Bab 113Membayangkan adiknya digagahi tanpa hubungan pernikahan, ingin rasanya ia membunuh Angga. Selama ini ia cukup bersabar dengan apa yang lelaki itu lakukan kepadanya dan Ghina."Aku harus melakukan sesuatu. Ini tidak bisa dibiarkan. Angga sudah keterlaluan!" Lelaki itu mengepalkan tangan, bangkit dari pembaringan dan mengambil ponselnya.Setelah mengirimkan pesan balasan untuk Rayna, lelaki itu berdiri, berganti pakaian kemudian keluar dari kamar"Kamu mau ke mana, Ziyad? Ini sudah hampir tengah malam. Bahaya buat kamu," cegah Ghina."Aku harus menyelesaikan persoalan ini, Ghina. Aku tidak bisa membiarkan adikku terjerumus lebih dalam," sahut Ziyad murka. Mata lelaki itu memerah."Jangan pernah berurusan dengan Angga. Atau kita akan kehilangan semuanya!" Perempuan itu berteriak. Dia menahan tubuh lelaki itu dengan memegang erat lengannya."Aku tidak peduli, Ghina. Adikku adalah kehormatanku. Aku bisa mengerti dengan semua masa lalumu, tapi tidak dengan Selvi. Ini kasusnya beda.
Bab 114"Tapi apa yang bisa aku lakukan, Selvi?" Nada suara Angga terdengar memelas. "Dia kakakmu dan mempunyai tanggung jawab atas dirimu. Jika memang dia tidak merestui kita, aku bisa apa?" Angga melirik Ziyad sekilas sembari menyeringai.Ingin rasanya Ziyad meludah dengan senyum menjijikkan musuh bebuyutannya. Seolah lelaki itu mengejek kegagalannya dalam menjaga sang adik."Kak Ziyad pasti merestui kita. Bener, kan, Kak?" Selvi merengek, menatap Ziyad masih dengan wajah penuh air mata.Ziyad menggeleng tegas. "Selvi, segera kemasi barang-barangmu dan berpakaianlah. Sekarang kamu ikut Kakak.""Tidak mau! Aku ingin tinggal di sini. Ini adalah apartemenku. Kakak tidak berhak mencampuri urusan pribadiku. Aku tidak mau putus dari Mas Angga!" Selvi mengangkat tangannya memberi isyarat penolakan."Sadarlah, Selvi. Angga itu hanya memperalatmu. Kamu itu cuma dijadikan sebagai partner ranjangnya!" Ziyad teramat gemas dengan kekeras kepalaan adiknya. Selvi benar-benar naif."Kami saling me
Bab 115 "Lia, mau apa lagi dia?" Lelaki itu menatap nanar layar ponselnya. Namun jemarinya tetap menyentuh icon telepon berwarna hijau. "Ada apa lagi, Lia?" Lelaki itu mendengus. "Mas pulanglah. Renata sakit...." "Kamu bisa, kan membawanya ke rumah sakit sendiri, tidak usah menungguku?" Angga memotong ucapan istrinya. Dia sangat muak dengan cara murahan sang istri dalam meminta perhatiannya. "Jangan pernah mengganggu kesenanganku, Lia. Anak-anak adalah tugasmu. Bukankah kamu yang meminta kehadirannya waktu itu? Aku hanya mengabulkan keinginanmu," cerocos Angga seolah tak perduli jika di sebelah sana terdengar suara isakan. "Mas, apa bisa kita perbaiki dari awal lagi? Aku akan berusaha lebih keras untuk menjadi istri yang baik untukmu. Hentikan semua petualanganmu, Mas!" Suara isakan Lia terdengar menyayat hati. "Aku hanya mengimbangi petualanganmu, Lia. Kamu pikir aku tidak tahu apa yang sering kali kamu lakukan dengan lelaki itu? Kau pikir mataku buta? Kamu seringkali bertemu
Bab 116Ziyad hanya menatap sekilas perempuan itu. Perempuan yang mengenakan celana panjang dengan atasan berlengan panjang pula. Rambutnya yang tergerai terlihat sedikit acak-acakan. Lelaki itu terus saja memacu kendaraannya, konsentrasi penuh menatap jalanan yang sedikit gelap menuju rumah kontrakannya.Dia memang sengaja berbohong kepada Selvi karena tidak mau membawa gadis itu ke rumah kontrakannya. Ziyad sengaja memerintahkan Adam dan Damian untuk mengantar gadis itu pulang ke kampung, tinggal bersama ibunya. Dia tidak mau timbul masalah baru lagi antara Ghina dengan Selvi, mengingat keduanya sudah seringkali bertengkar. Keduanya tak pernah akur, mirip anjing dengan kucing. Ziyad harus menjaga kondisi mental Ghina yang tengah hamil besar dan akan menghadapi persalinan yang mungkin hanya sekitar 2 minggu lagi kalau menurut HPL."Kamu belum tidur, Ghina?" Lelaki itu tersentak saat membuka pintu depan. Ghina berbaring begitu saja di lantai dengan sebuah bantal yang menyangga kepala
