesadarannya berangsur pulih, tetapi rasa nyeri yang menusuk di pipi kirinya segera mencuri perhatian. Suri mengangkat tangannya, ingin menyentuh pipinya, tetapi ia ragu. Ia tahu, menyentuhnya hanya akan memperparah rasa sakit. Sejak menjalani operasi tumor hidung beberapa waktu lalu, tubuhnya seperti terbiasa menghadapi rasa sakit. Namun, operasi plastik di pipi kirinya ini membawa rasa yang berbeda—nyeri yang berdenyut dan terasa seperti ribuan jarum menusuk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Tidak apa-apa,” gumamnya lirih. “Aku hanya perlu bersabar.” Meski nyeri itu menyakitkan, ia tidak akan mengeluh. Dalam hati, Suri percaya, rasa sakit ini adalah harga yang pantas untuk sebuah awal baru. Perawat yang menjaga Suri langsung tersenyum hangat dan menyapanya, "Selamat pagi, No
Romeo membuka pintu rumah dengan tenang, sedangkan Suri berdiri di belakangnya. Pandangan Suri langsung tertuju pada mobil mewah berwarna perak yang terparkir di halaman. Siluet seseorang tampak samar dari balik kaca jendela. Hanya beberapa detik berselang, sopir segera turun dan berjalan ke sisi kiri mobil, sementara seorang wanita paruh baya, Bi Ranti, dengan cekatan membuka pintu di sisi kanan.Dari dalam mobil, keluarlah seorang wanita dengan dagu terangkat dan tatapan yang penuh superioritas. Nyonya Valerie berdiri angkuh, menyapu pandangannya ke sekeliling halaman dengan ekspresi meremehkan. Bibirnya sedikit mencibir, seolah rumah ini adalah tempat yang tak layak dikunjungi. Suri, yang melihatnya, menahan napas. Ia sudah menduga ibu mertuanya tidak akan memberikan sambutan yang hangat. Namun, sebelum ada yang sempat berbicara, pintu mobil lainnya terbuka, dan sosok anggun muncul dari dalamnya.Nyonya Miranda melangkah turun dengan gerakan yang penuh wibawa. Rambutnya disanggul
Di dalam kamarnya yang beraroma vanila, Aira bersandar pada bantal empuk. Ponselnya menempel di telinga, suaranya lembut tetapi terdengar gelisah. Di ujung telepon, Ivan kembali merengek, suaranya penuh keluhan."Baby, kapan aku bisa beli apartemen ini? Kata pemiliknya, bulan depan apartemen ini tidak akan disewakan lagi, karena akan dijual." Suara Ivan terdengar merajuk, seolah menuntut jawaban yang bisa segera meredakan kegelisahannya.Aira menghela napas pelan. "Aku belum punya kesempatan bicara pada Kak Romeo. Lagi pula, nenekku baru saja kembali dari luar negeri dan sedang di mansion. Aku harus fokus padanya dulu."Sejenak, tidak ada suara dari Ivan. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali bersuara dengan nada penuh siasat. "Justru bagus kalau nenekmu ada di sana,” kata Ivan antusias. “Kamu bisa minta ke Beliau untuk menjual saham itu supaya kamu bisa membuka usaha butik. Nenekmu pasti lebih mudah dibujuk daripada Romeo yang sifatnya keras kepala."Aira terdiam, mempertimbangkan
