Kembali pada pagi hari, di mana Taylor harus sekolah, dan Dave harus bekerja. Namun, Taylor melihat ada yang berbeda dari Dave. Wajah Dave seperti kurang tidur. Apakah Dave begadang?
"Paman Jo terlihat seperti manusia panda. Kalau mengantuk, lebih baik tidur saja. Aku tidak perlu diantar," celetuk Taylor yang baru saja selesai sarapan.
"Tidak. Aku akan tetap mengantarmu," balas Dave yang tidak sengaja menghirup wangi tubuh Taylor, ketika Taylor menaruh piring kotor di wastafel. "Kamu tidak ingin memberitahuku, apa rahasia tubuh wangimu?"
"Kalau Paman Jo mengantuk di tengah jalan, lalu kita kecelakaan, itu tidak lucu." Taylor menatap Dave sekilas, lalu meminum minum air putih. "Sekali rahasia, tetaplah rahasia."
Taylor gadis yang tidak pernah berbohong, tetapi masalah rahasia, Taylor pandai menyimpan dengan erat. Akan sulit bagi Dave untuk mengetahui rahasia Taylor.
"Kamu saja yang menyetir."
Terkejut mendengar ucapan Dave, Taylor mencubit pelan lengan kekar Dave. "Tujuan kita yang ada ke rumah sakit. Mau?"
Dave tertawa, lalu menyuruh Taylor untuk memakai sepatu. "Sebelum masuk mobil, pakai dulu sepatu. Ikat dulu tali sepatumu di depanku."
Ketika melipat koran, Dave memperhatikan Taylor yang sedang memasukkan kaki ke sepatu. Lalu, diam, tidak ada lagi pergerakan. Tiba-tiba Taylor menoleh ke Dave. Rencana Taylor adalah langsung lari ke mobil tanpa mengikat tali sepatu.
Taylor terlalu malas mengikat tali sepatu. Ketika mamanya membelikan Taylor sepatu, Taylor menginginkan sepatu bertali.
Sepertinya, Dave mengerti dengan ancang-ancang Taylor. Sebelum Taylor berdiri dari duduk, Dave lebih dulu mendekat dan berjongkok di depan Taylor. Kedua tangan Dave dengan cepat mengikat tali sepatu Taylor.
"Kalau kamu seperti ini terus, sepatumu akan kubuang. Sekolah pakai sandal saja," ancam Dave dengan menatap Taylor.
"Kalau kamu seperti ini terus, sepatumu akan kubuang. Sekolah pakai sandal saja." Taylor mengulangi ucapan Dave dengan mengejek. Salah satu tangan Taylor juga bergerak, seakan mengejek bibir Dave yang banyak bicara.
"Kamu tahu? Wajahmu sangat jelek, saat mengejekku." Dave sengaja memancing emosi Taylor.
"Aku tahu. Aku memang jelek." Taylor langsung pergi meninggalkan Dave yang masih berjongkok.
Dave tidak menyesal. Diamnya Dave di tempat, karena lagi dan lagi menghirup wangi tubuh Taylor. Rasa penasaran Dave masih sangat tinggi. Wangi tersebut membuat Dave tidak ingin lepas dari Taylor. Ingin terus-menerus memeluk Taylor, hanya untuk menghirup wangi tersebut.
Sudah diejek jelek, sekarang Taylor harus menerima keadaan, jika Dave adalah tukang melamun. Tidak tahu apa yang ada dipikiran sang paman. Cara yang paling ampuh untuk menyadarkan Dave adalah menjambak rambut hitam Dave.
"Pak tua tukang melamun, dilarang berpikiran mesum di pagi hari!"
"Hey, enak saja!"
***
Bersiap turun dari mobil, Taylor dihentikan dulu oleh Dave. "Kali ini, aku sungguh akan menjemputmu. Kita akan pergi ke pabrik, melihat cara pembuatan parfum. Kamu pasti sangat penasaran."
"Sebenarnya, tidak begitu penasaran, tapi kupegang ucapanmu," balas Taylor, yang langsung keluar dari mobil.
"Gadis dingin," panggil Dave, membuat Taylor membalikan tubuh pada Dave. Dave kembali memberi kecupan jarak jauh dan kedipan genit.
"Sungguh?" Taylor berkacak pinggang.
