Dengan cepat, Suri membayar gaun yang ia pilih di kasir sambil menunduk. Kemudian, ia mengenakan kacamata hitam yang ia bawa di tas untuk menyamarkan penampilan. Ia mencoba menghindari perhatian mereka dan segera menuju ke arah pintu keluar.
Ketika melewati pintu, Suri masih mendengar Diva berbicara akrab dengan Nyonya Valerie. “Aku akan memilih gaun yang berwarna biru, Tante. Biru adalah warna kesukaan Kak Romeo.”
Suri melangkah terburu-buru, menghindari sudut pandang Diva dan ibu mertuanya. Langkahnya terasa ringan di kaki, tetapi tidak di hati. Pedih, itulah yang ia rasakan. Pedih karena nama Romeo ternyata masih punya tempat di hatinya, meski ia tahu itu hanya akan menyakitinya lebih dalam.
Setelah berhasil keluar dari butik, Suri memanggil taksi yang kebetulan lewat. Tanpa membuang waktu, Suri masuk ke taksi dan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia memandangi paperbag yang kini ada di pangkuannya.
Gaun yang ia
Ketika Suri sudah duduk di meja kafe, pandangan mata dari orang-orang di sekitarnya masih mengikuti. Sungguh, situasi ini membuatnya seperti ikan di dalam akuarium. Untuk mengusir rasa tak nyaman, Suri menggenggam ponsel sambil menundukkan kepala. Ia berusaha fokus pada layar, tetapi tatapan para pengunjung tetap tertuju padanya. Mungkin mereka merasa heran sekaligus penasaran, karena ia berhasil mendapatkan meja yang nyaman di tengah antrean yang begitu panjang.Beberapa kali, Suri menoleh ke arah pintu, berharap Raysa segera datang untuk menyelamatkannya. Hingga tak lama berselang, sosok Raysa muncul, matanya menyapu ruangan dengan sedikit kebingungan. Melihat kedatangan Raysa, Suri melambaikan tangan ke arah sahabatnya itu. Raysa segera menghampiri, langkahnya dipercepat. “Suri, kamu hebat sekali bisa mendapatkan meja di sini,” puji Raysa begitu ia duduk. Wajahnya tampak cerah, senang bercampur heran. “Apa kamu kenal dengan pegawai atau supervisor kafe ini?”Suri tersenyum tipis
Mata Suri berbinar penuh semangat. Dengan tekad baru, ia mengarahkan sopir taksi untuk membawanya ke sebuah toko peralatan melukis yang dulu sering ia kunjungi. Tempat itu telah lama menjadi pelabuhan kreativitasnya sebelum ia terjebak dalam sangkar emas. Toko kecil di sudut jalan itu masih seperti yang ia ingat. Papan nama kayu dengan tulisan "Rumah Warna" terlihat usang tetapi tetap hangat, seolah menyambut siapa pun yang datang dengan harapan. Ketika bel di pintu berbunyi, seorang pria paruh baya keluar dari balik meja kasir. "Suri!" serunya dengan nada tak percaya. "Benarkah ini kamu?" Suri tertawa kecil, sedikit tersipu. "Benar, Pak Harun. Saya kembali." Pak Harun, pemilik toko itu, tersenyum lebar. "Sudah lama sekali! Saya pikir kamu sudah berhenti melukis." "Memang sempat berhenti," Suri mengakui, sambil menyusuri rak-rak penuh kuas, cat minyak, cat air, dan berbagai perlengkapan lainnya. "Tapi, sekarang saya merasa ingin mulai lagi." Pak Harun mengangguk paham. "Me
Selesai makan, Suri dan Raysa bekerja sama membereskan meja makan dan mencuci piring. Kemudian, mereka ke kamar untuk memilih aksesoris yang akan dipakai ke pesta. Raysa mengeluarkan sebuah kotak besar yang penuh dengan berbagai model kalung, anting, dan gelang. “Kita lihat mana yang cocok dengan gaunmu,” ujar Raysa sambil mengangkat sebuah kalung mutiara, . Suri tak bisa menahan tawa melihat aksi Raysa yang sibuk memamerkan koleksinya.“Kamu mengeluarkan semua ini hanya untuk aku?” tanya Suri sambil tertawa kecil.“Iya, Suri. Aku adalah orang pertama yang mendukungmu untuk membalas perbuatan Romeo. Kamu harus tampil sempurna di pesta itu,” balas Raysa sambil mengedarkan pandangannya ke tumpukan aksesoris di dalam kotak.Namun, seiring waktu, raut wajah Raysa berubah menjadi bingung. “Hmm... tunggu sebentar. Mana yang warnanya ungu?” gumamnya sambil memilah-milah aksesoris.Setelah beberapa saat mencari, Raysa berdecak kesal. “Tidak ada. Aku harus mencari lagi,” ujar Raysa sambil m
