Setelah beberapa jam Dokter Aruni mengizinkan Zahra pulang.
Dan sepanjang perjalanan, Zahra dan Ridwan terdiam karena merasa malu pada Mama dan Papa.Setelah sampai di rumah mereka kembali ke kamar masing-masing dan Fatih tidur bersama Ayah dan Ibunya.Papa Ameer yang meminta Fatih tidak meninggalkan Zahra.Agar tidak dimangsa oleh predator yang puasa tiga bulan itu.Sedangkan Ridwan hanya tersenyum melihat ke posesifan Papanya pada Zahra.Ridwan kini tidak bisa tidur, memandang wajah Zahra dan Fatih bergantian.Meresapi rasa dalam dadanya, memancing lebih banyak ingatan untuknya.Hingga hari sudah sangat larut dan Ridwan masih menatap intens putranya dan sebuah bayangan berkelebat dalam otaknya.Ridwan menutup mata dan terus berusaha untuk menarik ingatan yang lainnya agar segera datang."Benar kata Zahra, pelan-pelan saja!" lirih Ridwan.Ridwan kemudian menyusul Zahra dan FSuasana dan keadaan mereka yang sudah polos membuat Zahra juga mengangguk menatap suaminya. Ridwan yang mendapat lampu hijau dari istrinya pun menggendong Zahra ala bridal menuju ke ranjangnya. Karena perut Zahra yang sudah sangat besar membuat aktivitas mereka memiliki gaya yang semakin mengerucut. Zahra yang ditatap dalam oleh suaminya menjadi tersipu. Hal itu membuat Ridwan terkekeh, "kamu masih saja malu, Ra! Aku suamimu dan kita sudah akan memiliki tiga putra!" Perkataan Ridwan semakin membuat Zahra merona. "Mas!" rengeknya sambil mendusel dilengan sang suami. Ridwan semakin bersemangat karena tingkah manja Zahra yang sangat menggemaskan untuknya. "Kau semakin cantik saat malu, Ra! Bidadariku!" lirih Ridwan sambil meletakkan Zahra di ranjang. Dan Ridwan mulai melakukan aksinya untuk membuat Zahra melayang. Ridwan menahan bobot tubuhnya dengan kedua tangannya agar tidak menindih perut buncit Zahra. Mengecup pelan bibir dan lanjut menyesap, melumat bibir yang membuatnya s
Zahra kemudian beranjak dari tidurnya dan pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Hati Zahra tentu tersayat dengan bentakan dan tatapan permusuhan Ridwan. Zahra hanya memberi solusi dan tidak memaksa sama sekali. Kenapa seolah semua menjadi kesalahan Zahra, bukankah disini dirinya adalah korban. Zahra berendam di bath up sambil menutup matanya memikirkan kembali perkataannya. Zahra takut jika dirinyalah yang menyakiti hati suaminya, namun Zahra tak mengatakan apapun yang menyakitkan. Zahra terus memejamkan mata sambil merasakan hangatnya air bath up. Hingga lama-lama Zahra merosot dan menenggelamkan kepalanya, menahan nafas sebentar sambil menikmati kehangatan ke seluruh tubuh. Tanpa membuka mata, Zahra merasakan sangat rilex masuk sepenuhnya ke dalam air hangat. Perasaan tenang itu membuat Zahra betah menutup mata tanpa sadar jika dirinya sudah lama menenggelamkan kepalanya.
Bagai dihantam batu besar, perasaan dan hati Zahra tercabik-cabik sejak tadi. Zahra hanya bisa meredam sakit hatinya dengan beristighfar sebanyak yang lisannya bisa. Dadanya sesak. Sedang Ridwan mengerutkan keningnya dengan ucapan gila Delena. Brak! "Omong kosong! Kamu gila, Del! Aku bahkan tidak pernah penyentuhmu!" teriak Ridwan sambil menggebrak meja didepannya. Ridwan sangat marah dengan fitnah yang Delena lontarkan. Sedangkan sisi lain hatinya, dia juga sangat khawatir pada Zahra yang tengah mengandung si kembar. Ridwan takut Zahra terpengaruh dengan ucapan Delena melihat riwayat dirinya pernah bersama Delena tiga bulan. Zahra masih menahan dada dan hatinya saat ini mendengar perdebatan suaminya dan juga Delena. "Kau melupakannya, Ridwan? Aku bahkan tidak melupakan ciuman panasmu dan permainan ranjangmu!" jawab Delena santai. Namun berbeda dengan Ridwan yang dilanda emo
