Bab 115 "Lia, mau apa lagi dia?" Lelaki itu menatap nanar layar ponselnya. Namun jemarinya tetap menyentuh icon telepon berwarna hijau. "Ada apa lagi, Lia?" Lelaki itu mendengus. "Mas pulanglah. Renata sakit...." "Kamu bisa, kan membawanya ke rumah sakit sendiri, tidak usah menungguku?" Angga memotong ucapan istrinya. Dia sangat muak dengan cara murahan sang istri dalam meminta perhatiannya. "Jangan pernah mengganggu kesenanganku, Lia. Anak-anak adalah tugasmu. Bukankah kamu yang meminta kehadirannya waktu itu? Aku hanya mengabulkan keinginanmu," cerocos Angga seolah tak perduli jika di sebelah sana terdengar suara isakan. "Mas, apa bisa kita perbaiki dari awal lagi? Aku akan berusaha lebih keras untuk menjadi istri yang baik untukmu. Hentikan semua petualanganmu, Mas!" Suara isakan Lia terdengar menyayat hati. "Aku hanya mengimbangi petualanganmu, Lia. Kamu pikir aku tidak tahu apa yang sering kali kamu lakukan dengan lelaki itu? Kau pikir mataku buta? Kamu seringkali bertemu
Bab 116Ziyad hanya menatap sekilas perempuan itu. Perempuan yang mengenakan celana panjang dengan atasan berlengan panjang pula. Rambutnya yang tergerai terlihat sedikit acak-acakan. Lelaki itu terus saja memacu kendaraannya, konsentrasi penuh menatap jalanan yang sedikit gelap menuju rumah kontrakannya.Dia memang sengaja berbohong kepada Selvi karena tidak mau membawa gadis itu ke rumah kontrakannya. Ziyad sengaja memerintahkan Adam dan Damian untuk mengantar gadis itu pulang ke kampung, tinggal bersama ibunya. Dia tidak mau timbul masalah baru lagi antara Ghina dengan Selvi, mengingat keduanya sudah seringkali bertengkar. Keduanya tak pernah akur, mirip anjing dengan kucing. Ziyad harus menjaga kondisi mental Ghina yang tengah hamil besar dan akan menghadapi persalinan yang mungkin hanya sekitar 2 minggu lagi kalau menurut HPL."Kamu belum tidur, Ghina?" Lelaki itu tersentak saat membuka pintu depan. Ghina berbaring begitu saja di lantai dengan sebuah bantal yang menyangga kepala
Bab 117"Kami memang diperintahkan oleh tuan Ziyad untuk membawa Nona Selvi ke rumah ini. Turunlah, Nona." perintah Damian. Dia lebih dulu keluar dan berlari kecil setengah lingkaran demi membuka pintu mobil untuk Selvi.Seperti kerbau dicocok hidungnya, Selvi menurut. Dia keluar dari mobil dan melangkah menghampiri ibunya. Seketika ia membeku menatap sang Ibunda yang nampak jauh berbeda. Tubuh wanita tua itu semakin kurus. Mungkin lantaran selama ini kembali hidup di dalam kesederhanaan, beda saat mereka masih bersama dengan Ziyad."Selvi," tegur Widya memeluk putrinya. Selvi balas memeluk perempuan tua itu. Mereka berdua masuk ke dalam rumah.Wajah Widya seketika berubah masam melihat kehadiran Adam dan Damian di belakang putrinya. Semula ia berpikir mobil mewah itu adalah milik Selvi, seperti janji yang pernah diucapkan oleh putri bungsunya ini, bahwa ia akan kembali ke kampung jika sudah sukses di ibukota."Jadi kamu diantar oleh Adam dan Damian?" tanya Widya. Diam-diam di hatiny