Dave suka sekali dengan reaksi Taylor yang tidak suka. Senyuman Dave melebar. Namun, senyuman itu sirna, ketika Brian mendatangi Taylor.
"Hey, Tay. Mari ke kelas bersama," ajak Brian. Melihat ada Pamannya Taylor, Brian memberi salam. "Pagi, Paman Jo. Kemarin aku mengantar Taylor pulang dengan selamat. Jangan khawatir."
"Tidak perlu seperti itu. Sudah kujelaskan padanya kemarin." Taylor menyahut, ketika Dave hanya diam. "Ayo, ke kelas." Giliran Taylor yang mengajak Brian.
Suasana hati Dave menjadi gemuruh. Taylor memang berhak berteman dengan siapa saja, tetapi dengan laki-laki? Dave merasa ragu. Tidak ada waktu, Dave harus pergi ke perusahaan.
"Kamu belum sarapan? Wajahmu pucat." Melihat wajah Taylor yang terlihat tidak sehat, Brian menjadi khawatir.
"Aku ini vampire." Candaan Taylor membuat Brian tertawa.
Begitu bel masuk berbunyi, guru tergalak di kelas datang dengan wajah masam. Murid di kelas Taylor selalu mengatakan hal yang sama, jika guru tersebut sedang datang bulan, dan tidak pernah selesai.
"Selamat pagi. Sekarang cepat keluarkan kamus yang saya suruh bawa. Apa ada yang tidak membawa kamus?"
"Ah, sial," umpat Taylor, yang terdengar oleh Riley dan Brian. "Aku lupa."
"Gawat. Kalau Bu Ana tahu, kamu bisa disuruh lari putar lapangan sepuluh kali. Apalagi kamu ada riwayat asma. Bu Ana tidak pilih kasih, kalau sudah memberi hukuman." Riley merasa khawatir.
Begitu juga dengan Brian. Taylor tidak bisa melakukan olahraga berlebihan. Seketika, kamus yang Brian pegang, langsung diberikan pada Taylor.
"Saya lupa bawa, Bu." Brian berdiri dengan mengangkat tangan.
"Lari keliling lapangan! Sepuluh kali!" suruh Bu Ana pada Brian, yang sedang meninggalkan kelas. "Ada lagi? Saya tidak suka, kalau ada murid yang tidak menurut."
Tidak seharusnya Brian melakukan ini. Kenapa Brian mau memberikan kamus pada Taylor? Taylor merasa kasihan.
Putaran kesepuluh selesai. Brian duduk sementara di tangga sekolah, mengatur napas, dan mengelap keringat. Tidak ada angin dan hujan, seseorang memberikan air putih langsung di depan Brian.
"Untukmu. Seharusnya, aku yang dihukum." Taylor memilih duduk di sebelah Brian.
Selesianya Brian menjalani hukuman, saat itu juga bel istirahat berbunyi. Keadaan yang sepi, berubah jadi sangat ramai.
"Kesehatanmu harus diutamakan. Lupakan saja. Akhir-akhir ini, aku butuh olahraga." Brian berusaha tidak membuat Taylor menjadi sedih. "Begini saja, sebagai ganti, nanti pulang bersamaku lagi. Bagaimana?"
"Sayangnya, Paman Jo akan menjemputku lagi. Maaf." Taylor menundukkan kepala.
"Hey, tidak masalah. Mungkin lain kali. Pamanmu pasti ingin mengganti kesalahannya kemarin, 'kan?" Brian meminum kembali minumannya.
Jawaban Taylor hanya anggukkan kepala.
Tiba-tiba Riley datang dari belakang kedua murid yang duduk bersebelahan, mengejutkan mereka yang termenung. "Duduk berdua saja. Aku tidak diajak. Aku sendirian, tahu?" Riley duduk di antara Taylor dan Brian.
"Orang bilang, kalau ada orang yang berada di tengah, dialah hantu."
Celotehan Taylor membuat Riley menyenggol lengan Taylor dengan tidak suka. Pasal, Riley mudah ketakutan hanya dengan cerita saja. Sedangkan Brian hanya tertawa.
"Boleh aku bertanya?" Riley memecahkan keheningan. "Kenapa kalian tidak berpacaran saja?"
***
Brian mengantar Taylor ke mobil hitam yang sudah menunggu sambil bercanda. Pandangan tersebut membuat Dave kembali tidak suka.
