"Kamu perebut calon suamiku!"
"Kamu sengaja tidur di sofa, supaya Dave tergoda, 'kan?"
"Dave itu milikku! Jangan berani kamu dekati dia!"
Sudah cukup. Pegangan tangan Taylor pada gelas berisikan susu semakin kencang. Peristiwa kemarin malam sungguh membuatnya tidak bisa tidur.
Tidak ada yang suka dituduh, ditambah tanpa adanya bukti. Seperti Donna yang menuduh Taylor habis-habisan, mempermalukan Taylor di depan Dave.
Bisa saja Taylor melaporkan hal tersebut karena pencemaran nama baik, tetapi Dave juga nemiliki salah. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada wanita yang suka, dan itu Dave sendiri yang mengatakan itu. Taylor berpikir, itu tidak mungkin, karena pasti banyak pegawai wanita yang mudah terpesona. Akan tetapi, Taylor tidak menyangka ada yang seperti ini.
Menurut Taylor, diam itu lebih bagus untuk tidak mudah terpancing. Akan tetapi, bukan berarti diam itu lemah.
Setelah memperlakukan Taylor dengan puas, Donna masih sempat bermesraan dengan Dave. Sedangkan Dave sendiri berusaha melepas diri dari Donna, serta membuat Taylor mengerti dengan keadaan.
"Aneh sekali. Biasanya, kamu tidak bangun secepat ini." Dave datang dengan wajah tanpa ada masalah. Setelan jas pun rapi, lalu duduk, dan meminta kopi pada pelayan.
Taylor hanya diam sambil menatap mata Dave tajam. Masih merasa dibohongi.
"Kenapa menatapku seperti itu? Kamu masih marah denganku? Ayolah, Taylor. Harus berapa kali aku minta maaf?" Dave kembali merasa bersalah.
"Kekesalanku sudah seratus persen. Paman Jo dua puluh persen, dan sisanya si Dora itu. Entah Dora, Dota, Donna, atau Dosa, aku tidak peduli!" Taylor dengan cepat menghabiskan susu tanpa jeda.
Dave sedikit terkejut dengan cara minum Taylor, ketika sedang marah. Namun, masih bisa dimaklumi.
"Aku sungguh tidak suka dengannya. Dari awal datang ke rumah, dia masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Sudah terlihat, kalau dia tidak ada sopan santun. Begitu juga kemarin." Semua yang ada di dalam hati sengaja dikeluarkan oleh Taylor. "Dia juga selalu mengatakan calon suami. Kalau benar kalian punya hubungan khusus, jujur saja."
Ucapan terakhir Taylor membuat Dave mengusap wajah. Sepertinya, Dave mulai tak nyaman dengan percakapan ini. "Taylor, dia bukan pacarku. Hubungan kami hanya sebatas kerja. Dia memintaku ... untuk menikah dengannya."
"Aku memang tidak ada hak untuk mengurus dunia asmaramu. Tapi, aku tidak suka dengannya. Dia bukan wanita baik, Paman." Karena pandai menilai perilaku hanya dari tatapan tajam, Taylor berani mengatakan hal tersebut.
Notifikasi ponsel Taylor muncul. Brian mengabari, jika dirinya sudah ada di depan rumah Dave.
Taylor pun menaruh gelas kosong, lalu memakai tas gendong kecil. "Aku pergi dulu. Brian sudah menunggu di depan. Aku tidak akan pulang sampai tengah malam lagi."
"Pergi? Bukankah hari ini kamu libur? Kemana? Hanya berdua?" Pertanyaan banyak Dave membuat Taylor malas menjawab.
"Aku hanya pergi ke perpustakaan, ingin mengerjakan tugas dari beberapa buku. Kenapa hanya berdua? Paman ingin aku pergi ke perpustakaan bersama semua murid sekolahan?" tanya Taylor balik membuat Dave diam.
Tak lama setelah Taylor keluar rumah, Dave menyusul. Entah apa yang terjadi pada pikiran Dave, dia hanya ingin memastikan saja.
"Maaf, pasti sudah menunggu lama." Taylor memasang wajah sedih sebelum memakai helm. "Tadi sempat berdebat dengan si pak tua," lanjutnya setelah memakai helm.
Ketika Taylor baru saja menaiki motor, Dave mendekat sambil memanggil. Jiwa ke-papa-an Dave kembali muncul.
"Pagi, Paman Jo. Kami akan pergi ke perpustakaan. Tenang saja, aku akan menjaganya dengan baik." Brian berusaha membuat Dave percaya dan senang, teknik untuk mendapatkan perhatian calon mertua kedua, setelah Mama Taylor.
