Zahra menggeleng, "Tidak, Pah!"
Zahra sejujurnya terkejut dengan ucapan Papa Ameer. Ikhlas saja belum sepenuhnya Zahra lakukan.Bagaimana bisa berganti hati."Zahra akan fokus pada anak-anak dan menjalankan toko kue, Zahra! Zahra hanya mau Mas Ridwan, di dunia dan Akhirat, Pah! Mas Ridwan menunggu Zahra disana, dan Zahra akan menyusul dalam keadaan utuh kelak!" tegasnya.Papa Ameer dan Mama Sofiya mendengar dengan perasaan yang campur aduk.Zahra tetaplah perempuan yang butuh seseorang kelak, tapi melihat kesetiaan Zahra dan Ridwan selama ini membuat mereka terharu."Mama dan Papa akan mendampingi kamu, Ra! Jangan pernah takut sendiri!" kata Mama Sofiya."Semoga Allah menguatkan kita selalu!" jawab Papa Ameer kemudian beranjak dan kembali ke kursinya.Hatinya telah lega.Satu per satu cobaan telah dilalui, dan kini kembali dengan hati yang telah sedikit ikhlas.Perjalanan tiga jam ituPapa Ameer berdecak kesal dengan sahabatnya itu. "Ayolah ... Ambilah satu mobil kesukaanmu di garansi ku!" jawab Papa Ameer. "Rolls-Royce Boat Tail hitammu! Deal!" tawar Kolor. Papa Ameer menggelengkan kepala dengan sahabatnya itu. "Kau masih saja sama, Lor! Ya ambilah kalau kau berhasil!" jawab Papa Ameer. Kemudian mematikan panggilannya dengan senyum. Sahabatnya memang pecinta mobil mahal. Tapi Papa Ameer tidak pernah berfikir Kolor akan mengambil mobil termahalnya. "Siap-siap 400 milyarku hilang! Dasar Kolor!" gumam Papa Ameer. Namun hatinya tetap lega karena kabar dari sahabatnya itu. Papa Ameer berdiri dan keluar dari ruang kerjanya. Berjalan menuju kamar dan mencari istrinya namun tidak ada, "kemana istriku?" gumamnya. Papa Ameer masuk ke kamar Oma, siapa tau menemukan sang istri. Namun hanya mendapati Ibunya tengah tidur. Oma sekarang ban
"Iya Tan, Gimana kabarnya? Semoga Allah memberi kesabaran untuk keluarga, Tante!" katanya. Feron merupakan putra dari sahabatnya. "Aamiin, Terima kasih, Feron! Mamamu sehat?" tanya Mama Sofiya berbasa-basi. Mengulur waktu menunggu suaminya datang, karena Mama Sofiya tentu tidak membiarkan menantunya digendong oleh laki-laki yang bukan mahromnya. "Alhamdulillah sehat, Tan!" jawab Feron manis. Feron melirik Zahra yang menunduk, "Biar Feron saja yang bantu Zahra, Tan!" Mama Sofiya tersenyum, "Tidak usah repot-repot, Nak! Zahra bukan mahrommu!" Zahra bernafas lega dengan jawaban Mama Sofiya. Karena Zahra tentu akan menolak keras laki-laki yang tidak dia kenal akan menggendongnya. Dan Zahra lebih memilik pelan-pelan berjalan naik seorang diri. "Baiklah, mari duduk dulu, Tan! sambil menunggu Om Ameer mengangkat panggilan dari Tante!" ajak Feron. Mama Sofiya mengangguk, saran Feron
Perdebatan Mama Sofiya dan Papa Ameer itu berakhir saat mendengar suara Zahra. "Pah! Mah ...," panggil Zahra. "Ya, Sayang!" jawab mereka bersamaan. Zahra kemudian tersenyum melihat dua orang itu begitu kompak. "Zahra tidak akan menikah lagi, Mah, Pah! Seberapapun dia mengejar Zahra, jadi Papa dan Mama tidak boleh bertengkar!" jawabnya lirih. Papa Ameer dan Mama Sofiya seperti terhipnotis dengan suara lembut Zahra. Mereka berdua reflek mengangguk. Papa pun merasa tenang dengan jawaban Zahra dan memutuskan kembali ke kantor. Sedangkan Mama tetap bersama Zahra. Hari pertama Zahra kembali ke toko kue, banyak laporan yang asistennya berikan dengan beberapa cabang baru yang rencananya memang harus launcing bulan depan. Zahra mulai berfikir, apakah kali ini dia akan launching toko benar-benar tanpa suaminya. Zahra mengenyahkan pemikiran yang membuatnya sedih lagi, dia kembali menge
Ridwan tergagap melihat wajah Ameer. Ameer tersenyum melihat Ridwan, "Ameer, Senang berkenalan dengan Anda!" Emir kemudian memainkan pipi baby Arey yang sangat lucu, "Tumben istrinya tidak ikut, Pak Ridwan?" "Sedang ada operasi di rumah sakit, Pak!" jawab Ridwan. Mereka bertiga duduk di pembatasan pantai itu, dan Ameer menatap seorang anak yang di pangku Ridwan. Wajah itu mirip sekali dengan Ridwan kecil. Ameer tidak mungkin melupakan itu. Hatinya bergejolak setengah mati, didepannya kkini, meer sangat yakin jika dia adalah anaknya. Dan bayi itu, cucunya? Bagaimana bisa Ridwan memiliki putra dari Delena sedang mereka tidak pernah melakukan apapun. Bagaimana jika Zahra tau ini semua? pikiran Ameer berkecamuk"Oh, Begitu! Baby Arey sangat tampan sekali!" gumam Emir. Ridwan mengangguk dan tersenyum, "sangat tampan, seperti Ayahnya!" canda Ridwan. Sedangkan Ameer yang melihat itu
