Ridwan terkejut dengan kirim selembar foto saat Zahra saat hamil.
Zahra sedang bersandar di kursi memegang perutnya.Ridwan jelas tau itu adalah Zahra.Ridwan kembali foto dan ada tulisan dibelakang, [ Azzahrana selesai memanggang roti untuk dijual, Semoga lelahmu Lillah, Nak]Jantung Ridwan semakin tak karuan membaca tulisan itu.Zahranya berjualan roti? Zahranya kesusahan ketika hamil seorang diri? pikiran Ridwan semakin berkecamuk.Ridwan menatap dalam foto itu kemudian membuka dompet dan menaruhnya di dalam dompet.Dengan jutaan kata yang tak bisa diungkapkan oleh Ridwan.Ridwan membuka sepucuk surat berwarna biru kecil itu.[ Ridwan, Umi mengirim hadiah pernikahan untukmu.Tak mahal tapi Umi yakin ini berharga.Umi siapkan ini untukmu, karena Umi tau kau akan menikahi Zahra.Zahra tak pernah tau umi mengambil ini.Sembunyikan dari Zahra.Umi AwiyZen berlari setelah mendengar teriakan Mia dan benar saja, Ridwan sudah tergeletak di lantai. Zen kemudian menggendong Bosnya di punggungnya. "Mia, ambilkan ponselku, Cepat!" teriak Zen. Zen berusaha menggendong Ridwan yang besar. Mia berlari tergopoh-gopoh mengikuti Zen yang berjalan cepat. Hingga sampai mobil, Zen bergegas tancap gas. Sedangkan Mia kembali menghandle beberapa pekerjaan Zen yang belum selesai.Mobil itu melaju kencang sambil menghubungi dokter langganan di rumah sakit pusat milik Kahraman corp. Setelah lima menit, mobil itu sampai. Perjalanan yang biasa ditempuh 15 menit, kini Zen hanya menempuh lima menit perjalanan. Dokter sudah menunggu di sana dan langsung membawa Ridwan untuk mendapatkan penanganan.Sedang Zen duduk diluar sambil menetralkan nafasnya sebelum menghubungi nyonya besar. "Hallo Zen, ada apa?" tanya Ameer sesaat setelah menerima pan
Terdengar seperti suara ramai-ramai, bercampur isak tangis Mama Sofiya dan bunyi panjang monitor. Zahra mulai limbung dan terduduk di kursi ruang tamu sederhananya. "Mah ...!" suara Zahra tertahan hingga akhirnya panggilan itu berakhir. Zahra semakin lemas dan panik hingga Zahra kembali menelpon nomor Mamahnya. Namun sepertinya ponsel Mama Sofiya sudah Nonaktif. Zahra sangat kalut, kemudian terdengar suara Adzan magrib. Perbedaan waktu Yaman lebih lambat empat jam dari Indonesia. Sehingga di Yaman baru saja memasuki waktu magrib, dan di Indonesia sudah jam 10 malam. Zahra segera mengambil air wudhunya dan bergegas melakukan sholat magrib seorang diri di kamarnya. Memohonkan doa untuk kesembuhan sang suami. Suara riuh disertai isak tangis mama Sofiya sebelum panggilan mati terngiang dikepalanya. Hingga Zahra tanpa sadar meneteskan air mata. Zahra melanjutkan dengan
Dan siang itu panggilan video antara Ridwan dan Zahra berakhir. Menyisakan hati yang masih berdarah-darah. Kesalahpahaman kembali merasuki hubungan pernikahan mereka. Zahra memutuskan untuk mengikuti permintaan suaminya. Mengabaikan tidurnya dan pergi menemui Umi Awiyah untuk minta ditemani membeli pil penunda kehamilan. "Umi, Apa menikah itu berat?" tanya Zahra saat mobil itu mulai melaju keluar dari pondok. Umi tersenyum dan mengusap lengan Zahra, "Apa yang kamu takutkan, Nak?" "Tidak ada, Umi. Zahra hanya bertanya?" jawab Zahra. Umi Awiyah tau saat ini Zahra di penuhi banyak kekhawatiran. Entah apa yang dipikirkan putri angkatnya itu, yang jelas dia sedang beradaptasi dengan pernikahan. Pernikahan yang bukan normalnya pernikahan pada umumnya. Tentu Zahra akan diliputi rasa cemas. "Tergantung dimana tujuanmu, Ra. Tergantung di pelabuhan cinta mana kapal kalian ak
Zahra mundur beberapa langkah mendengar ucapan Ridwan Sejujurnya Zahra belum siap melakukan itu lagi, karena ulah Ridwan dua minggu lalu. Ridwan yang melihat Zahra mundur, akhirnya tertawa terbahak-bahak. Ekspresi ketakutan Zahra sangat lucu dimata Ridwan. Ditambah tubuh Zahra yang mungil, Ridwan seperti seorang Om-Om yang akan memperkosa anak dibawah umur. Melihat Ridwan tertawa membuat Zahra mencebikkan bibirnya. "Aku bercanda, Ra!" kata Ridwan menarik Zahra mendekat.Zahra diam tanpa ekspresi apapun, "Tapi aku tidak bercanda!"Ridwan kemudian menarik Zahra menuju pelukannya, mengusap lembut rambut panjang Zahra. "Aku mengaku kalah. Aku memang sangat merindukan istri sexyku!" kata Ridwan. Zahra mendengus, "Usss!" Ridwan selalu berbunga-bunga saat bersama dengan Zahra. Setiap tingkah Zahra terasa sangat membahagiakan untuk Ridwan. "Memangnya Zahra tidak m
