Tidur sorenya, rupanya, cukup berefek pada jam tidur Andin. Jika biasanya matanya dapat dengan mudah terpejam menjelang tengah malam, maka hari ini dia akan tidur lebih malam lagi. Rasa kantuk sama sekali belum hinggap padanya, padahal waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam lebih.
Andin sudah mencoba tidur. Hampir satu jam sudah dirinya bergulat di tempat tidurnya, berusaha memejamkan mata, dan berharap kantuk itu segera datang. Biasanya cara ini lumayan berhasil. Dia akan membuat tubuh dan pikirannya rileks sehingga dia dapat memasuki dunia mimpi dengan mudah.
Namun, kali ini tidak, yang meski sudah melakukan cara-cara di atas, tubuhnya menolak untuk tidur. Yang ada justru rasa lelah karena sejak tadi hanya berguling ke sana kemari tanpa hasil. Menyerah, akhirnya, dia memilih untuk bangun, menyalakan kembali lampu tidurnya, dan mencari-cari kegiatan yang bisa dilakukannya.
Awalnya, dia pikir menonton drama adalah ide yang bagus. Tapi, men
Seharusnya Andin tidak mencobanya. Memang, apa yang dia harapkan dari sepasang lingerie? Tidak lebih dari gaun tidur sexy untuk menggoda dan membangkitkan gairah para pria. Seperti yang terjadi pada suaminya. Beruntung, Desta melepaskannya setelah menerjangnya dengan ciuman tanpa ampun. Yah, meskipun kedua tangan Desta liar meraba tubuhnya di sana-sini. Namun, ketakutan terbesarnya tidak terjadi. Harusnya dia lega. Benar begitu, bukan?Desta bahkan berbaik hati membiarkannya bersembunyi sepanjang pagi ini. Oh, bayangkan betapa malunya dirinya! Dia yang belum yang seutuhnya memberikan tubuhnya terjamah oleh suaminya--Desta tahu betul mengenai hal itu--justru menantang keberuntungannya sendiri dengan berdiri setengah telanjang--nyaris telanjang--di hadapan pria itu. Maka, dia tak bisa menyalahkan bila bara gairah itu tersulut. Dan sejujurnya, api itu pun terbakar di dalam dirinya. Tetapi, sebelum semuanya terlambat, dia berhasil menghentikannya.
"Boleh saya bergabung?"Pertanyaan tanpa basa-basi itu terlontar begitu saja dari mulut manis wanita yang bahkan kehadirannya masih menyisakan keterkejutan di wajah Andin dan Desta. Tak perlu menunggu jawaban, wanita itu langsung mendudukkan diri di sebelah Desta. Iya, di samping Desta sehingga Andin dapat melihat jelas siapa orang yang seenaknya mengganggu kebersamaannya dengan sang suami.Mau mencoba menebak siapa? Ya, benar. Wanita itu adalah Raya, orang yang beberapa hari terakhir merusak ketenangan pikiran dan hatinya. Lihat saja tingkahnya sekarang. Dengan tidak tahu malunya dia duduk di samping suaminya, bahkan sebelum dipersilakan. Kurang ajar sekali, bukan?"Siang, Bu Andin."Barulah saat matanya bertemu dengan milik Raya, wanita itu menyapanya seolah-olah keberadaan Andin baru saja disadarinya. Sungguh, sangat berani sikapnya. Lebih nekat dari saat terakhir kali mereka bertemu.Andin menghempaskan tubuhnya ke
Andin mengantar kepergian Raya dengan senyum kemenangan di wajahnya. Matanya setia mengikuti gerakan Raya, sehingga ketika wanita itu berbalik--Raya beberapa kali melakukannya, mungkin, karena terlalu berat melepaskan kesempatan tersebut--Raya akan melihat ekspresi gembiranya ditambah adegan Desta yang masih menggenggam tangannya. Dia bahkan melambaikan tangannya saat untuk terakhir kalinya Raya menengok ke arah mereka sebelum meninggalkan restoran ini.Barulah ketika Raya benar-benar lenyap dari pandangannya, perhatian Andin kembali terfokus pada lelaki di hadapannya. Dia melayangkan tatapan tajam ke arahnya seolah-olah pria itulah tersangkanya. Tapi, memang benar, bukan? Desta-lah sumber masalah di sini. Andaikan suaminya bukanlah sang pria dibalik sikap berani Raya, tentu, dia tak akan merasa seperti ini. Rasa-rasanya, dia ingin meledak sekarang juga!Yang menjadi objek kekesalan Andin hanya bisa diam. Desta tahu Andin sedang marah. Situasi tadi jelas me