Nyonya Miranda mengangkat alisnya, tampak terkejut. Dengan suara bergetar seakan menahan rasa sakit, Nyonya Valerie melanjutkan ucapannya."Suri mempengaruhi Romeo untuk menjauh dari kami, Ma. Dia meminta Romeo memutuskan semua hubungan dengan saya dan Aira. Bahkan, Romeo tidak pernah datang lagi ke mansion."Wajah Nyonya Miranda mengeras. Ia menatap Nyonya Valerie dengan pandangan penuh penilaian. Sepertinya, wanita tua itu sedang menimbang-nimbang kebenaran ucapan sang menantu.“Kenapa kamu tidak mengundang Romeo dan istrinya kemari?”Nyonya Valerie kemudian memegang dadanya, seolah tidak sanggup menahan rasa malu dan sedih."Saya sudah mencoba, Ma, tapi mereka tidak mau datang. Romeo juga tidak memperbolehkan saya berkunjung ke kantornya.”Nyonya Miranda menggenggam tongkatnya lebih erat, tampak berpikir dalam-dalam. Matanya menatap lurus ke depan, seperti menimbang langkah apa yang harus diambil selanjutnya. "Padahal aku sangat rindu pada Romeo ...." gumamnya lirih. "Aku menyesal
Sepulang kantor, Suri mengirimkan pesan kepada Romeo bahwa dia akan berbelanja sebentar dengan Raysa. Usai mendapat izin dari sang suami, Suri pun pergi bersama Raysa ke salah satu pusat perbelanjaan. Raysa menarik lengan Suri dengan semangat, menyeretnya masuk ke dalam toko lingerie yang didekorasi dengan nuansa merah muda. Aroma wangi vanila menyambut keduanya, membuat suasana menjadi lebih intim. “Ray, untuk apa ke sini?” protes Suri malu-malu.“Kamu mau membuat Romeo bahagia, ‘kan? Ini salah satu caranya,” pungkas Raysa tidak memberi kesempatan kepada Suri untuk protes.Seorang pegawai toko dengan senyum ramah menyambut mereka. Matanya segera tertuju pada Suri yang tampak canggung di balik bahu Raysa.“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?”“Kami mencari lingerie yang cocok untuk teman saya ini,” kata Raysa tanpa ragu, sambil menunjuk Suri yang langsung memerah wajahnya. “Yang sesuai dengan kulitnya yang putih dan lembut.”Pegawai toko mengangguk dengan profesionalisme yang
Mansion keluarga Albantara dipenuhi dengan kesibukan yang tidak biasa. Para pelayan bergegas ke sana kemari, membersihkan setiap sudut ruangan hingga bersinar. Derap langkah kaki mereka menggema di koridor, membawa alat-alat kebersihan dan kain pel ke setiap sudut rumah.Di lantai bawah, kamar utama menjadi perhatian khusus. Tempat tidur dengan sprei putih bersih dirapikan, bantal-bantal dihias dengan sarung bermotif elegan, dan bunga segar diletakkan di atas meja kecil dekat jendela. Bau lemon dari semprotan pengharum ruangan menyebar, memberikan kesan segar dan bersih. Tepat jam makan siang, Diva tiba di mansion dengan membawa sekotak besar makanan kesukaan Nyonya Valerie. Langkahnya ringan saat ia berjalan melewati ruang tamu yang megah, tetapi matanya segera menangkap pemandangan yang tidak biasa. Seorang pelayan sedang menyusun vas kristal di ruang makan, sementara yang lain dengan cekatan menyusun gelas-gelas di atas meja. “Di man
Romeo menelan ludah, wajahnya berubah muram. “Apakah ini berarti … saya tidak punya harapan untuk memiliki anak?” tanyanya dengan suara serak.Dokter Fani menggeleng pelan. “Bukan berarti tidak bisa, Tuan Romeo. Tapi, peluangnya lebih kecil dibandingkan dengan pria yang memiliki parameter sperma normal. Masih ada berbagai langkah yang bisa kita ambil.”Suri menoleh ke arah Romeo. Melihat gurat kesedihan di wajah suaminya, ia segera menggenggam tangan Romeo dengan erat. Mata mereka bertemu, dan Suri memberikan tatapan penuh kasih sayang. “Kita pasti bisa melewati ini bersama,” bisiknya lembut.Dokter Fani melanjutkan penjelasannya. “Ada beberapa opsi terapi yang bisa kita coba. Pertama, kita bisa mulai dengan perubahan gaya hidup, seperti pola makan sehat, olahraga rutin, dan menghindari stres berlebihan. Selain itu, suplemen tertentu yang mengandung zinc dan vitamin E dapat membantu meningkatkan kualitas sperma.”Romeo mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya masih tegang. “Apakah ad