"Selamat sore, Paman Jo. Semoga harimu menyenangkan. Taylor belajar dengan baik hari ini." Brian sengaja memberi laporan tentang keseharian Taylor, supaya bisa dapat dipercaya.
"Terima kasih sudah menjaganya. Ayo, Taylor, masuk mobil." Dave menyuruh dari dalam mobil. "Jalanan macet. Nanti kamu tidak sempat melihat pembuatan parfum."
Ketika Taylor masuk ke mobil, Brian terpukau dengan pekerjaan Dave. "Parfum? Paman pembuat parfum? Wah, keren sekali. Apa aku akan dapat parfum gratis?" Sedikit bercanda tidak masalah.
"Ya, gratis. Hanya sekali semprot," jawab Dave dengan sinis.
Taylor terkekeh dengan perilaku Dave yang tidak biasa terjadi. "Sepertinya, Pamanku sedang datang bulan, sama seperti Bu Ana. Kamu hati-hati, ya? Aku pulang dulu." Sebelum menutup jendela mobil, Taylor melambaikan tangan pada Dave.
Brian membalas lambaian dengan senyuman.
"Kamu akrab sekali dengannya. Apa kalian sungguh berpacaran?" Dave bertanya dengan tatapan fokus ke jalan.
"Aku sudah bilang padamu. Brian pacarku," jawab Taylor dengan menatap mata Dave dengan berani. Ketika Dave menatap Taylor balik, tidak ada lirikan ke arah manapun. "Akan kukabari mama nanti. Santai saja."
"Jadi, kamu sungguh pacaran dengannya? Mengejutkan. Bagaimana cara dia menjadikanmu pacar?"
Sungguh risih. Taylor mendecakkan lidah. "Paman Jo terlalu banyak ingin tahu."
***
Banyak alat besar dan pegawai di sekitar Taylor. Masing-masing sibuk dengan tugas. Taylor mencoba untuk mendekat pada parfum yang belum dimasukkan ke kemasan.
"Terlalu menyengat." Taylor mengibas tangan di depan wajah.
Dave menarik pelan Taylor untuk menjauh dari tong, supaya Taylor tidak tercebur. "Haruskah kubatalkan?" tanyanya membuat Taylor bingung.
"Kenapa dibatalkan? Lanjutkan saja. Aku tidak bilang parfum ini tidak wangi. Hanya saja, aku yang bukan pemakai parfum, hanya bisa memberi pendapat." Taylor memiliki cara tersendiri dalam sudut pandang sesuatu.
Sampai di bagian kemasan, Taylor dan Dave berhenti dengan memperhatikan para pegawai yang cepat memasukkan parfum ke dalam bungkusan.
"Ini pertama kalinya aku buat parfum untuk remaja. Apa menurutmu akan laris?"
Pertanyaan Dave membuat Taylor cukup terusik. Kenapa sedaritadi Dave ingin menghentikan proses parfum, ketika Taylor mengatakan terlalu pekat? Kenapa Dave menjadi ragu dengan penjualan parfum remaja?
"Tentu saja laku. Pikir positif, Paman Jo. Apalagi, Paman punya model yang bernama Dora itu," jawab Taylor membuat Dave tertawa.
"Donna, bukan Dora. Dia model parfum khusus wanita dewasa. Untuk sekarang, belum ada model parfum remaja- Bagaimana kalau kamu yang menjadi model?"
"Hah? Apa?" Taylor tidak menyangka, jika Dave membuat Taylor menjadi model. Wajah Taylor terlalu dingin dan kaku, tidak pantas berada di depan layar. Foto bersama orang lain saja hampir tidak pernah, apalagi foto sendiri.
"Bukankah dia cocok menjadi model?" tanya Dave pada para pegawai.
Para pegawai memilih setuju. Ada yang mengangguk, meng-iya-kan, dan hanya tersenyum. Namanya pegawai, tidak ada yang berani dengan atasan. Demi gaji yang mereka inginkan, mereka terkadang harus setuju.
Taylor menggeleng kepala tanda tidak setuju. "Aku sudah bilang, bukan pemakai parfum. Jadikan Riley model saja."
"Aku ingin kamu, bukan orang lain."
"Dasar, Pak tua pemaksa!"
