Kata-kata Ridwan hanya sampai di tenggorokannya saja.
Ridwan tak ingin Delena mengetahui kecurigaannya, namun Ridwan sangat menyadari keanehan ini.Ridwan akan mencari tau sendiri nanti saat sudah mendapatkan kepercayaan Delena.Karena Ridwan yakin obat yang diminumnya semaki membuatnya tidak baik-baik saja.Ridwan tak ingin salah langkah saat dirinya masih dalam kondisi abu-abu seperti ini.Tok! Tok! Tok!Ketukan pintu itu merubah atensi Delena dan Ridwan.Suster masuk dengan seorang bayi laki-laki yang digendongnya.Bayi itu sangat mirip dengan Ridwan memang.Ridwan kemudian tersenyum dan mendekat, mengambil bayi tampan itu dan mendekati Delena."Putra kita haus, Ma!" kata Ridwan pada Delena.Hal itu membuat Delena berbunga."Ma? Sangat manis sekali panggilan itu!" batin Delena.Delena tersenyum senang dan mengambil bayi itu untuk disusuinya, didepan RidMendengar pekikan Ridwan membuat Delena terperangah. Entah karena hormon menyusui yang naik turun, Delena sakit hati mendengar pekikan Ridwan. Laki-laki itu terus menolak dan sekarang membentak orang yang melahirkan putranya.Delena diam dan mengabaikan Ridwan. Delena meredam kekesalannya dengan menoel-noel pipi putranya yang merah "Sayang, jangan pernah tinggalkan Mama, ya! Mama sayang sama kamu! Mama hanya punya kamu sekarang!" kata Delena. Mengajak bicara baby nya membuat hatinya sedikit lega. Ridwan yang mendengar ucapan Delena sedikit luluh, "Siapa nama bayi ini?" tanya Ridwan. Delena menoleh dan menjawab datar, "Silahkan beri nama! Kamu Papanya!" Ridwan menganggukkan kepala dan berfikir sejenak, memikirkan nama untuk putranya. "Areyndra, Aku menyukai nama itu!" kata Ridwan setelahnya. Delena mengangguk, "Aku juga menyukainya!" jawab singkat Delena kemudian menatap putra
Zahra terpekik sambil memegangi perutnya yang terasa sangat sakit. Seperti tengah dipelintir dan diperas hidup-hidup. Zahra menunduk dalam memeluk perutnya yang sedikit membuncit. "Tolong! Tolong!" teriak Fatih sambil berusaha turun dari kasurnya melepas semua alat yang terpasang di tubuhnya. "Bu! Maafkan Fatih! Bu!" teriak Fatih panik melihat Ibunya kesakitan. Cklek! "Ra! Fatih!" teriak Mama Sofiya sambil berlari memegangi tangan Zahra yang tengah memeluk perutnya sendiri. "S—sakit, Mah!" rintih Zahra yang sudah memutih. Mama Sofiya yang melihat Zahra sangat pucat mulai panik dan menuntun menuju ranjangnya lagi. Membantu Zahra membaringkan tubuh, namun sakit itu teramat sangat hingga Zahra tak kuat berbaring. Zahra meringkuk memeluk perutnya sendiri diatas ranjang itu, dan Mama Sofiya mengusap kepala Zahra. "Ra, Istighfar, Nak! Kamu harus kuat biar kembar kuat, Nak! S—sabar
Mama Sofiya duduk di kursi itu dengan wajah frustasi yang tak bisa disembunyikan. "Ya Rabb, Selamatkan menantu dan cucu-cucu kami. Angkatlah sakit menantuku!" batin Mama Sofiya berdoa. Melambungkan harapan pada Allah, sang pemilik semesta, karena Mama Sofiya yakin, dirinya tak akan kecewa jika bergantung pada Rabb-nya.Berdoa untuk menantu dan kembar, juga untuk Fatih yang dibawa oleh suaminya. Dadanya terasa sangat sesak. Jika Mama Sofiya bisa memilih, lebih baik dirinya yang menanggung kesakitan mereka. Tak tega melihat menantu dan cucunya mengalami hal ini. Mama Sofiya menarik nafas berat untuk membebaskan sesak dadanya. Hingga setelah beberapa menit ruangan itu terbuka dan dokter keluar, disambut oleh Mama Sofiya yang sigap berdiri. "B—bagaimana, Dok?" tanya Mama Sofiya dengan mata merahnya. Dokter itu tersenyum, "Kami hampir saja kehilangan si kembar, tapi beruntung bisa cepat dit
"Fatih tadi mimpi ketemu Ena dan Arka, Kek! mereka sedang berlarian di taman dengan bahagia dan mereka menitip cinta untuk Ayah dan Ibu!" jawab Fatih. Fatih menghela nafas pelan. "Bukankah itu artinya Ayah masih hidup, Kek!" lanjutnya. Papa Ameer menghela nafas pelan, mendengarkan mimpi anak kecil yang rindu dengan Ayah mereka. "Tapi mustahil Untuk Ayah hidup, Fatih! karena Sungai Aare sangat panjang dan luas, Ikhlaskan ayahmu berenang sepuasnya, Nak!" jawab Kakek Ameer. Fatih tidak lagi menjawab ucapan sang kakek. Fatih diam dan Meyakini dalam hatinya jika sang ayah masih hidup. Fatih ingin percaya sekali lagi dengan mimpinya. Dan memupuk sekali lagi harapannya untuk kehidupan sang Ayah. Papa Ameer kembali melanjutkan jalannya menuju ruangan Zahra. Papa Amel juga sangat khawatir dengan kondisi Zahra dan kembar.hingga langkah bapak Ameer berhenti di depan ruangan Zahra. Ckle
