"Bagaimana?" Andin bertanya dengan mata yang menatap penuh harap Desta. Saat ini, keduanya tengah duduk berdampingan menikmati makan malam di meja dapur minimalis mereka.
Desta menutup mata, berusaha merasai makanan di dalam mulutnya, setelah sebelumnya tergiur akan bau yang menguar dari masakan yang tersaji di depannya. "Hmm," gumamnya seraya mengunyah pelan potongan daging berwarna gelap kaya akan rasa tersebut. "Kamu pernah gagal membuat masakan?" Dia bertanya usai menelan makanannya.
"Pernah, walaupun nggak sering," jawab Andin masih memperlihatkan tatapan yang sama saat memandang Desta. "Rasanya nggak sesuai seleramu, ya?" tanyanya ragu dan khawatir.
Desta menoleh ke arah Andin dan memandang istrinya cukup lama. Lalu, sebuah senyum terukir di wajahnya. "Ini enak. Aku belum pernah memakan makanan ini. Apa namanya?" Rentetan kalimat itu dia ucapkan. Dia kembali menyendokkan suapan lain ke mulutnya.
Helaan napas pelan keluar dari bibir Andin. Dia lega k
Jari-jari Andin menari dengan indah di atas tuts keyboard, mencurahkan seluruh isi pikirannya menjadi deretan kata yang berbaris rapi di layar laptop di hadapannya. Sesekali dia menekan tombol backspace dan mengulang kembali kalimatnya. Tak jarang dia juga berhenti sebentar untuk mencari rangkaian kata yang pas untuk dimasukkan ke dalam tulisannya.Cukup lama Andin berkutat dengan laptopnya. Sudah lumayan lama dia tak menulis. Sudah lama pula dia tak menengok keadaan blognya. Entah bagaimana kabarnya sekarang? Apakah semakin ramai pembaca, atau justru berubah sepi karena terlalu lama dibiarkan?Dia menuliskan resep masakan yang akan di masukkan ke dalam blognya. Agar lebih menarik, dia juga menambahkan cerita dibalik pembuatan makanan tersebut, serta cerita saat proses memasaknya. Tak kalah penting, ulasan dari sang suami pun dia tuliskan di sana supaya bumbu dramanya lebih terasa.Andin menutup lembar pekerjaannya ketika merasa cukup dan tak ada yang ingin dita
Pagi ini, Desta terbangun dalam keadaan yang tak biasa.Jangan senang dulu. Semua tidak terjadi seperti apa yang kalian harapkan. Tapi, kalian bolehlah sedikit bersukacita karena progres hubungan mereka semakin meningkat.Mata Desta terpuaskan oleh pemandangan yang tersaji indah di dalam kamarnya. Sebuah visi langka yang sebelumnya hanya menjadi keinginannya semata. Andin. Tentu saja. Wanita itulah yang membuat paginya terasa menyenangkan hingga satu senyum lebar tercetak di wajah sumringahnya.Oh, percintaan mereka tidak terjadi--jika itu yang kalian harapkan. Andin dan Desta hanya tidur bersama dan dalam satu ranjang yang sama. Hanya itu. Namun rupanya, kenyataan itu telah sanggup menghadirkan desiran hangat di dada Desta. Melihat wanitanya tertidur lelap di sampingnya sungguh membuat hatinya lega.Dia melirik sejenak jam dinding di kamarnya sebelum mulai merapatkan tubuhnya ke arah sang istri. Masih ada cukup waktu baginya untuk menikmati situasi ini.
