Matahari yang semakin tinggi di luar mengembalikan kesadaran Wilona secara perlahan. Cahaya terang yang menyelinap di balik tirai membuat mata wanita itu mengerjap.
Silau dan hangat. Itulah kesan sesaat yang ia rasakan. Sebelum bagian kosong di samping akhirnya menyadarkannya.
“Arjuna!” Wilona memekik kaget. Tempat yang semalam masih dipenuhi dengan kehangatan tubuh Arjuna kini kosong, bahkan sudah terasa dingin.
Mendadak perasaan cemas menggerayangi hati Wilona. Terlebih saat ia menatap seluruh ruangan, dan batang hidung putranya sama sekali tidak bisa ditemukan. “Jangan-jangan mereka berbuat sesuatu pada putraku.”
Tak sempat menunggu detik beralih, Wilona segera menyingkap selimut. Langkah besar diambil, dengan terburu-buru ia membuka pintu sambil meneriakkan nama sang anak.
“Arjuna! Arjuna!” panggilnya seraya terus melangkah menyusuri lorong yang terlihat asing.
Apakah ke kiri atau ke kanan. Wilona tidak sempat berpikir, kemanapun kakinya pergi, ia hanya berharap segera menemukan Arjuna.
Rumah besar dengan banyak ruang kosong membuat Wilona semakin kewalahan. Ia betul-betul panik, bagaimana jika orang-orang itu membawa pergi Arjuna?
“Sial! Bagaimana aku bisa tertidur pulas seperti orang mati?” keluhnya, mengutuk diri sendiri.
Namun menyesal pun tiada arti, ia harus segera menemukan Arjuna, atau setidaknya seseorang dari rumah itu.
“Arjuna!” Pandangan Wilona mengedar dari sudut ke sudut. Sedangkan kaki terus berjalan mengikuti insting. “Arjuna! Mama di—”
Mendadak langkahnya berhenti. Jika benar, telinganya menangkap suara samar-samar dari satu arah. Apakah itu terdengar seperti orang yang bersenang-senang?
Semakin Wilona mengikuti asal suara, bukan hanya obrolan yang terdengar tambah keras, melainkan aroma susu hangat juga ikut menguap di udara.
Ah, benar. Harusnya ia mengecek tempat yang diketahui lebih dulu. Saking paniknya, dapur dan ruang makan sampai terlewat dari kepalanya.
“Arjuna!”
Bocah lelaki yang tengah menggigit roti menoleh. “Mama?” sapanya. “Mama sudah bangun? Mau sarap—”
“Arjuna ….” Namun Wilona tak sempat menunggu sang anak menyelesaikan kalimat. Ia yang kadung lega langsung memeluk Arjuna. “Syukurlah. Mama pikir kamu tidak ada di sini.”
Meski ekspresinya masih bingung, anak itu tetap membalas pelukan sang mama. Sambil memberikan tepukan kecil, ia berkata, “Aku tidak kemana-mana, Ma.”
Wilona mengangguk-angguk. Lega sekali rasanya mendapati Arjuna baik-baik saja.
Sementara di sisi meja yang lain, Arshaka yang kebetulan juga tengah sarapan hanya menatap dengan ekspresi tidak banyak berubah.
“Kau takut aku akan menjual anakmu?” ucap pria itu.
Sontak Wilona terbelalak. Matanya menatap tajam ke arah pria yang terlihat lebih santai dari pengangguran.
Melihat itu, sudut bibir Arshaka terangkat. “Tenang saja. Aku tidak akan melakukan apapun, selama kamu bersikap baik di sini.”
Tak ada kata yang keluar, wanita itu hanya memberikan picingan mata seolah-olah tak percaya dengan apapun yang muncul dari mulut rentenir seperti Arshaka.
Sampai-sampai, Wilona tidak sadar jika putranya mulai gerah terdiam cukup lama dalam pelukan.
“Mama. Aku mau makan,” ucap Arjuna.
“Oh!” Wilona terperanjat. Ia segera melepaskan lengan dari tubuh sang anak. “Benar. Habiskan sarapanmu.”