Setelah puas mengajak Taylor mengelilingi pabrik, Dave mengajak Taylor ke ruang kerja. Ada beberapa berkas yang harus diurus, dan itu membutuhkan waktu lama, membuat Taylor tidak sengaja tertidur di sofa.
Begitu selesai dengan berkas, Dave menyadari, jika Taylor sudah tak bersuara. Jika sudah tidur, pasti Taylor sulit dibangunkan. Alhasil, Dave memilih untuk menggendong Taylor ala pengantin.
Namun sebelum itu, Dave lagi dan lagi dibuat tidak bisa konsentrasi, bahkan tidak bisa menahan diri.
Kedua tangan Dave sudah siap untuk mengangkat tubuh Taylor, tetapi wajah Dave masih setia berada di dekat bahu Taylor, yang semakin lama semakin dekat. Wangi tubuh Taylor-lah alasan Dave menjadi seperti ini. Kenapa wangi tubuh Taylor bisa bertahan lama, dan mampu membius Dave?
Tanpa Dave sadari, di pintu sudah ada Donna yang masuk tanpa suara. "Dave!"
Teriakan Donna membuat Dave langsung menoleh, sedangkan Taylor terbangun dengan terkejut.
"Kamu perebut calon suamiku!""Kamu sengaja tidur di sofa, supaya Dave tergoda, 'kan?""Dave itu milikku! Jangan berani kamu dekati dia!"Sudah cukup. Pegangan tangan Taylor pada gelas berisikan susu semakin kencang. Peristiwa kemarin malam sungguh membuatnya tidak bisa tidur.Tidak ada yang suka dituduh, ditambah tanpa adanya bukti. Seperti Donna yang menuduh Taylor habis-habisan, mempermalukan Taylor di depan Dave.Bisa saja Taylor melaporkan hal tersebut karena pencemaran nama baik, tetapi Dave juga nemiliki salah. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada wanita yang suka, dan itu Dave sendiri yang mengatakan itu. Taylor berpikir, itu tidak mungkin, karena pasti banyak pegawai wanita yang mudah terpesona. Akan tetapi, Taylor tidak menyangka ada yang seperti ini.Menurut Taylor, diam itu lebih bagus untuk tidak mudah terpancing. Akan tetapi, bukan berarti diam itu lemah.Setelah memperlakukan Taylor dengan puas, Donna masih sempat bermesraan de
Pagi menjelang siang. Taylor masih belum keluar dari kamar. Kali ini, Dave sungguh menyesal dengan kecerobohan yang telah diperbuat.Kemari malam, setelah Dave diusir, Taylor sungguh tidak keluar dari kamar. Bahkan saat Dave mengajak bicara, Taylor malah diam dengan berpura-pura tidur.Menyesal sudah membuat Taylor marah dua kali. Kali ini, Dave akan meminta maaf. Sekaligus meminta penjelasan atas apa yang Brian lakukan pada Taylor. Semoga saja akan berjalan dengan lancar.Dave sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Pintu tidak dikunci, sesuai dengan peraturan rumah. Takut peristiwa kemarin terulang, Dave membuka pintu kamar dengan perlahan.Ternyata si gadis dingin masih tertidur pulas, dengan posisi yang sama, miring ke arah kanan. Terlihat sangat tenang sekali, hingga Dave tidak berani membangunkan.Salah satu tangan Dave terurai untuk mengusap kepala Taylor. Lagi, lagi, dan lagi, wangi dari tubuh Taylor masih saja tercium.Tidak, Dave
Taylor termenung di depan pintu kamar Dave, ragu ingin meminta pertolongan. Selagi kaki Taylor belum sembuh, Taylor tidak bisa pergi ke mana-mana, kecuali harus ke sekolah."Sedang apa di sini?" tanya Dave sedikit terkejut. Tiba-tiba, rasa takut muncul. Apa Taylor mendengar Dave mendesahkan nama Taylor?"Paman, kakiku belum sembuh total. Jadi, bolehkah aku meminjam ponselmu untuk belanja?" Kedua tangan Taylor menarik ujung baju sendiri. Takut ditolak oleh Dave.Dave mengelus dada, ketika mendengar jawaban Taylor yang berbeda. Ponsel pun diambil dari meja, bersiap membuka aplikasi belanja. "Ingin belanja apa?"Ponsel Dave langsung direbut oleh Taylor. "Ini perlengkapan perempuan, dan laki-laki tidak boleh tahu." Setelah diijinkan, Taylor menjauh dari kamar Dave.Sedang asik memilih, notifikasi pesan muncul dari Madonna. Salah satu model yang pernah menuduh Taylor.Kesopanan nomor satu, tetapi rasa penasaran lebih besar. Tanpa sepengetahuan Dave, Ta
