"Sudah ditemukan? Baiklah, saya akan segera ke sana. Di rumah sakit dekat bandara? Ya, saya tahu tempat itu. Terima kasih."
Dave baru saja mendapat kabar dari bandara, bahwa jasad Tina telah dibawa ke rumah sakit dekat bandara. Ini saatnya untuk menguatkan hati lagi. Terutama Taylor.
"Taylor. Apa dia sudah bangun?" tanya Dave pada diri sendiri, sambil menuju ke kamar Taylor.
Pintu kamar dengan nama Taylor Spark yang tergantung di pintu sudah terbuka lebar. Dave melihat Taylor sedang menutup koper. Taylor juga sudah terlihat rapi.
"Kamu sudah bawa semua barang yang diperlukan? Kita akan ke rumahku dulu, baru ke rumah sakit. Pegawai bandara sudah mengabari." Dave mendekat pada Taylor, yang baru duduk di tepi ranjang.
"Sudah. Kalau memang ada yang kurang, aku bisa kembali ke sini," jawab Taylor dengan lesu.
"Ayo, aku tidak ingin membuang waktu." Taylor langsung pergi meninggalkan kamar dengan membawa koper dan ransel, membiarkan Dave berdiri di sana.
Mobil hitam Fortune kembali berhenti di halaman sekolah. Taylor yang sudah bersiap keluar mobil, ditahan sementara oleh Dave."Hubungi aku, kalau sudah selesai, dan fokus pada pelajaran. Kalau asmamu kambuh, lebih baik pulang cepat saja.""Iya, aku mengerti. Tepat setelah bel pulang sekolah, akan langsung kukabari. Aku duluan." Taylor langsung keluar, dan berlari kecil, karena bel masuk telah berbunyi.Ketika Dave ingin memanggil, Taylor lebih dulu menoleh. "Berhenti memberi wajah genitmu. Itu menggelikan." Setelah itu, pergi begitu saja ke sekolah.Dave tertawa, karena Taylor mengerti apa yang dimaksud. Melihat Taylor tidak sampai mengurung diri berhari-hari, membuat Dave merasa tenang. Akan tetapi, dengan masuknya kembali ke sekolah, Dave merasa ada yang akan terjadi pada Taylor.Ketika Taylor sudah menghilang dari pandangan, Dave mulai menjalankan mobil ke perusahaan.Taylor memasuki kelas dengan santai, karena guru belum datang. "Selamat
"Beruntung sekali, Nona Spark akan pulang siang ini. Perhatikan kembali kesehatanmu. Terlalu banyak berpikir dan emosi berlebihan, juga menyebabkan asmamu kambuh," lekas dokter pada Dave dan Taylor. "Ingat, pelajari cara-cara menangani diri tanpa inhaler." "Baik, dok. Akan saya ajarkan dia," balas Dave sopan, setelah menaruh gelas kosong yang baru diminum Taylor. Taylor merasa lega, tidak tinggal di rumah sakit berhari-hari. Dulu, saat masih anak-anak, Taylor sempat dirawat hampir satu bulan. Itu karena tubuh Taylor belum kuat menahan asma, dan itu cukup membuat Taylor bosan. Lebih baik dirawat di rumah, daripada rumah sakit. "Aku bawakan jaket untukmu. Aku juga menemukan inhaler di meja belajarmu. Kemarin, kamu bilang inhaler hilang." Dave menatap Taylor dengan intens. "Hilang atau ketinggalan?" "Sepertinya, ketinggalan. Kemarin aku terburu-buru, tapi aku merasa sempat memasukkan inhaler ke tas," jawab Taylor, dengan ingatan yang sedikit lupa.