Anggukan kecil diberikan, anak itu tampak riang.
Namun saat Arjuna kembali berbalik menghadap meja, ia tiba-tiba menyadari sesuatu. Jika hidungnya tidak salah, aroma yang tercium dari Arshaka dan sang mama sama.
“Apa kalian mandi bersama?”
Wilona tertegun, begitu juga dengan Arshaka yang langsung menghentikan gerakan pisau di tangan.
Sementara Arjuna, kening anak itu terlihat semakin terlipat. “Kalian semalam mandi bersama, kan?” tanyanya dengan sikap curiga. “Mama dan Om Arshaka baunya sama. Kenapa kalian tidak mengajakku mandi bersama?!”
“Eh?” Wilona mendadak panik. Reaksi bingung antara menenangkan Arjuna atau mengendus baunya lebih dulu membuatnya terlihat sedikit lucu. “Apa yang kamu katakan? Mana mungkin mama dan Om Arshaka mandi bersama?”
“Tapi bau kalian sama.” Arjuna mulai mengendus ketiaknya sendiri. “Kan, cuma aku yang tidak bau wangi di sini!”
Ludah di dalam mulut Wilona mendadak terasa kering. Bagaimana bisa anaknya tiba-tiba tantrum mempermasalahkan bau seperti itu?
“Arjuna, dengar.” Suara Wilona sengaja dibuat tegas. Dengan begitu, Arjuna akan menaruh perhatian padanya. “Mama dan Om Arshaka tidak mandi bersama. Kami hanya menggunakan sabun yang sama. Paham?”
“Benarkah?” Wajah yang tadinya cerah, kini berubah suram. Bahkan bibir Arjuna sekarang turun.
Wilona segera mengiyakan. “Benar. Tidak boleh bagi orang dewasa mandi bersama.”
Seolah-olah belum puas hanya mendengarnya dari sang mama, Arjuna menoleh. Kali ini tatapannya seakan meminta penjelasan dari pria di seberang meja.
“Apa yang ingin kamu dengar, Bocah?” ucap Arshaka dengan sikap acuh.
“Benar yang mamaku katakan, Om?”
Arshaka yang awalnya tidak terlalu ingin terlibat, sekarang berubah pikiran. Alisnya terangkat, kemudian bertanya, “Yang mana maksudmu? Benar mamamu dan aku tidak mandi bersama. Kalau itu soal orang dewasa yang tidak boleh mandi bersama ….”
Pria itu sengaja memberi jeda untuk melihat bagaimana reaksi Wilona.
Benar saja, wanita di seberang meja sudah mendelik, mengancam agar Arshaka tidak mengatakan hal aneh di depan Arjuna.
Melihatnya membuat hidung Arshaka melebar menahan tawa. Sementara di samping Wilona, Arjuna masih menunggu jawaban selanjutnya.
“Sebenarnya orang dewasa boleh mandi bersama kalau mereka pas—”
Glubrak!
Wilona sengaja menendangkan kakinya ke meja, berharap Arjuna tidak mendengar kalimat terakhir yang Arshaka katakan.
“Mama oke?” tanya Arjuna sedikit panik. Bagaimana tidak, suara benturan barusan terdengar sangat renyah di telinga.
“Itu pasti sangat menyakitkan,” timpal Arshaka. Namun untuk pihak yang menyampaikan simpati, bukankah ekspresinya terlalu menyebalkan?
Benar, tulang kering Wilona terasa nyeri. Ia sedikit menyesal membenturkan kaki alih-alih benda mati di sekitarnya.
Tak mau menanggapi Arshaka, wanita itu hanya menoleh pada sang anak. Senyum terpaksa ditampilkan. Sambil mengangguk, ia berujar, “Mama oke. Cepat habiskan makananmu.”
Beruntung, Arjuna tumbuh menjadi anak yang penurut. Tanpa banyak tanya, anak itu segera menghabiskan sarapan seperti yang mamanya minta.
Kemudian, sarapan yang sedikit berisik itu berakhir setelah susu di gelas Arjuna habis.