Bab 118 "Dari siapa, Sayang?" tanya Ravin. Lelaki itu menghentikan langkah, berdiri di samping istrinya. "Dari Ziyad, Hubby." Rayna memberikan ponselnya kepada sang suami. Nama mantan suami muncul di layar yang berkedap-kedip. Ravin mengusap icon telepon berwarna hijau. Terdengar nada terkejut dari Ziyad saat panggilan tersambung. Namun tak ada percakapan penting di antara keduanya, kecuali sekedar mengabarkan soal Adam dan Damian yang terlambat datang lantaran harus mengantar Selvi ke kampung halamannya. "Akhirnya masalah itu selesai juga, Sayang." Ravin mengembalikan ponsel kepada istrinya. "Ziyad cukup cerdik dengan mengembalikan Selvi ke kampung," tanggap Rayna sembari memasukkan ponsel ke dalam tas. Keduanya kembali berjalan menuju mobil. Ravin dan Rayna masuk ke dalam mobil dan memilih tempat di jok belakang. Tak ada pembicaraan apapun. Rayna memilih untuk bermain ponsel, membaca beberapa artikel seputar kehamilan. Sementara Ravin tengah membuka beberapa email melalui table
Bab 119 Nafas Selvi seketika turun naik, menahan amarahnya. Dadanya bergemuruh. Sampai hati ibunya mengucapkan kata-kata itu. Seakan-akan ibunya hanya menerima kesuksesan dan tidak akan pernah menerima kegagalannya. Di tatapnya kembali wajah tua yang sudah mulai keriput itu. "Bukankah Mama bisa bilang kepada mereka jikalau aku tengah liburan?" tegas gadis itu. Dia mendorong piringnya agak ke tengah walaupun makanannya belum habis, lantas membasuh tangan dan mengeringkannya dengan serbet. "Tidak semudah itu, Selvi. Kalau kamu memutuskan untuk kembali tinggal di sini, mereka akan berpikir, liburan macam apa yang selama itu?" Widya terus memperhatikan gerak-gerik putrinya. "Percayalah, Ma. Aku hanya sementara di sini. Pada saatnya nanti, bukan cuma aku yang meninggalkan rumah jelek ini tetapi juga Mama." "Maksudmu?" sela Widya. "Mama pikir, aku betah tinggal di sini. Kalau bukan karena terpaksa, aku juga tidak mau tinggal di sini, meski hanya untuk satu atau dua bulan." Selvi men
Bab 120 "Ya iyalah. Selvi gitu loh," decaknya bangga. Dia menarik ponsel dari hadapan ibunya, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku baju. Suara Selvi sedikit mengejutkan Widya. Perempuan tua itu buru-buru memasang ekspresi wajah biasa. Namun terlambat. Selvi menangkap bias-bias kesedihan dari sorot mata wanita yang telah melahirkannya itu. "Apa yang Mama pikirkan? Apakah Mama tidak suka dengan semua yang telah aku raih?" telisik gadis itu. "Mama hanya memikirkan Rayna, Selvi. Mama tidak habis pikir, bagaimana seorang lelaki kaya raya bisa tergila-gila padanya bahkan sampai berani memberikan uang yang sangat besar kepada kita hanya demi selembar surat nikah. Pakai ilmu pelet apa si Rayna?" Widya menghela nafas berat teringat insiden beberapa waktu yang lalu. "Tanpa menggunakan ilmu pelet apapun, aku sudah membuat Mas Angga tergila-gila dan berniat untuk menikahiku," bantah Selvi menggeram. Selvi tidak sudi dibanding-bandingkan dengan Rayna, walaupun oleh ibunya sendiri. Perempu
Bab 121 "Sayang, kamu melupakan tujuan perjalanan kita," tegur Ravin. Rayna tetegun. Dia balas menatap Ravin. Seketika itu pula dia mengangguk. Ravin tersenyum. Dia kembali menginjak pedal gas, lantas pergi meninggalkan tempat itu. "Nanti kalau sudah selesai konsultasi, kita akan kembali ke tempat itu. Siapa tahu dugaan kamu benar. Mereka memang tengah butuh pertolongan kita." Ravin menjejeri langkah Rayna. Rayna menoleh sekilas. Mereka kini sudah sampai di pelataran gedung Viona Medical Center. Meskipun dokter Viona bertugas di Elizabeth Hospital, tetapi perempuan muda itu memiliki klinik sendiri, Viona Medical Center. Klinik khusus untuk ibu dan anak. Ravin memang sengaja membuat janji dengan dokter Viona di klinik pribadinya. "Tentu saja. Apa sih yang tidak untuk Istriku yang tersayang?" Tanpa malu lelaki itu mengecup pipi istrinya sekilas. Padahal saat itu orang-orang tengah lalu lalang. Beberapa orang berseragam putih menyambut kedatangan mereka. Lantaran merasa kondisiny
