Semua orang di meja makan itu tertawa mendengar seruan Mama Sofiya, termasuk Zahra. "Zahra mana suka, Mah! Udah Ridwan paksa tetep aja beli satu biji, malam beli bahan kue yang banyak!" canda Ridwan. Sontak membuat semua orang kembali tertawa. "Bermanfaat, Mas!" jawab Zahra sambil tersenyum. "Kamu harusnya bersyukur punya istri yang hemat!" lanjut Zahra. Ridwan menatap istrinya, "Lalu tugas siapa yang ngabisin uangku?" Semua orang kembali tertawa sambil memakan roti Zahra. "Ini, karyawan nanti yang habisin roti kita, Mas! Jadi yang bertugas karyawan!" jawab Zahra sambil tersenyum. Senyuman Zahra memang selalu bisa menular. "Setuju, Banyak pahalanya ya, Ra!" canda Papa Ameer. Oma hanya bisa tersenyum, aura Zahra yang sangat positif menyebar di keluarganya. Zahra benar-benar pelita dalam hidup mereka. Dapur selalu mengepul juga karena Zahra. Sehingga mansio
Ridwan menggelengkan kepalanya melihat istrinya pergi begitu saja. "Bahkan nafas suaminya belum kembali normal!" ucapnya. Sedangkan Zahra yang keluar kamar mandi langsung menemui dokter Dele dengan senyum cerah. Memberikan tabung itu pada dokter Dele. Senyum Zahra semakin cerah lagi saat melihat wajah dokter Dele yang memerah seperti tomat. Dalam hati Zahra bersorak, "Ya Allah ini upaya untuk menjaga keutuhan rumah tangga, Hamba!" batin Zahra. "Saya langsung ke laboratorium dulu, Nyonya!" pamit dokter Dele. Zahra hanya mengangguk dan duduk dengan senyuman. Buru-buru dokter Dele keluar ruangannya untuk menetralkan hawa panas dalam tubuhnya. Suara Ridwan membuat Delena membayangkan yang tidak-tidak. Sepasang suami istri itu mengotori otak dan pendengaran seorang gadis perawan, pikir Delena ngacir. Dan beberapa saat kemudian, Ridwan keluar dari dalam kamar mandi setelah menetra
Tujuh bulan kemudian. Waktu bergulir dengan cepat, Ridwan dan Zahra mulai sibuk dengan kesibukannya. Ridwan dengan semua urusan kantornya, dan Zahra dengan toko rotinya. Toko roti seorang istri direktur yang namanya mendunia dan rasanya yang nikmat membuat toko iku maju pesat. Dalam waktu tujuh bulan sudah memiliki banyak cabang dan management toko yang kuat. Zahra banyak belajar dari sang suami management toko. Semua terasa indah, hidup mereka berjalan sederhana dan bahagia. Setiap minggu masih tetap ke Tarim untuk mengunjungi putra tercinta. Dan kabar baiknya, Zahra kini tengah hamil lagi bayi kembar. Usia kehamilannya masuk ke tiga bulan, dan Ridwan sangat menjaga Zahra saat ini. Zahra bahkan setiap minggu cek up ke dokter karena Ridwan yang sangat protective. Dokter Zahra kini bukan lagi dokter Dele, karena dokter Dele mengundurkan diri selepas kejadian tujuh bulan lalu.
100.000 Franch Swiss sekitar 1,7 milyar rupiah. Tentu saja uang sebanyak itu dan perkataan suaminya membebani hati Zahra. Zahra memandangi wajah damai Ridwan tidur di kursi sebelahnya. Ridwan memang belum tidur dari kemarin karena menyelesaikan pekerjaannya agar tidak membebani Papa. Zahra terngiang jawaban Ridwan tadi, [Maksudnya, jika kita terpisah sebentar! Jadi kamu ada cash untuk membeli sesuatu yang kamu mau, atau mengurus Fatih]Entah kenapa perasaan Zahra yang tidak enak yang ditekan dari kemarin kembali menyerang. Seolah akan terjadi sesuatu pada keluarganya. Zahra terus beristighfar sepanjang waktu penerbangan, memohon pada sang Illahi untuk menjaga keluarganya. Setibanya di Tarim, Fatih sudah sangat antusias menunggu di rumah Habib Usman. Setelah salam, Ridwan dan Zahra masuk kemudian memeluk Fatihnya dengan hangat. "Habib, kami ijin membawa Fatih satu minggu!" kata Ridwan.
