Zahra terpekik sambil memegangi perutnya yang terasa sangat sakit.
Seperti tengah dipelintir dan diperas hidup-hidup.Zahra menunduk dalam memeluk perutnya yang sedikit membuncit."Tolong! Tolong!" teriak Fatih sambil berusaha turun dari kasurnya melepas semua alat yang terpasang di tubuhnya."Bu! Maafkan Fatih! Bu!" teriak Fatih panik melihat Ibunya kesakitan.Cklek!"Ra! Fatih!" teriak Mama Sofiya sambil berlari memegangi tangan Zahra yang tengah memeluk perutnya sendiri."S—sakit, Mah!" rintih Zahra yang sudah memutih.Mama Sofiya yang melihat Zahra sangat pucat mulai panik dan menuntun menuju ranjangnya lagi.Membantu Zahra membaringkan tubuh, namun sakit itu teramat sangat hingga Zahra tak kuat berbaring.Zahra meringkuk memeluk perutnya sendiri diatas ranjang itu, dan Mama Sofiya mengusap kepala Zahra."Ra, Istighfar, Nak! Kamu harus kuat biar kembar kuat, Nak! S—sabarMama Sofiya duduk di kursi itu dengan wajah frustasi yang tak bisa disembunyikan. "Ya Rabb, Selamatkan menantu dan cucu-cucu kami. Angkatlah sakit menantuku!" batin Mama Sofiya berdoa. Melambungkan harapan pada Allah, sang pemilik semesta, karena Mama Sofiya yakin, dirinya tak akan kecewa jika bergantung pada Rabb-nya.Berdoa untuk menantu dan kembar, juga untuk Fatih yang dibawa oleh suaminya. Dadanya terasa sangat sesak. Jika Mama Sofiya bisa memilih, lebih baik dirinya yang menanggung kesakitan mereka. Tak tega melihat menantu dan cucunya mengalami hal ini. Mama Sofiya menarik nafas berat untuk membebaskan sesak dadanya. Hingga setelah beberapa menit ruangan itu terbuka dan dokter keluar, disambut oleh Mama Sofiya yang sigap berdiri. "B—bagaimana, Dok?" tanya Mama Sofiya dengan mata merahnya. Dokter itu tersenyum, "Kami hampir saja kehilangan si kembar, tapi beruntung bisa cepat dit
"Fatih tadi mimpi ketemu Ena dan Arka, Kek! mereka sedang berlarian di taman dengan bahagia dan mereka menitip cinta untuk Ayah dan Ibu!" jawab Fatih. Fatih menghela nafas pelan. "Bukankah itu artinya Ayah masih hidup, Kek!" lanjutnya. Papa Ameer menghela nafas pelan, mendengarkan mimpi anak kecil yang rindu dengan Ayah mereka. "Tapi mustahil Untuk Ayah hidup, Fatih! karena Sungai Aare sangat panjang dan luas, Ikhlaskan ayahmu berenang sepuasnya, Nak!" jawab Kakek Ameer. Fatih tidak lagi menjawab ucapan sang kakek. Fatih diam dan Meyakini dalam hatinya jika sang ayah masih hidup. Fatih ingin percaya sekali lagi dengan mimpinya. Dan memupuk sekali lagi harapannya untuk kehidupan sang Ayah. Papa Ameer kembali melanjutkan jalannya menuju ruangan Zahra. Papa Amel juga sangat khawatir dengan kondisi Zahra dan kembar.hingga langkah bapak Ameer berhenti di depan ruangan Zahra. Ckle
Mobil Papa Ameer terpental pagar pembatas dan terbalik. Beruntung airbag berfungsi dengan baik dan tepat waktu. Dengan sisa tenaga, Papa Ameer membawa cucunya untuk keluar dari mobil itu. Karena, Papa Ameer melihat Fatih sudah tak sadarkan diri. Membaca sang cucu menjauh dari mobil dan duduk di ujung trotoar sambil mengguncang tubuh cucunya. "Fatih! Nak, bangunlah, Sayang! Jangan buat Kakek takut!" gumam Papa Ameer. Memeluk erat tubuh lemas itu, dan menciumi seluruh tubuh Fatih. Orang-orang mulai berdatangan dan beberapa membantu menelpon ambulance untuk datang. "Sayang, bangun, Nak!" lirih Papa Ameer. Fatih nya sudah merasakan sakit beberapa hari ini, membuat Papa Ameer sangat sedih. Merasa bersalah karena kesalahannya sang cucu kembali harus merasakan sakit. "Bangun, Nak! Maafkan Kakek!" racau Papa Ameer. Hingga sebuah ambulance datang dengan cepat dan Papa Ameer
Mama Sofiya yang mengerti perasaan Zahra hanya mengusap punggung Zahra dengan lembut. "Terima kasih sudah hadir di keluarga ini, Nak!" jawab Mama Sofiya. Dan merekapun kembali melakukan aktivitasnya tanpa mengetahui jika Papa Ameer dan Fatih sedang ada di UGD. Hingga malam tiba, Zahra sudah menyelesaikan sholat isya dibantu oleh Mama Sofiya. Namun Papa Ameer dan Fatih tak kunjung kembali. "Mah, Papa dan Fatih kok belum kembali ya?" tanyanya. Mama Sofiya menggeleng, "Mama juga gak tau, Nak! Sebentar Mama telpon!" Zahra mengangguk dan kembali melanjutkan bacaan Al-Qurannya yang sempat terjeda. Sedangkan Mama Sofiya mencoba menghubungi ponsel Papa Ameer. Namun panggilan itu tidak aktif. Mama Sofiya mengerutkan dahi sambil bergumam, "Tumben ponsel Papa tidak aktif!""Ada apa, Mah?" tanya Zahra yang mendengar gumaman Mama Sofiya pelan. "Gak tau, Ra! Ponsel Papa gak aktif