Wilona segera membawa Arjuna untuk mandi. Sementara Arshaka yang juga ada urusan pagi itu ikut berdiri.
Wajah pria yang dua detik lalu masih terlihat menahan tawa, kini berubah garang seketika.
“Pras!”
Pras segera mendekat. “Ya, Bos?”
“Ganti semua sabun yang ada di rumah ini. Tidak ada yang boleh menggunakan sabun yang sama denganku ataupun wanita itu. Mengerti?”
Meski sedikit terkejut dengan permintaan Arshaka, Pras tetap mengangguk dan langsung menghubungi seseorang untuk mengganti sabun di rumah itu.
***
Di sebuah gedung tinggi di pusat kota. Seorang pria babak belur duduk bertumpu lutut menghadap pria garang dengan tongkat kayu selalu di tangan.
“Kau bilang sudah tidak punya apa-apa untuk membayar hutang?” tanya pria yang duduk di kursi dengan nada mengintimidasi.
Pria yang tubuhnya gemetar menahan rasa takut dan sakit mengangguk. “Maafkan saya. Saya akan melakukan apapun, tapi tolong jangan bunuh saya.”
“Apa yang bisa kau lakukan? Bahkan tubuhmu tidak berguna untukku. Kecuali jika kau punya penawaran seorang wanita cantik yang bisa kau berikan, aku akan mempertimbangkan nyawamu.”
Sesaat keheningan menerpa. Namun tak lama, pria yang di sudut bibir terluka mengangkat wajah dengan senyum percaya diri. “Kalau itu, saya bisa membawanya. Apa wanita dengan anak satu tidak masalah?”
Senyum licik dan puas tergambar di wajah pria garang. “Selama tubuhnya bagus, aku tidak masalah.”
“Saya yakin Anda akan menyukainya.”
Jika ada yang lebih cepat dari kedipan mata, itu adalah waktu yang dilalui oleh Wilona. Rasanya baru kemarin mereka menjadi tawanan di rumah rentenir itu, sekarang sudah satu minggu berlalu sejak saat itu.Selain pekerjaannya yang berbeda, kehidupan mereka juga banyak berubah. Salah satunya, ia harus mengurus perpindahan sekolah Arjuna. Kemudian hari ini adalah hari pertama anak itu di sekolah baru. Berterima kasihlah pada Arshaka, sebab atas bantuannya, Arjuna masuk ke sekolah swasta ternama dengan mudah.Pukul setengah enam pagi adalah jadwal Wilona memasak sarapan untuk tuan barunya, Arshaka. Alih-alih bertanya, ia mempunyai cara tersendiri untuk mengetahui makanan apa yang ingin disantap pria itu.Sebuah catatan menu dari sarapan sampai makan malam akan dipajang, lalu Arshaka akan mencoret masakan yang tidak ingin ia makan.Hal itu lebih memudahkan bagi Wilona.“Daging lada hitam, brokoli dan jamur,” gumam wanita itu sambil membaca menu sarapan yang Arshaka tandai.Tak banyak ber
“.....”Makan malam kali ini hanya ditemani oleh gesekkan sendok dan piring. Jika biasanya Arjuna akan banyak mengoceh, kali ini bocah itu terlihat sangat tenang. Atau mungkin … ketakutan?Bayangan tentang Arshaka yang lemah lembut dan menyenangkan, mendadak hilang begitu Arjuna tidak sengaja melihat bagaimana pria itu memukuli salah satu anak buahnya tadi pagi.Namun bukan hanya Arjuna, Wilona juga terlihat lebih banyak diam. Kalau bukan karena hutang yang mengikat leher, ia akan segera mengemasi barang-barang dan hengkang dari rumah mewah itu.Sayangnya akal wanita itu masih bekerja dengan baik. Jika kesalahan kecil seperti tadi pagi saja bisa membuat Arshaka sangat murka, apalagi jika dirinya kabur begitu saja?Tidak ada pilihan lain. Untuk saat ini sampai hutang mantan suaminya lunas, ia akan berusaha menahan diri, dan bersikap sebaik mungkin.Wilona menarik napas panjang sebentar. Kemudian menampilkan senyum untuk membuat putranya merasa tenang.“Mau tambah ayam?” tanyanya.Arjun
