Zahra mengangguk mendengar pertanyaan Papa Ameer, namun tak ada suara yang bisa Zahra keluarkan.
Membahas tentang ini, masih sangat membuatku Zahra sedih."Apa kamu yakin, Ra? Apa ini paksaan Ridwan? Mamah hanya tidak ingin kamu menyesal!" tanya Mama Sofiya."Mah, Pah! Aku tidak memaksa! Aku juga mencintai anak-anakku! Kenapa kalian seperti memojokkan aku!" kesal Ridwan.Mamah Sofiya menyeringai, "Memang!""Mah, keputusan ini tidak datang dari kami! Kami menyerahkan keputusan ini pada Habib Usman!" jawab Ridwan.Papa Ameer dan Mama Sofiya mengangguk lega, walau dalam hati sangat sedih.Namun, keselamatan Zahra lebih penting. Apalagi pernah ada pengalaman yang sama dan berakhir tragis dalam keluarga."Baiklah! Mama sedih, tapi Mama senang keputusan kalian! Mama tidak lagi berfikir tentang kakak Mamah!" jawab Mama Sofiya."Istirahatlah, Ra! Besok kami semua akan menemanimu! Kamu harus kuat!" kataPandangan mata Ridwan dan Zahra yang saling mengunci seolah sedang saling menyemangati satu sama lain. Dengan tangan yang saling ber genggaman erat. Hingga Akhirnya terhalang oleh pintu saat dokter menutup ruang operasi. Indikator pintu operasi berubah menjadi hijau, pertanda sedang mulai melewati sterilisasi dan penyuntikan bius total. Ridwan duduk di kursi tunggu dengan memejamkan mata terus merapalkan doa.Begitu juga Papa Ameer, Mama Sofiya, dan Oma yang sibuk dengan doa masing-masing. Berharap pelita dalam keluarga mereka bisa kembali dalam keadaan selamat. Lima jam yang sangat menegangkan, sebelum akhirnya indikator pintu berubah menjadi merah. Dan pintu ruang operasi terbuka. Bangkar tempat tidur Zahra didorong dan disambut keluarga dengan antusias. "Alhamdulillah Tuan-tuan dan Nyonya! Operasi berhasil dan pasien harus masuk ruang ICU untuk observasi pasca operasi!" kata Dokter
Ridwan kini tidak bisa tidur lagi setelah mimpi. Ridwan berfikir, mimpi itu nyata atau hanya hasil dari pemikirannya saja tentang dua anaknya. Entah itu hasil dari pemikiran atau benar putra putrinya hadir, Ridwan sangat senang bisa menatap Zahra kecil dan Fatih dalam balutan bahagia. "Semoga senyummu itu yang selalu menghiasi wajah cantikmu, Na!" batin Ridwan. Entah kenapa, Ridwan seolah langsung jatuh cinta saat pertama menatap Ena kecil dengan senyum indah itu. Hari berganti dan Ridwan masih setia di depan ruang ICU menunggu istrinya bangun. Sedangkan Papa Ameer menyusul istri dan Ibunya di ruang rawat inap. Ridwan berdiri dan menatap Zahra bari balik kaca, "Apa kamu begitu betah tidur, Sayang!" gumam Ridwan.Pagi itu Mama Sofiya, Papa Ameer dan Oma pamit harus pulang karena harus mengurus perusahaan. Ridwan mengiyakan dan menunggui Zahra seorang diri. Hingga sore hari, dokter menga
Selepas membeli bunga dan berziarah ke makam anak-anaknya, Zahra dan Ridwan memutuskan untuk segera pulang. Karena hari ini jadwal berkunjung ke Tarim karena akhir pekan, dan Zahra tak bisa bepergian jauh. Ridwan menyuruh Zen untuk menjemput putranya dan membawa ke Turki. Jika Ridwan dan Zahra tak bisa kesana, Fatih yang akan Ridwan boyong ke rumah selama satu hari. Ridwan ingin memberikan kejutan untuk istrinya. Saat sampai di Masion, keluarganya menyambut dengan hangat didepan. Hati Zahra selalu menghangat dengan cinta yang keluarga Kahraman berikan. Setelah makan sebentar, Ridwan membawa Zahra masuk ke dalam kamar. "Tidurlah, Sayang! Mas ada urusan sebentar dengan Papa, ya?" pamit Ridwan. Zahra mengangguk dan berbaring, dia sangat merindukan kamar mereka ini. Zahra tidur menerawang ke langit-langit kamar. "Apa benar setelah tiga bulan rahimku sudah pulih? Apa aku harus me
Dada Fatih bergemuruh hebat saat Ibunya memanggilnya dengan nama Arka. "Ini Fatih, Bu! Ibu sudah tak mengingat Fatih lagi?" kata Fatih sambil melepas pelukannya dan duduk.Jedar! Jantung Zahra meronta-ronta ingin keluar melihat tatapan putranya yang menyakitkan. Begitu pula dengan Ridwan yang merasa bersalah pada Fatih. Ridwan jelas melihat wajah terpukul Fatih, mungkin Fatih merasa tak diinginkan lagi dan Ibunya hanya mengingat sang adik. "Bukan, Nak! Fatih tau? Arka sangat mirip dengan Fatih! Senyum Fatih saat turun dari pesawat tadi juga mengingatkan Ayah pada Arka!" kata Ridwan mencoba menenangkan Fatih. Duduk dan membawa Fatih pada pahanya, "Ibu tidak tau jika Fatih akan ke sini, dan Ibu tidur! Ibu mungkin berfikir dia sedang bermimpi!" Fatih tetap diam menatap Ayahnya. Kemudian beralih menatap mata Ibunya yang berair, "Maafkan Ibu, Ibu tidak tau kamu datang, Nak!" Fatih tetap dia