Dave berniat ingin membangunkan Taylor di pagi hari, tetapi pintu kamarnya sudah terbuka lebar. Tidak biasanya Taylor bangun pagi, mungkin alarm dinyalakan.Melihat Taylor sedang menulis sesuatu, Dave mendekat untuk memperhatikan. "Tulis apa kamu?" tanyanya dengan seksama.Ada lima inhaler yang Dave beli saat itu. Taylor berniat menandai inhaler dengan stiker yang telah diberi nama. "Kalau inhaler-ku hilang, orang yang menemukan ini bisa langsung mencariku.""Orang di mana? Bagaimana mereka tahu wajahmu?" tanya Dave sambil memakai sticker nama di dahi."Maksudku, orang yang di sekolah- Apa yang Paman Jo lakukan?" Taylor heran dengan perilaku Dave yang terlihat seperti anak-anak. Sticker namanya tertempel di dahi Dave. Apa Dave berubah haluan menjadi sebuah barang?Sambil menunjuk ke arah sticker di dahi dan tersenyum, Dave meminta hal aneh, "Tulis namamu. Supaya semua orang tahu, kalau aku milikmu."Taylor terkekeh sambil menggelengkan kepal
"Sudah ditemukan? Baiklah, saya akan segera ke sana. Di rumah sakit dekat bandara? Ya, saya tahu tempat itu. Terima kasih."Dave baru saja mendapat kabar dari bandara, bahwa jasad Tina telah dibawa ke rumah sakit dekat bandara. Ini saatnya untuk menguatkan hati lagi. Terutama Taylor."Taylor. Apa dia sudah bangun?" tanya Dave pada diri sendiri, sambil menuju ke kamar Taylor.Pintu kamar dengan nama Taylor Spark yang tergantung di pintu sudah terbuka lebar. Dave melihat Taylor sedang menutup koper. Taylor juga sudah terlihat rapi."Kamu sudah bawa semua barang yang diperlukan? Kita akan ke rumahku dulu, baru ke rumah sakit. Pegawai bandara sudah mengabari." Dave mendekat pada Taylor, yang baru duduk di tepi ranjang."Sudah. Kalau memang ada yang kurang, aku bisa kembali ke sini," jawab Taylor dengan lesu."Ayo, aku tidak ingin membuang waktu." Taylor langsung pergi meninggalkan kamar dengan membawa koper dan ransel, membiarkan Dave berdiri di sana.
Mobil hitam Fortune kembali berhenti di halaman sekolah. Taylor yang sudah bersiap keluar mobil, ditahan sementara oleh Dave."Hubungi aku, kalau sudah selesai, dan fokus pada pelajaran. Kalau asmamu kambuh, lebih baik pulang cepat saja.""Iya, aku mengerti. Tepat setelah bel pulang sekolah, akan langsung kukabari. Aku duluan." Taylor langsung keluar, dan berlari kecil, karena bel masuk telah berbunyi.Ketika Dave ingin memanggil, Taylor lebih dulu menoleh. "Berhenti memberi wajah genitmu. Itu menggelikan." Setelah itu, pergi begitu saja ke sekolah.Dave tertawa, karena Taylor mengerti apa yang dimaksud. Melihat Taylor tidak sampai mengurung diri berhari-hari, membuat Dave merasa tenang. Akan tetapi, dengan masuknya kembali ke sekolah, Dave merasa ada yang akan terjadi pada Taylor.Ketika Taylor sudah menghilang dari pandangan, Dave mulai menjalankan mobil ke perusahaan.Taylor memasuki kelas dengan santai, karena guru belum datang. "Selamat
"Beruntung sekali, Nona Spark akan pulang siang ini. Perhatikan kembali kesehatanmu. Terlalu banyak berpikir dan emosi berlebihan, juga menyebabkan asmamu kambuh," lekas dokter pada Dave dan Taylor. "Ingat, pelajari cara-cara menangani diri tanpa inhaler." "Baik, dok. Akan saya ajarkan dia," balas Dave sopan, setelah menaruh gelas kosong yang baru diminum Taylor. Taylor merasa lega, tidak tinggal di rumah sakit berhari-hari. Dulu, saat masih anak-anak, Taylor sempat dirawat hampir satu bulan. Itu karena tubuh Taylor belum kuat menahan asma, dan itu cukup membuat Taylor bosan. Lebih baik dirawat di rumah, daripada rumah sakit. "Aku bawakan jaket untukmu. Aku juga menemukan inhaler di meja belajarmu. Kemarin, kamu bilang inhaler hilang." Dave menatap Taylor dengan intens. "Hilang atau ketinggalan?" "Sepertinya, ketinggalan. Kemarin aku terburu-buru, tapi aku merasa sempat memasukkan inhaler ke tas," jawab Taylor, dengan ingatan yang sedikit lupa.