Sesuai janji yang telah diucapkannya, siang ini Andin mengunjungi kantor Desta dengan menenteng satu tas cukup besar berisi makan siang mereka. Andin yang membuatnya, tentu saja. Masih dengan percobaan masakan Meksiko yang dia harap sesuai dengan selera lidah suaminya.Andin melangkahkan kakinya dengan bersemangat. Entah kenapa hatinya terasa begitu gembira. Otaknya tak berhenti memutar irama menyenangkan yang tak jarang berubah menjadi senandung kecil di bibirnya. Bahkan sampai sekarang pun, nada itu masih menari-nari di sana dan membuat kedua pipinya serasa naik menahan senyum."Selamat siang, Bu Andin," sapa salah satu petugas keamanan yang berjaga dekat dengan eskalator."Selamat siang," balas Andin dengan senyum ramah di wajahnya."Mau bertemu Pak Desta, ya, Bu?"Andin mengangguk. Pertanyaan tersebut mengingatkannya pada kunjungan pertamanya ke tempat ini. Mereka saja tahu dan bisa menebak tujuan kedatangannya, bagaimana mu
"Oh, maaf, Raya, kamu harus melihat kami begini."Anding sungguh-sungguh ingin menyembunyikan wajahnya saat ini juga. Dia jelas tertangkap basah dalam posisi yang memalukan!Meskipun semua adegan ini ada dalam rencana yang tersusun sesaat setelah Raya membalas sapaannya tadi, tetapi itu sama sekali tak menghilangkan rasa malunya. Walaupun orang yang melihatnya tak lain adalah musuh besarnya, tetap saja dia... malu."Kamu letakkan saja minumannya di meja," ujarnya lagi dengan usaha maksimal mempertahankan keyakinan dalam suaranya. Dia tidak boleh gentar maupun gugup. Dia harus bisa menegakkan egonya di puncak tertinggi. Sekali ini saja.Dari sudut matanya, dilihatnya sang sekretaris berjalan memasuki ruangan Desta. Langkahnya terkesan ragu, terkejut, dan diburu-buru. Sedangkan wajahnya memperlihatkan ekspresi serupa ditambah gurat ketidaksukaan di kerutan yang muncul di keningnya. Tentu saja. Wanita itu tak mampu berkutik di hadapan pemanda
"Wow.""Apa yang wow?" Andin merespons cepat dengan bibir agak mengerucut. Dia sangat tahu kenapa reaksi itu muncul di layar laptopnya yang menampilkan wajah Dewi. Hanya saja, dia ingin berpura-pura tidak tahu demi menyelamatkan rasa malunya."Kamu." Singkat dan tegas Dewi menjawab. "Aku nggak menyangka kamu seberani itu," komentarnya di akhir kalimat. Semua perkataannya itu merujuk ke satu hal. Adegan di dalam kantor Desta. Itu setelah Andin dengan malu-malu menceritakannya. Sahabatnya benar-benar tak tertebak."Aku nggak melakukan kesalahan." Andin membalas masih dengan cara yang sama."Memang nggak. Nggak ada yang salah dengan bermesraan dengan suami sendiri." Dewi mempertegas pembahasan mereka. Dia tahu Andin sengaja untuk tak lagi menyebutkan kejadian tersebut. Namun, dia tidak akan membiarkannya karena yah, ini merupakan sesuatu yang langka terjadi. "Tapi, kamu tahu sendiri bagaimana di Indonesia. Raya pasti syok melihatnya."
Apa yang kamu lakukan di sini?Rasa-rasanya, Andin ingin meneriakkan pertanyaan tersebut sekeras mungkin. Hal itu selaras dengan keterkejutan yang menderanya. Bagaimana tidak? Dia melihat wanita itu di sini, di hadapannya dengan koper berukuran sedang berada di sampingnya."Kenapa kamu di sini?"Untungnya, Desta telah menggantikannya mengujarkan kebingungannya. Oh, Andin yakin suaminya pun dilanda rasa yang sama. Apa yang dilakukan Raya di sini?"Saya menggantikan Pak Lukman untuk ikut Bapak ke Bali." Jawaban itu mengalun lancar dari bibir Raya seolah-olah memang seharusnya dirinya berada di sini, di terminal keberangkatan bandara Soekarno-Hatta di Kamis pagi yang cerah.Andin tak mampu berkata-kata. Raya benar-benar wanita yang tangguh. Kehadirannya mau tak mau telah mengusik rencana indah bulan madunya dengan Desta.Dia kini tak yakin apakah perjalanannya masih bisa disebut bulan madu dengan kemunculan Raya di antar