"Apa yang ingin kamu tonton?" tanya Desta dari arah dapur. Saat ini, dirinya tengah mencuci peralatan makan yang baru saja selesai mereka gunakan untuk makan malam. Ya, beginilah aktivitas hariannya selama berada di rumah. Dia akan berbagi pekerjaan rumah dengan sang istri. Bila Andin memilih untuk memasak, maka mencuci piring, gelas, dan perangkat memasak lainnya merupakan bagiannya."Kamu mau menonton apa?" Andin balik bertanya. Sebenarnya, mereka berdua sama-sama berada di area dapur dengan dirinya yang sedang duduk di meja dapur dan sibuk mengupas buah-buahan di sana."Hmm..." Desta bergumam sembari memikirkan film apa yang sebaiknya ditonton sebagai hiburan Jumat malam mereka. "Terserah kamu saja," ujarnya, berakhir tanpa hasil dan justru menyerahkan keputusan pada Andin."Hmm..." Andin mengikuti gerakan Desta, bergumam, dan memilah film yang sekiranya ingin dia tonton. Menonton film bersama memang merupakan kebiasaan mereka sejak masih pa
Andin mendengus. Mendadak, kekesalannya yang sempat mereda kembali lagi. Apa gunanya Desta mengalihkan perhatiannya kalau ujung-ujungnya mengingatkannya kembali pada sumber kekesalannya? Dan haruskah lelaki itu menanyakan pertanyaan yang dia yakin sudah Desta ketahui jawabannya?Tatapan Desta begitu intens tertuju padanya. Namun, Andin tak membalasnya. Tidak, dia tak berani memandang balik Desta. Dia takut akan jatuh pada pesona mata itu hingga meruntuhkan pertahanannya dan membuatnya menunjukkan kerapuhannya yang selalu ingin bersandar di dada suaminya. Tetapi, ini bukan waktu yang tepat untuk melakukannya. Dia membutuhkan harga dirinya tetap teguh di tengah situasi absurd ini. Ah, dia bahkan tak bisa mendeskripsikan keadaannya. Terlalu banyak emosi yang bercampur di sana. Marah, kesal, kecewa, benci, gemas, dan juga rasa cinta yang besar kepada sang suami.Sayangnya, dia bukanlah tipe orang yang betah ditatap lama dengan cara seperti itu. Desta seolah men
Entah sejak kapan Andin tak lagi menganggap hari-hari di akhir pekan istimewa. Dia sudah lupa bagaimana rasanya menikmati libur setelah lima hari dijejali berbagai macam hal yang membuat fisik dan pikirannya tegang. Alasannya yang memilih untuk menjadi pekerja lepas telah mengubah persepsinya mengenai weekday dan weekend. Dia bisa bekerja di akhir pekan, begitu pun sebaliknya. Ah, sejujurnya, dia tak benar-benar bisa disebut bekerja karena nyaris tak ada tekanan dan kewajiban di sana. Dia hanya menyalurkan hobi memasaknya. Dan juga menulis, meski mood untuk melaksanakannya jarang muncul.Namun, semua itu sedikit berubah sejak kafe pertamanya berdiri. Dia ikut turun tangan membangun tempat itu. Tidak mungkin, bukan, dia menyerahkan pelaksanaannya tanpa adanya kontrol darinya? Walaupun orang itu Wida yang notabene merupakan asisten kepercayaannya, tetap saja dia ingin mengetahui seluk beluk usahanya, serta perkembangan ke depannya nanti.