Bab 122 Detik demi detik terasa begitu berharga bagi Ziyad. Lelaki itu tahu persis, di dalam ruangan operasi Ghina pun tengah berjuang untuk melahirkan buah hati mereka. Seharusnya memang tak ada yang perlu dia sesali. Setiap metode persalinan pasti ada resikonya. Tidak berarti persalinan secara caesar lebih mudah dan tidak merasakan sakit ketimbang persalinan normal. Hanya beda cara, tetapi resikonya sama saja. Salah sedikit, nyawa ibu dan anak yang menjadi taruhannya. Lelaki itu merentangkan tangan, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya penuh sesak. Otaknya masih dipenuhi dengan besaran biaya yang harus dia keluarkan. Rasanya ia tidak rela mengeluarkan dana sebesar itu hanya untuk biaya persalinan Ghina. Dia tak bisa membayangkan bagaimana tanggapan ibunya nanti saat tahu Ghina harus menjalani persalinan secara caesar. "Ah, kenapa biaya persalinan harus semahal ini?" gerutunya pada diri sendiri. Ini baru biaya persalinan, belum termasuk biaya kontrol dan rawat jalan. An
Bab 139 "Jodoh itu ibarat cerminan diri. Di detik ini aku baru sadar, aku memang tidak pantas untukmu. Kamu memang pantas untuk bersanding dengan Ravin," gumam Ziyad. Matanya tak lepas dari layar ponsel yang menayangkan adegan demi adegan kegiatan Rayna bersama Al-Fatih Mart Foundation. Perempuan muda itu nampak begitu tulus menyalami para orang tua di salah satu panti jompo yang ia kunjungi. Meskipun tak pernah ada lagi kontak dengan Rayna, tetapi lelaki itu senantiasa mengikuti perkembangan Rayna melalui akun media sosial Al-Fatih Mart yang ia follow. Ya, hanya itu jalan satu-satunya untuk mengetahui perkembangan dari perempuan yang bahkan sampai kini masih tetap dia cintai. Semua akses sudah tertutup. Rayna sudah menikah dengan Ravin, bahkan kini memiliki anak, Akalanka Mirza Zahair Narendra. Tak ada gunanya ia terus berharap. Mencintai dalam diam. Itu yang ia lakukan sekarang. Ziyad tersenyum kecut. Biarlah semua orang menganggapnya bodoh. Tapi hanya itu yang tersisa dari sosok
Bab 138 "Selamat, Tuan. Anaknya laki-laki, sehat, tak kurang suatu apapun dan ganteng seperti daddynya," canda dokter Viona. Dia sendiri yang menyerahkan langsung bayi mungil di dalam bedongan itu kepada Ravin. "Terima kasih, Dok." Ini jelas sebuah keajaiban bagi Ravin. Bisa menggendong bayi yang merupakan darah dagingnya sendiri merupakan mimpinya sejak lama dan kini menjadi kenyataan. Ravin melangkah menghampiri sang istri yang terbaring lemah di ranjang. Wanita itu mengulas senyum termanis. "Ini putra kita, Sayang," ujarnya sembari duduk di kursi dekat ranjang. Matanya menatap wajah mungil itu lekat-lekat. "Tentu saja. Terima kasih sudah menyambut kehadirannya." "Apa yang kau katakan, Sayang?!" Refleks tangannya terulur menutup mulut Rayna. "Kehadirannya sudah lama kutunggu dan hari ini aku sangat bahagia karena sekarang aku memiliki seorang pewaris. Pewaris Al-Fatih Mart yang sekarang tumbuh dan berkembang semakin besar, melebarkan sayap sampai ke negeri tetangga," ujarnya