"Senang akhirnya bisa bertemu dengan nyonya baru Adiyaksa," komentar seorang lelaki muda saat melihat kehadiran Andin di sisi Desta.Ya, ini merupakan acara makan malam yang Andin setujui siang tadi. Karena itulah, dia langsung mengenali sepasang pria dan wanita yang dihampirinya. Rizky dan Ulya. Mereka berdua masih tampak muda. Dia perkirakan, usianya tak terpaut sangat jauh darinya. Mungkin, sekitar lima sampai tujuh tahun.Itu artinya, mereka berusia di sekitar pertengahan tiga puluh."Makasih, Pak Rizky." Andin mengulas senyum lebarnya kepada lawan bicaranya. "Saya juga senang bisa bertemu Bapak dan istri Bapak. Makasih atas undangan makan malamnya," lanjutnya. Sopan santun dan basa-basi agak berlebihan, sepertinya, dibutuhkan dalam situasi ini. Semua itu demi menjaga keharmonisan relasi di antara mereka. Bukan hanya urusan pekerjaan, melainkan hubungan mereka selayaknya manusia biasa.Ah, terlalu bijaksana sekali kalimatnya. Intinya,
Pernikahan itu akhirnya terjadi.Sebuah pesta megah nan mewah diadakan dua keluarga terpandang itu demi merayakan hari bahagia putra dan putri mereka, sekaligus simbol dimulainya hubungan baru di antara keluarga Adiyaksa dan Mahardika. Raut cerah dan bahagia tercetak jelas di wajah keluarga sang mempelai. Tak hentinya mereka mengumbar senyum pada para tamunya yang sebagian besar kolega dan merupakan orang-orang yang tak kalah berpengaruh dari mereka. Jelas, ini adalah pesta perayaan antar sesama kaum elit.Namun, apakah kegembiraan itu dirasakan oleh semua orang di sana? Tidakkah ada yang menyadari jika dua mempelai pengantin, yang harusnya menjadi yang paling bahagia, hanya menatap dingin satu sama lain? Tak ada sepatah kata pun terucap dari bibir keduanya. Bahkan, keengganan itu saling mereka tunjukkan kala harus bersanding bersama. Tetapi, menjaga citra baik di hadapan para tamu jauh lebih penting dibanding mengedepankan perasaan benci antara keduanya.
"Senang akhirnya bisa bertemu dengan nyonya baru Adiyaksa," komentar seorang lelaki muda saat melihat kehadiran Andin di sisi Desta.Ya, ini merupakan acara makan malam yang Andin setujui siang tadi. Karena itulah, dia langsung mengenali sepasang pria dan wanita yang dihampirinya. Rizky dan Ulya. Mereka berdua masih tampak muda. Dia perkirakan, usianya tak terpaut sangat jauh darinya. Mungkin, sekitar lima sampai tujuh tahun.Itu artinya, mereka berusia di sekitar pertengahan tiga puluh."Makasih, Pak Rizky." Andin mengulas senyum lebarnya kepada lawan bicaranya. "Saya juga senang bisa bertemu Bapak dan istri Bapak. Makasih atas undangan makan malamnya," lanjutnya. Sopan santun dan basa-basi agak berlebihan, sepertinya, dibutuhkan dalam situasi ini. Semua itu demi menjaga keharmonisan relasi di antara mereka. Bukan hanya urusan pekerjaan, melainkan hubungan mereka selayaknya manusia biasa.Ah, terlalu bijaksana sekali kalimatnya. Intinya,
Apa yang kamu lakukan di sini?Rasa-rasanya, Andin ingin meneriakkan pertanyaan tersebut sekeras mungkin. Hal itu selaras dengan keterkejutan yang menderanya. Bagaimana tidak? Dia melihat wanita itu di sini, di hadapannya dengan koper berukuran sedang berada di sampingnya."Kenapa kamu di sini?"Untungnya, Desta telah menggantikannya mengujarkan kebingungannya. Oh, Andin yakin suaminya pun dilanda rasa yang sama. Apa yang dilakukan Raya di sini?"Saya menggantikan Pak Lukman untuk ikut Bapak ke Bali." Jawaban itu mengalun lancar dari bibir Raya seolah-olah memang seharusnya dirinya berada di sini, di terminal keberangkatan bandara Soekarno-Hatta di Kamis pagi yang cerah.Andin tak mampu berkata-kata. Raya benar-benar wanita yang tangguh. Kehadirannya mau tak mau telah mengusik rencana indah bulan madunya dengan Desta.Dia kini tak yakin apakah perjalanannya masih bisa disebut bulan madu dengan kemunculan Raya di antar