Mobil hitam Fortune kembali berhenti di halaman sekolah. Dave tidak pernah bosan mengantar Taylor sekolah. Melihat wajah semangat Taylor, membuat Dave juga ikut bersemangat."Gadis dingin," panggil Dave, ketika Taylor baru saja keluar dari mobil. "Dengar, jangan dekati lagi Brian dan Riley. Mereka sudah membuatmu kambuh parah."Ada sedikit ketidaksetujuan Taylor. Mengapa hanya menyalahkan Brian dan Riley, jika pelaku utama adalah Dave?"Aku tahu, aku yang memulai segalanya. Tapi, mereka bahkan melakukan hal buruk yang lebih besar," lanjut Dave, yang mengerti dengan tatapan tidak setuju Taylor."Paman Jo fokus saja dengan pekerjaan. Masalah sekolah, aku bisa menanganinya. Aku duluan." balas Taylor, langsung pergi meninggalkan Dave.Ada sesuatu yang kurang. Taylor menoleh pada Dave, berharap diberikan sesuatu seperti dulu. Namun, Dave terlihat bingung, ketika Taylor memberi tatapan."Sudahlah. Dia tidak peka," gumam Taylor, lalu melanjutkan ja
Sudah seperti bodyguard, Sally menemani Taylor pulang hingga Dave datang menjemput. Padahal, Taylor sudah menolak, tetapi Sally memaksa."Terima kasih, sudah menjaganya." Dave berbicara pada Sally melalui jendela mobil yang terbuka."Sama-sama, Paman. Aku sebagai ketua kelas harus bertanggungjawab juga akan kesehatan murid kelas," balas Sally dengan sopan.Melihat perilaku Sally yang begitu baik dan peduli, Dave memilih mempercayai Sally untuk menjaga Taylor di sekolah. Tidak ada lagi bersahabat dengan murid laki-laki. Boleh saja, tetapi jangan terlalu dekat."Terima kasih ....""Sally, namaku Sally.""Terima kasih, Sally. Saya harap, kamu mau menjaga Taylor selalu."Sally dengan senang hati akan melakukannya. "Tenang saja, Paman. Ingat, saya ketua kelas, dan itu sudah jadi tanggungjawab. Aku tidak akan membiarkan hal buruk menimpa Taylor. Jaga kesehatanmu, ya, Tay." Sally pun memberi lambaian tangan.Balasan Taylor hanya lamba
Sudah terbiasa bangun pagi, Dave dengan sengaja tidak turun dari ranjang. Melihat Taylor yang tidur dengan nyenyak, mampu membuat Dave betah menatap dan tersenyum.Hampir memakan banyak waktu, Dave tersadar karena suara alarm Taylor yang berbunyi."Gadis dingin, bangun. Kamu harus sekolah." Suara Dave yang serak di pagi hari, mampu membius para wanita di sebelahnya, tetapi tidak pada Taylor. Tidak ada pergerakkan dari Taylor, sepertinya Taylor mengantuk berat.Dave teringat cara untuk membangunkan Taylor yang sulit bangun. Saat Taylor berumur 10 tahun, Dave selalu menggunakan cara ini.Kedua pipi Taylor dikecup bergantian. Tidak hanya pipi, tetapi dahi dan hidung juga. Kenapa dikecup? Itu akan membuat Taylor risih dan terbangun. Cara itu selalu berhasil."Lima menit lagi." Taylor mulai tersadar. Sempat berpindah posisi untuk membelakangi Dave."Tidak bisa, nanti kamu telat, lalu menyalahkanku," tolak Dave, yang kembali ingin mengecup pipi Ta
Calon dan senior model saling memegang naskah masing-masing. Taylor fokus dengan isi naskah, sedangkan mata Sidney tidak pindah dari wajah Taylor."Aku membawa gunting di tas. Jangan sampai guntingku menancap di matamu," ancam Taylor, yang masih fokus pada naskah.Sama seperti Dave, ancaman Taylor tidak ampuh pada Sidney. Reaksi yang sama, yaitu tertawa."Dengan perilakumu seperti itu, kamu tidak akan bisa menjadi model. Ekspresi kaku. Kenapa Pamanmu berniat sekali menjadikanmu model?" Dengan punggung menyandar pada sandaran kursi, serta kaki kanan yang dinaikkan pada paha kiri, membuat Sidney terlihat menawan. Bagi para penggemar.Tidak dengan Taylor, yang sekarang sedang menatap tajam. "Sebagai rekan, harusnya kamu mengajari calon model yang berekspresi kaku ini. Mulutmu tidak ada bedanya dengan mulut Ibu-ibu."Salah satu ujung bibir Sidney menaik, ketika berjalan mendekati Taylor. Bisikan Sidney terdengar tepat di telinga Taylor, ketika tubuh Si
