Papa Ameer sangat panik dan menggendong istrinya yang tiba-tiba tidak sadarkan diri.
Papa Ameer bisa merasakan sesedih apa istrinya saat ini.Papa Ameer berlari menuju UGD yang tidak jauh dari IGD dan langsung menidurkan Mama Sofiya di bangkar rumah sakit.Papa Ameer menunggu Mama Sofiya di periksa di UGD.Sedangkan Ridwan terduduk di lantai sambil meletakkan keningnya di dengkulnya sendiri.Ridwan tak bisa menutupi rasa khawatir dan ketakutan akan kehilangan sang istri atau putra-putranya.Ridwan terus melangitkan doa untuk keselamatan istri dan si kembar.Ridwan tak memiliki kemampuan untuk melakukan apapun saat ini, saat istrinya berjuang sekuat tenaga mempertahankan kembar mereka.Ridwan menjambak rambutnya sendiri karena frustasi.Otaknya tak menentu dengan segala keadaan yang rumit.Mamanya pingsan dan Papa menemani, juga kemarahan yang terlihat jelas di mata mereka."AkTeriakan Mama Sofiya menggema di depan ruang IGD mendengar ucapan Dokter Aruni hingga akhirnya kembali tak sadarkan diri. "Cepat cari sampai ketemu, Ridwan! Papa yang tunggu disini dan urus Mama!" pekik Papa Ameer. Dan Ridwan berlari dengan membawa surat yang dokter Aruni berikan. Entahlah Ridwan tak banyak bertanya, dia menuju mobilnya dan bergegas ke bank darah. Sambil melajukan mobilnya, Ridwan menghubungi anak buahnya untuk berpencar menanyakan stok golongan darah istrinya. Mengantisipasi jika di pusat darah tidak ada. Ridwan melajukan mobilnya seperti orang gila, dengan kecepatan tinggi dan menyalip mobil demi mobil hingga berbentuk formasi zigzag. Ridwan tidak perduli banyak orang yang mengumpatinya di jalan. Yang Ridwan tau, dia harus segera mendapatkan darah untuk istrinya. Sesampainya di bank darah, Ridwan menyerahkan surat itu dan mendapat satu kontainer yang tertutup. Tak banyak waktu Ridwan langsung kembali ke rumah sakit dengan cepat, bersamaan dengan jantungnya
Papa Ameer hanya mengusap puncak kepala Zahra kemudian berbalik menuju sofa dan mengacuhkan Ridwan. Sedangkan Ridwan memegang tangan Zahra, "Benar Feron mengejarmu, Ra?" Zahra tersenyum, "Hanya bercanda, Mas!" "Tapi setiap hari pergi ke toko menemuimu?" tanya Ridwan dengan ekspresi tak sukanya. Zahra mengangguk, "Aku selalu bersama Mamah dan Papah, Mas! Dan hanya menemui beberapa kali saja!" "Dia berbahaya, Ra!" kata Ridwan kemudian memeluk lengan Zahra. Zahra tersipu karena ulah Ridwan, pasalnya di ruangan itu juga ada Papa dan Mamah mengawasi mereka. "Aku juga tidak berencana mengganti posisimu, Mas!" jawab Zahra. Ridwan terlihat lega walau sedikit terpengaruh dengan ucapan Papa Ameer. Setelah drama merajuk Ridwan, Mama Sofiya datang dengan membawa kain lab dan persiapan untuk sholat. Papa Ameer telah lebih dulu keluar kamar dan menuju mushola rumah sakit. Mama Sofiya meng
Ridwan yang ada di depan menatap Delena dengan tajam. "Kau sungguh membuatku marah, Del!" kata Ridwan penuh penekanan. Matanya merah, dadanya naik turun membayangkan keadaan Zahra. Dan beberapa saat setelah berkata demikian, ada dokter yang mendekat dan memasuki ruangan Zahra.Kepanikan semakin merasuki dada Ridwan. "Kamu hampir membunuh anak-anakku kemarin! Beraninya kamu, Del!" pekik Ridwan. Ridwan mencengkeram rahang Delena dengan cepat dan erat, membuat Delena meringis kesakitan. Namun tidak menyurutkan keberanian Delena, karena rasa sakit itu tidak sebanding dengan hatinya.Ditinggalkan Ridwan begitu saja setelah dirinya memberikan pelepasan pada Ridwan sangat menggores harga dirinya. "Kau juga hampir membunuhku, baby Arey dan janinmu ini!" tantang Delena. Ridwan menyeringai menakutkan dengan aura menyeramkan membuat Delena sedikit gentar. "Bahkan jika harus membunuhmu, A
