Mama Sofiya yang mengerti perasaan Zahra hanya mengusap punggung Zahra dengan lembut.
"Terima kasih sudah hadir di keluarga ini, Nak!" jawab Mama Sofiya.Dan merekapun kembali melakukan aktivitasnya tanpa mengetahui jika Papa Ameer dan Fatih sedang ada di UGD.Hingga malam tiba, Zahra sudah menyelesaikan sholat isya dibantu oleh Mama Sofiya.Namun Papa Ameer dan Fatih tak kunjung kembali."Mah, Papa dan Fatih kok belum kembali ya?" tanyanya.Mama Sofiya menggeleng, "Mama juga gak tau, Nak! Sebentar Mama telpon!"Zahra mengangguk dan kembali melanjutkan bacaan Al-Qurannya yang sempat terjeda.Sedangkan Mama Sofiya mencoba menghubungi ponsel Papa Ameer.Namun panggilan itu tidak aktif.Mama Sofiya mengerutkan dahi sambil bergumam, "Tumben ponsel Papa tidak aktif!""Ada apa, Mah?" tanya Zahra yang mendengar gumaman Mama Sofiya pelan."Gak tau, Ra! Ponsel Papa gak aktifHari berganti dan Zahra akhirnya diizinkan pulang oleh rumah sakit. Setelah hampir satu minggu di tempat tidur, makan, sholat, minum, buang air. Dan selama itu juga, Mama Sofiya dengan sabar dan telaten membantu Zahra. Walaupun dengan banyak catatan agar tidak terlalu lelah saat rawat jalan. Dan masih harus duduk di kursi roda, selain kandungannya beresiko, kandungannya juga lemah karena stress. Mereka tetap bahagia Zahra sudah lebih baik dari sebelumnya. "Mah, Tidak usah di dorong! Zahra tinggal pencet tombolnya saja!" kata Zahra yang tidak ingin Mama Sofiya repot. Namun Mama Sofiya tetaplah Mamah yang selalu ingin memberikan yang terbaik untuk Zahra. "Mamah senang mendorongmu, Ra!" jawab Mama Sofiya. Zahra merengut, "Mah, Zahra gak mau Mamah capek! Jauh, Mah!" Mama Sofiya tersenyum, "Baiklah, Ra! Mama tidak lagi dorong!" Karena menuju gate dan turun ke landasan di bandara
Zahra menggeleng, "Tidak, Pah!" Zahra sejujurnya terkejut dengan ucapan Papa Ameer. Ikhlas saja belum sepenuhnya Zahra lakukan. Bagaimana bisa berganti hati. "Zahra akan fokus pada anak-anak dan menjalankan toko kue, Zahra! Zahra hanya mau Mas Ridwan, di dunia dan Akhirat, Pah! Mas Ridwan menunggu Zahra disana, dan Zahra akan menyusul dalam keadaan utuh kelak!" tegasnya. Papa Ameer dan Mama Sofiya mendengar dengan perasaan yang campur aduk. Zahra tetaplah perempuan yang butuh seseorang kelak, tapi melihat kesetiaan Zahra dan Ridwan selama ini membuat mereka terharu. "Mama dan Papa akan mendampingi kamu, Ra! Jangan pernah takut sendiri!" kata Mama Sofiya. "Semoga Allah menguatkan kita selalu!" jawab Papa Ameer kemudian beranjak dan kembali ke kursinya. Hatinya telah lega. Satu per satu cobaan telah dilalui, dan kini kembali dengan hati yang telah sedikit ikhlas. Perjalanan tiga jam itu
Papa Ameer berdecak kesal dengan sahabatnya itu. "Ayolah ... Ambilah satu mobil kesukaanmu di garansi ku!" jawab Papa Ameer. "Rolls-Royce Boat Tail hitammu! Deal!" tawar Kolor. Papa Ameer menggelengkan kepala dengan sahabatnya itu. "Kau masih saja sama, Lor! Ya ambilah kalau kau berhasil!" jawab Papa Ameer. Kemudian mematikan panggilannya dengan senyum. Sahabatnya memang pecinta mobil mahal. Tapi Papa Ameer tidak pernah berfikir Kolor akan mengambil mobil termahalnya. "Siap-siap 400 milyarku hilang! Dasar Kolor!" gumam Papa Ameer. Namun hatinya tetap lega karena kabar dari sahabatnya itu. Papa Ameer berdiri dan keluar dari ruang kerjanya. Berjalan menuju kamar dan mencari istrinya namun tidak ada, "kemana istriku?" gumamnya. Papa Ameer masuk ke kamar Oma, siapa tau menemukan sang istri. Namun hanya mendapati Ibunya tengah tidur. Oma sekarang ban
"Iya Tan, Gimana kabarnya? Semoga Allah memberi kesabaran untuk keluarga, Tante!" katanya. Feron merupakan putra dari sahabatnya. "Aamiin, Terima kasih, Feron! Mamamu sehat?" tanya Mama Sofiya berbasa-basi. Mengulur waktu menunggu suaminya datang, karena Mama Sofiya tentu tidak membiarkan menantunya digendong oleh laki-laki yang bukan mahromnya. "Alhamdulillah sehat, Tan!" jawab Feron manis. Feron melirik Zahra yang menunduk, "Biar Feron saja yang bantu Zahra, Tan!" Mama Sofiya tersenyum, "Tidak usah repot-repot, Nak! Zahra bukan mahrommu!" Zahra bernafas lega dengan jawaban Mama Sofiya. Karena Zahra tentu akan menolak keras laki-laki yang tidak dia kenal akan menggendongnya. Dan Zahra lebih memilik pelan-pelan berjalan naik seorang diri. "Baiklah, mari duduk dulu, Tan! sambil menunggu Om Ameer mengangkat panggilan dari Tante!" ajak Feron. Mama Sofiya mengangguk, saran Feron