Bab 117"Kami memang diperintahkan oleh tuan Ziyad untuk membawa Nona Selvi ke rumah ini. Turunlah, Nona." perintah Damian. Dia lebih dulu keluar dan berlari kecil setengah lingkaran demi membuka pintu mobil untuk Selvi.Seperti kerbau dicocok hidungnya, Selvi menurut. Dia keluar dari mobil dan melangkah menghampiri ibunya. Seketika ia membeku menatap sang Ibunda yang nampak jauh berbeda. Tubuh wanita tua itu semakin kurus. Mungkin lantaran selama ini kembali hidup di dalam kesederhanaan, beda saat mereka masih bersama dengan Ziyad."Selvi," tegur Widya memeluk putrinya. Selvi balas memeluk perempuan tua itu. Mereka berdua masuk ke dalam rumah.Wajah Widya seketika berubah masam melihat kehadiran Adam dan Damian di belakang putrinya. Semula ia berpikir mobil mewah itu adalah milik Selvi, seperti janji yang pernah diucapkan oleh putri bungsunya ini, bahwa ia akan kembali ke kampung jika sudah sukses di ibukota."Jadi kamu diantar oleh Adam dan Damian?" tanya Widya. Diam-diam di hatiny
Bab 118 "Dari siapa, Sayang?" tanya Ravin. Lelaki itu menghentikan langkah, berdiri di samping istrinya. "Dari Ziyad, Hubby." Rayna memberikan ponselnya kepada sang suami. Nama mantan suami muncul di layar yang berkedap-kedip. Ravin mengusap icon telepon berwarna hijau. Terdengar nada terkejut dari Ziyad saat panggilan tersambung. Namun tak ada percakapan penting di antara keduanya, kecuali sekedar mengabarkan soal Adam dan Damian yang terlambat datang lantaran harus mengantar Selvi ke kampung halamannya. "Akhirnya masalah itu selesai juga, Sayang." Ravin mengembalikan ponsel kepada istrinya. "Ziyad cukup cerdik dengan mengembalikan Selvi ke kampung," tanggap Rayna sembari memasukkan ponsel ke dalam tas. Keduanya kembali berjalan menuju mobil. Ravin dan Rayna masuk ke dalam mobil dan memilih tempat di jok belakang. Tak ada pembicaraan apapun. Rayna memilih untuk bermain ponsel, membaca beberapa artikel seputar kehamilan. Sementara Ravin tengah membuka beberapa email melalui table
Bab 119 Nafas Selvi seketika turun naik, menahan amarahnya. Dadanya bergemuruh. Sampai hati ibunya mengucapkan kata-kata itu. Seakan-akan ibunya hanya menerima kesuksesan dan tidak akan pernah menerima kegagalannya. Di tatapnya kembali wajah tua yang sudah mulai keriput itu. "Bukankah Mama bisa bilang kepada mereka jikalau aku tengah liburan?" tegas gadis itu. Dia mendorong piringnya agak ke tengah walaupun makanannya belum habis, lantas membasuh tangan dan mengeringkannya dengan serbet. "Tidak semudah itu, Selvi. Kalau kamu memutuskan untuk kembali tinggal di sini, mereka akan berpikir, liburan macam apa yang selama itu?" Widya terus memperhatikan gerak-gerik putrinya. "Percayalah, Ma. Aku hanya sementara di sini. Pada saatnya nanti, bukan cuma aku yang meninggalkan rumah jelek ini tetapi juga Mama." "Maksudmu?" sela Widya. "Mama pikir, aku betah tinggal di sini. Kalau bukan karena terpaksa, aku juga tidak mau tinggal di sini, meski hanya untuk satu atau dua bulan." Selvi men
Bab 120 "Ya iyalah. Selvi gitu loh," decaknya bangga. Dia menarik ponsel dari hadapan ibunya, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku baju. Suara Selvi sedikit mengejutkan Widya. Perempuan tua itu buru-buru memasang ekspresi wajah biasa. Namun terlambat. Selvi menangkap bias-bias kesedihan dari sorot mata wanita yang telah melahirkannya itu. "Apa yang Mama pikirkan? Apakah Mama tidak suka dengan semua yang telah aku raih?" telisik gadis itu. "Mama hanya memikirkan Rayna, Selvi. Mama tidak habis pikir, bagaimana seorang lelaki kaya raya bisa tergila-gila padanya bahkan sampai berani memberikan uang yang sangat besar kepada kita hanya demi selembar surat nikah. Pakai ilmu pelet apa si Rayna?" Widya menghela nafas berat teringat insiden beberapa waktu yang lalu. "Tanpa menggunakan ilmu pelet apapun, aku sudah membuat Mas Angga tergila-gila dan berniat untuk menikahiku," bantah Selvi menggeram. Selvi tidak sudi dibanding-bandingkan dengan Rayna, walaupun oleh ibunya sendiri. Perempu