Begitu pula dengan Ridwan yang tidak pernah berfikir istrinya akan berkata sepedas itu. Ridwan langsung menoleh pada istrinya yang tengah menatapnya tajam. Tatapan itu mampu membuat Ridwan menelan air liurnya sendiri, Ridwan menyadari jika dirinya menatap Delena cukup intens. Sehingga membuat sang istri terbakar rasa cemburu dan berkata se-sarkas itu. "Maaf, Nyonya! Lain kali akan saya perhatikan tatapan saya!" jawab dokter Dele. Setelah itu langsung pamit dan pergi dari kamar itu. "S—sayang! Kenapa kamu seperti itu?" kata Ridwan mendekati suaminya. Zahra menatap suaminya dengan tajam, "Lalu aku harus apa? Membiarkan suamiku terus menatap sahabat kecil yang sangat cantik dan sexy itu?" "S—sayang, Kamu semakin gak masuk akal! Kamu yang jauh lebih cantik dan sexy!" jawab Ridwan mendekati Zahra.Zahra menyeringai, "Setelah cemburu tak beralasan sekarang aku gak masuk akal, Mas?"Zahra kemu
Zahra terkejut melihat dokter Dele berdiri di dekat ruang keluarga dengan parsel buah di tangannya. Zahra kemudian menoleh pada suaminya. Ridwan yang mendapat tatapan itu hanya menggeleng pelan sambil merengkuh pinggang Zahra. "Waalaikumsalam Delena, Ada apa?" tanya Mama Sofiya berdiri mendekati Delena. Memeluk dan mencium pipinya. "Mau mengunjungi Oma, Tante!" jawab Delena sambil tersenyum. Kemudian berdehem sebentar. "Sambil meminta maaf pada Zahra, Tante!" lanjutnya. "Oh, Silahkan duduk!" ajak Mama Sofiya. Papa Ameer dan Oma yang bisa melihat perubahan wajah Zahra kemudian berdehem. Tidak ingin menganggu libur akhir pekan mereka, Papa Ameer berdiri. "Lebih baik duduk diluar yuk, Ma! Rasanya tidak pantas di ruang keluarga untuk menerima tamu! Ayo Del!" ajak Papa Ameer. Hal itu sontak membuat Mama Sofiya terkejut. Sedang Oma beranjak dan berdiri dan mengajak Zahra, "Ayo, Nak! Dele juga ingin menemuimu!" Zahra terus beristighfar dalam hati untuk menenangkan diri. Melihat
"Sayang, Karena Mas gak pernah menganggap dia!" jawab Ridwan santai. Ridwan memeluk Zahra dari samping dengan gemas. Hal itu sontak membuat semua orang tertawa. Seluruh keluarga senang melihat Zahra yang juga mencintai Ridwan. Karena mereka tau sebesar apa cinta Ridwan pada Zahra. Suasana libur akhir pekan mereka sangat hangat dan penuh tawa hingga akhirnya Fatih harus kembali ke Tarim sore hari. Fatih berangkat bersama Zen. Ridwan mengantar Fatih sampai di pesawat dan berjanji akan ke Tarim minggu depan. Fatih mengiyakan dan terbang kembali untuk menuntut ilmu. Setelah hari itu, hubungan Zahra dan Ridwan seperti biasa. Ridwan tetap belum memegang perusahaan karena masih sibuk dengan pemulihan Zahra. Zahra masih kontrol jahitan dan konsultasi pada dokter Dele. Dan setiap kontrol dan konsultasi selalu berakhir dengan konferensi meja bundar karena Zahra pasti akan selalu cemburu. Dan seperti biasa selalu bisa Ridwan tenangkan dengan mudah. Hari-hari mereka juga menyenangkan
Zahra terus memanjakan si tombak sakti hingga membuat Ridwan kelimpungan. "Udah, Ra! Mas gak tahan!" kata Ridwan sambil menjauhkan diri. Merebahkan istrinya lagi dan kembali mencium sekilas dan bergumam, "Belajar dari mana sih? Nikmat sekali!" Sontak membuat pipi Zahra memerah, rasa panas menjalar dari pipi hingga telinga. Ridwan kemudian memposisikan dirinya untuk memasuki sang istri. "Arghhhh!" lenguhan keduanya menyatu bersama erangan kecil. Rasa yang tidak mereka rasakan dua bulan ini melebur pada sore hari itu. Semua kerinduan, hasrat, dan puncaknya gairah menyatu dalam alunan suara mendayu dari dua sejoli itu. Desahan, kata cinta, desisan menyatu menjadi simfoni. Ridwan memacu pacuan kudanya dengan konstan dan tidak terlalu menekan perut Zahra. Karena Ridwan masih berfikir tentang kesehatan Zahra. Zahra sangat menikmati aktifitas itu, ditambah tatapan suaminya yang seolah mengunci tatapannya. Tatapan yang tidak Zahra temukan saat terakhir kali mereka berhubungan. Nam
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s