Dave tidak peduli dengan Brian. Mata Dave fokus pada Taylor yang sedang menatap ke arah lain. "Beritahu aku, kalau kamu ada janji bersama teman. Ingat, kamu dititipkan. Kamu tanggungjawabku selagi ada di rumah ini."
Salah satu tangan Taylor terangkat, meminta Dave berhenti bicara. "Jangan buat suasana hatiku semakin buruk. Mau bilang atau tidak, aku bisa menjaga diri. Pacarku setia menemani."
Pacar. Satu kata itu membuat Dave meradang. Belum lagi, melihat Taylor yang memeluk Brian dengan erat dari belakang.
"Kami pergi dulu, Paman," ijin Brian dengan memberi senyuman sebelum berangkat.
Sudah lewat dari jam masuk kerja. Dave terburu-buru mengambil tas kerja tanpa meminum kopi yang sudah dingin. Saat mengambil tas, kunci mobil, menutup pintu, itu dilakukan dengan rasa kesal.
Sebenarnya, ada apa dengan Dave?
***
Taylor sempat menceritakan semua apa yang terjadi di malam itu pada Brian. Dengan lengkap dan pelan, karena perpustakaan melarang kebisingan.
"Donna itu buruk. Kamu harus berhati-hati dengannya," imbuh Brian yang setuju dengan Taylor.
"Memang harus. Hanya saja, aku tidak mengerti dengan Donna. Dia mengira aku merebut Paman Jo darinya," oceh Taylor yang membuat Brian terkekeh.
Brian memajukan tubuh pada Taylor yang duduk di sebrang, mengajak untuk berbisik. "Donna pasti iri denganmu, bisa tinggal di rumah Paman Jo dengan mudah."
Salah satu alis Taylor menaik. Alasan itu tidak masuk akal. "Aneh. Aku saja tidak ingin satu rumah dengan Paman Jo, karena dia sangat menyebalkan. Kalau Donna ikut tinggal di sana, lebih baik aku mundur," balasnya dengan mengangkat kedua tangan.
"Apa mamamu tahu ini?" tanya Brian sambil membuka lembaran kertas.
Taylor menggeleng kepala. "Aku tidak suka mengganggu orang sibuk. Apa yang menurutku bisa kuatur sendiri, akan kulakukan. Masalah Donna tidak perlu dibesar-besarkan. Dia hanya berlebihan saja."
"Semakin lama aku mencintaimu." Brian membuat Taylor malu, sehingga Taylor menutupi wajah dengan buku yang sedang dibaca.
"Sudahlah. Buku-buku ini akan kupinjam saja. Mengerjakan tugas di rumah. Mari kita jalan-jalan," ajak Taylor sambil merapikan buku.
Brian mengangguk setuju, lalu ikut merapikan buku.
Berhenti di restoran sederhana, Taylor dan Brian masuk untuk makan siang. Mereka akan menghabiskan waktu bersama sebelum menjelang malam. Terlihat sangat menyenangkan, walaupun hanya sesaat.
Ya, sesaat.
Brian sedang memegang kedua tangan Taylor dengan senyum bahagia. Senyum itu mampu membuat Taylor salah tingkah. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Penyakitmu itu bukan alasan. Percayalah, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Cintaku ini hanya untukmu."
Memang Brian tidak bisa membaca pikiran Taylor. Akan tetapi, Brian pasti tahu, jika Taylor selalu berpikir, kenapa Brian ingin menjalin kasih dengan orang yang penyakitan?
Suara kursi ditarik membuat kedua pasangan muda menoleh. Seorang pria duduk dengan santai, lalu bertepuk tangan layaknya terpukau.
"Wow, pernyataan cinta yang sangat luar biasa."
Taylor mendecakkan lidah, lalu menghela napas berat. Sedangkan Brian hanya tersenyum, dan berkata, "Terima kasih, Paman Jo."
"Apa kalian akan berpegangan tangan saat makan?" Dave terdengar seperti memberi peringatan pada Brian.
Taylor melepas pegangan Brian dengan kesal, menatap Dave dengan salah satu alis menaik. "Apa yang Paman Jo lakukan di sini?"
"Tentu saja makan siang. Aku tidak sengaja melihat kalian, jadi ikut bergabung," jawab Dave tanpa merasa bersalah. Sambil melihat menu makanan, Dave bertanya, "Sudah memilih makanan?"
"Belum, Paman," jawab Brian dengan wajah kecewa.