“Bagaimana kabar kalian?” Wilona sengaja membuang pandangan ke sembarang arah. Melihat Randi–mantan suaminya tiba-tiba muncul setelah menghilang berbulan-bulan, rasanya seperti menyiramkan garam ke luka yang belum kering. Perih dan menyakitkan. “Aku minta maaf karena pergi begitu saja,” lanjut lelaki di depan Wilona. Cafe di seberang jalan raya menjadi saksi bagaimana Wilona berusaha mati-matian untuk mengendalikan perasaan. Dasar memang perempuan, mendengar satu kata maaf saja sudah hampir menghapus semua derita yang ada. Wilona menarik napas dalam. Dia sengaja memberi jeda, menyeruput es kopi sambil menenangkan hati. Setelah cangkir kembali diletakkan di atas meja, ia berkata, “Cuma itu yang mau kamu omongin?” “.... Tidak,” ucap Randi setelah terdiam sesaat. “Aku juga kangen sama kamu dan Arjuna.” “Terus?” “Terus ….” Bola mata Randi bergerak cepat tanda ia sedang memikirkan alasan yang lain. “Aku masih cinta sama kamu. Wilona—” “Astaga.” Helaan kasar keluar dari bibir Wilona.
Pukul 13.20, ketika Arshaka baru keluar dari salah satu ruangan privat restoran bintang lima, dan menyadari ponselnya bergetar dari tadi.Dia bergegas mengambil benda pipih itu dari dalam saku. Menatapnya sebentar, lalu mengerutkan dahi saat nomor tidak dikenal terlihat memanggil.Tanpa berpikir panjang, Arshaka langsung menggeser layar ke atas, mengangkat panggilan kemudian menunggu pihak lain untuk mengawali.“Halo.” Benar saja, di detik yang sama, suara seorang perempuan terdengar menyapa dengan sopan.“Ya?” timpal Arshaka.“Benar ini dengan salah satu wali siswa bernama Arjuna?”Mendengar itu, dahi Arshaka mengerut. Kebimbangannya menciptakan jeda sebentar. Hingga, seseorang di seberang menyadarinya.“Ah, benar, maafkan saya. Saya adalah guru di sekolah Arjuna. Saya menghubungi Bapak karena Arjuna belum dijemput sampai sekarang dan nomor wali utama tidak bisa dihubungi.”“Maksud Anda, Arjuna masih ada di sekolah?” tanya Arshaka memastikan. Setelah mendapat jawaban iya, pria ini ke
“Mpphh! Mpphh!”Kedua mata Wilona mendelik, selain panik dia juga terkejut dengan kain yang membekap mulut tiba-tiba. Tidak perlu ditanya siapa pelakunya, sudah jelas pria brengsek di belakang –mantan suaminya.Wanita itu melirik ke belakang, mengutuk Randi lewat tatapan. Sayangnya, kalimat ‘sialan kau!’ dan ‘lepaskan aku!’ tidak bisa keluar dengan baik.“Tenanglah, Wilona,” ucap Randi sambil menahan tubuh sang mantan istri yang terus bergerak. “Cuma sekali ini saja, tolong bantu aku, ya.”Bajingan! Persetan dengan suami dan ayah yang baik, Randi benar-benar sudah menjadi iblis sekarang. Siapa orang gila yang akan meminta bantuan sambil membekap mulut orang lain seperti itu?Wilona belum menyerah. Jika dia tidak bisa melepas kain yang menekan mulut dan hidungnya, setidaknya ia bisa berusaha menggerakkan siku untuk menyerang pria keparat itu.Dhuak! Sepertinya berhasil. Wilona bisa merasakan bekapan di mulutnya mengendur sedikit. Jika dia melakukannya berulang, mungkin saja ia bisa mel