Karena tanpa Ridwan sadari, Ridwan meremas tangan Zahra hingga memerah. "Tidak apa! Jangan panik!" lirih Zahra. Sedangkan Papa Ameer dan Mama Sofiya menatap Ridwan dengan tajam karena menyakiti menantunya. Ridwan tidak menggubris tatapan itu, justru Ridwan menciumi Zahra di balik cadarnya, "Maaf istri cantikku!" Zahra mengangguk. Kemudian mata Ridwan menatap Feron dengan tajam. "Woy, kenapa matamu seperti mau lepas melihatku, Ridwan!" canda Feron. Ridwan menyeringai malas, "Tentu saja, Untuk orang yang mau merebut istriku, tidak perlu berbaik hati!" Feron kemudian terkekeh dan duduk di Sofa mendekati Mama Sofiya. "Tante! Anak tante menyebalkan!" canda Feron santai. Mama Sofiya terkekeh, "Biasa, Bucin! Sana kamu menikah biar tau rasanya!" Feron kemudian menyandarkan kepalanya di sofa sambil tertawa. "Tante tau kan, Feron hanya tergoda dengan Zahra! Feron mau menikah
Feron terus memacu tubuh wanita di depannya tanpa ampun sambil terus meneriaki nama Zahra. Laki-laki yang tidak mempercayai cinta dan rumah tangga itu, kini sangat ingin membangun rumah tangga dengan Zahra. Istri dari teman kecilnya. "Ahhh, Ra! Nikmati, Sayang! Menikahlah denganku!" racau Feron. Sedang wanita dibawahnya itu sudah tak berbentuk, merintih, memelas karena Feron melakukannya dengan brutal. "Ayo, menikah denganku, Sayang!" racaunya. Hingga Feron mempercepat gerakannnya. "Arghhhhhhh, Zahraku!" erang Feron di puncak pepelasannya. Setelah itu menarik begitu saja adeknya dan pergi menuju kamar mandi untuk berendam.Meninggalkan wanita itu dengan kondisi mengenaskan, tidak ada kata indah saling memuja dan tidak ada ciuman after sex. Sedangkan wanita itu menatap nanar Feron yang masuk ke dalam kamar mandi dengan mencengkeram erat selimut di sampingnya. Perempuan mana ya
Ridwan yang mengetahui Zahra sudah mencapai puncaknya pun berhenti dan malah menghirup aroma kesegaran itu. Membiarkan Zahra menghimpit lehernya. Hingga akhirnya Ridwan merasakan paha Zahra melemah dan dia muncul dengan tersenyum. Sedang Zahra tersipu malu karena ulahnya sendiri. Ridwan kemudian mendekat dan mencium Zahra dengan lembut, melumat dan menyesap bibir yang sangat dia rindukan. Dan Ridwan langsung memposisikan posisi ternyaman untuk melakukan pergerakan konstannya. Dan siang itu dua insan itu bergumul dalam kehangatan berbalut kerinduan yang membuncah. Gairah yang dibalut dengan cinta dan kerinduan membuat dua insan itu melebur dalam ketinggian. "Arghhh, Ra!""Arghhhh, Mas Ridwan!" pekikan dan erangan dua insan saling meneriaki nama lawan pergumulan mereka. Seolah mereka menumpahkan seluruh hasrat yang tersisa. Ridwan memeluk tubuh Zahra yang berkeringat
Ridwan yang masih menghajar beberapa preman itu tidak menyadari istrinya telah dilumpuhkan. Brumm! Hingga Ridwan yang juga mulai kuwalahan dengan beberapa preman itu mendengar suara kasar pedal gass mobil. Mereka semua menoleh termasuk Ridwan dan Ridwan terkejut mendapati istrinya dibawa oleh mobil itu. Dan itu menjadi kesempatan untuk para preman itu dan memukul tengkuk Ridwan dengan keras. Bruk! Ridwan yang lengah tersungkur dan pingsan di jalan. Kemudian para preman itu pergi meninggalkan Ridwan seorang diri. Sedangkan Papa Ameer yang tengah duduk di sofa, merasakan jamnya bergetar. Iya, Jam yang terhubung dengan Ridwan untuk megantisipasi sesuatu. "Mah, Papa pergi!" serunya kemudian berdiri dan berlari.Mama Sofiya hanya mengangguk dan melihat suaminya berlari sudah paham jika ada masalah penting. Papa Ameer mengendarai mobilnya dengan cepat sambil menelpon anak
Dan terjadi lagi, semua kejadian itu, suara itu, dan racauan laki-laki itu menggema di depan baby Arey. Hal yang semua orang tua waras hindari kini malah dilakukan di hadapan bayi kecil tak berdosa itu. Dan Baby Arey kenyang Delena menahan ringisan dari perilaku biadab laki-laki dibelakangnya. Hingga Clara masuk dan mengambil baby Arey yang selesai meminum ASI nya. Meninggalkan Delena yang terkapar. Setelah mereka selesai bermain, laki-laki itu pergi karena memiliki sesuatu yang penting. *****Papa Ameer saat ini masuk ke dalam UGD dan melihat putranya masih tak sadarkan diri. Melihat wajah tampan putranya yang berubah menjadi merah dan ungu. Mengusap pelan wajah itu, "Ayo bangun, Nak! Istrimu dalam bahaya! Ayo kita hukum mereka berdua bersama-sama!" Tak lama Ridwan mulai menunjukkan tanda-tanda membuka mata. Papa Ameer kemudian mendekat, "Kamu sudah bangun?" R
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s