Bersiap untuk masuk ke sekolah bersama Sally, Dave menghentikan Taylor untuk memberi pesan."Gadis dingin, aku sudah meminta ijin pada wali kelasmu. Ingat, saat istirahat, aku akan menjemputmu, lalu langsung menuju lokasi shooting.""Paman Jo kabari saja, kalau sudah sampai di sini," balas Taylor seakan sudah tahu. Padahal, Dave baru memberitahu sekarang.Dave hanya mengangguk, sambil memberi acungan jempol. "Aku pergi dulu. Fokus dalam pelajaran."Lagi dan lagi, Taylor menghela napas, kali ini dengan kasar. Tidak ada lagi mata genit dan kecupan jarak jauh. Apakah karena Dave akan menikah dengan Donna, atau Dave sudah tidak ingin melakukannya lagi karena Taylor tidak suka?"Tay, memangnya, kamu akan shooting apa? Sahabatku menjadi artis!" Sally yang sedari tadi berdiri di sebelah Taylor, berteriak gembira, membuat Taylor menutup mulut sang ketua kelas."Jangan berteriak. Aku tidak ingin ada yang mengerumuniku." Setelah Sally mengangguk, Tayl
"Taylor, ceritakan pada kami. Bagaimana kamu melakukan shooting iklan kemarin? Tanpamu di kelas, rasanya hampa sekali." Sally mengoceh sedari awal duduk di kelas."Semua berjalan lancar. Antara dua atau tiga hari, iklan akan terpampang di televisi kalian. Semoga saja wajahku diburamkan."Pernyataan Taylor membuat Sally dan teman-teman tertawa. Mereka menganggap itu sebagai candaan, tetapi tidak bagi Taylor. Taylor bahkan berharap wajahnya tidak terlihat ditelevisi. Pemikiran yang aneh."Kalau sudah resmi ada iklannya, aku akan membeli parfum itu." Judie, salah satu teman Sally berkomentar."Aku juga!" Diikuti teman-teman perempuan lain.Seperti yang Taylor katakan di pabrik. Parfum terbaru yang Dave resmikan pasti akan terjual laris. Belum diresmikan saja, sudah banyak yang bersiap, apalagi sudah diresmikan?"Berarti, kamu akan kehilangan banyak pelajaran sekolah? Karena kamu jadi model, pasti waktumu tidak cukup untuk belajar," imbuh Sally.
Empat bulan berlalu. Keadaan semua sudah berubah. Tidak ada gangguan. Taylor sudah tidak lagi di rumah sakit, dan Dave memilih untuk bekerja di rumah setiap hari.Mendengar berita yang telah tersebar ke media, membuat orang tua Sally datang untuk meminta maaf sebesar-besarnya. Bahkan, mereka sudah tidak menganggap Donna dan Sidney sebagai anak.Hari ini adalah hari besar, di mana ada dua pengantin yang akan segera menikah di gedung besar. Ini adalah acara pernikahan Taylor dengan Dave!Setelah mengurus kejahatan Sidney, menunggu tiga bulan Taylor keluar dari rumah sakit, lalu sisa satu bulan adalah kelulusan Taylor. Dave langsung mengajak Taylor menikah.Betapa cantiknya Taylor dengan gaun putih pernikahan panjang, dengan beberapa hiasan bunga di sekitar rambut.Begitu pula dengan Dave. Terlihat gagah dengan setelan jas putih yang cocok di tubuh.Dave pernah mengatakan bahwa Taylor adalah anak yang diadopsi pada para karyawan dan karyawati.