“Bos!” Empat pria langsung menunduk menyambut kedatangan bos mereka.Arshaka melirik sekilas. “Di mana?” tanyanya dengan ekspresi datar, tapi setiap katanya penuh penekanan.“Mereka membawanya masuk.”Tanpa basa-basi, Arshaka langsung berjalan masuk dengan postur tegas. Dada bidang yang tidak sengaja dibusungkan terlihat jelas. Tangan yang mengepal juga menambah kesan garang dari wajah bos besar Grup Gamala –yang paling disegani di kota itu.Melihatnya berjalan mendekati pintu masuk, beberapa lelaki di sana terlihat saling melirik sambil berbisik-bisik. Seakan mempertanyakan kenapa Grup Gamala langsung mengirimkan bos besar mereka.“Aku ingin bertemu dengan bos kalian,” ucap Arshaka sebagai sapaan.Lelaki di depan pintu bergeming. Kebimbangan tampak jelas di wajah mereka.“Bos kalian mengundangku datang. Apa aku perlu menelponnya untuk kalian?”“Maaf. Tapi kami perlu—”“Apa kalian tidak percaya?” Suara Arshaka meninggi, membuat beberapa lelaki yang sedang menghadapinya sedikit mengker
"Tunggu! Kalian pikir apa yang kalian lakukan di rumahku?" pekik Wilona sembari berusaha menghalang-halangi empat pria yang terus sibuk mengambil barang-barang di rumahnya."Kami hanya melakukan pekerjaan. Jadi tolong menyingkirlah sebelum Anda terluka.""Tidak!" Wilona masih berusaha menghalangi. Kedua tangan merentang, kaki bergerak sesuai dengan perpindahan pria di hadapannya. "Kau pikir bisa mengambil barang-barang di sini? Semuanya milikku! Aku yang membelinya."Salah seorang pria di sana menghela napas kesal, merasakan kesabarannya hampir habis karena ulah Wilona. Pria itu kemudian menunjukkan selembar kertas pada Wilona. “Baca ini.”“Apa ini?” Wilona mengernyit, tapi ia mengambil kertas itu dan melihat tulisan di sana sepintas. Lalu, dengan nada marah, ia kembali menatap pria di hadapannya. “Kalian mencoba menipuku ya? Tidak bisa!”"Mohon periksa dengan saksama, lalu Anda akan mengerti."Wilona kembali menekuri kertas di tangan, membaca kertas yang dibubuhi tanda tangan lengka
"Om Arshaka datang kesini untuk makan malam?" Namun sebelum itu terjawab, Wilona sudah menarik lengan sang anak lebih dulu. “Mendekat ke mama, Arjuna.” Arjuna langsung menurut. Sementara di hadapan mereka, Arshaka menatap dengan mata ragu, seolah tengah mengingat siapa anak yang menyapanya dengan akrab barusan. Saat pria itu masih mencoba menebak, Wilona sudah lebih dulu menyela. Ia bertanya, “Di mana kamu bertemu dengan pria ini, Arjuna?” “Maksud Mama Om Arshaka?” Arjuna menoleh. Melihat sang ibu mengangguk, anak kecil itu melanjutkan, “Mama ingat om-om yang sedih hari itu di taman? Yang aku tolong itu~” Sang ibu tampak berpikir. Arjuna kemudian melanjutkan, “Itu Om Arshaka, Ma. Dan Mama bilang aku boleh mengundangnya makan malam. Tapi aku tidak tahu kalau Om datang sekarang.” Mengingat hal tersebut, Wilona membeku. Ia ingat anaknya menceritakan tentang lelaki yang menangis di taman beberapa waktu lalu dan benar Wilona mengatakan untuk mengundang pria itu ke rumah. Namun … te