"Bagus. Pilihlah makanan kalian, aku yang akan bayar. Gadis dingin, pilih makanan sehat. Aku tidak ingin asmamu kambuh." Sungguh, Dave seakan sengaja membuat Taylor kesal. Selalu saja mengganggu privasi.
Dengan perasaan yang berkecamuk, Taylor membuka buku menu dengan kesal.
Dave sempat melirik pada Taylor sekilas. Ada senyum yang mengembang di bibir. Sebenarnya, Dave tidak berangkat ke kantor. Dari awal Taylor pergi ke perpustakaan, Dave mengikuti tanpa ketahuan. Ingin memastikan, bahwa Taylor baik-baik saja.
Selesai makan siang, Dave membuka suara, supaya suasana di antara mereka tidak terlalu tegang. "Bagaimana? Apa makanannya enak?"
"Enak sekali, Paman." Brian pasrah dengan keadaan. Hanya bisa mengikuti alur permainan Dave.
"Tentu saja. Aku yang bayar."
Cukup. Taylor sudah tidak tahan lagi. "Paman, hentikan ini. Lebih baik pergi ke kantor dan urus parfum-parfummu. Sudah cukup Paman mengganggu. Kami sungguh tidak tenang, kalau ada Paman di sini."
Pengganggu. Kata itu cukup menyakitkan hati Dave. Entah kenapa bisa sesakit ini. Padahal, setiap Dave bertemu dengan Taylor, tidak pernah ada rasa sakit seperti ini.
Dari dulu, Taylor selalu mengatakan bahwa Dave pengganggu di hidup Taylor, tetapi hati Dave malah merasa senang. Kali ini Dave sungguh merasa kecewa.
"Ya." Dave mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. "Beri saja kembalian uang ini pada pelayan." Ditaruh uang tersebut di depan Taylor.
"Dan kamu ... " Dave memegang salah satu bahu Brian. " ... Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada Taylor. Apa pun itu." Karena ada rasa kecewa, Dave memberi cengkraman sedikit pada bahu Brian.
"I-iya, Paman. Aku akan selalu menjaganya," balas Brian dengan menahan sakit, serta memberi senyum sedih.
Dave pun beranjak dari kursi. Kali ini, Dave sungguh pergi ke perusahaan.
***
Dua pegawai masuk ke ruangan, karena dipanggil oleh Dave melalui sekretaris. Satu wanita dan satu pria, sudah duduk di sebrang sang atasan.
"Saya memanggil karena ingin meminta kalian untuk mencari lima model remaja perempuan. Kita akan menyeleksi mereka satu per satu." Dave menjelaskan semuanya, sampai para pegawai mengerti.
Mereka pun mengerti permintaan Dave, tetapi tidak mengerti dengan alasan.
Pegawai wanita pun bertanya, "Maaf, kalau saya lancang. Kenapa kita harus menyeleksi? Bukankah hanya panggil satu model, lalu tinggal melakukan shooting iklan?"
"Iya, Pak. Bagaimana dengan Nona Spark? Menurut saya, dia cocok untuk menjadi model parfum remaja ini." Pegawai pria ikut setuju dan bertanya.
Dave harus menjawab. Namun, karena kata pengganggu yang terlontar dari mulut Taylor membuat Dave menjadi risih, dan sulit berpikir.
"Taylor menolak. Saya meminta ini, karena ingin mencari model yang cocok. Itu saja. Kembalilah bekerja."
Kedua pegawai pun pergi dari ruangan Dave. Bagaimana para pegawai bisa mengenali Taylor? Itu karena Dave selalu mengajak Taylor ke perusahaan, ketika Taylor masih anak-anak.
Berkali-kali Dave menatap jam tangan. Ada rasa khawatir di hati, karena Taylor pergi bersama Brian. Suasana pun juga sudah mulai gelap.
"Aku memang kecewa, tetapi diam saja tidak akan menghasilkan apa pun. Jangan egois. Akan kuhubungi dia," gumam Dave, selagi mencari nama 'Gadis Dingin' dikontak ponsel.
Setelah tersambung, Dave langsung melontarkan banyak pertanyaan. "Gadis dingin, apa kamu sudah di rumah? Sudah makan? Apa yang kamu lakukan sekarang?"
Dave sedikit terkejut dengan suara yang keluar dari ponsel. Suara lelaki.
"Aku bukan gadis dinginmu, Paman," jawab Brian sambil terkekeh. "Taylor sudah ada di rumah, dia sudah makan, dan dia sedang-"
"Kenapa ponsel Taylor ada padamu?" tanya Dave menyela jawaban Brian.
"Katanya, dia malas berbicara denganmu. Jadi, dia menyuruhku untuk menerima panggilanmu," jawab Brian sesuai permintaan Taylor.