Bab 137 "Bukan, Sayang. Lagi pula aku sudah memutuskan untuk tidak lagi memantau mereka. Dean dan Roy akan ditarik sebagai pengawal pribadiku, menggantikan Adam dan Damian yang telah resmi menjadi pengawal pribadimu mulai hari ini." "Kenapa bisa begitu?" Rayna tersentak. "Karena kita sudah punya kehidupan masing-masing. Ada banyak hal yang lebih penting untuk kita perhatikan, Sayang. Jadi mulai hari ini stop! Ziyad dan keluarganya kita keluarkan dari tema pembicaraan kita sehari-hari. Are you oke?" tegas Ravin. Tangannya terulur menangkup wajah perempuan itu, mendongakkannya, lalu mendekatkan wajahnya sendiri, mengecup bibir ranum itu dengan lembut. Rayna menggeliat. Tubuhnya menghangat seketika. "Berjanjilah untuk move on dari cinta dan suami pertamamu itu, Sayang. Seperti aku juga yang move on dari istri pertamaku," lirih lelaki itu. Rayna menatap pemilik wajah dengan rahang yang tegas itu dalam-dalam. Ada kesungguhan dan ketulusan di sana. Ravin benar. Setelah selesai soal kem
Bab 136Perempuan muda itu menoleh. "Kak Rayna!" Suaranya bergetar.Rayna menubruk gadis itu, memeluknya dengan erat, meskipun beberapa detik kemudian menyadari saat mereka berpelukan, ada yang mengganjal. Bukan cuma perutnya, tetapi juga perut Selvi."Selvi, kamu sedang hamil?" Tanpa sadar tangan perempuan itu mengusap perut besar milik Selvi.Gadis itu mengangguk. "Seperti yang Kakak lihat," sahutnya getir"Kamu sudah menikah?" Pertanyaan itu terasa begitu konyol. Otaknya berusaha keras mengingat-ingat. Dia dan Ravin memang memantau Ziyad dan Selvi, meskipun tentu tidak bisa 100%. Sampai sejauh ini suaminya tidak pernah menceritakan soal Selvi. Setiap kali ditanya, Ravin selalu bilang Selvi dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi nyatanya....Laila berinisiatif untuk membawa Selvi, Rayna dan Vania masuk ke rumahnya yang bersebelahan dengan bangunan itu."Ini anak Angga?" Rayna kembali mengusap perut besar Selvi dengan lembut saat mereka sudah duduk di sofa."Iya, Kak." Butir-butir beni
Bab 135"Terima kasih, Sayang. Kamu adalah istriku dan ratuku. Kamu tidak perlu merubah apapun dari dirimu. Semua yang ada pada dirimu sudah sempurna. Aku juga tidak menuntutmu terlibat penuh dalam kegiatan di perusahaan, kalau memang kamu tidak menginginkannya. Cukuplah kamu mendampingiku, setia padaku, karena aku benci dengan yang namanya penghianatan." Ravin menghela nafas berat.Antara Bella dan Rayna sungguh berbeda dan Ravin menerima Rayna mutlak apa adanya. Dia hanya menginginkan kesetiaan, setelah apa yang Bella torehkan kepadanya. Buat apa memiliki istri cantik, cerdas, berpendidikan tinggi, tetapi punya kebiasaan memelihara pria pemuas hasrat? Ini sangat menjijikan!Keduanya menikmati waktu beberapa saat di taman sebelum akhirnya bangkit. Ravin memeluk pinggang istrinya posesif. Namun baru beberapa langkah keduanya mengayunkan kaki, mendadak ponsel Ravin berdering"Panggilan video dari Axel," cicit Rayna. Sepasang suami istri itu berpandangan."Angkat saja, Hubby. Siapa tahu
Bab 134 "Istrimu?!" Perempuan yang hanya mengenakan dress di atas lutut tanpa lengan itu mengibaskan rambutnya. "Apakah aku tidak salah dengar? Apakah ini benar-benar istrimu?" Dia menunjuk Rayna dengan ekspresi keheranan. Matanya tak lepas mengamati penampilan Rayna yang mengenakan gamis dengan jilbab yang menutupi kepala sampai tonjolan di dadanya. Memang, pakaian yang dikenakan oleh Rayna berharga cukup mahal dan model kekinian. Namun di mata Chintya, gaya berpakaian Rayna seperti orang udik, kampungan! "Lho, memangnya kenapa, Chintya?" Ravin menatap Chintya dengan pandangan tak suka. "Ah, tidak apa-apa. Aku hanya heran dengan seleramu. Kamu terlihat sangat berubah, Ravin. Aku pikir setelah kamu menceraikan Bella, kamu akan mencari wanita yang jauh lebih baik dari mantan istrimu itu." Chintya mencoba menutupi keterkejutannya dengan tertawa kecil. "Dan Rayna adalah wanita yang jauh lebih baik dari Bella," ujar Ravin sinis. Sekalian saja dia menumpahkan isi hatinya, mampung bert