"Wow.""Apa yang wow?" Andin merespons cepat dengan bibir agak mengerucut. Dia sangat tahu kenapa reaksi itu muncul di layar laptopnya yang menampilkan wajah Dewi. Hanya saja, dia ingin berpura-pura tidak tahu demi menyelamatkan rasa malunya."Kamu." Singkat dan tegas Dewi menjawab. "Aku nggak menyangka kamu seberani itu," komentarnya di akhir kalimat. Semua perkataannya itu merujuk ke satu hal. Adegan di dalam kantor Desta. Itu setelah Andin dengan malu-malu menceritakannya. Sahabatnya benar-benar tak tertebak."Aku nggak melakukan kesalahan." Andin membalas masih dengan cara yang sama."Memang nggak. Nggak ada yang salah dengan bermesraan dengan suami sendiri." Dewi mempertegas pembahasan mereka. Dia tahu Andin sengaja untuk tak lagi menyebutkan kejadian tersebut. Namun, dia tidak akan membiarkannya karena yah, ini merupakan sesuatu yang langka terjadi. "Tapi, kamu tahu sendiri bagaimana di Indonesia. Raya pasti syok melihatnya."
"Oh, maaf, Raya, kamu harus melihat kami begini."Anding sungguh-sungguh ingin menyembunyikan wajahnya saat ini juga. Dia jelas tertangkap basah dalam posisi yang memalukan!Meskipun semua adegan ini ada dalam rencana yang tersusun sesaat setelah Raya membalas sapaannya tadi, tetapi itu sama sekali tak menghilangkan rasa malunya. Walaupun orang yang melihatnya tak lain adalah musuh besarnya, tetap saja dia... malu."Kamu letakkan saja minumannya di meja," ujarnya lagi dengan usaha maksimal mempertahankan keyakinan dalam suaranya. Dia tidak boleh gentar maupun gugup. Dia harus bisa menegakkan egonya di puncak tertinggi. Sekali ini saja.Dari sudut matanya, dilihatnya sang sekretaris berjalan memasuki ruangan Desta. Langkahnya terkesan ragu, terkejut, dan diburu-buru. Sedangkan wajahnya memperlihatkan ekspresi serupa ditambah gurat ketidaksukaan di kerutan yang muncul di keningnya. Tentu saja. Wanita itu tak mampu berkutik di hadapan pemanda
Sesuai janji yang telah diucapkannya, siang ini Andin mengunjungi kantor Desta dengan menenteng satu tas cukup besar berisi makan siang mereka. Andin yang membuatnya, tentu saja. Masih dengan percobaan masakan Meksiko yang dia harap sesuai dengan selera lidah suaminya.Andin melangkahkan kakinya dengan bersemangat. Entah kenapa hatinya terasa begitu gembira. Otaknya tak berhenti memutar irama menyenangkan yang tak jarang berubah menjadi senandung kecil di bibirnya. Bahkan sampai sekarang pun, nada itu masih menari-nari di sana dan membuat kedua pipinya serasa naik menahan senyum."Selamat siang, Bu Andin," sapa salah satu petugas keamanan yang berjaga dekat dengan eskalator."Selamat siang," balas Andin dengan senyum ramah di wajahnya."Mau bertemu Pak Desta, ya, Bu?"Andin mengangguk. Pertanyaan tersebut mengingatkannya pada kunjungan pertamanya ke tempat ini. Mereka saja tahu dan bisa menebak tujuan kedatangannya, bagaimana mu
Pagi ini, Desta terbangun dalam keadaan yang tak biasa.Jangan senang dulu. Semua tidak terjadi seperti apa yang kalian harapkan. Tapi, kalian bolehlah sedikit bersukacita karena progres hubungan mereka semakin meningkat.Mata Desta terpuaskan oleh pemandangan yang tersaji indah di dalam kamarnya. Sebuah visi langka yang sebelumnya hanya menjadi keinginannya semata. Andin. Tentu saja. Wanita itulah yang membuat paginya terasa menyenangkan hingga satu senyum lebar tercetak di wajah sumringahnya.Oh, percintaan mereka tidak terjadi--jika itu yang kalian harapkan. Andin dan Desta hanya tidur bersama dan dalam satu ranjang yang sama. Hanya itu. Namun rupanya, kenyataan itu telah sanggup menghadirkan desiran hangat di dada Desta. Melihat wanitanya tertidur lelap di sampingnya sungguh membuat hatinya lega.Dia melirik sejenak jam dinding di kamarnya sebelum mulai merapatkan tubuhnya ke arah sang istri. Masih ada cukup waktu baginya untuk menikmati situasi ini.
