Setelah Habib Usman meyakinkan dan membujuk Fatih.
Akhirnya Fatih berlari menuju rumah dan mencari Nenek Awiyah."Assalamualaikum, Nek! Ini Fatih, Nek! Nenek dimana?" pekik Fatih sambil mencari Nenek Awiyah di rumah.Nenek Awiyah yang baru saja menyelesaikan sholatnya tersenyum.Senang karena bisa mendengar suara riang Fatih."Di kamar, Cucuku sayang!" jawab Nenek Awiyah sambil menoleh pada Pintu.Fatih berada di ambang pintu dengan senyum tipis.Hati Nenek Awiyah seakan lebih ringan sekarang, wajah super dingin itu sedikit luntur."Sini, Sayang!" kata Nenek Awiyah sambil melambaikan tangannya.Fatih menurut, dan jalan perlahan menuju Neneknya."Nek, A—pa Ibu pernah menanyakan Fatih?" tanyanya.Nenek Awiyah menarik Fatih untuk duduk didepannya."Apa kamu berfikir, Ibumu tidak menanyakanmu! Ibumu tidak lagi mencintaimu?" tanya Nenek Awiyah.Fatih mengangguJantung Ridwan berdetak aneh saat mendengar nama wanita itu. Bukan debaran yang membuatnya senang, namun debaran yang sangat aneh. "Berapa usia kandunganmu?" tanya Ridwan. Dele mengusap perutnya, "34 minggu, Sayang!" "Delapan bulan lebih dua minggu?" jawab Ridwan memastikan. Ridwan menatap tajam mencoba mengingat dan mengambil kembali ingatannya. Ridwan berfikir, kenapa dirinya tidak nyaman bersama dengan istrinya? Seharusnya dia sangat senang bukan. Dan tidak canggung seperti ini. "Temani aku operasi ya, Besok!" kata Dele. Ridwan terkejut, "Besok?" Dele tersenyum dan mengangguk, "Usianya sudah cukup untuk dilahirkan, berat badannya sudah cukup! Aku ini dokter kandungan, Sayang!" Ridwan mengangguk. Sedangkan Dele merasa sangat senang, karena keberuntungan berpihak padanya.Dele tidak pernah menyangka jika Ridwan, laki-laki yang begitu dia dambakan akan men
Ridwan tidak ingin melakukan yang Delena mau saat dirinya belum mengingat apapun. "Apa kamu tidak sabar menunggu aku mengingatmu? Aku hanya mau melakukan itu dengan cinta dan ingatan yang penuh, Del!" jawab Ridwan. Delena menatap Ridwan intens dan menarik nafas, "Bahkan saat hilang ingatan, kamu masih menolak ku, Ridwan!" batinnya. "Apa bukti DNA masih belum cukup?" tanya Delena. Ridwan diam mendengar pertanyaan Delena yang seolah sangat memaksa dirinya. "Kita jalani kehidupan rumah tangga sesuai maumu, liburan, merawat anak bersama, berbahagia, tapi kita tunda urusan ranjang sampai aku ingat!" jawab Ridwan mencoba bernegosiasi. Delena menghela nafas berat. Yang sangat ingin Delena lakukan adalah bercumbu dengan Ridwan dan menikmati benda kekar itu. Namun Ridwan menolak urusan ranjang dengannya. "Terserah kamu saja, Sayang! Aku lemas untuk mendebatmu! Tak apa jika kamu tak menginginkan aku lagi
Zahra tak sadarkan diri, dengan buru-buru Mama Sofiya dan Umi Awiyah menolong Zahra. Deg! "Ra, Bangun! Umi, Zahra berdarah!" pekik Mama Sofiya saat melihat dress bawah Zahra basah. "Suster! Tolong!" teriak Habib Usman dan berlari memanggil dokter perempuan yang bisa menangani Zahra. Keadaan Zahra yang genting membuat mereka kalang kabut. Ditambah kehamilan kembar Zahra yang memang beresiko karena riwayat penyakit sebelumnya. Keadaan benar-benar buruk sampai akhirnya Habib Usman datang dengan dokter kandungan perempuan. Berlari menuju ruangan Fatih.Zahra sudah tidur di ranjang sebelah ranjang Fatih. Mama Sofiya meminta dokter mengambilkan ranjang dan ditaruh di sana. Agar tidak susah dan bisa menjaga Zahra juga Fatih dalam satu waktu. Dokter itu menangani Zahra, sedangkan Umi Awiyah dan Mama Sofiya tengah duduk di depan dengan gemetar. "Umi, Malang sekali nasib menantuku! Wanita sebaik dia harus merasakan cobaan yang tak berujung ini!" racau Mama Sofiya. Umi Awiyah mendekat