Mobil hitam Fortune kembali berhenti di halaman sekolah. Dave tidak pernah bosan mengantar Taylor sekolah. Melihat wajah semangat Taylor, membuat Dave juga ikut bersemangat."Gadis dingin," panggil Dave, ketika Taylor baru saja keluar dari mobil. "Dengar, jangan dekati lagi Brian dan Riley. Mereka sudah membuatmu kambuh parah."Ada sedikit ketidaksetujuan Taylor. Mengapa hanya menyalahkan Brian dan Riley, jika pelaku utama adalah Dave?"Aku tahu, aku yang memulai segalanya. Tapi, mereka bahkan melakukan hal buruk yang lebih besar," lanjut Dave, yang mengerti dengan tatapan tidak setuju Taylor."Paman Jo fokus saja dengan pekerjaan. Masalah sekolah, aku bisa menanganinya. Aku duluan." balas Taylor, langsung pergi meninggalkan Dave.Ada sesuatu yang kurang. Taylor menoleh pada Dave, berharap diberikan sesuatu seperti dulu. Namun, Dave terlihat bingung, ketika Taylor memberi tatapan."Sudahlah. Dia tidak peka," gumam Taylor, lalu melanjutkan ja
Empat bulan berlalu. Keadaan semua sudah berubah. Tidak ada gangguan. Taylor sudah tidak lagi di rumah sakit, dan Dave memilih untuk bekerja di rumah setiap hari.Mendengar berita yang telah tersebar ke media, membuat orang tua Sally datang untuk meminta maaf sebesar-besarnya. Bahkan, mereka sudah tidak menganggap Donna dan Sidney sebagai anak.Hari ini adalah hari besar, di mana ada dua pengantin yang akan segera menikah di gedung besar. Ini adalah acara pernikahan Taylor dengan Dave!Setelah mengurus kejahatan Sidney, menunggu tiga bulan Taylor keluar dari rumah sakit, lalu sisa satu bulan adalah kelulusan Taylor. Dave langsung mengajak Taylor menikah.Betapa cantiknya Taylor dengan gaun putih pernikahan panjang, dengan beberapa hiasan bunga di sekitar rambut.Begitu pula dengan Dave. Terlihat gagah dengan setelan jas putih yang cocok di tubuh.Dave pernah mengatakan bahwa Taylor adalah anak yang diadopsi pada para karyawan dan karyawati.
