Waktu telah menunjukkan pukul 18.05 WIB tatkala Raline tiba di rumah Bang Ali. Waktunya untuk menyetor uang sewa sekaligus mengembalikan kostum. Di halaman rumah Bang Ali telah ramai oleh rekan-rekannya sesama pencari nafkah jalanan. Pengamen, badut hingga para penjual rokok dan minuman selalu tumpah ruah pada jam-jam seperti ini.Raline dan Randy duduk berselonjor di teras rumah. Mereka sengaja menunggu hingga giliran terakhir agar bisa berbicara secara pribadi dengan Bang Ali. Raline ingin mulai membayar cicilan pertamanya untuk mengganti kostum yang ia hilangkan tempo hari."Rand, kalau Kakak membayar dengan uang segini, kira-kira Bang Ali marah nggak ya?" Raline memperlihatkan lima lembar uang sepuluh ribuan di tangannya.Randy yang tengah duduk melamun tidak menjawab. Kepalanya menengadah menatap langit bersaput awan kelabu dengan air muka nelangsa."Heh, Randy. Lo kenapa? Bengong aja dari tadi." Raline menyenggol bahu Randy dengan bahunya sendiri. Semenjak bekerja di rumahnya k
"Nggak tahu sih gue. Tadi ada anak pengamen yang nganterin. Katanya dia dihadang dua orang laki-laki yang nemuin itu kostum. Mereka nanya, kostum itu milik siapa? Terus anak pengamen itu bilang, punya gue yang biasa disewa si badut sedih. Terus dibalikin."Dua orang laki-laki? Jangan-jangan yang menemukan kostum itu adalah anak buah Pak Fandy alias ayah Randy! Sepertinya mereka ingin mencari orang yang menolong Axel waktu itu. Ia harus hati-hati mulai sekarang. "Syukurlah kalau begitu, Bang. Berarti gue nggak perlu pusing-pusing lagi memikirkan uang ganti kostum." Raline pura-pura tersenyum senang, padahal hatinya ketar-ketir. Ia juga takut membahayakan Randy. Karena anak-anak pengamen itu menyebut bahwa kostum itu disewa oleh si badut sedih. Jahat sekali rasanya kalau ia mengorbankan Randy yang tidak tahu apa-apa."Emang lo nggak perlu ganti. Tapi gue ada satu permintaan. Semoga lo mau mengabulkan permintaan gue." Bang Ali kini menatap Raline harap-harap cemas."Permintaan apa tuh,
"Jawab dulu pertanyaan gue. Gantengan mana?" Axel mendekati tempat Raline berdiri. Berdiri di hadapannya dengan tangan bersedekap. Gesture tubuhnya memang ia buat santai. Namun tatapannya mengintimidasi. Ia ingin melihat sejauh mana Raline konsisten dengan ucapannya."Ya gantengan lo lah. Masih nanya lagi," Raline menatap Axel seolah-olah ia gila. Karena menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah jelas-jelas ia ketahui kebenarannya."Lo memang istimewa, calon istri." Axel terkekeh. Raline ternyata konsisten dengan ucapannya. Calon istrinya ini lulus ujian. Axel memang menetapkan satu standard khusus pada pada orang-orang yang akan berada dalam ruang lingkupnya. Yaitu mereka harus konsisten atau setia. Syaratnya memang hanya satu. Namun sudah melingkupi segalanya."Terus kenapa lo memuji laki-laki lain ganteng juga?" Axel menguji nalar Raline. Ia ingin tahu bagaimana cara Raline berpikir."Lah emang ganteng dong. Masa iya gue bilang Bang Ali itu cantik?" Raline nyengir. Ia geli sendiri m
"Lo mau ikut mobil gue atau bagaimana?" Axel mengajukan pilihan pada Ali. Kalau menuruti kata hati, ia bisa saja menyingkirkan rivalnya ini dalam sekejab mata. Namun seperti yang lalu-lalu. Ia tidak pernah main curang dalam setiap pertempuran. Ia akan bersaing sehat dan memutuskan gadis incarannya yang memilih sendiri. Sejauh ini ia selalu menjadi pihak yang ditinggalkan. Walau ia tahu kalau kali ini hal itu tidak akan terjadi lagi, namun ia tetap memberi Raline dan Ali kesempatan. Axel ingin menguji. Apakah Raline memilihnya karena perjanjian, atau karena Raline memang jadi mencintainya karena keadaan. "Gue naik motor gue sendiri aja. Gue udah inget lo siapa, Axel. Tapi gue peringatkan, gue masih akan terus usaha. Pokoknya sebelum Raline sah menjadi istri lo, dia masih akan gue perjuangkan," tantang Ali terus terang. Ya, dirinya sudah mengingat di mana ia melihat sosok ini. Di club malam bergengsi Astronomix. Axel Delacroix Adams adalah bossnya Tohir, sahabatnya yang saat ini bekerj