Papa Ameer sangat panik dan menggendong istrinya yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Papa Ameer bisa merasakan sesedih apa istrinya saat ini. Papa Ameer berlari menuju UGD yang tidak jauh dari IGD dan langsung menidurkan Mama Sofiya di bangkar rumah sakit. Papa Ameer menunggu Mama Sofiya di periksa di UGD. Sedangkan Ridwan terduduk di lantai sambil meletakkan keningnya di dengkulnya sendiri. Ridwan tak bisa menutupi rasa khawatir dan ketakutan akan kehilangan sang istri atau putra-putranya. Ridwan terus melangitkan doa untuk keselamatan istri dan si kembar.Ridwan tak memiliki kemampuan untuk melakukan apapun saat ini, saat istrinya berjuang sekuat tenaga mempertahankan kembar mereka. Ridwan menjambak rambutnya sendiri karena frustasi.Otaknya tak menentu dengan segala keadaan yang rumit. Mamanya pingsan dan Papa menemani, juga kemarahan yang terlihat jelas di mata mereka. "Ak
Teriakan Mama Sofiya menggema di depan ruang IGD mendengar ucapan Dokter Aruni hingga akhirnya kembali tak sadarkan diri. "Cepat cari sampai ketemu, Ridwan! Papa yang tunggu disini dan urus Mama!" pekik Papa Ameer. Dan Ridwan berlari dengan membawa surat yang dokter Aruni berikan. Entahlah Ridwan tak banyak bertanya, dia menuju mobilnya dan bergegas ke bank darah. Sambil melajukan mobilnya, Ridwan menghubungi anak buahnya untuk berpencar menanyakan stok golongan darah istrinya. Mengantisipasi jika di pusat darah tidak ada. Ridwan melajukan mobilnya seperti orang gila, dengan kecepatan tinggi dan menyalip mobil demi mobil hingga berbentuk formasi zigzag. Ridwan tidak perduli banyak orang yang mengumpatinya di jalan. Yang Ridwan tau, dia harus segera mendapatkan darah untuk istrinya. Sesampainya di bank darah, Ridwan menyerahkan surat itu dan mendapat satu kontainer yang tertutup. Tak banyak waktu Ridwan langsung kembali ke rumah sakit dengan cepat, bersamaan dengan jantungnya
Papa Ameer hanya mengusap puncak kepala Zahra kemudian berbalik menuju sofa dan mengacuhkan Ridwan. Sedangkan Ridwan memegang tangan Zahra, "Benar Feron mengejarmu, Ra?" Zahra tersenyum, "Hanya bercanda, Mas!" "Tapi setiap hari pergi ke toko menemuimu?" tanya Ridwan dengan ekspresi tak sukanya. Zahra mengangguk, "Aku selalu bersama Mamah dan Papah, Mas! Dan hanya menemui beberapa kali saja!" "Dia berbahaya, Ra!" kata Ridwan kemudian memeluk lengan Zahra. Zahra tersipu karena ulah Ridwan, pasalnya di ruangan itu juga ada Papa dan Mamah mengawasi mereka. "Aku juga tidak berencana mengganti posisimu, Mas!" jawab Zahra. Ridwan terlihat lega walau sedikit terpengaruh dengan ucapan Papa Ameer. Setelah drama merajuk Ridwan, Mama Sofiya datang dengan membawa kain lab dan persiapan untuk sholat. Papa Ameer telah lebih dulu keluar kamar dan menuju mushola rumah sakit. Mama Sofiya meng
Ridwan yang ada di depan menatap Delena dengan tajam. "Kau sungguh membuatku marah, Del!" kata Ridwan penuh penekanan. Matanya merah, dadanya naik turun membayangkan keadaan Zahra. Dan beberapa saat setelah berkata demikian, ada dokter yang mendekat dan memasuki ruangan Zahra.Kepanikan semakin merasuki dada Ridwan. "Kamu hampir membunuh anak-anakku kemarin! Beraninya kamu, Del!" pekik Ridwan. Ridwan mencengkeram rahang Delena dengan cepat dan erat, membuat Delena meringis kesakitan. Namun tidak menyurutkan keberanian Delena, karena rasa sakit itu tidak sebanding dengan hatinya.Ditinggalkan Ridwan begitu saja setelah dirinya memberikan pelepasan pada Ridwan sangat menggores harga dirinya. "Kau juga hampir membunuhku, baby Arey dan janinmu ini!" tantang Delena. Ridwan menyeringai menakutkan dengan aura menyeramkan membuat Delena sedikit gentar. "Bahkan jika harus membunuhmu, A
Karena tanpa Ridwan sadari, Ridwan meremas tangan Zahra hingga memerah. "Tidak apa! Jangan panik!" lirih Zahra. Sedangkan Papa Ameer dan Mama Sofiya menatap Ridwan dengan tajam karena menyakiti menantunya. Ridwan tidak menggubris tatapan itu, justru Ridwan menciumi Zahra di balik cadarnya, "Maaf istri cantikku!" Zahra mengangguk. Kemudian mata Ridwan menatap Feron dengan tajam. "Woy, kenapa matamu seperti mau lepas melihatku, Ridwan!" canda Feron. Ridwan menyeringai malas, "Tentu saja, Untuk orang yang mau merebut istriku, tidak perlu berbaik hati!" Feron kemudian terkekeh dan duduk di Sofa mendekati Mama Sofiya. "Tante! Anak tante menyebalkan!" canda Feron santai. Mama Sofiya terkekeh, "Biasa, Bucin! Sana kamu menikah biar tau rasanya!" Feron kemudian menyandarkan kepalanya di sofa sambil tertawa. "Tante tau kan, Feron hanya tergoda dengan Zahra! Feron mau menikah