Keluar dari bar, Romeo memutuskan pulang ke mansion. Ia berjalan cepat membuka pintu utama, berharap bisa segera naik ke kamar dan melupakan hari yang melelahkan. Kepalanya juga terasa berat, entah karena efek alkohol atau karena ia kurang tidur akhir-akhir ini. Namun, pemandangan di ruang tamu membuat Romeo menghentikan langkah. Ia melihat Diva duduk di sofa dengan piyama satin berwarna pastel. Nyonya Valerie, ibunya, duduk di sebelah Diva sambil tersenyum lebar. Romeo langsung mengerutkan dahi, matanya menyipit tajam. “Diva? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?” tanyanya tajam.Diva menoleh dengan santai. “Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini, Kak Romeo,” jawabnya seraya memilin ujung rambut dengan jari telunjuk.“Tinggal di sini? Kenapa?”“Karena Mama yang meminta,” jawab Nyonya Valerie. Perempuan paruh baya itu memasang ekspresi penuh keprihatinan. “Diva sedang diteror oleh salah satu penggemarnya, dia merasa dibuntuti setiap hari. Lebih aman jika Diva tinggal bersama
Suri muntah sedikit, tetapi cukup membuat tubuhnya melemas. Berpegangan pada tepi wastafel, ia menyalakan keran dan membasuh wajah beberapa kali. Perlahan, Suri mengatur napas sembari memperhatikan pantulan wajahnya di cermin."Apa ini efek dari obat yang aku minum?" gumamnya pelan. Lambungnya memang lebih sensitif sejak menjalani operasi tumor dan bedah plastik. Terlebih, ia harus meminum banyak obat setiap hari.Hanya saja, ini terasa berbeda. Ia merasakan kegelisahan yang tak dapat dijelaskan.Saat berjalan ke ruang tamu, pikirannya tiba-tiba melayang pada sesuatu yang selama ini ia abaikan. Selama menjalani perawatan di rumah sakit, ia belum datang bulan. Suri mengernyit, mencoba mengingat apa yang dikatakan dokter sebelumnya. Dokter memang memberitahu bahwa siklus menstruasinya akan terganggu akibat obat-obatan pasca operasi. Namun tetap saja, rasa khawatir mulai menyelinap di hati Suri. “Tidak mungkin .…” Suri menelan ludah, menolak membiarkan pikirannya melangkah lebih jauh.
Senyum Suri memudar, dan ia menunduk sejenak sebelum menjawab. “Saya mengalami kecelakaan mobil. Papa saya meninggal dalam kecelakaan itu, dan saya terluka parah. Setelah sembuh, saya menikah dan memutuskan untuk tidak bekerja lagi.” Wajah Tuan Cahyadi berubah serius. “Saya turut berduka, Suri. Itu pasti masa yang sangat sulit untukmu.” “Benar, Paman. Tapi, sekarang saya ingin melanjutkan karier sebagai arsitek. Saya sedang dalam proses perceraian,” pungkas Suri apa adanya.Tuan Cahyadi mengangguk pelan, sementara Nyonya Helena menyentuh tangan Suri dengan lembut. “Kami mengerti. Jangan khawatir, Suri. Kamu memiliki bakat yang luar biasa. Kami akan membantumu mendapatkan pekerjaan,” ujar Helena dengan senyum tulus. Tuan Cahyadi melanjutkan, “Besok di pesta ulang tahun saya, kamu akan memberikan sambutan pembuka. Saya akan memperkenalkanmu kepada para pengusaha properti dan arsitek terkemuka. Kamu bisa memulai lagi dari sana.”Suri merasa haru. “Terima kasih banyak, Paman, Tante