Bab 133"Oh, ya? Benarkah?" Sepasang mata indah itu berbinar-binar menatap tudung saji yang teramat besar menutupi seluruh hidangan di atas meja makan."Benar sekali, Nyonya. Hari ini saya memasak makanan yang merupakan kekayaan kuliner kami orang Melayu." Chef Ehsan melambaikan tangan kepada dua orang wanita berseragam pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Mereka bergegas menghampiri, lalu membuka tudung saji."Inilah nasi lemak khas Malaysia," ujar chef Ehsan bangga."Wow...! Ini sangat keren. Terima kasih, Chef. Kamu memang juru masak yang hebat!" puji Rayna."Terima kasih atas pujian Nyonya. Itu memang sudah tugas saya sebagai chef pribadi keluarga Narendra, sekaligus senior chef di sebuah restoran masakan khas Melayu yang dimiliki oleh keluarga Narendra," sahut chef Ehsan sopan."Keluargamu juga memiliki restoran di sini, Hubby?" Perempuan itu sangat terkejut. Dia menoleh kepada sang suami."Kurang lebihnya seperti itu, Sayang. Daddy Elvan memang menjadi investor terbesar di sal
Bab 132Dari sebuah bandara kecil yang intensitas penerbangannya tidak terlalu padat, Ravin dan Rayna bertolak ke Kuala lumpur. Rayna yang baru pertama kali menaiki pesawat pribadi terkagum-kagum dengan interior yang dimiliki oleh pesawat pribadi keluarga Narendra. Sungguh sangat mewah. Seumur hidupnya ia tidak pernah menyaksikan ada pesawat yang di dalamnya didesain mirip sebuah rumah."Ini adalah milikmu juga. Kamu bebas menggunakan pesawat ini kemanapun kamu akan bepergian. Kapten Ivan akan senang hati mengantarmu. Beliau adalah seorang pilot dengan jam terbang yang sangat tinggi." Ravin seolah bisa membaca keminderan dari diri wanita itu."Memangnya aku mau kemana?" Rayna tertawa kecil. "Ini adalah pertama kali aku pergi ke luar negeri dan itu pun bersamamu Hubby....""Kasihan," goda Ravin mencubit hidung bangir istrinya. Mereka tengah berbaring di pembaringan. Ravin memeluk Rayna sembari mengelus perut wanita itu. Terasa olehnya permukaannya yang tak lagi rata. Untuk sesaat hat
Bab 131 Tangan Selvi terulur mengelus pipi tirus perempuan tua itu. Tak ada rasa hangat sedikitpun dari wajah yang disentuhnya. Tak ada kehidupan. Wajah itu dingin dan beku. Selvi menjerit keras. Tubuhnya seketika lemas tiada berdaya. Namun sebelum tubuh itu terkapar di lantai ruangan, sepasang tangan besar menangkap Selvi, membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Mama sudah tiada." Ziyad berulang kali membisikkan kata-kata itu ke telinga Selvi, meskipun matanya memanas menahan tangisnya. Bagaimanapun ibunya adalah surganya. Ziyad menggendong Selvi keluar dari ruangan itu. Dia membiarkan jenazah ibunya langsung diurus oleh para petugas di rumah sakit. Di ibukota ini ia tidak memiliki siapapun, kecuali bude Darsinah. Fokusnya sekarang adalah menenangkan Selvi yang mengalami shock berat. Saudara ibunya itu datang ke rumah sakit ini bersama keluarganya satu jam kemudian, saat jenazah ibunya sudah siap untuk di shalatkan. Mereka memutuskan untuk menyalatkan jenazah Widya di mushala de