Kata-kata Ridwan hanya sampai di tenggorokannya saja. Ridwan tak ingin Delena mengetahui kecurigaannya, namun Ridwan sangat menyadari keanehan ini. Ridwan akan mencari tau sendiri nanti saat sudah mendapatkan kepercayaan Delena. Karena Ridwan yakin obat yang diminumnya semaki membuatnya tidak baik-baik saja. Ridwan tak ingin salah langkah saat dirinya masih dalam kondisi abu-abu seperti ini. Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu itu merubah atensi Delena dan Ridwan. Suster masuk dengan seorang bayi laki-laki yang digendongnya. Bayi itu sangat mirip dengan Ridwan memang. Ridwan kemudian tersenyum dan mendekat, mengambil bayi tampan itu dan mendekati Delena. "Putra kita haus, Ma!" kata Ridwan pada Delena. Hal itu membuat Delena berbunga. "Ma? Sangat manis sekali panggilan itu!" batin Delena.Delena tersenyum senang dan mengambil bayi itu untuk disusuinya, didepan Rid
Mendengar pekikan Ridwan membuat Delena terperangah. Entah karena hormon menyusui yang naik turun, Delena sakit hati mendengar pekikan Ridwan. Laki-laki itu terus menolak dan sekarang membentak orang yang melahirkan putranya.Delena diam dan mengabaikan Ridwan. Delena meredam kekesalannya dengan menoel-noel pipi putranya yang merah "Sayang, jangan pernah tinggalkan Mama, ya! Mama sayang sama kamu! Mama hanya punya kamu sekarang!" kata Delena. Mengajak bicara baby nya membuat hatinya sedikit lega. Ridwan yang mendengar ucapan Delena sedikit luluh, "Siapa nama bayi ini?" tanya Ridwan. Delena menoleh dan menjawab datar, "Silahkan beri nama! Kamu Papanya!" Ridwan menganggukkan kepala dan berfikir sejenak, memikirkan nama untuk putranya. "Areyndra, Aku menyukai nama itu!" kata Ridwan setelahnya. Delena mengangguk, "Aku juga menyukainya!" jawab singkat Delena kemudian menatap putra
Zahra terpekik sambil memegangi perutnya yang terasa sangat sakit. Seperti tengah dipelintir dan diperas hidup-hidup. Zahra menunduk dalam memeluk perutnya yang sedikit membuncit. "Tolong! Tolong!" teriak Fatih sambil berusaha turun dari kasurnya melepas semua alat yang terpasang di tubuhnya. "Bu! Maafkan Fatih! Bu!" teriak Fatih panik melihat Ibunya kesakitan. Cklek! "Ra! Fatih!" teriak Mama Sofiya sambil berlari memegangi tangan Zahra yang tengah memeluk perutnya sendiri. "S—sakit, Mah!" rintih Zahra yang sudah memutih. Mama Sofiya yang melihat Zahra sangat pucat mulai panik dan menuntun menuju ranjangnya lagi. Membantu Zahra membaringkan tubuh, namun sakit itu teramat sangat hingga Zahra tak kuat berbaring. Zahra meringkuk memeluk perutnya sendiri diatas ranjang itu, dan Mama Sofiya mengusap kepala Zahra. "Ra, Istighfar, Nak! Kamu harus kuat biar kembar kuat, Nak! S—sabar
Mama Sofiya duduk di kursi itu dengan wajah frustasi yang tak bisa disembunyikan. "Ya Rabb, Selamatkan menantu dan cucu-cucu kami. Angkatlah sakit menantuku!" batin Mama Sofiya berdoa. Melambungkan harapan pada Allah, sang pemilik semesta, karena Mama Sofiya yakin, dirinya tak akan kecewa jika bergantung pada Rabb-nya.Berdoa untuk menantu dan kembar, juga untuk Fatih yang dibawa oleh suaminya. Dadanya terasa sangat sesak. Jika Mama Sofiya bisa memilih, lebih baik dirinya yang menanggung kesakitan mereka. Tak tega melihat menantu dan cucunya mengalami hal ini. Mama Sofiya menarik nafas berat untuk membebaskan sesak dadanya. Hingga setelah beberapa menit ruangan itu terbuka dan dokter keluar, disambut oleh Mama Sofiya yang sigap berdiri. "B—bagaimana, Dok?" tanya Mama Sofiya dengan mata merahnya. Dokter itu tersenyum, "Kami hampir saja kehilangan si kembar, tapi beruntung bisa cepat dit
"Fatih tadi mimpi ketemu Ena dan Arka, Kek! mereka sedang berlarian di taman dengan bahagia dan mereka menitip cinta untuk Ayah dan Ibu!" jawab Fatih. Fatih menghela nafas pelan. "Bukankah itu artinya Ayah masih hidup, Kek!" lanjutnya. Papa Ameer menghela nafas pelan, mendengarkan mimpi anak kecil yang rindu dengan Ayah mereka. "Tapi mustahil Untuk Ayah hidup, Fatih! karena Sungai Aare sangat panjang dan luas, Ikhlaskan ayahmu berenang sepuasnya, Nak!" jawab Kakek Ameer. Fatih tidak lagi menjawab ucapan sang kakek. Fatih diam dan Meyakini dalam hatinya jika sang ayah masih hidup. Fatih ingin percaya sekali lagi dengan mimpinya. Dan memupuk sekali lagi harapannya untuk kehidupan sang Ayah. Papa Ameer kembali melanjutkan jalannya menuju ruangan Zahra. Papa Amel juga sangat khawatir dengan kondisi Zahra dan kembar.hingga langkah bapak Ameer berhenti di depan ruangan Zahra. Ckle
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s