Dave terdiam. Pikirannya kembali menuju pada Taylor yang terganggu oleh kedatangan Dave.
"Aw! Brian! Kamu terlalu menekannya!"
Lamunan Dave tersadar setelah mendengar rintihan Taylor. Apa yang Brian lakukan pada Taylor?
"Brian! Apa yang kamu lakukan? Ada apa dengan Taylor? Halo? Brian!" Dave berkali-kali memanggil nama Brian dan Taylor, tetapi tidak ada sahutan. Membuat Dave geram, dan langsung mengambil ancang-ancang pulang.
Di sisi lain, Brian juga melakukan hal yang sama. "Halo? Paman? Paman Jo?"
"Kenapa?" tanya Taylor sambil mengelus kaki.
"Sinyal ponselmu buruk sekali," jawab Brian setelah menaruh ponsel Taylor di meja, lalu melanjutkan aktivitas yang tertunda.
Tiba-tiba Taylor menarik kaki dari tangan Brian. "Sudahlah, kakiku sudah lebih baik. Terima kasih. Sebaiknya kamu pulang, ini sudah malam. Kalau Paman Jo tiba-tiba melihatmu di sini, kamu sudah habis di tangannya."
"Aku akan pulang. Jangan terlalu dipaksakan berjalan. Jaga dirimu." Brian pergi keluar meninggalkan Taylor, sambil melambaikan tangan tanda berpisah.
Taylor menghela napas pasrah. Ketika berjalan menaiki tangga teras, tidak sengaja kaki Taylor terkilir. "Ceroboh sekali aku. Waktunya mandi." Taylor pun berjalan ke kamar dengan perlahan.
Dua jam kemudian. Dave datang dengan wajah panik, khawatir, dan kesal. Saat bertemu dengan pelayan di tangga, Dave bertanya, "Taylor di kamar?"
"Di kamar , Tuan."
Dengan cepat langsung ke kamar Taylor. Tanpa mengetuk dan memanggil, Dave langsung membuka kamar dengan kasar. Tentu saja, siapa yang tidak khawatir, jika ada seorang gadis yang disayang bersama dengan lelaki?
Namun, Dave bukannya mendapati Taylor bersama Brian, melainkan pemandangan yang mampu membuat salah satu anggota tubuh Dave terbangun.
Taylor sengaja berlama-lama di kamar mandi, dan baru selesai mandi ketika Dave pulang. Tubuh Taylor baru ditutupi oleh pakaian dalam dengan warna senada.
Mereka berdua pun sama-sama terkejut.
"Pergi, Pak tua mesum!"
Pagi menjelang siang. Taylor masih belum keluar dari kamar. Kali ini, Dave sungguh menyesal dengan kecerobohan yang telah diperbuat.Kemari malam, setelah Dave diusir, Taylor sungguh tidak keluar dari kamar. Bahkan saat Dave mengajak bicara, Taylor malah diam dengan berpura-pura tidur.Menyesal sudah membuat Taylor marah dua kali. Kali ini, Dave akan meminta maaf. Sekaligus meminta penjelasan atas apa yang Brian lakukan pada Taylor. Semoga saja akan berjalan dengan lancar.Dave sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Pintu tidak dikunci, sesuai dengan peraturan rumah. Takut peristiwa kemarin terulang, Dave membuka pintu kamar dengan perlahan.Ternyata si gadis dingin masih tertidur pulas, dengan posisi yang sama, miring ke arah kanan. Terlihat sangat tenang sekali, hingga Dave tidak berani membangunkan.Salah satu tangan Dave terurai untuk mengusap kepala Taylor. Lagi, lagi, dan lagi, wangi dari tubuh Taylor masih saja tercium.Tidak, Dave
Taylor termenung di depan pintu kamar Dave, ragu ingin meminta pertolongan. Selagi kaki Taylor belum sembuh, Taylor tidak bisa pergi ke mana-mana, kecuali harus ke sekolah."Sedang apa di sini?" tanya Dave sedikit terkejut. Tiba-tiba, rasa takut muncul. Apa Taylor mendengar Dave mendesahkan nama Taylor?"Paman, kakiku belum sembuh total. Jadi, bolehkah aku meminjam ponselmu untuk belanja?" Kedua tangan Taylor menarik ujung baju sendiri. Takut ditolak oleh Dave.Dave mengelus dada, ketika mendengar jawaban Taylor yang berbeda. Ponsel pun diambil dari meja, bersiap membuka aplikasi belanja. "Ingin belanja apa?"Ponsel Dave langsung direbut oleh Taylor. "Ini perlengkapan perempuan, dan laki-laki tidak boleh tahu." Setelah diijinkan, Taylor menjauh dari kamar Dave.Sedang asik memilih, notifikasi pesan muncul dari Madonna. Salah satu model yang pernah menuduh Taylor.Kesopanan nomor satu, tetapi rasa penasaran lebih besar. Tanpa sepengetahuan Dave, Ta