Tiga hari berlalu begitu cepat sejak Suri dan Romeo melakukan tes kesuburan. Pagi itu, suasana di rumah mereka tampak biasa saja, tetapi tidak bagi Suri. Di dalam hatinya, ia merasa ada gelombang kecemasan yang sulit dijelaskan. Sebuah ketakutan kecil menyelinap di pikirannya—bagaimana jika hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi seorang ibu? Sambil melamun, Suri berdiri di dapur, menyiapkan sarapan. Ia menuang telur kocok yang sudah diberi bumbu, lalu menuangkannya ke dalam wajan panas untuk membuat omelet.Selama proses memasak, pikiran Suri masih melayang ke hasil tes yang akan mereka ambil hari ini. Dalam lamunannya, Suri bahkan tidak menyadari bau gosong mulai tercium di seluruh dapur. Romeo, yang baru saja selesai berpakaian, langsung mencium aroma yang tidak biasa. Dengan langkah cepat, ia menuju dapur dan langsung mematikan kompor. “Suri, kamu kenapa?” tanyanya sambil memindahkan wajan dari atas api. Suri menoleh, wajahnya tampak bersalah. “
Usai meninjau proyek pembangunan kota mandiri, Suri, Sagara, dan dua arsitek senior kembali ke kantor Pradipta Group. Suasana di mobil dipenuhi obrolan ringan. Sebelum turun dari mobil, Sagara menoleh ke arah Suri untuk mengingatkan tentang makan malam. “Suri, ingatkan tim kita nanti jam lima tepat ke basement. Kita akan berangkat bersama ke restoran Kanaya Garden.”Suri mengangguk patuh. “Baik, Pak Sagara. Kami akan berkumpul tepat waktu,” jawabnya dengan nada profesional.Begitu tiba di ruang divisi arsitek, Suri langsung mengingatkan timnya. Kemudian, ia pergi ke toilet untuk mengganti pakaian dengan blus berwarna jingga dan celana panjang hitam yang memberikan kesan nyaman. Selesai berganti pakaian, Suri melanjutkan pekerjaannya hingga waktu menunjukkan pukul lima.Ketika semua orang telah bersiap, Suri memimpin timnya turun ke basement. Di sana, mereka bersiap menaiki mobil kantor yang telah disediakan. Namun, Sagara tiba-tiba menghampiri Suri.“Ikut mobil saya saja, Suri. Mobil
Suri menyalakan speaker ponselnya dan menyerahkan perangkat itu kepada Romeo. Tak berselang lama suara dua orang wanita memenuhi ruangan, memutar ulang percakapan di rumah sakit. Romeo diam, sambil mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh Suri dan Diva secara bergantian.Rahang Romeo mengeras, dan otot-otot wajahnya tegang saat ia mendengar Diva dengan lantang menyebut Suri sebagai perempuan kampungan dan mandul. Sikap Diva sangat kasar, bahkan berani menantang Suri. Di akhir rekaman, Diva mengungkapkan bahwa ia tidak benar-benar ingin bunuh diri. Wanita itu juga mengancam bahwa suatu hari dia akan membawa Romeo ke atas ranjangnya. Begitu rekaman itu selesai, wajah Romeo menggelap. Ia mengembalikan ponsel itu kepada Suri dengan gerakan lambat, napasnya berat. Suri menatap suaminya dengan cemas."Romeo, kamu tidak apa-apa?" tanyanya hati-hati.Romeo menghela napas panjang. "Selama ini, aku menganggap Diva adalah gadis yang lembut, lemah, dan perlu dilindungi. Aku percaya padan