"Oh jadi kamu ya calon istrinya? Syukurlah, akhirnya saya bisa berbahagia tanpa harus melihat kesedihan orang lain. Selamat ya, Raline? Saya senang sekali." Marilyn merentangkan kedua tangannya. Memeluk Raline erat-erat dengan gembira.Raline melongo. Ia kebingungan saat dipeluk dan punggungnya ditepuk-tepuk keras oleh Marilyn. Namun detik berikutnya ia dilema. Ia sudah tahu kalau gadis cantik ini adalah rivalnya. Jangan-jangan nanti Axel kembali meninggalkannya seperti mantan-mantannya yang lain. Apakah ia harus memusuhi Marilyn karena berpotensi mencuri prianya?Tapi sepertinya Raline tidak mampu memusuhinya. Melihat ketulusan Marilyn, Raline malah menyukainya alih-alih membencinya. Sulit untuk memusuhi orang seramah Marilyn."Iya... iya... gue terima ucapan terima kasih lo. Walau sebenernya gue nggak tahu gue udah berbuat baik apa sama lo, sampai lo terima kasih-terima kasih begini." Raline balas memeluk Marilyn canggung. Beberapa waktu kemudian Raline nyaris terbatuk karena tepuk
"Kalo lo mau menu itu, nggak apa-apa, Line. Lo boleh pesan menu yang lain juga. Makanan kecil seperti canape, dessert atau yang lainnya. Just for you information, gue dulu sering makan di sini sebelum ada sesuatu yang membuat gue nggak mendapat priviledge seperti itu lagi. Gue mengatakan ini, karena gue nggak mau lo khawatir soal keuangan gue. Kalo gue udah berani ngajak lo makan di sini, itu artinya gue udah mempersiapkan segalanya. Lo nikmatin aja makanan apa pun yang lo mau."Ali merasa perlu membuka jati dirinya sedikit, demi tidak membuat Raline terlalu mengkhawatirkan keuangannya. Ia mengatakan hal yang sebenarnya. Dulu ia juga kaya karena terlahir dari keluarga kaya raya. Hanya saja, setelah dewasa ia merasa jalan hidupnya berbeda dengan keluarganya. Oleh karenanya ia keluar dari zona nyamannya dan menjadi Ali yang seperti ini."Kalo gitu terserah lo aja. Gue sama Mas Axel ngikut. Mas Axel juga akan membayar sendiri kok. Sesuai perjanjian kita tadi. Iya 'kan, Mas?" Raline membe
Raline serasa sedang mengikuti formula F1 saat Axel mengebut di jalan raya. Untung saja malam ini lalu lintas lancar jaya. Sehingga waktu untuk menolong Randy bisa lebih dipercepat. "Astaga, awas Mas!" Raline menjerit ngeri tatkala Axel berbelok ke kanan tanpa mengurangi kecepatan. Sungguh, Raline takut jantungnya pindah tempat karena posisi duduknya yang terus terpental-pental."Masuk ke perumahan depan itu, Mas!" Raline menunjuk perumahan mewah kediaman Pak Fandy. Axel melambatkan laju kendaraan. Memasuki perumahan memang ada aturan tersendiri. Ia harus mengikuti peraturan demi tercapainya misi ini. Axel mengklakson pos Satpam dua kali sebelum memasuki perumahan. "Perempatan depan belok kiri, Mas." Raline kembali memberi ancer-ancer. "Nah itu rumah si Fandy, Mas." Raline menunjuk sebuah mewah yang berpagar tinggi. Ia ingat sekali rumah ini karena pagarnya paling rapat dan juga paling tinggi. Semoga saja Randy tidak kenapa-kenapa di dalam sana. "Heh, rumah Randy? Kenapa kita ke r
"Aku memang menggelandang, Pak. Tapi aku punya kehormatan dan harga diri. Aku tidak suka uang haram yang berasal dari bisnis pelacuran ibuku," pungkas Ali dingin."Waduh! Bisnis pelacuran katanya, Mas?" Raline menunjuk Ali yang saat ini tengah berhadapan dengan Pak Fandy. "Diam, calon istri. Gue nggak tuli. Justru kalau lo heboh begini, gue jadi nggak bisa konsentrasi mengamati. Duduk diam, dan tontonlah dengan tentram." Axel meluruskan kepala Raline agak menghadap ke depan. "Teruslah bertingkah idealis. Sampai harta ibumu habis dinikmati oleh ayah tiri berondongmu," ejek Pak Fandy."Apa bedanya dengan Om. Alih-alih membahagiakan darah daging sendiri, Om malah mengempani orang lain. Ibu dan anak lagi. Double jackpot," Ali balas mengejek.""Biarkan aku pergi, Yah! Aku tidak mau di sini." Randy kembali berteriak."Kamu tetap di sini. Kembali bersekolah dan menata masa depan. Bawa Randy kembali ke kamarnya yang dulu, Pak Asep." Pak Fandy kembali meneriakkan perintah."Ayo kita pulang,