Dave berniat ingin membangunkan Taylor di pagi hari, tetapi pintu kamarnya sudah terbuka lebar. Tidak biasanya Taylor bangun pagi, mungkin alarm dinyalakan.Melihat Taylor sedang menulis sesuatu, Dave mendekat untuk memperhatikan. "Tulis apa kamu?" tanyanya dengan seksama.Ada lima inhaler yang Dave beli saat itu. Taylor berniat menandai inhaler dengan stiker yang telah diberi nama. "Kalau inhaler-ku hilang, orang yang menemukan ini bisa langsung mencariku.""Orang di mana? Bagaimana mereka tahu wajahmu?" tanya Dave sambil memakai sticker nama di dahi."Maksudku, orang yang di sekolah- Apa yang Paman Jo lakukan?" Taylor heran dengan perilaku Dave yang terlihat seperti anak-anak. Sticker namanya tertempel di dahi Dave. Apa Dave berubah haluan menjadi sebuah barang?Sambil menunjuk ke arah sticker di dahi dan tersenyum, Dave meminta hal aneh, "Tulis namamu. Supaya semua orang tahu, kalau aku milikmu."Taylor terkekeh sambil menggelengkan kepal
"Sudah ditemukan? Baiklah, saya akan segera ke sana. Di rumah sakit dekat bandara? Ya, saya tahu tempat itu. Terima kasih."Dave baru saja mendapat kabar dari bandara, bahwa jasad Tina telah dibawa ke rumah sakit dekat bandara. Ini saatnya untuk menguatkan hati lagi. Terutama Taylor."Taylor. Apa dia sudah bangun?" tanya Dave pada diri sendiri, sambil menuju ke kamar Taylor.Pintu kamar dengan nama Taylor Spark yang tergantung di pintu sudah terbuka lebar. Dave melihat Taylor sedang menutup koper. Taylor juga sudah terlihat rapi."Kamu sudah bawa semua barang yang diperlukan? Kita akan ke rumahku dulu, baru ke rumah sakit. Pegawai bandara sudah mengabari." Dave mendekat pada Taylor, yang baru duduk di tepi ranjang."Sudah. Kalau memang ada yang kurang, aku bisa kembali ke sini," jawab Taylor dengan lesu."Ayo, aku tidak ingin membuang waktu." Taylor langsung pergi meninggalkan kamar dengan membawa koper dan ransel, membiarkan Dave berdiri di sana.
Mobil hitam Fortune kembali berhenti di halaman sekolah. Taylor yang sudah bersiap keluar mobil, ditahan sementara oleh Dave."Hubungi aku, kalau sudah selesai, dan fokus pada pelajaran. Kalau asmamu kambuh, lebih baik pulang cepat saja.""Iya, aku mengerti. Tepat setelah bel pulang sekolah, akan langsung kukabari. Aku duluan." Taylor langsung keluar, dan berlari kecil, karena bel masuk telah berbunyi.Ketika Dave ingin memanggil, Taylor lebih dulu menoleh. "Berhenti memberi wajah genitmu. Itu menggelikan." Setelah itu, pergi begitu saja ke sekolah.Dave tertawa, karena Taylor mengerti apa yang dimaksud. Melihat Taylor tidak sampai mengurung diri berhari-hari, membuat Dave merasa tenang. Akan tetapi, dengan masuknya kembali ke sekolah, Dave merasa ada yang akan terjadi pada Taylor.Ketika Taylor sudah menghilang dari pandangan, Dave mulai menjalankan mobil ke perusahaan.Taylor memasuki kelas dengan santai, karena guru belum datang. "Selamat
"Beruntung sekali, Nona Spark akan pulang siang ini. Perhatikan kembali kesehatanmu. Terlalu banyak berpikir dan emosi berlebihan, juga menyebabkan asmamu kambuh," lekas dokter pada Dave dan Taylor. "Ingat, pelajari cara-cara menangani diri tanpa inhaler." "Baik, dok. Akan saya ajarkan dia," balas Dave sopan, setelah menaruh gelas kosong yang baru diminum Taylor. Taylor merasa lega, tidak tinggal di rumah sakit berhari-hari. Dulu, saat masih anak-anak, Taylor sempat dirawat hampir satu bulan. Itu karena tubuh Taylor belum kuat menahan asma, dan itu cukup membuat Taylor bosan. Lebih baik dirawat di rumah, daripada rumah sakit. "Aku bawakan jaket untukmu. Aku juga menemukan inhaler di meja belajarmu. Kemarin, kamu bilang inhaler hilang." Dave menatap Taylor dengan intens. "Hilang atau ketinggalan?" "Sepertinya, ketinggalan. Kemarin aku terburu-buru, tapi aku merasa sempat memasukkan inhaler ke tas," jawab Taylor, dengan ingatan yang sedikit lupa.