"Kamu mau kumasakkan apa?" tanya Andin usai diingatkan pada kegiatan barunya yang rencananya ingin dia jadikan kebiasaan. Merancang menu makan untuk seminggu ke depan. Di minggu ini, dia telah bereksplorasi dengan beberapa jenis makanan Thailand, meski tidak seluruhnya terlaksana. Dan sebelum minggu ini benar-benar berakhir, dia sudah harus menentukan menu makanan lain untuk disantap. Dan tak diduga, cara ini ternyata mempermudahnya membuat daftar belanjaan."Terserah kamu saja." Desta menjawab, sepenuhnya meletakkan pilihannya pada sang istri."Jangan begitu. Kamu juga akan memakan masakanku nanti. Atau setidaknya beri aku rekomendasi. Asian? Western? African?"Sebuah kerutan muncul di kening Desta kala mendengar kata terakhir yang terucap dari bibir Andin. "Kamu tahu masakan Afrika?" tanyanya sangsi. Tentu saja. Jarang ada orang yang menggembar-gemborkan jenis masakan ini. Sangat jarang sekali.Andin tersenyum kikuk. "Nggak. Tapi, aku bisa mencari tahu,
Andin mengamati Desta yang tengah menyalakan tiga buah lilin kecil yang sengaja dia tempatkan di tengah meja makan. Matanya terus mengikuti gerak sang suami ketika pria itu berjalan ke arah sakelar lampu, mematikan sumber cahaya di lantai satu, dan hanya menyisakan lampu yang menyala redup di dapur. Kemudian, lelaki itu berjalan kembali ke ruang makan. Desta menarik kursi yang berada tepat di seberangnya, lalu mendudukkan dirinya di sana."Bagaimana? Terlihat romantis, bukan?" tanya Desta, puas akan hasil pekerjaannya. Oh, tentu saja. Dia yang menyiapkan segalanya, mulai dari memasak menu makan malam mereka hingga menata meja makan dengan dekorasi sederhana. Dia cuma meletakkan lilin-lilin kecil itu di sana, dan selesai. Makan malam romantis mereka siap dimulai.Andin terkikik geli. Dia melihat semuanya, bagaimana usaha Desta mempersiapkan semuanya. Sebenarnya, sejak awal tangannya sudah gatal ingin ikut membantu suaminya. Tetapi, lelaki itu mencegahnya dan menyuruhnya
"Senang akhirnya bisa bertemu dengan nyonya baru Adiyaksa," komentar seorang lelaki muda saat melihat kehadiran Andin di sisi Desta.Ya, ini merupakan acara makan malam yang Andin setujui siang tadi. Karena itulah, dia langsung mengenali sepasang pria dan wanita yang dihampirinya. Rizky dan Ulya. Mereka berdua masih tampak muda. Dia perkirakan, usianya tak terpaut sangat jauh darinya. Mungkin, sekitar lima sampai tujuh tahun.Itu artinya, mereka berusia di sekitar pertengahan tiga puluh."Makasih, Pak Rizky." Andin mengulas senyum lebarnya kepada lawan bicaranya. "Saya juga senang bisa bertemu Bapak dan istri Bapak. Makasih atas undangan makan malamnya," lanjutnya. Sopan santun dan basa-basi agak berlebihan, sepertinya, dibutuhkan dalam situasi ini. Semua itu demi menjaga keharmonisan relasi di antara mereka. Bukan hanya urusan pekerjaan, melainkan hubungan mereka selayaknya manusia biasa.Ah, terlalu bijaksana sekali kalimatnya. Intinya,
Apa yang kamu lakukan di sini?Rasa-rasanya, Andin ingin meneriakkan pertanyaan tersebut sekeras mungkin. Hal itu selaras dengan keterkejutan yang menderanya. Bagaimana tidak? Dia melihat wanita itu di sini, di hadapannya dengan koper berukuran sedang berada di sampingnya."Kenapa kamu di sini?"Untungnya, Desta telah menggantikannya mengujarkan kebingungannya. Oh, Andin yakin suaminya pun dilanda rasa yang sama. Apa yang dilakukan Raya di sini?"Saya menggantikan Pak Lukman untuk ikut Bapak ke Bali." Jawaban itu mengalun lancar dari bibir Raya seolah-olah memang seharusnya dirinya berada di sini, di terminal keberangkatan bandara Soekarno-Hatta di Kamis pagi yang cerah.Andin tak mampu berkata-kata. Raya benar-benar wanita yang tangguh. Kehadirannya mau tak mau telah mengusik rencana indah bulan madunya dengan Desta.Dia kini tak yakin apakah perjalanannya masih bisa disebut bulan madu dengan kemunculan Raya di antar