Hari berganti dan Zahra akhirnya diizinkan pulang oleh rumah sakit. Setelah hampir satu minggu di tempat tidur, makan, sholat, minum, buang air. Dan selama itu juga, Mama Sofiya dengan sabar dan telaten membantu Zahra. Walaupun dengan banyak catatan agar tidak terlalu lelah saat rawat jalan. Dan masih harus duduk di kursi roda, selain kandungannya beresiko, kandungannya juga lemah karena stress. Mereka tetap bahagia Zahra sudah lebih baik dari sebelumnya. "Mah, Tidak usah di dorong! Zahra tinggal pencet tombolnya saja!" kata Zahra yang tidak ingin Mama Sofiya repot. Namun Mama Sofiya tetaplah Mamah yang selalu ingin memberikan yang terbaik untuk Zahra. "Mamah senang mendorongmu, Ra!" jawab Mama Sofiya. Zahra merengut, "Mah, Zahra gak mau Mamah capek! Jauh, Mah!" Mama Sofiya tersenyum, "Baiklah, Ra! Mama tidak lagi dorong!" Karena menuju gate dan turun ke landasan di bandara
Zahra menggeleng, "Tidak, Pah!" Zahra sejujurnya terkejut dengan ucapan Papa Ameer. Ikhlas saja belum sepenuhnya Zahra lakukan. Bagaimana bisa berganti hati. "Zahra akan fokus pada anak-anak dan menjalankan toko kue, Zahra! Zahra hanya mau Mas Ridwan, di dunia dan Akhirat, Pah! Mas Ridwan menunggu Zahra disana, dan Zahra akan menyusul dalam keadaan utuh kelak!" tegasnya. Papa Ameer dan Mama Sofiya mendengar dengan perasaan yang campur aduk. Zahra tetaplah perempuan yang butuh seseorang kelak, tapi melihat kesetiaan Zahra dan Ridwan selama ini membuat mereka terharu. "Mama dan Papa akan mendampingi kamu, Ra! Jangan pernah takut sendiri!" kata Mama Sofiya. "Semoga Allah menguatkan kita selalu!" jawab Papa Ameer kemudian beranjak dan kembali ke kursinya. Hatinya telah lega. Satu per satu cobaan telah dilalui, dan kini kembali dengan hati yang telah sedikit ikhlas. Perjalanan tiga jam itu
Papa Ameer berdecak kesal dengan sahabatnya itu. "Ayolah ... Ambilah satu mobil kesukaanmu di garansi ku!" jawab Papa Ameer. "Rolls-Royce Boat Tail hitammu! Deal!" tawar Kolor. Papa Ameer menggelengkan kepala dengan sahabatnya itu. "Kau masih saja sama, Lor! Ya ambilah kalau kau berhasil!" jawab Papa Ameer. Kemudian mematikan panggilannya dengan senyum. Sahabatnya memang pecinta mobil mahal. Tapi Papa Ameer tidak pernah berfikir Kolor akan mengambil mobil termahalnya. "Siap-siap 400 milyarku hilang! Dasar Kolor!" gumam Papa Ameer. Namun hatinya tetap lega karena kabar dari sahabatnya itu. Papa Ameer berdiri dan keluar dari ruang kerjanya. Berjalan menuju kamar dan mencari istrinya namun tidak ada, "kemana istriku?" gumamnya. Papa Ameer masuk ke kamar Oma, siapa tau menemukan sang istri. Namun hanya mendapati Ibunya tengah tidur. Oma sekarang ban
"Iya Tan, Gimana kabarnya? Semoga Allah memberi kesabaran untuk keluarga, Tante!" katanya. Feron merupakan putra dari sahabatnya. "Aamiin, Terima kasih, Feron! Mamamu sehat?" tanya Mama Sofiya berbasa-basi. Mengulur waktu menunggu suaminya datang, karena Mama Sofiya tentu tidak membiarkan menantunya digendong oleh laki-laki yang bukan mahromnya. "Alhamdulillah sehat, Tan!" jawab Feron manis. Feron melirik Zahra yang menunduk, "Biar Feron saja yang bantu Zahra, Tan!" Mama Sofiya tersenyum, "Tidak usah repot-repot, Nak! Zahra bukan mahrommu!" Zahra bernafas lega dengan jawaban Mama Sofiya. Karena Zahra tentu akan menolak keras laki-laki yang tidak dia kenal akan menggendongnya. Dan Zahra lebih memilik pelan-pelan berjalan naik seorang diri. "Baiklah, mari duduk dulu, Tan! sambil menunggu Om Ameer mengangkat panggilan dari Tante!" ajak Feron. Mama Sofiya mengangguk, saran Feron
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s