Mobil hitam Fortune kembali berhenti di halaman sekolah. Dave tidak pernah bosan mengantar Taylor sekolah. Melihat wajah semangat Taylor, membuat Dave juga ikut bersemangat."Gadis dingin," panggil Dave, ketika Taylor baru saja keluar dari mobil. "Dengar, jangan dekati lagi Brian dan Riley. Mereka sudah membuatmu kambuh parah."Ada sedikit ketidaksetujuan Taylor. Mengapa hanya menyalahkan Brian dan Riley, jika pelaku utama adalah Dave?"Aku tahu, aku yang memulai segalanya. Tapi, mereka bahkan melakukan hal buruk yang lebih besar," lanjut Dave, yang mengerti dengan tatapan tidak setuju Taylor."Paman Jo fokus saja dengan pekerjaan. Masalah sekolah, aku bisa menanganinya. Aku duluan." balas Taylor, langsung pergi meninggalkan Dave.Ada sesuatu yang kurang. Taylor menoleh pada Dave, berharap diberikan sesuatu seperti dulu. Namun, Dave terlihat bingung, ketika Taylor memberi tatapan."Sudahlah. Dia tidak peka," gumam Taylor, lalu melanjutkan ja
Sudah seperti bodyguard, Sally menemani Taylor pulang hingga Dave datang menjemput. Padahal, Taylor sudah menolak, tetapi Sally memaksa."Terima kasih, sudah menjaganya." Dave berbicara pada Sally melalui jendela mobil yang terbuka."Sama-sama, Paman. Aku sebagai ketua kelas harus bertanggungjawab juga akan kesehatan murid kelas," balas Sally dengan sopan.Melihat perilaku Sally yang begitu baik dan peduli, Dave memilih mempercayai Sally untuk menjaga Taylor di sekolah. Tidak ada lagi bersahabat dengan murid laki-laki. Boleh saja, tetapi jangan terlalu dekat."Terima kasih ....""Sally, namaku Sally.""Terima kasih, Sally. Saya harap, kamu mau menjaga Taylor selalu."Sally dengan senang hati akan melakukannya. "Tenang saja, Paman. Ingat, saya ketua kelas, dan itu sudah jadi tanggungjawab. Aku tidak akan membiarkan hal buruk menimpa Taylor. Jaga kesehatanmu, ya, Tay." Sally pun memberi lambaian tangan.Balasan Taylor hanya lamba
Empat bulan berlalu. Keadaan semua sudah berubah. Tidak ada gangguan. Taylor sudah tidak lagi di rumah sakit, dan Dave memilih untuk bekerja di rumah setiap hari.Mendengar berita yang telah tersebar ke media, membuat orang tua Sally datang untuk meminta maaf sebesar-besarnya. Bahkan, mereka sudah tidak menganggap Donna dan Sidney sebagai anak.Hari ini adalah hari besar, di mana ada dua pengantin yang akan segera menikah di gedung besar. Ini adalah acara pernikahan Taylor dengan Dave!Setelah mengurus kejahatan Sidney, menunggu tiga bulan Taylor keluar dari rumah sakit, lalu sisa satu bulan adalah kelulusan Taylor. Dave langsung mengajak Taylor menikah.Betapa cantiknya Taylor dengan gaun putih pernikahan panjang, dengan beberapa hiasan bunga di sekitar rambut.Begitu pula dengan Dave. Terlihat gagah dengan setelan jas putih yang cocok di tubuh.Dave pernah mengatakan bahwa Taylor adalah anak yang diadopsi pada para karyawan dan karyawati.