Ridwan memegang kepala Delena untuk menjauh dan melepaskan senjatanya dari mulutnya."Kau gila, Delena!" pekik Ridwan saat Delena terus menghisap dan tidak mau melepaskan benda di bawah sana. Ridwan mulai merasakan linu karena hisapan Delena. "Au!" pekiknya melonggarkan tarikan. Karena semakin Ridwan menarik semakin Ridwan merasa linu pada ujung kepalanya. Delena tak menyia-nyiakan kesempatan itu, kemudian mulai memanjakan benda di bawah sana yang mulai mengeras. Ridwan sendiri bingung harus melakukan apa.Kemudian berusaha melepaskan kepala Delena lagi dan tidak berhasil karena Delena benar-benar tak melepaskan bendanya dibawah sana. Aksi tarik-menarik benda di bawah sana membuat mereka bergeser terutama Ridwan yang mencoba bergeser ke belakang. Hingga tersandung sofa dan terduduk di sofa. Hal itu semakin mempermudah aksi Delena. Ridwan mulai mencari apa saja yang bisa dipega
Ridwan diam mendengar penolakan Ameer. Entah kenapa perasaannya menjadi sedih. "Setidaknya bawalah aku ke Turki, aku akan melihat kalian dari jauh!" rayu Ridwan lagi. Ameer menghela nafas dan menjawab, "Simpanlah nomerku, Ridwan! Dan tanyakan apa saja yang mengganggu pikiranmu, setelah kamu mengingat sesuatu aku akan menjemputmu, Nak!" Deg! Panggilan Papa Ameer membuat jantung Ridwan berdetak. "Jika benar wanita itu bukan istriku, kenapa tidak bawa saja aku sekarang?" tanya Ridwan. "Menantuku sedang hamil besar dan beresiko, hampir keguguran karena kamu hilang! Jadi aku tidak ingin dia sedih!" jawab Ameer singkat. "Ra! Apa namanya ada Ra-nya?" tanya Ridwan. "Iya, Azzahrana Azmi Ahmad! Kita semua memanggilnya Zahra!" jawab Papa Ameer. Jantung Ridwan berdetak kencang mendengar nama itu. Seperti ada saya tarik besar yang Ridwan rasakan. "Tolong, Bawa saya! Saya tidak memiliki paspor dan
Pekikan Mama Sofiya menggema di Mansion itu sambil mendekati Ridwan. Sedangkan Zahra berjalan sempoyongan mendekat. Papa Ameer berada di belakang Zahra untuk menjaga sang menantu agar tidak jatuh sambil menelpon dokter untuk datang. "Nak, Bangun! Ridwan!" pekik Mama Sofiya sambil menggoyangkan tubuh Ridwan begitupun dengan Fatih. Papa Ameer buru-buru memggendong Zahra untuk naik ke kamarnya, "Pah, Zahra! Mas Ridwan!" kata Zahra kebingungan. "Setelah kamu berbaring, Papa akan menggendong Ridwan naik!" jawab Papa Ameer. Setelah Papa Ameer mendudukkan Zahra di ranjangnya, Papa Ameer keluar dan menggendong Ridwan dengan seluruh tenaganya. "Sebesar ini masih saja digendong Papa kamu, Ridwan!" keluhnya menggendong Ridwan di punggung dibantu Mama Sofiya memegangi punggung Ridwan. Ameer kemudian membaringkan Ridwan di ranjang Zahra, Zahra hanya menatap suaminya tak berani mendekat. Papa Ameer mendudukk
Ridwan terkejut karena Zahra mendorong dirinya hingga tertidur di kasur. "Dimana wanita itu menyentuhmu, Mas!" kata Zahra mendekat sambil menunduk. Ridwan hanya menatap bibir Zahra yang bicara sambil menetralkan debaran di dadanya. Zahra kemudian mencium lembut Ridwan. Ciuman yang sama dengan selama ini Ridwan berikan padanya. Ridwan terbuai dengan ciuman lembut itu dan secara tiba-tiba membalas ciuman itu dengan deburan ombak di dadanya. Begitu lembut dan membuat Ridwan terbuai dengan ciuman itu sambil menutup matanya. Bayangan ciuman-ciumannya dengan sang istri mulai satu persatu muncul seperti monogram. Muncul hilang-muncul hilang. Tanpa Ridwan sadari dirinya sudah kehilangan penutup tubuhnya, karena ulah tangan Zahra. Zahra mengakhiri ciuman itu dan melepas kerudungnya.Deg! Jantung Ridwan seperti dipompa menatap istrinya tanpa kerudung, dan sekelebat bayangan w
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s