Tidak menyesali hanya ada dalam angan Zahra.
Nyatanya Zahra menyesali penolakannya dan berada dalam penantian lagi.Sekuat apapun Zahra memalingkan dan tidak memikirkan Ridwan, nyatanya Ridwan menghantuinya.Bayangan Ridwan menukar real dalam jumlah banyak membuat Zahra sedih.Bukankah seharusnya mereka berlibur dengan real itu?Zahra harusnya berkata terus terang kegelisahannya bukannya tiba-tiba marah dengan Ridwan.Namun kini Ridwan tak kunjung kembali setelah satu minggu kembali ke Istanbul.Zahra berfikir, mereka kini suami istri dan jika ada yang kurang harus saling melengkapi.Namun disisi lain, Zahra kesal dan berharap Ridwan yang memulai lebih dulu.Bukankah Ridwan kepala keluarga dirumah ini.Karena Zahra tak mendapat kabar Ridwan satu minggu ini.Zahra memutuskan untuk mencari berita sang direktur Kahraman corp itu.Zahra mengetik, [Berita terkini KahramRidwan yang melihat Zahra sudah berkaca-kaca kemudian memeluknya erat. "Mas ada di sini, Mas gak mati, Ra!" jawab Ridwan. Zahra mengangguk dalam pelukan Ridwan, "Aku takut,"Ridwan kemudian mengusap lembut kepala Zahra. "Aku tidak bangun selama depalan hari, dokter meminta Mas benar-benar bedrest agar tidak terkena yang ke empat!" lanjut Ridwan. Zahra kemudian melonggarkan pelukan dan menatap Ridwan dengan intens. "Jangan merasa bersalah, Jangan menyembunyikan sendiri, Jangan serangan jantung lagi, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Sayangku!" "Maafkan aku ya, Mas! Aku marah-marah tanpa bertanya terlebih dahulu!" kata Zahra pelan karena merasa bersalah. Ridwan kemudian mengecup bibir Zahra singkat, "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mas yang salah, Sayang!".Mendengar jawaban Ridwan Zahra menjadi lega, entah dorongan dari mana Zahra mendekatkan wajahnya pada Ridwa
Ridwan meledakkan tawanya saat Zahra memberi ancaman padanya. Hati Ridwan tiba-tiba menghangat dengan omelan Zahra. Cklek! "Waalaikumsalam, Sabar Nak!" jawab Ridwan sambil membuka pintu. Fatih langsung berlari menuju gendongan Ayahnya, "Fatih rindu sekali, Yah!" Ridwan memeluk Fatih dalam gendongannya, menutup pintu dan berjalan masuk menuju kamar. "Ayah jauh lebih rindu dengan Fatih!" jawab Ridwan menciumi wajah putranya. "Fatih tidak percaya!" kata Fatih melipat tangannya di depan sambil menatap tajam Ayahnya. Ridwan tersenyum dan menoel pipi Fatih yang duduk di pangkuannya, "Kenapa begitu?" Fatih menghindar, "Ayah minggu lalu hanya menemui Ibu dan Nenek Kakek, Ayah tidak menemui Fatih. Ayah tidak rindu dengan Fatih!" Fatih memang sangat kesal dengan Ridwan selama seminggu ini karena Ayahnya datang dan pergi tanpa bertemu dengannya. Ridwan gemas sekali pada Fatih.
Zahra memilih menghiraukan suara bisikan di sebelahnya dan melanjutkan ceritanya. "Ibu melihat pahatan indah itu, dan bayangan ibu jatuh pada seorang tentara Allah, Muhammad Al-Fatih!" lanjut Zahra. Zahra mengusap wajah putranya dan mencium keningnya. "Dengan gagah berani membawa bendera tauhid, meringsek gerbang Konstantinopel dengan berseru, [NABI KAMI TIDAK PERNAH BOHONG]!" kata Zahra dengan ekspresi bangga. "Konon, ketika Nabi membelah batu dan muncul percikan, Nabi bersabda jika suatu saat nanti romawi akan kalah, Dan saat itu Rasulullah sedang di kepung oleh bani Qurais dalam perang khardaq!" lanjut Zahra. Ridwan dan Fatih menata Zahra dengan pandangan penuh cinta. Terbawa oleh cinta yang Zahra punya untuk Rasul dan pada tentaranya. "Kemudian setelah itu dari jaman Khulafaur Rasyidin, para penerus Nabi berambisi menakutkan Romawi," ucap Zahra seperti tengah masuk dalam ceritanya. "Membangun pasukan
Ridwan tidak menyangkan pria kecil yang dingin dan mengeluarkan aura permusuhan saat pertama bertemu itu berusaha mencarinya. Ada sesak tersendiri saat anak laki-lakinya yang masih kecil punya pemikiran seperti itu.Dada Ridwan berdebar. Ridwan kemudian memeluk Fatih dan Zahra lebih erat. Meluapkan rasa bersalah pada dua orang di depannya itu. "Maafkan, Ayah. Mari kita ke Turki dan berkeliling di sana!" jawab Ridwan.Sore ini hati Ridwan membuncah dan anak istrinya hanya mengangguk dalam Pelukannya. Malam itu pun mereka bertiga tidur bersama di ranjang sempit dan keras milik Zahra. Menikmati saat bersama dan getaran hati masing-masing. Memeluk orang-orang terkasih adalah kebahagiaan yang tak bisa digambarkan. Zahra, Ridwan, dan Fatih sama-sama sedang dilanda kebahagiaan. Hingga pagi datang begitu cepat. Selesai sholat dan sarapan, Zahra menuju rumah Umi Awiyah untuk