Sally pergi menuju kamar Taylor yang belum bangun. Biasanya, Taylor tidak telat bangun tidak sampai satu jam lebih. Karena berpikir bisa saja asma Taylor kambuh, Sally menjadi khawatir."Tay? Bangun. Semua orang sudah menunggu di ruang makan." Ketika melepas selimut dari tubuh Taylor, Sally terkejut. "Astaga! Kamu tidur tanpa pakaian? Hey, Tay! Bangun!"Berkali-kali Sally mengguncang tubuh Taylor, akhirnya terbangun juga. "Kepalaku pusing ...," keluhnya sambil mengerang."Tay! Kamu tidur telanjang? Apa yang terjadi kemarin malam? Apa ada yang memerkosamu? Katakanlah!" Sally sudah dijadikan orang terpercaya oleh Dave. Jika Dave tahu ada orang yang melukai Taylor, pasti Sally akan dimarahi.Orang pertama yang Taylor lihat dengan jelas adalah Sally. Setelah berkedip beberapa kali, kesadaran Taylor sudah kembali."Dingin sekali." Taylor masih belum sadar dengan tubuh polosnya."Tentu saja. Lihat tubuhmu! Bajumu saja berserakan di lantai. Aku tid
Donna terkejut dengan apa yang dilihat. Banyak foto yang tersimpan di ponsel yang dipegang. Foto yang membuat Donna ingin mengamuk."Anak itu!" Ingin menghampiri Taylor yang sedang berdiskusi dengan Sally, tetapi Sidney menahan."Kita harus bermain halus. Jika kamu selalu menyerangnya, Dave bisa saja menjauhimu. Ingat tujuan." Sidney berbisik pada Donna.Tatapan Donna berubah tajam. Sebagai istri, Donna tidak terima dengan suami yang berselingkuh. "T-tapi, dia mencium Dave! Aku tidak bisa diam saja! Dia ... dia sudah menjadi pelakor!""Jangan merusak rencana yang sudah kubuat, Kak! Kamu hanya mengincar harta, 'kan? Untuk apa merebut Paman Jo?" Kali ini Sidney membuat Donna terdiam. "Untung aku menerima paksaan Sally untuk menemaninya beli buku. Ini bisa jadi senjatamu nanti.""Sekarang, katakan! Bagaimana kamu bertemu dengan dokter kenalan Paman Jo? Uang?" tanya Sidney, yang langsung mengganti topik.Sambil menenangkan diri, Donna menjawab,
Di mulai dari bahan-bahan yang masih cukup digunakan, tim tata boga pun mulai berlatih, sembari memikirkan makanan selanjutnya."Hey, Tay. Bukannya ingin mengungkit masa lalu." Daphne mengajak Taylor bicara. "Semenjak kamu putus dengan Brian, kamu tidak ingin menjalin kasih lagi? Kamu terlihat sedang butuh seseorang yang bisa mengerti."Gerakan mengaduk adonan kue berhenti. Sebenarnya, menanggapi hal seperti ini sangat membosankan. Pura-pura saja tidak dengar."Iya, Daphne benar." Bianca setuju. "Daripada cari yang belum pasti, lebih baik sama Sidney saja. Kamu dan Sidney selalu bersama, dan dia perhatian sekali denganmu. Aku iri," lanjutnya, membuat Taylor semakin malas meladeni."Bodoh! Mereka sekarang jadi sepupu!" Daphne tidak terima."Aku lebih suka mereka berdua." Bianca tetap pada pendirian.Pundak Taylor disentuh oleh Abigail, tetapi wajah Abigail menghadap ke Daphne. "Aku lebih suka Taylor dengan pamannya. Siapa namanya? Paman ... J
Makan malam yang biasanya diadakan oleh dua orang, sekarang menjadi lima. Posisi duduk pun sekarang berubah. Dave duduk di antara Donna dan Taylor, lalu di sebelah kiri Taylor ada Sidney, lalu Sally.Rasanya sangat tidak menyenangkan. Satu meja dengan musuh."Ceritakan, bagaimana sekolah kalian tadi? Apa ada yang menarik?" Dave mencairkan suasana."Beberapa hari lagi, sekolah akan mengadakan acara ulang tahun." Sally bercerita. "Aku tetap menjadi ketua penyelenggara, Sidney bergabung dalam drama, dan Taylor bergabung dalam tata boga."Kedua alis Dave menaik. Sedikit terkejut dengan Taylor yang bergabung dalam tata boga. "Oh, ya? Kamu akan memasak di sekolah? Aku belum pernah melihatmu memasak."Sidney mengerti candaan Dave. "Pasti masakannya tidak enak, lalu dikeluarkan dari tim."Sebenarnya, Taylor juga mengerti candaan Sidney, tetapi malas menanggapi. "Setidaknya, aku bisa belajar sedikit, daripada menjadi kaku di tengah panggung."