Zahra berteriak ingin masuk ke dalam air namun ditahan oleh perempuan-perempuan di dekatnya. Kejadian itu sangat cepat hingga tubuh Ridwan terlihat melemah menarik tangan Fatih. Terdengar jeritan Fatih meminta tolong sang Ayah. Sepersekian menit, Fatih sudah diangkat Ridwan dan mendekat pada jembatan untuk berpegangan. Beberapa turis membantu Ridwan memegang Fatih yang memerah. Merapat pada beton jembatan, namun tiba-tiba arus itu kembali meninggi menghantam mereka. Ridwan melemah karena kakinya mulai keram dan terbawa arus deras itu. Meninggalkan Fatih pada salah satu turis yang menolong. Semua orang yang melihat kejadian itu tak bisa berbuat apa-apa selain menyelamatkan diri. Kejadiannya sangat cepat dan arus tiba-tiba naik tidak seperti biasanya. Bruk! Zahra jatuh tak sadarkan diri saat tak lagi melihat Ridwan berusaha untuk berenang ke tepi.Ridwan benar-benar t
Teriak dan pekikan Zahra membuat sakit tersendiri di hati Mama Sofiya. Mama Sofiya kehilangan sang putra tunggalnya di sungai Aare. Segala cara sudah suaminya lakukan untuk menyusur sungai Aare sampai di penyaringan sungai. Mama Sofiya berfikir, tidak mungkin tubuh sebesar Ridwan bisa melewati filter sungai yang berlubang kecil-kecil. Walau dengan hati yang berat. Mama Sofiya memejamkan mata sambil merangkul Zahra dsn berdoa dalam hatinya. "Ya Allah, segera pertemuan kami dengan Ridwan, dalam keadaan sehat ataupun sudah tak bernyawa! Kami menerima takdirmu ya, Rabb! Aku mohon, jangan biarkan menantuku dalam penantian!" bathin Mama Sofiya. Sedang Zahra masih menatap nanar sungai Aare yang masih menyembunyikan suaminya. "Ra, Pulang yuk!" ajak Mama Sofiya. Zahra menoleh, "Ajak Suamiku pulang juga, Ma!" Tatapan Zahra begitu menular, rasa sakitnya benar-benar sampai di hati Mama Sofiya.
Setelah Habib Usman meyakinkan dan membujuk Fatih. Akhirnya Fatih berlari menuju rumah dan mencari Nenek Awiyah. "Assalamualaikum, Nek! Ini Fatih, Nek! Nenek dimana?" pekik Fatih sambil mencari Nenek Awiyah di rumah. Nenek Awiyah yang baru saja menyelesaikan sholatnya tersenyum. Senang karena bisa mendengar suara riang Fatih. "Di kamar, Cucuku sayang!" jawab Nenek Awiyah sambil menoleh pada Pintu. Fatih berada di ambang pintu dengan senyum tipis. Hati Nenek Awiyah seakan lebih ringan sekarang, wajah super dingin itu sedikit luntur. "Sini, Sayang!" kata Nenek Awiyah sambil melambaikan tangannya. Fatih menurut, dan jalan perlahan menuju Neneknya. "Nek, A—pa Ibu pernah menanyakan Fatih?" tanyanya. Nenek Awiyah menarik Fatih untuk duduk didepannya. "Apa kamu berfikir, Ibumu tidak menanyakanmu! Ibumu tidak lagi mencintaimu?" tanya Nenek Awiyah. Fatih menganggu
Jantung Ridwan berdetak aneh saat mendengar nama wanita itu. Bukan debaran yang membuatnya senang, namun debaran yang sangat aneh. "Berapa usia kandunganmu?" tanya Ridwan. Dele mengusap perutnya, "34 minggu, Sayang!" "Delapan bulan lebih dua minggu?" jawab Ridwan memastikan. Ridwan menatap tajam mencoba mengingat dan mengambil kembali ingatannya. Ridwan berfikir, kenapa dirinya tidak nyaman bersama dengan istrinya? Seharusnya dia sangat senang bukan. Dan tidak canggung seperti ini. "Temani aku operasi ya, Besok!" kata Dele. Ridwan terkejut, "Besok?" Dele tersenyum dan mengangguk, "Usianya sudah cukup untuk dilahirkan, berat badannya sudah cukup! Aku ini dokter kandungan, Sayang!" Ridwan mengangguk. Sedangkan Dele merasa sangat senang, karena keberuntungan berpihak padanya.Dele tidak pernah menyangka jika Ridwan, laki-laki yang begitu dia dambakan akan men