Sally pergi menuju kamar Taylor yang belum bangun. Biasanya, Taylor tidak telat bangun tidak sampai satu jam lebih. Karena berpikir bisa saja asma Taylor kambuh, Sally menjadi khawatir."Tay? Bangun. Semua orang sudah menunggu di ruang makan." Ketika melepas selimut dari tubuh Taylor, Sally terkejut. "Astaga! Kamu tidur tanpa pakaian? Hey, Tay! Bangun!"Berkali-kali Sally mengguncang tubuh Taylor, akhirnya terbangun juga. "Kepalaku pusing ...," keluhnya sambil mengerang."Tay! Kamu tidur telanjang? Apa yang terjadi kemarin malam? Apa ada yang memerkosamu? Katakanlah!" Sally sudah dijadikan orang terpercaya oleh Dave. Jika Dave tahu ada orang yang melukai Taylor, pasti Sally akan dimarahi.Orang pertama yang Taylor lihat dengan jelas adalah Sally. Setelah berkedip beberapa kali, kesadaran Taylor sudah kembali."Dingin sekali." Taylor masih belum sadar dengan tubuh polosnya."Tentu saja. Lihat tubuhmu! Bajumu saja berserakan di lantai. Aku tid
Donna terkejut dengan apa yang dilihat. Banyak foto yang tersimpan di ponsel yang dipegang. Foto yang membuat Donna ingin mengamuk."Anak itu!" Ingin menghampiri Taylor yang sedang berdiskusi dengan Sally, tetapi Sidney menahan."Kita harus bermain halus. Jika kamu selalu menyerangnya, Dave bisa saja menjauhimu. Ingat tujuan." Sidney berbisik pada Donna.Tatapan Donna berubah tajam. Sebagai istri, Donna tidak terima dengan suami yang berselingkuh. "T-tapi, dia mencium Dave! Aku tidak bisa diam saja! Dia ... dia sudah menjadi pelakor!""Jangan merusak rencana yang sudah kubuat, Kak! Kamu hanya mengincar harta, 'kan? Untuk apa merebut Paman Jo?" Kali ini Sidney membuat Donna terdiam. "Untung aku menerima paksaan Sally untuk menemaninya beli buku. Ini bisa jadi senjatamu nanti.""Sekarang, katakan! Bagaimana kamu bertemu dengan dokter kenalan Paman Jo? Uang?" tanya Sidney, yang langsung mengganti topik.Sambil menenangkan diri, Donna menjawab,
Di mulai dari bahan-bahan yang masih cukup digunakan, tim tata boga pun mulai berlatih, sembari memikirkan makanan selanjutnya."Hey, Tay. Bukannya ingin mengungkit masa lalu." Daphne mengajak Taylor bicara. "Semenjak kamu putus dengan Brian, kamu tidak ingin menjalin kasih lagi? Kamu terlihat sedang butuh seseorang yang bisa mengerti."Gerakan mengaduk adonan kue berhenti. Sebenarnya, menanggapi hal seperti ini sangat membosankan. Pura-pura saja tidak dengar."Iya, Daphne benar." Bianca setuju. "Daripada cari yang belum pasti, lebih baik sama Sidney saja. Kamu dan Sidney selalu bersama, dan dia perhatian sekali denganmu. Aku iri," lanjutnya, membuat Taylor semakin malas meladeni."Bodoh! Mereka sekarang jadi sepupu!" Daphne tidak terima."Aku lebih suka mereka berdua." Bianca tetap pada pendirian.Pundak Taylor disentuh oleh Abigail, tetapi wajah Abigail menghadap ke Daphne. "Aku lebih suka Taylor dengan pamannya. Siapa namanya? Paman ... J
Makan malam yang biasanya diadakan oleh dua orang, sekarang menjadi lima. Posisi duduk pun sekarang berubah. Dave duduk di antara Donna dan Taylor, lalu di sebelah kiri Taylor ada Sidney, lalu Sally.Rasanya sangat tidak menyenangkan. Satu meja dengan musuh."Ceritakan, bagaimana sekolah kalian tadi? Apa ada yang menarik?" Dave mencairkan suasana."Beberapa hari lagi, sekolah akan mengadakan acara ulang tahun." Sally bercerita. "Aku tetap menjadi ketua penyelenggara, Sidney bergabung dalam drama, dan Taylor bergabung dalam tata boga."Kedua alis Dave menaik. Sedikit terkejut dengan Taylor yang bergabung dalam tata boga. "Oh, ya? Kamu akan memasak di sekolah? Aku belum pernah melihatmu memasak."Sidney mengerti candaan Dave. "Pasti masakannya tidak enak, lalu dikeluarkan dari tim."Sebenarnya, Taylor juga mengerti candaan Sidney, tetapi malas menanggapi. "Setidaknya, aku bisa belajar sedikit, daripada menjadi kaku di tengah panggung."