Tidak menyesali hanya ada dalam angan Zahra. Nyatanya Zahra menyesali penolakannya dan berada dalam penantian lagi. Sekuat apapun Zahra memalingkan dan tidak memikirkan Ridwan, nyatanya Ridwan menghantuinya. Bayangan Ridwan menukar real dalam jumlah banyak membuat Zahra sedih. Bukankah seharusnya mereka berlibur dengan real itu? Zahra harusnya berkata terus terang kegelisahannya bukannya tiba-tiba marah dengan Ridwan. Namun kini Ridwan tak kunjung kembali setelah satu minggu kembali ke Istanbul. Zahra berfikir, mereka kini suami istri dan jika ada yang kurang harus saling melengkapi. Namun disisi lain, Zahra kesal dan berharap Ridwan yang memulai lebih dulu. Bukankah Ridwan kepala keluarga dirumah ini. Karena Zahra tak mendapat kabar Ridwan satu minggu ini. Zahra memutuskan untuk mencari berita sang direktur Kahraman corp itu. Zahra mengetik, [Berita terkini Kahram
Ridwan yang melihat Zahra sudah berkaca-kaca kemudian memeluknya erat. "Mas ada di sini, Mas gak mati, Ra!" jawab Ridwan. Zahra mengangguk dalam pelukan Ridwan, "Aku takut,"Ridwan kemudian mengusap lembut kepala Zahra. "Aku tidak bangun selama depalan hari, dokter meminta Mas benar-benar bedrest agar tidak terkena yang ke empat!" lanjut Ridwan. Zahra kemudian melonggarkan pelukan dan menatap Ridwan dengan intens. "Jangan merasa bersalah, Jangan menyembunyikan sendiri, Jangan serangan jantung lagi, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Sayangku!" "Maafkan aku ya, Mas! Aku marah-marah tanpa bertanya terlebih dahulu!" kata Zahra pelan karena merasa bersalah. Ridwan kemudian mengecup bibir Zahra singkat, "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mas yang salah, Sayang!".Mendengar jawaban Ridwan Zahra menjadi lega, entah dorongan dari mana Zahra mendekatkan wajahnya pada Ridwa
Ridwan meledakkan tawanya saat Zahra memberi ancaman padanya. Hati Ridwan tiba-tiba menghangat dengan omelan Zahra. Cklek! "Waalaikumsalam, Sabar Nak!" jawab Ridwan sambil membuka pintu. Fatih langsung berlari menuju gendongan Ayahnya, "Fatih rindu sekali, Yah!" Ridwan memeluk Fatih dalam gendongannya, menutup pintu dan berjalan masuk menuju kamar. "Ayah jauh lebih rindu dengan Fatih!" jawab Ridwan menciumi wajah putranya. "Fatih tidak percaya!" kata Fatih melipat tangannya di depan sambil menatap tajam Ayahnya. Ridwan tersenyum dan menoel pipi Fatih yang duduk di pangkuannya, "Kenapa begitu?" Fatih menghindar, "Ayah minggu lalu hanya menemui Ibu dan Nenek Kakek, Ayah tidak menemui Fatih. Ayah tidak rindu dengan Fatih!" Fatih memang sangat kesal dengan Ridwan selama seminggu ini karena Ayahnya datang dan pergi tanpa bertemu dengannya. Ridwan gemas sekali pada Fatih.
Zahra memilih menghiraukan suara bisikan di sebelahnya dan melanjutkan ceritanya. "Ibu melihat pahatan indah itu, dan bayangan ibu jatuh pada seorang tentara Allah, Muhammad Al-Fatih!" lanjut Zahra. Zahra mengusap wajah putranya dan mencium keningnya. "Dengan gagah berani membawa bendera tauhid, meringsek gerbang Konstantinopel dengan berseru, [NABI KAMI TIDAK PERNAH BOHONG]!" kata Zahra dengan ekspresi bangga. "Konon, ketika Nabi membelah batu dan muncul percikan, Nabi bersabda jika suatu saat nanti romawi akan kalah, Dan saat itu Rasulullah sedang di kepung oleh bani Qurais dalam perang khardaq!" lanjut Zahra. Ridwan dan Fatih menata Zahra dengan pandangan penuh cinta. Terbawa oleh cinta yang Zahra punya untuk Rasul dan pada tentaranya. "Kemudian setelah itu dari jaman Khulafaur Rasyidin, para penerus Nabi berambisi menakutkan Romawi," ucap Zahra seperti tengah masuk dalam ceritanya. "Membangun pasukan