Fatih menatap Ayahnya yang baru saja berkata dengan lirih. "Sayang, Apa menurut kamu Ibu susah?" tanya Zahra. Sontak Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ibu. Zahra menggeleng sambil tersenyum melihat ekspresi Ridwan yang menggelap, "Ibu tidak pernah merasa susah, besok coba tanya sama nenek, Apakah ibu miskin atau kaya?"Fatih menatap intens Zahra, "Benar, Bu?" "Iya, Sayang! Bahkan Ibu bisa membelikan apapun yang kamu mau bukan? Ibu membuat Roti karena Ibu senang saat roti buatan Ibu banyak yang makan!" jawab Zahra. "Apa karena itu? Ibu mengajar tanpa bayaran oleh Nenek? Bukankah berarti Ibu mencari uang dengan berjualan roti?" tanya Fatih. Zahra menggeleng, "Ibu tidak ingin dibayar untuk Ilmu yang Allah titipkan sebagai amanah, karena kewajiban Ibu menyebarkan ilmu ini!" Zahra kemudian mengambil ponselnya dan membuka aplikasi penjualannya. "Lihatlah, Ibu memiliki brand mukena yang Alhamdulilla
Zahra tersenyum dan meraih tangan keriput Oma. Mencium tangan tua itu, dan menggenggamnya sambil mengelus punggung tangan Oma. "Kalau tidak Zahra terima, nanti Oma tidak bisa bertemu dengan suami kecil Oma, dong!" canda Zahra. Zahra sebagai seorang istri sudah selayaknya menjaga marwah suaminya. Walau bagaimanapun Zahra tidak terima suaminya dikatai brandalan oleh Omanya.Setelah berbicara Zahra kembali bersimpuh di samping Ridwan, "Tapi, bukankah Oma harus bertemu dengan suami kecil, Oma?"Oma kemudian tersenyum dan mengangguk. Menunduk dan mencium kening Zahra dengan lembut. "Tentu saja, Oma harus bertemu dengan suami kecil Oma dan cucu menantu sepertimu!"Oma kembali mencium kening Zahra. "Beruntungnya cucu Oma memiliki bidadari sepertimu, Zahra!" lanjut Oma. Oma kemudian kembali tegak dan mencium Fatih kecil. "Berdirilah kalian, Oma memaafkanmu Ridwan. Oma tak ing
Dan olahraga berkuda berakhir berakhir setelah adzan mulai berkumandang. Ridwan kemudian membawa Zahra menuju sower setelah menyelesaikan pelepasannya. Mereka benar-benar menyelesaikannya kali ini, membersihkan diri dan saling menggosok punggung. Dan mereka segera melaksanakan sholat. Zahra sudah sangat lemas dan mengantuk sekali karena ulah Ridwan. Ridwan benar-benar menghabisinya siang ini, tidak jadi di ketinggian di kamar mandi pun jadi, pikir Zahra. Dan benar saja Zahra langsung terlelap tanpa menunggu menit lagi. Mata Zahra terasa sangat berat.Ridwan yang melihat istrinya tertidur lelap ikut masuk ke dalam selimut istrinya untuk menyusul tidur. Hingga mereka terbangun saat adzan ashar berkumandang. Zahra melepas pelukannya suaminya dan bergegas sholat. Selepas sholat, Ridwan dan Zahra turun berencana pergi ke Hagia Sofia. Ridwan dan Zahra akan memulai liburan
Perasaan Ridwan tidak karuan mendengar perkataan sang putra. Ada sedih, senang dan sesal yang lebih mendominasi. Rasanya Ridwan ingin memutar kembali waktu dan memilih melamar Zahra dengan cara yang baik. Tidak dalam balutan kesalahan dan dosa besar yang Ridwan torehkan pada Zahra. Hingga mengambil waktu lima tahun dalam kesakitan mereka bertiga. Mereka bertiga sama-sama terluka, dan Ridwan tau mereka sama-sama memendamnya dalam hati. Sehingga tidak menyakiti masa kecil putranya yang sangat luar biasa. Fatih kecilnya yang seperti malaikat itu, kenapa harus mengalami kesakitan atas dosa yang Ridwan perbuat. Rasanya Ridwan tidak terima untuk kesakitan yang Fatih rasakan. Ridwan kemudian mengambil tangan Fatih, menciumi tangan mungil itu, "Maafkan Ayah, Ya?" Ridwan mulai mengurai sesak di dadanya sendiri. "Pasti Ibu sangat kerepotan saat itu?" kata Ridwan. Zahra tau j
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s