Pencarian topeng yang sempurna menjadi agenda pertama Suri di pagi hari. Meski awalnya sulit menemukan yang cocok, akhirnya Suri berhasil mendapatkan topeng elegan berwarna emas dengan hiasan bulu halus. Suri memandang topeng itu dengan senyum tipis. “Kurasa ini cukup bagus, Ray. Aku bisa tampil di depan para tamu, tanpa mereka perlu tahu siapa aku sebenarnya," ucap Suri meminta pendapat sahabatnya. Raysa, yang sedang sibuk memilih aksesori, mengangguk kecil. “Iya, topeng ini serasi dengan gaunmu. Yakinlah, malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan untukmu, Suri.” Suri mengangguk, merasa lebih percaya diri dari sebelumnya. Setelah mendapatkan topeng, Raysa mengarahkan mobilnya ke rumah Suri untuk mengambil gaun pesta. Dalam perjalanan, ia tak henti-hentinya mengingatkan Suri supaya menghafalkan kata sambutan, agar bisa berbicara dengan lancar. “Aku masuk dulu untuk mengambil gaun, Ray,” ujar Suri saat mobil Raysa sudah berhenti di depan rumahnya. "Cepat sedikit, ya! Kit
Raysa memarkir mobilnya di depan sebuah ruko dengan cat dinding berwarna putih gading. Papan neon bercahaya bertuliskan "Lavina Beauty Studio", lengkap dengan logo mawar menyala terang di hadapan mereka. Suri menatap pintu kaca salon itu yang telah berganti dengan model geser otomats."Salon ini jadi lebih bagus," ujar Suri takjub."Iya, dulu hanya ada empat kursi dan meja rias sederhana. Tempat ini adalah pelarian kita setelah selesai ujian,” ujar Raysa tertawa ringan.Begitu melangkah ke dalam, mereka disambut oleh seorang pegawai muda yang berdiri di meja resepsionis."Selamat datang di Lavina Beauty Studio. Ada yang bisa kami bantu?"“Kami ingin memesan make-up dan hair do, tapi harus ditangani oleh Kak Arjuna. Kami dulu langganan di salon ini,” jawab Raysa mantap.Pegawai itu mengantar mereka ke area kursi yang tertata rapi. Tak lama kemudian, muncul seorang pria dengan dandanan modis dan rambut hitam berkilau. Dia bernama Arjuna—MUA terbaik salon itu.“Kak Arjuna, masih ingat ka
Aira melangkah keluar dari mansion dengan tergesa, sengaja menyembunyikan matanya yang sembap di balik kacamata hitam. Pikirannya penuh dengan kecemasan, tetapi ia berusaha menjaga langkahnya tetap stabil, agar para pelayan tidak menaruh curiga. Namun, saat ia hampir mencapai halaman, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat mobil ibunya, Nyonya Valerie, telah terparkir di sana. Aira pun mempercepat langkah, berharap bisa pergi sebelum sang ibu melihatnya."Aira, mau ke mana kamu?" panggil Nyonya Valerie.Aira berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum yang dipaksakan. "Aku mendapat undangan ulang tahun dari teman, Ma. Aku hampir terlambat."Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Aira masuk ke mobil dan menyalakan mesin dengan terburu-buru. Dari kaca spion, ia melihat ibunya mengernyit, tampak curiga dengan tingkahnya. Namun, ia mengabaikan hal itu, dan langsung mengemudikan mobilnya keluar dari gerbang mansion. Tak berselang lama, Aira tiba di apartemen Lili. Gadis itu sudah berdiri
“Pergilah ke luar negeri, Diva, setidaknya sampai situasi benar-benar aman,” ucap Randy yang ikut merasa ketakutan. Diva mengernyit, menatap Randy penuh keraguan. "Pergi? Sekarang?""Semakin cepat, semakin baik! Kalau Toni sampai membuka mulut, kamu bisa ditangkap polisi.”Diva menghela napas panjang. Pikirannya berkecamuk. Pergi ke luar negeri mungkin pilihan terbaik, tetapi itu juga berarti ia harus meninggalkan semua yang ia miliki di sini, termasuk karier dan kehidupannya yang sudah nyaman. Tenggorokannya terasa kering. Ia mengepalkan tangan, berusaha meredam kegelisahan yang meluap-luap di dadanya. Beberapa saat kemudian, Diva mengangkat wajahnya, kedua matanya menyala penuh tekad. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum menemukan Kak Romeo,” pungkas Diva. Seringai tipis muncul di sudut bibirnya. “Aku sudah bertindak sejauh ini, Randy. Aku tidak akan menyerah terlalu cepat."Tanpa menunggu tanggapan dari asistennya, Diva segera menundukkan kepala dan menekan nomor ponsel seseor