"Wow.""Apa yang wow?" Andin merespons cepat dengan bibir agak mengerucut. Dia sangat tahu kenapa reaksi itu muncul di layar laptopnya yang menampilkan wajah Dewi. Hanya saja, dia ingin berpura-pura tidak tahu demi menyelamatkan rasa malunya."Kamu." Singkat dan tegas Dewi menjawab. "Aku nggak menyangka kamu seberani itu," komentarnya di akhir kalimat. Semua perkataannya itu merujuk ke satu hal. Adegan di dalam kantor Desta. Itu setelah Andin dengan malu-malu menceritakannya. Sahabatnya benar-benar tak tertebak."Aku nggak melakukan kesalahan." Andin membalas masih dengan cara yang sama."Memang nggak. Nggak ada yang salah dengan bermesraan dengan suami sendiri." Dewi mempertegas pembahasan mereka. Dia tahu Andin sengaja untuk tak lagi menyebutkan kejadian tersebut. Namun, dia tidak akan membiarkannya karena yah, ini merupakan sesuatu yang langka terjadi. "Tapi, kamu tahu sendiri bagaimana di Indonesia. Raya pasti syok melihatnya."
"Oh, maaf, Raya, kamu harus melihat kami begini."Anding sungguh-sungguh ingin menyembunyikan wajahnya saat ini juga. Dia jelas tertangkap basah dalam posisi yang memalukan!Meskipun semua adegan ini ada dalam rencana yang tersusun sesaat setelah Raya membalas sapaannya tadi, tetapi itu sama sekali tak menghilangkan rasa malunya. Walaupun orang yang melihatnya tak lain adalah musuh besarnya, tetap saja dia... malu."Kamu letakkan saja minumannya di meja," ujarnya lagi dengan usaha maksimal mempertahankan keyakinan dalam suaranya. Dia tidak boleh gentar maupun gugup. Dia harus bisa menegakkan egonya di puncak tertinggi. Sekali ini saja.Dari sudut matanya, dilihatnya sang sekretaris berjalan memasuki ruangan Desta. Langkahnya terkesan ragu, terkejut, dan diburu-buru. Sedangkan wajahnya memperlihatkan ekspresi serupa ditambah gurat ketidaksukaan di kerutan yang muncul di keningnya. Tentu saja. Wanita itu tak mampu berkutik di hadapan pemanda
Sesuai janji yang telah diucapkannya, siang ini Andin mengunjungi kantor Desta dengan menenteng satu tas cukup besar berisi makan siang mereka. Andin yang membuatnya, tentu saja. Masih dengan percobaan masakan Meksiko yang dia harap sesuai dengan selera lidah suaminya.Andin melangkahkan kakinya dengan bersemangat. Entah kenapa hatinya terasa begitu gembira. Otaknya tak berhenti memutar irama menyenangkan yang tak jarang berubah menjadi senandung kecil di bibirnya. Bahkan sampai sekarang pun, nada itu masih menari-nari di sana dan membuat kedua pipinya serasa naik menahan senyum."Selamat siang, Bu Andin," sapa salah satu petugas keamanan yang berjaga dekat dengan eskalator."Selamat siang," balas Andin dengan senyum ramah di wajahnya."Mau bertemu Pak Desta, ya, Bu?"Andin mengangguk. Pertanyaan tersebut mengingatkannya pada kunjungan pertamanya ke tempat ini. Mereka saja tahu dan bisa menebak tujuan kedatangannya, bagaimana mu
Pagi ini, Desta terbangun dalam keadaan yang tak biasa.Jangan senang dulu. Semua tidak terjadi seperti apa yang kalian harapkan. Tapi, kalian bolehlah sedikit bersukacita karena progres hubungan mereka semakin meningkat.Mata Desta terpuaskan oleh pemandangan yang tersaji indah di dalam kamarnya. Sebuah visi langka yang sebelumnya hanya menjadi keinginannya semata. Andin. Tentu saja. Wanita itulah yang membuat paginya terasa menyenangkan hingga satu senyum lebar tercetak di wajah sumringahnya.Oh, percintaan mereka tidak terjadi--jika itu yang kalian harapkan. Andin dan Desta hanya tidur bersama dan dalam satu ranjang yang sama. Hanya itu. Namun rupanya, kenyataan itu telah sanggup menghadirkan desiran hangat di dada Desta. Melihat wanitanya tertidur lelap di sampingnya sungguh membuat hatinya lega.Dia melirik sejenak jam dinding di kamarnya sebelum mulai merapatkan tubuhnya ke arah sang istri. Masih ada cukup waktu baginya untuk menikmati situasi ini.