Mobil Papa Ameer terpental pagar pembatas dan terbalik. Beruntung airbag berfungsi dengan baik dan tepat waktu. Dengan sisa tenaga, Papa Ameer membawa cucunya untuk keluar dari mobil itu. Karena, Papa Ameer melihat Fatih sudah tak sadarkan diri. Membaca sang cucu menjauh dari mobil dan duduk di ujung trotoar sambil mengguncang tubuh cucunya. "Fatih! Nak, bangunlah, Sayang! Jangan buat Kakek takut!" gumam Papa Ameer. Memeluk erat tubuh lemas itu, dan menciumi seluruh tubuh Fatih. Orang-orang mulai berdatangan dan beberapa membantu menelpon ambulance untuk datang. "Sayang, bangun, Nak!" lirih Papa Ameer. Fatih nya sudah merasakan sakit beberapa hari ini, membuat Papa Ameer sangat sedih. Merasa bersalah karena kesalahannya sang cucu kembali harus merasakan sakit. "Bangun, Nak! Maafkan Kakek!" racau Papa Ameer. Hingga sebuah ambulance datang dengan cepat dan Papa Ameer
Mama Sofiya yang mengerti perasaan Zahra hanya mengusap punggung Zahra dengan lembut. "Terima kasih sudah hadir di keluarga ini, Nak!" jawab Mama Sofiya. Dan merekapun kembali melakukan aktivitasnya tanpa mengetahui jika Papa Ameer dan Fatih sedang ada di UGD. Hingga malam tiba, Zahra sudah menyelesaikan sholat isya dibantu oleh Mama Sofiya. Namun Papa Ameer dan Fatih tak kunjung kembali. "Mah, Papa dan Fatih kok belum kembali ya?" tanyanya. Mama Sofiya menggeleng, "Mama juga gak tau, Nak! Sebentar Mama telpon!" Zahra mengangguk dan kembali melanjutkan bacaan Al-Qurannya yang sempat terjeda. Sedangkan Mama Sofiya mencoba menghubungi ponsel Papa Ameer. Namun panggilan itu tidak aktif. Mama Sofiya mengerutkan dahi sambil bergumam, "Tumben ponsel Papa tidak aktif!""Ada apa, Mah?" tanya Zahra yang mendengar gumaman Mama Sofiya pelan. "Gak tau, Ra! Ponsel Papa gak aktif
Hari berganti dan Zahra akhirnya diizinkan pulang oleh rumah sakit. Setelah hampir satu minggu di tempat tidur, makan, sholat, minum, buang air. Dan selama itu juga, Mama Sofiya dengan sabar dan telaten membantu Zahra. Walaupun dengan banyak catatan agar tidak terlalu lelah saat rawat jalan. Dan masih harus duduk di kursi roda, selain kandungannya beresiko, kandungannya juga lemah karena stress. Mereka tetap bahagia Zahra sudah lebih baik dari sebelumnya. "Mah, Tidak usah di dorong! Zahra tinggal pencet tombolnya saja!" kata Zahra yang tidak ingin Mama Sofiya repot. Namun Mama Sofiya tetaplah Mamah yang selalu ingin memberikan yang terbaik untuk Zahra. "Mamah senang mendorongmu, Ra!" jawab Mama Sofiya. Zahra merengut, "Mah, Zahra gak mau Mamah capek! Jauh, Mah!" Mama Sofiya tersenyum, "Baiklah, Ra! Mama tidak lagi dorong!" Karena menuju gate dan turun ke landasan di bandara
Zahra menggeleng, "Tidak, Pah!" Zahra sejujurnya terkejut dengan ucapan Papa Ameer. Ikhlas saja belum sepenuhnya Zahra lakukan. Bagaimana bisa berganti hati. "Zahra akan fokus pada anak-anak dan menjalankan toko kue, Zahra! Zahra hanya mau Mas Ridwan, di dunia dan Akhirat, Pah! Mas Ridwan menunggu Zahra disana, dan Zahra akan menyusul dalam keadaan utuh kelak!" tegasnya. Papa Ameer dan Mama Sofiya mendengar dengan perasaan yang campur aduk. Zahra tetaplah perempuan yang butuh seseorang kelak, tapi melihat kesetiaan Zahra dan Ridwan selama ini membuat mereka terharu. "Mama dan Papa akan mendampingi kamu, Ra! Jangan pernah takut sendiri!" kata Mama Sofiya. "Semoga Allah menguatkan kita selalu!" jawab Papa Ameer kemudian beranjak dan kembali ke kursinya. Hatinya telah lega. Satu per satu cobaan telah dilalui, dan kini kembali dengan hati yang telah sedikit ikhlas. Perjalanan tiga jam itu