Dada Romeo bergemuruh hebat, tangannya mencengkeram erat jemari Suri, seakan takut kenyataan ini hanyalah mimpi yang bisa lenyap kapan saja. Napasnya tersengal, dan sebaris senyum penuh haru perlahan merekah di bibirnya. Sementara matanya mulai terasa panas, digenangi air mata kebahagiaan yang sulit dibendung. "Apa...? K-kita punya anak kembar?" tanya Romeo terbata-bata. Setiap kata yang terucap mengandung guncangan emosional yang begitu dalam.Suri mengangguk sambil tersenyum di tengah air matanya. "Ya, Romeo... kita punya dua bayi, satu laki-laki dan satu perempuan. Nama mereka Jevandro dan Jeandra.”Romeo tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia menarik Suri ke dalam pelukan, seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Tangisnya pecah di pundak istrinya."Jadi, dugaanku benar... Saat aku koma, kamu tengah mengandung anak kita."Suri terkejut, dahinya mengernyit penuh tanda tanya. "Dari mana kamu tahu? Apa Yonas yang memberitahumu?"Romeo menggeleng, bibirnya membentuk senyum samar. "Tid
Suri tidak dapat menahan air matanya lagi. Perasaan haru dan syukur bercampur menjadi satu dalam dadanya, ketika mengetahui Romeo sudah bisa melihat.Tanpa banyak bicara, ia langsung merengkuh sang suami dalam pelukan erat, tubuhnya berguncang oleh tangis yang tak terbendung. Sambil menangis tersedu, Suri membenamkan wajahnya di bahu Romeo, merasakan kehangatan tubuhnya yang begitu nyata, begitu hidup. Selama ini, ia takut kehilangan Romeo, takut segalanya akan berakhir dalam perpisahan yang menyakitkan. Tak disangka, kini ia berada dalam dekapan Romeo, mendengar suara beratnya yang penuh kepastian.Romeo membalas pelukan itu, membiarkan Suri menangis di pelukannya. Ia mengusap lembut punggung sang istri, berusaha menenangkan tubuhnya yang gemetar. Setelah beberapa saat menyelami kehangatan yang indah, Romeo menyeringai kecil dan berkata dengan nada menggoda."Sayang, jangan terlalu erat. Dadaku masih nyeri, lenganku juga pegal karena terbentur tanah."Suri langsung terkejut dan mel
Di dalam ruang kerja yang sunyi, Suri menghela napas lega usai berhasil memompa ASI. Hasilnya, tiga botol kecil susu tersusun rapi di atas meja, siap untuk disimpan.Dengan hati-hati, Suri menyimpan kembali pompa ASI ke dalam tas, memastikan semuanya tetap bersih dan rapi. Rasa lelah sedikit menyergapnya, tetapi ada kepuasan tersendiri melihat stok ASI bertambah. Baju atasan yang ia kenakan telah basah, meninggalkan bercak yang cukup kentara di kainnya. Mau tak mau, Suri mengambil kemeja bersih yang sudah ia siapkan untuk berjaga-jaga. Begitu berganti pakaian, Suri merapikan rambutnya sejenak, lalu bersiap untuk keluar.Pelan-pelan, Suri membuka pintu ruang kerja, berhati-hati agar tidak menimbulkan suara berisik. Ia melangkah perlahan, hampir mengendap-endap, menuju dapur dengan tujuan menyimpan stok ASI ke dalam freezer. Matanya sesekali melirik ke sekeliling, memastikan bahwa Romeo tidak mendengar pergerakannya. Begitu sampai di dapur, Suri membuka pintu freezer dan menyimpan bot