Seperti hari-hari biasa. Sudah waktunya Taylor, Sally, dan Sidney kembali sekolah. Dave merasa tidak keberatan untuk mengantar mereka, karena sudah terbiasa mengantar Taylor."Karena kami bertiga sekarang, Paman Jo tidak perlu repot menjemput kami. Kami bisa pulang bersama dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain. Santai saja." Sally membuat Dave percaya.Dari dulu Dave sudah percaya pada Sally. Jadi, apa pun yang terjadi, Sally harus bertanggungjawab. Terutama pada Taylor."Aku percaya padamu. Dan untukmu Sidney, kamu laki-laki, jadi harus bisa menjaga mereka," suruh Dave pada Sidney yang tersenyum."Sudah menjadi tanggungjawabku, Kakak Ipar. Apalagi ada adik sepupu di sini," balas Sidney dengan merangkul pundak Taylor. Hal itu pun mampu membuat Dave harus menahan cemburu.Terdengar bel masuk berbunyi, Sally mengajak Taylor serta Sidney untuk memasuki kelas. "Hey, cepat! Kali ini gurunya galak!" Sikap ketua kelas Sally kembali muncul.
Gaun seksi yang sempat dilempar, terpasang kembali di tubuh Taylor. Gaun berwarna hijau gelap, ditambah dengan tas kecil hitam, sepatu hak tinggi hitam, serta rambut yang diikat tinggi. Terlihat sangat seksi, menurut Dave. Berdiri sendiri di tengah keramaian membuat Taylor sedikit kebingungan. Taylor datang demi Dave. Akan tetapi, tidal ada yang dikenal. Walaupun tidak ada yang Taylor kenal, kaki jenjangnya tetap berjalan ke tengah acara. Namun, langkahnya terhenti, karena ada beberapa model wanita yang sedang membicarakan Donna. "Aku kasihan dengan Tuan Dave. Seharusnya, Tuan Dave tidak menikahi Donna. Aku saja ragu, Donna hamil atau tidak." Wanita dengan rambut merah berbicara. "Dia bilang, dia hamil anak Tuan Dave. Tapi, menurutku, Donna berbohong. Entah dia berbohong atau tidak. Yang aku tahu, dia bermain tidak hanya dengan Tuan Dave." Giliran wanita berkacamata berbicara. Wajah terkejut terlihat dari wanita rambut merah. "Donna bermain de
"Begitukah?"Taylor mengangguk, setelah bercerita tentang apa yang Taylor dengar.Dua buku menu ada di tangan mereka masing-masing. Selagi mata mereka ke arah gambar menu, bibir mereka tetap bergerak.Salah satu pelayan wanita datang dengan note dan pulpen. Seragamnya terlihat terlalu melekat pada tubuh. Tidak lupa dengan senyum nakal, serta pulpen yang sengaja digigit. Semua bertujuan supaya Dave terpikat.Gadis yang duduk di depan Dave menatap Dave dengan tajam, ketika Dave tersenyum pada pelayan."Makanan terenak apa saja?" tanya Dave yang ingin tahu. Dave berencana membayar makanan untuk sang kekasih. Murah ataupun mahal, Dave siap."Kami memiliki Wild King Salmon dan Yellowfin Tuna. Kedua makanan itu selalu digemari para pelanggan," jelas pelayan bernama Aline. "Dan, Wild King Salmon adalah makanan kesukaanku."Dave sempat melirik kembali ke buku menu, sebelum matanya kembali menatap Aline. "Kesukaanmu? Sepertinya patut dicoba. B
Menunggu tidaklah menyenangkan. Sama seperti Taylor yang sedang duduk di mobil, menunggu Dave yang mendadak melakukan rapat."Jangan keluar, sebelum aku keluar." Seperti itulah pesan terakhir yang Dave sampaikan.Betapa membosankan hanya duduk diam di mobil. Radio pun terdengar kurang mendukung. Tidur? Taylor sudah banyak tidur, setelah peristiwa tidak menyenangkan terjadi.Peristiwa di ruang makan teringat kembali. Taylor sampai memegang bibir dan tersenyum sendiri."Cukup, Taylor. Aku tidak ingin gila seperti Si Jo menyebalkan itu," gumam Taylor dengan menoleh ke ara gedung perusahaan Dave. "Baru kali ini menjadi orang ketiga. Kenapa tidak aku menolak tadi?" Helaan napas keluar.Melihat ada lelaki muda yang berdiri dengan pakaian trendi, membuat Taylor berpikir dua kali.Menjadi kekasih dari Dave Jo, bukankah terdengar menggelikan?Semua orang akan mengira mereka hanyalah papa dan anak. Umur mereka juga terpaut jauh.Seharusn