Sally pergi menuju kamar Taylor yang belum bangun. Biasanya, Taylor tidak telat bangun tidak sampai satu jam lebih. Karena berpikir bisa saja asma Taylor kambuh, Sally menjadi khawatir."Tay? Bangun. Semua orang sudah menunggu di ruang makan." Ketika melepas selimut dari tubuh Taylor, Sally terkejut. "Astaga! Kamu tidur tanpa pakaian? Hey, Tay! Bangun!"Berkali-kali Sally mengguncang tubuh Taylor, akhirnya terbangun juga. "Kepalaku pusing ...," keluhnya sambil mengerang."Tay! Kamu tidur telanjang? Apa yang terjadi kemarin malam? Apa ada yang memerkosamu? Katakanlah!" Sally sudah dijadikan orang terpercaya oleh Dave. Jika Dave tahu ada orang yang melukai Taylor, pasti Sally akan dimarahi.Orang pertama yang Taylor lihat dengan jelas adalah Sally. Setelah berkedip beberapa kali, kesadaran Taylor sudah kembali."Dingin sekali." Taylor masih belum sadar dengan tubuh polosnya."Tentu saja. Lihat tubuhmu! Bajumu saja berserakan di lantai. Aku tid
Donna terkejut dengan apa yang dilihat. Banyak foto yang tersimpan di ponsel yang dipegang. Foto yang membuat Donna ingin mengamuk."Anak itu!" Ingin menghampiri Taylor yang sedang berdiskusi dengan Sally, tetapi Sidney menahan."Kita harus bermain halus. Jika kamu selalu menyerangnya, Dave bisa saja menjauhimu. Ingat tujuan." Sidney berbisik pada Donna.Tatapan Donna berubah tajam. Sebagai istri, Donna tidak terima dengan suami yang berselingkuh. "T-tapi, dia mencium Dave! Aku tidak bisa diam saja! Dia ... dia sudah menjadi pelakor!""Jangan merusak rencana yang sudah kubuat, Kak! Kamu hanya mengincar harta, 'kan? Untuk apa merebut Paman Jo?" Kali ini Sidney membuat Donna terdiam. "Untung aku menerima paksaan Sally untuk menemaninya beli buku. Ini bisa jadi senjatamu nanti.""Sekarang, katakan! Bagaimana kamu bertemu dengan dokter kenalan Paman Jo? Uang?" tanya Sidney, yang langsung mengganti topik.Sambil menenangkan diri, Donna menjawab,
Di mulai dari bahan-bahan yang masih cukup digunakan, tim tata boga pun mulai berlatih, sembari memikirkan makanan selanjutnya."Hey, Tay. Bukannya ingin mengungkit masa lalu." Daphne mengajak Taylor bicara. "Semenjak kamu putus dengan Brian, kamu tidak ingin menjalin kasih lagi? Kamu terlihat sedang butuh seseorang yang bisa mengerti."Gerakan mengaduk adonan kue berhenti. Sebenarnya, menanggapi hal seperti ini sangat membosankan. Pura-pura saja tidak dengar."Iya, Daphne benar." Bianca setuju. "Daripada cari yang belum pasti, lebih baik sama Sidney saja. Kamu dan Sidney selalu bersama, dan dia perhatian sekali denganmu. Aku iri," lanjutnya, membuat Taylor semakin malas meladeni."Bodoh! Mereka sekarang jadi sepupu!" Daphne tidak terima."Aku lebih suka mereka berdua." Bianca tetap pada pendirian.Pundak Taylor disentuh oleh Abigail, tetapi wajah Abigail menghadap ke Daphne. "Aku lebih suka Taylor dengan pamannya. Siapa namanya? Paman ... J
Makan malam yang biasanya diadakan oleh dua orang, sekarang menjadi lima. Posisi duduk pun sekarang berubah. Dave duduk di antara Donna dan Taylor, lalu di sebelah kiri Taylor ada Sidney, lalu Sally.Rasanya sangat tidak menyenangkan. Satu meja dengan musuh."Ceritakan, bagaimana sekolah kalian tadi? Apa ada yang menarik?" Dave mencairkan suasana."Beberapa hari lagi, sekolah akan mengadakan acara ulang tahun." Sally bercerita. "Aku tetap menjadi ketua penyelenggara, Sidney bergabung dalam drama, dan Taylor bergabung dalam tata boga."Kedua alis Dave menaik. Sedikit terkejut dengan Taylor yang bergabung dalam tata boga. "Oh, ya? Kamu akan memasak di sekolah? Aku belum pernah melihatmu memasak."Sidney mengerti candaan Dave. "Pasti masakannya tidak enak, lalu dikeluarkan dari tim."Sebenarnya, Taylor juga mengerti candaan Sidney, tetapi malas menanggapi. "Setidaknya, aku bisa belajar sedikit, daripada menjadi kaku di tengah panggung."