Seperti hari-hari biasa. Sudah waktunya Taylor, Sally, dan Sidney kembali sekolah. Dave merasa tidak keberatan untuk mengantar mereka, karena sudah terbiasa mengantar Taylor."Karena kami bertiga sekarang, Paman Jo tidak perlu repot menjemput kami. Kami bisa pulang bersama dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain. Santai saja." Sally membuat Dave percaya.Dari dulu Dave sudah percaya pada Sally. Jadi, apa pun yang terjadi, Sally harus bertanggungjawab. Terutama pada Taylor."Aku percaya padamu. Dan untukmu Sidney, kamu laki-laki, jadi harus bisa menjaga mereka," suruh Dave pada Sidney yang tersenyum."Sudah menjadi tanggungjawabku, Kakak Ipar. Apalagi ada adik sepupu di sini," balas Sidney dengan merangkul pundak Taylor. Hal itu pun mampu membuat Dave harus menahan cemburu.Terdengar bel masuk berbunyi, Sally mengajak Taylor serta Sidney untuk memasuki kelas. "Hey, cepat! Kali ini gurunya galak!" Sikap ketua kelas Sally kembali muncul.
Gaun seksi yang sempat dilempar, terpasang kembali di tubuh Taylor. Gaun berwarna hijau gelap, ditambah dengan tas kecil hitam, sepatu hak tinggi hitam, serta rambut yang diikat tinggi. Terlihat sangat seksi, menurut Dave. Berdiri sendiri di tengah keramaian membuat Taylor sedikit kebingungan. Taylor datang demi Dave. Akan tetapi, tidal ada yang dikenal. Walaupun tidak ada yang Taylor kenal, kaki jenjangnya tetap berjalan ke tengah acara. Namun, langkahnya terhenti, karena ada beberapa model wanita yang sedang membicarakan Donna. "Aku kasihan dengan Tuan Dave. Seharusnya, Tuan Dave tidak menikahi Donna. Aku saja ragu, Donna hamil atau tidak." Wanita dengan rambut merah berbicara. "Dia bilang, dia hamil anak Tuan Dave. Tapi, menurutku, Donna berbohong. Entah dia berbohong atau tidak. Yang aku tahu, dia bermain tidak hanya dengan Tuan Dave." Giliran wanita berkacamata berbicara. Wajah terkejut terlihat dari wanita rambut merah. "Donna bermain de
"Begitukah?"Taylor mengangguk, setelah bercerita tentang apa yang Taylor dengar.Dua buku menu ada di tangan mereka masing-masing. Selagi mata mereka ke arah gambar menu, bibir mereka tetap bergerak.Salah satu pelayan wanita datang dengan note dan pulpen. Seragamnya terlihat terlalu melekat pada tubuh. Tidak lupa dengan senyum nakal, serta pulpen yang sengaja digigit. Semua bertujuan supaya Dave terpikat.Gadis yang duduk di depan Dave menatap Dave dengan tajam, ketika Dave tersenyum pada pelayan."Makanan terenak apa saja?" tanya Dave yang ingin tahu. Dave berencana membayar makanan untuk sang kekasih. Murah ataupun mahal, Dave siap."Kami memiliki Wild King Salmon dan Yellowfin Tuna. Kedua makanan itu selalu digemari para pelanggan," jelas pelayan bernama Aline. "Dan, Wild King Salmon adalah makanan kesukaanku."Dave sempat melirik kembali ke buku menu, sebelum matanya kembali menatap Aline. "Kesukaanmu? Sepertinya patut dicoba. B
Menunggu tidaklah menyenangkan. Sama seperti Taylor yang sedang duduk di mobil, menunggu Dave yang mendadak melakukan rapat."Jangan keluar, sebelum aku keluar." Seperti itulah pesan terakhir yang Dave sampaikan.Betapa membosankan hanya duduk diam di mobil. Radio pun terdengar kurang mendukung. Tidur? Taylor sudah banyak tidur, setelah peristiwa tidak menyenangkan terjadi.Peristiwa di ruang makan teringat kembali. Taylor sampai memegang bibir dan tersenyum sendiri."Cukup, Taylor. Aku tidak ingin gila seperti Si Jo menyebalkan itu," gumam Taylor dengan menoleh ke ara gedung perusahaan Dave. "Baru kali ini menjadi orang ketiga. Kenapa tidak aku menolak tadi?" Helaan napas keluar.Melihat ada lelaki muda yang berdiri dengan pakaian trendi, membuat Taylor berpikir dua kali.Menjadi kekasih dari Dave Jo, bukankah terdengar menggelikan?Semua orang akan mengira mereka hanyalah papa dan anak. Umur mereka juga terpaut jauh.Seharusn