Jari-jari Andin menari dengan indah di atas tuts keyboard, mencurahkan seluruh isi pikirannya menjadi deretan kata yang berbaris rapi di layar laptop di hadapannya. Sesekali dia menekan tombol backspace dan mengulang kembali kalimatnya. Tak jarang dia juga berhenti sebentar untuk mencari rangkaian kata yang pas untuk dimasukkan ke dalam tulisannya.Cukup lama Andin berkutat dengan laptopnya. Sudah lumayan lama dia tak menulis. Sudah lama pula dia tak menengok keadaan blognya. Entah bagaimana kabarnya sekarang? Apakah semakin ramai pembaca, atau justru berubah sepi karena terlalu lama dibiarkan?Dia menuliskan resep masakan yang akan di masukkan ke dalam blognya. Agar lebih menarik, dia juga menambahkan cerita dibalik pembuatan makanan tersebut, serta cerita saat proses memasaknya. Tak kalah penting, ulasan dari sang suami pun dia tuliskan di sana supaya bumbu dramanya lebih terasa.Andin menutup lembar pekerjaannya ketika merasa cukup dan tak ada yang ingin dita
"Bagaimana?" Andin bertanya dengan mata yang menatap penuh harap Desta. Saat ini, keduanya tengah duduk berdampingan menikmati makan malam di meja dapur minimalis mereka.Desta menutup mata, berusaha merasai makanan di dalam mulutnya, setelah sebelumnya tergiur akan bau yang menguar dari masakan yang tersaji di depannya. "Hmm," gumamnya seraya mengunyah pelan potongan daging berwarna gelap kaya akan rasa tersebut. "Kamu pernah gagal membuat masakan?" Dia bertanya usai menelan makanannya."Pernah, walaupun nggak sering," jawab Andin masih memperlihatkan tatapan yang sama saat memandang Desta. "Rasanya nggak sesuai seleramu, ya?" tanyanya ragu dan khawatir.Desta menoleh ke arah Andin dan memandang istrinya cukup lama. Lalu, sebuah senyum terukir di wajahnya. "Ini enak. Aku belum pernah memakan makanan ini. Apa namanya?" Rentetan kalimat itu dia ucapkan. Dia kembali menyendokkan suapan lain ke mulutnya.Helaan napas pelan keluar dari bibir Andin. Dia lega k
"Dia melakukan apa?" tanya Dewi tampak begitu terkejut."Datang ke rumahku tanpa diundang." Andin mengulang informasi yang baru saja disampaikannya.Seperti biasa, kegiatan rutin dalam persahabatan jarak jauh Andin dan Dewi adalah saling berhubungan melalui panggilan video setidaknya seminggu sekali. Harinya bebas. Tergantung waktu senggang yang dimiliki masing-masing dari mereka. Dan berhubung Andin merupakan seorang pekerja lepas, waktu luangnya pun tak terbatas. Ditambah Dewi yang sedang mengambil cuti panjangnya dalam rangka mempersiapkan kelahiran Blue, putri pertama mereka, waktu bercengkerama keduanya pun menjadi lebih sering. Praktis, di hari-hari kerja saat Andin sendirian di rumah, sama halnya dengan Dewi, mereka akan menyempatkan untuk bicara, entah itu lewat sambungan telepon atau bertatap muka menggunakan video call."Berani sekali dia!" seru Dewi kesal. Hanya mendengar cerita sahabatnya saja sudah membuatnya geram, bagaimana jika mengalaminya langs