Seperti hari-hari biasa. Sudah waktunya Taylor, Sally, dan Sidney kembali sekolah. Dave merasa tidak keberatan untuk mengantar mereka, karena sudah terbiasa mengantar Taylor."Karena kami bertiga sekarang, Paman Jo tidak perlu repot menjemput kami. Kami bisa pulang bersama dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain. Santai saja." Sally membuat Dave percaya.Dari dulu Dave sudah percaya pada Sally. Jadi, apa pun yang terjadi, Sally harus bertanggungjawab. Terutama pada Taylor."Aku percaya padamu. Dan untukmu Sidney, kamu laki-laki, jadi harus bisa menjaga mereka," suruh Dave pada Sidney yang tersenyum."Sudah menjadi tanggungjawabku, Kakak Ipar. Apalagi ada adik sepupu di sini," balas Sidney dengan merangkul pundak Taylor. Hal itu pun mampu membuat Dave harus menahan cemburu.Terdengar bel masuk berbunyi, Sally mengajak Taylor serta Sidney untuk memasuki kelas. "Hey, cepat! Kali ini gurunya galak!" Sikap ketua kelas Sally kembali muncul.
Gaun seksi yang sempat dilempar, terpasang kembali di tubuh Taylor. Gaun berwarna hijau gelap, ditambah dengan tas kecil hitam, sepatu hak tinggi hitam, serta rambut yang diikat tinggi. Terlihat sangat seksi, menurut Dave. Berdiri sendiri di tengah keramaian membuat Taylor sedikit kebingungan. Taylor datang demi Dave. Akan tetapi, tidal ada yang dikenal. Walaupun tidak ada yang Taylor kenal, kaki jenjangnya tetap berjalan ke tengah acara. Namun, langkahnya terhenti, karena ada beberapa model wanita yang sedang membicarakan Donna. "Aku kasihan dengan Tuan Dave. Seharusnya, Tuan Dave tidak menikahi Donna. Aku saja ragu, Donna hamil atau tidak." Wanita dengan rambut merah berbicara. "Dia bilang, dia hamil anak Tuan Dave. Tapi, menurutku, Donna berbohong. Entah dia berbohong atau tidak. Yang aku tahu, dia bermain tidak hanya dengan Tuan Dave." Giliran wanita berkacamata berbicara. Wajah terkejut terlihat dari wanita rambut merah. "Donna bermain de
"Begitukah?"Taylor mengangguk, setelah bercerita tentang apa yang Taylor dengar.Dua buku menu ada di tangan mereka masing-masing. Selagi mata mereka ke arah gambar menu, bibir mereka tetap bergerak.Salah satu pelayan wanita datang dengan note dan pulpen. Seragamnya terlihat terlalu melekat pada tubuh. Tidak lupa dengan senyum nakal, serta pulpen yang sengaja digigit. Semua bertujuan supaya Dave terpikat.Gadis yang duduk di depan Dave menatap Dave dengan tajam, ketika Dave tersenyum pada pelayan."Makanan terenak apa saja?" tanya Dave yang ingin tahu. Dave berencana membayar makanan untuk sang kekasih. Murah ataupun mahal, Dave siap."Kami memiliki Wild King Salmon dan Yellowfin Tuna. Kedua makanan itu selalu digemari para pelanggan," jelas pelayan bernama Aline. "Dan, Wild King Salmon adalah makanan kesukaanku."Dave sempat melirik kembali ke buku menu, sebelum matanya kembali menatap Aline. "Kesukaanmu? Sepertinya patut dicoba. B
Menunggu tidaklah menyenangkan. Sama seperti Taylor yang sedang duduk di mobil, menunggu Dave yang mendadak melakukan rapat."Jangan keluar, sebelum aku keluar." Seperti itulah pesan terakhir yang Dave sampaikan.Betapa membosankan hanya duduk diam di mobil. Radio pun terdengar kurang mendukung. Tidur? Taylor sudah banyak tidur, setelah peristiwa tidak menyenangkan terjadi.Peristiwa di ruang makan teringat kembali. Taylor sampai memegang bibir dan tersenyum sendiri."Cukup, Taylor. Aku tidak ingin gila seperti Si Jo menyebalkan itu," gumam Taylor dengan menoleh ke ara gedung perusahaan Dave. "Baru kali ini menjadi orang ketiga. Kenapa tidak aku menolak tadi?" Helaan napas keluar.Melihat ada lelaki muda yang berdiri dengan pakaian trendi, membuat Taylor berpikir dua kali.Menjadi kekasih dari Dave Jo, bukankah terdengar menggelikan?Semua orang akan mengira mereka hanyalah papa dan anak. Umur mereka juga terpaut jauh.Seharusn