Jari-jari Andin menari dengan indah di atas tuts keyboard, mencurahkan seluruh isi pikirannya menjadi deretan kata yang berbaris rapi di layar laptop di hadapannya. Sesekali dia menekan tombol backspace dan mengulang kembali kalimatnya. Tak jarang dia juga berhenti sebentar untuk mencari rangkaian kata yang pas untuk dimasukkan ke dalam tulisannya.Cukup lama Andin berkutat dengan laptopnya. Sudah lumayan lama dia tak menulis. Sudah lama pula dia tak menengok keadaan blognya. Entah bagaimana kabarnya sekarang? Apakah semakin ramai pembaca, atau justru berubah sepi karena terlalu lama dibiarkan?Dia menuliskan resep masakan yang akan di masukkan ke dalam blognya. Agar lebih menarik, dia juga menambahkan cerita dibalik pembuatan makanan tersebut, serta cerita saat proses memasaknya. Tak kalah penting, ulasan dari sang suami pun dia tuliskan di sana supaya bumbu dramanya lebih terasa.Andin menutup lembar pekerjaannya ketika merasa cukup dan tak ada yang ingin dita
"Bagaimana?" Andin bertanya dengan mata yang menatap penuh harap Desta. Saat ini, keduanya tengah duduk berdampingan menikmati makan malam di meja dapur minimalis mereka.Desta menutup mata, berusaha merasai makanan di dalam mulutnya, setelah sebelumnya tergiur akan bau yang menguar dari masakan yang tersaji di depannya. "Hmm," gumamnya seraya mengunyah pelan potongan daging berwarna gelap kaya akan rasa tersebut. "Kamu pernah gagal membuat masakan?" Dia bertanya usai menelan makanannya."Pernah, walaupun nggak sering," jawab Andin masih memperlihatkan tatapan yang sama saat memandang Desta. "Rasanya nggak sesuai seleramu, ya?" tanyanya ragu dan khawatir.Desta menoleh ke arah Andin dan memandang istrinya cukup lama. Lalu, sebuah senyum terukir di wajahnya. "Ini enak. Aku belum pernah memakan makanan ini. Apa namanya?" Rentetan kalimat itu dia ucapkan. Dia kembali menyendokkan suapan lain ke mulutnya.Helaan napas pelan keluar dari bibir Andin. Dia lega k
"Dia melakukan apa?" tanya Dewi tampak begitu terkejut."Datang ke rumahku tanpa diundang." Andin mengulang informasi yang baru saja disampaikannya.Seperti biasa, kegiatan rutin dalam persahabatan jarak jauh Andin dan Dewi adalah saling berhubungan melalui panggilan video setidaknya seminggu sekali. Harinya bebas. Tergantung waktu senggang yang dimiliki masing-masing dari mereka. Dan berhubung Andin merupakan seorang pekerja lepas, waktu luangnya pun tak terbatas. Ditambah Dewi yang sedang mengambil cuti panjangnya dalam rangka mempersiapkan kelahiran Blue, putri pertama mereka, waktu bercengkerama keduanya pun menjadi lebih sering. Praktis, di hari-hari kerja saat Andin sendirian di rumah, sama halnya dengan Dewi, mereka akan menyempatkan untuk bicara, entah itu lewat sambungan telepon atau bertatap muka menggunakan video call."Berani sekali dia!" seru Dewi kesal. Hanya mendengar cerita sahabatnya saja sudah membuatnya geram, bagaimana jika mengalaminya langs