Perdebatan Mama Sofiya dan Papa Ameer itu berakhir saat mendengar suara Zahra. "Pah! Mah ...," panggil Zahra. "Ya, Sayang!" jawab mereka bersamaan. Zahra kemudian tersenyum melihat dua orang itu begitu kompak. "Zahra tidak akan menikah lagi, Mah, Pah! Seberapapun dia mengejar Zahra, jadi Papa dan Mama tidak boleh bertengkar!" jawabnya lirih. Papa Ameer dan Mama Sofiya seperti terhipnotis dengan suara lembut Zahra. Mereka berdua reflek mengangguk. Papa pun merasa tenang dengan jawaban Zahra dan memutuskan kembali ke kantor. Sedangkan Mama tetap bersama Zahra. Hari pertama Zahra kembali ke toko kue, banyak laporan yang asistennya berikan dengan beberapa cabang baru yang rencananya memang harus launcing bulan depan. Zahra mulai berfikir, apakah kali ini dia akan launching toko benar-benar tanpa suaminya. Zahra mengenyahkan pemikiran yang membuatnya sedih lagi, dia kembali menge
Ridwan tergagap melihat wajah Ameer. Ameer tersenyum melihat Ridwan, "Ameer, Senang berkenalan dengan Anda!" Emir kemudian memainkan pipi baby Arey yang sangat lucu, "Tumben istrinya tidak ikut, Pak Ridwan?" "Sedang ada operasi di rumah sakit, Pak!" jawab Ridwan. Mereka bertiga duduk di pembatasan pantai itu, dan Ameer menatap seorang anak yang di pangku Ridwan. Wajah itu mirip sekali dengan Ridwan kecil. Ameer tidak mungkin melupakan itu. Hatinya bergejolak setengah mati, didepannya kkini, meer sangat yakin jika dia adalah anaknya. Dan bayi itu, cucunya? Bagaimana bisa Ridwan memiliki putra dari Delena sedang mereka tidak pernah melakukan apapun. Bagaimana jika Zahra tau ini semua? pikiran Ameer berkecamuk"Oh, Begitu! Baby Arey sangat tampan sekali!" gumam Emir. Ridwan mengangguk dan tersenyum, "sangat tampan, seperti Ayahnya!" canda Ridwan. Sedangkan Ameer yang melihat itu
Ridwan memegang kepala Delena untuk menjauh dan melepaskan senjatanya dari mulutnya."Kau gila, Delena!" pekik Ridwan saat Delena terus menghisap dan tidak mau melepaskan benda di bawah sana. Ridwan mulai merasakan linu karena hisapan Delena. "Au!" pekiknya melonggarkan tarikan. Karena semakin Ridwan menarik semakin Ridwan merasa linu pada ujung kepalanya. Delena tak menyia-nyiakan kesempatan itu, kemudian mulai memanjakan benda di bawah sana yang mulai mengeras. Ridwan sendiri bingung harus melakukan apa.Kemudian berusaha melepaskan kepala Delena lagi dan tidak berhasil karena Delena benar-benar tak melepaskan bendanya dibawah sana. Aksi tarik-menarik benda di bawah sana membuat mereka bergeser terutama Ridwan yang mencoba bergeser ke belakang. Hingga tersandung sofa dan terduduk di sofa. Hal itu semakin mempermudah aksi Delena. Ridwan mulai mencari apa saja yang bisa dipega
Ridwan diam mendengar penolakan Ameer. Entah kenapa perasaannya menjadi sedih. "Setidaknya bawalah aku ke Turki, aku akan melihat kalian dari jauh!" rayu Ridwan lagi. Ameer menghela nafas dan menjawab, "Simpanlah nomerku, Ridwan! Dan tanyakan apa saja yang mengganggu pikiranmu, setelah kamu mengingat sesuatu aku akan menjemputmu, Nak!" Deg! Panggilan Papa Ameer membuat jantung Ridwan berdetak. "Jika benar wanita itu bukan istriku, kenapa tidak bawa saja aku sekarang?" tanya Ridwan. "Menantuku sedang hamil besar dan beresiko, hampir keguguran karena kamu hilang! Jadi aku tidak ingin dia sedih!" jawab Ameer singkat. "Ra! Apa namanya ada Ra-nya?" tanya Ridwan. "Iya, Azzahrana Azmi Ahmad! Kita semua memanggilnya Zahra!" jawab Papa Ameer. Jantung Ridwan berdetak kencang mendengar nama itu. Seperti ada saya tarik besar yang Ridwan rasakan. "Tolong, Bawa saya! Saya tidak memiliki paspor dan