Di dalam kamar dengan pencahayaan redup, Aira duduk di atas kloset dengan wajah pucat. Tangannya sedikit gemetar saat ia membuka kemasan test pack yang sejak tadi ia pegang. Jemarinya yang dingin berusaha tetap stabil, dalam menggenggam alat kecil berwarna putih yang akan menentukan masa depannya. Ia mengumpulkan keberanian, lalu menampung urine di wadah kecil sebelum mencelupkan test pack ke dalamnya. Selama beberapa detik, Aira tidak bisa bernapas dengan normal. Ia merasa seperti menunggu vonis yang akan menentukan nasibnya. Satu detik. Dua detik. Lima detik. Aira menutup mata erat-erat, enggan melihat hasilnya. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanya keterlambatan biasa, bahwa ia hanya terlalu stres belakangan ini. Namun, saat ia membuka mata, garis pertama muncul dengan cepat—tanda bahwa test pack berfungsi. Dan tak lama kemudian… Garis kedua muncul begitu saja. Dua garis merah yang sangat nyata, seakan-akan menertawakan hidupnya yang baru saja terjungkal dalam jura
Meskipun jantungnya berdegup kencang, Suri berupaya menemukan alasan yang masuk akal sebelum Romeo mencurigai sesuatu. Beruntung, sebuah ide cemerlang melintas di benaknya pada waktu yang tepat."Ah... ini hanya keringat biasa, Tuan Romeo," katanya berusaha terdengar santai. "Saya kepanasan karena terlalu lama berdiri di bawah terik matahari. Setelah sampai di apartemen, saya akan langsung ganti baju.”Mendengar jawaban Suri, Romeo hanya menatap lurus ke depan tanpa mengatakan apa-apa. Suri pun menarik napas lega. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar, karena Romeo tiba-tiba memberikan perintah kepada sopirnya."Berhenti di restoran sushi. Aku ingin makan sebelum ke apartemen." Panik mulai menjalari pikiran Suri. Jika ditunda lebih lama, mungkin ia tidak akan tahan menanggung rasa nyeri yang kian menyiksa. Ditambah lagi, bajunya yang semakin basah akan mengundang perhatian banyak orang.“Tuan Romeo, bagaimana kalau saya memesan sushi lewat layanan delivery? Lebih praktis d
Mata Suri membelalak, seolah telinganya baru saja menangkap sesuatu yang tidak seharusnya. Ia tidak yakin apakah ia benar-benar mendengar atau hanya berhalusinasi, tetapi suara itu begitu jelas, begitu nyata. Romeo memanggilnya ‘Sayang’. Jantung Suri berdegup lebih cepat, seperti ingin berontak dari dalam dadanya. Jemarinya yang masih menggenggam lengan Romeo sedikit gemetar, tetapi ia berusaha menenangkan diri dengan berdehem."Tuan Romeo," panggil Suri terdengar ragu. "Apa yang baru saja Anda katakan?" Romeo menoleh dengan ekspresi datar seperti biasa. Ia bahkan tidak terlihat menyadari kegelisahan yang melanda Suri. Dengan nada polos, Romeo malah balik bertanya, "Memangnya aku mengatakan apa?" Suri mengernyit, mencoba mencari tanda-tanda bahwa Romeo sedang mempermainkannya. Namun, ekspresi pria itu tetap tenang, seolah ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. "Aku hanya meminta dukungan dan bantuan darimu supaya tidak gugup," lanjut Romeo ringan.Suri menatapny
Di kediaman keluarga Albantara, suasana terasa hening. Nyonya Valerie duduk dengan gelisah di sofa. Di tangannya, secangkir teh chamomile mengepul hangat, tetapi ia sama sekali tak berniat menyesapnya. Pintu utama terbuka, dan seorang pelayan masuk, membungkuk sopan sebelum mengumumkan kedatangan tamu. "Nyonya, Nona Diva telah tiba," katanya dengan nada hormat. Tak lama, Diva masuk sambil mengulum senyum, tetapi ada kilatan ambisi dalam sorot matanya. Wanita itu berjalan mendekati Nyonya Valerie, dan tanpa basa-basi langsung menanyakan tentang Romeo."Bagaimana hasilnya, Tante? Apakah detektif yang Tante sewa sudah menemukan Kak Romeo?" Nyonya Valerie menegakkan punggungnya, lalu menghela napas pelan. Ia meletakkan cangkir tehnya di atas meja kaca sebelum menjawab dengan nada datar. "Belum," jawabnya singkat. "Sepertinya Romeo belum meninggalkan tempat persembunyiannya. Tapi, dia akan keluar untuk mengurus pekerjaan. Saat itulah, detektif kita bisa menemukan jejak Romeo."