“Bos!” Empat pria langsung menunduk menyambut kedatangan bos mereka.Arshaka melirik sekilas. “Di mana?” tanyanya dengan ekspresi datar, tapi setiap katanya penuh penekanan.“Mereka membawanya masuk.”Tanpa basa-basi, Arshaka langsung berjalan masuk dengan postur tegas. Dada bidang yang tidak sengaja dibusungkan terlihat jelas. Tangan yang mengepal juga menambah kesan garang dari wajah bos besar Grup Gamala –yang paling disegani di kota itu.Melihatnya berjalan mendekati pintu masuk, beberapa lelaki di sana terlihat saling melirik sambil berbisik-bisik. Seakan mempertanyakan kenapa Grup Gamala langsung mengirimkan bos besar mereka.“Aku ingin bertemu dengan bos kalian,” ucap Arshaka sebagai sapaan.Lelaki di depan pintu bergeming. Kebimbangan tampak jelas di wajah mereka.“Bos kalian mengundangku datang. Apa aku perlu menelponnya untuk kalian?”“Maaf. Tapi kami perlu—”“Apa kalian tidak percaya?” Suara Arshaka meninggi, membuat beberapa lelaki yang sedang menghadapinya sedikit mengker
“Mpphh! Mpphh!”Kedua mata Wilona mendelik, selain panik dia juga terkejut dengan kain yang membekap mulut tiba-tiba. Tidak perlu ditanya siapa pelakunya, sudah jelas pria brengsek di belakang –mantan suaminya.Wanita itu melirik ke belakang, mengutuk Randi lewat tatapan. Sayangnya, kalimat ‘sialan kau!’ dan ‘lepaskan aku!’ tidak bisa keluar dengan baik.“Tenanglah, Wilona,” ucap Randi sambil menahan tubuh sang mantan istri yang terus bergerak. “Cuma sekali ini saja, tolong bantu aku, ya.”Bajingan! Persetan dengan suami dan ayah yang baik, Randi benar-benar sudah menjadi iblis sekarang. Siapa orang gila yang akan meminta bantuan sambil membekap mulut orang lain seperti itu?Wilona belum menyerah. Jika dia tidak bisa melepas kain yang menekan mulut dan hidungnya, setidaknya ia bisa berusaha menggerakkan siku untuk menyerang pria keparat itu.Dhuak! Sepertinya berhasil. Wilona bisa merasakan bekapan di mulutnya mengendur sedikit. Jika dia melakukannya berulang, mungkin saja ia bisa mel
Pukul 13.20, ketika Arshaka baru keluar dari salah satu ruangan privat restoran bintang lima, dan menyadari ponselnya bergetar dari tadi.Dia bergegas mengambil benda pipih itu dari dalam saku. Menatapnya sebentar, lalu mengerutkan dahi saat nomor tidak dikenal terlihat memanggil.Tanpa berpikir panjang, Arshaka langsung menggeser layar ke atas, mengangkat panggilan kemudian menunggu pihak lain untuk mengawali.“Halo.” Benar saja, di detik yang sama, suara seorang perempuan terdengar menyapa dengan sopan.“Ya?” timpal Arshaka.“Benar ini dengan salah satu wali siswa bernama Arjuna?”Mendengar itu, dahi Arshaka mengerut. Kebimbangannya menciptakan jeda sebentar. Hingga, seseorang di seberang menyadarinya.“Ah, benar, maafkan saya. Saya adalah guru di sekolah Arjuna. Saya menghubungi Bapak karena Arjuna belum dijemput sampai sekarang dan nomor wali utama tidak bisa dihubungi.”“Maksud Anda, Arjuna masih ada di sekolah?” tanya Arshaka memastikan. Setelah mendapat jawaban iya, pria ini ke
“Bagaimana kabar kalian?” Wilona sengaja membuang pandangan ke sembarang arah. Melihat Randi–mantan suaminya tiba-tiba muncul setelah menghilang berbulan-bulan, rasanya seperti menyiramkan garam ke luka yang belum kering. Perih dan menyakitkan. “Aku minta maaf karena pergi begitu saja,” lanjut lelaki di depan Wilona. Cafe di seberang jalan raya menjadi saksi bagaimana Wilona berusaha mati-matian untuk mengendalikan perasaan. Dasar memang perempuan, mendengar satu kata maaf saja sudah hampir menghapus semua derita yang ada. Wilona menarik napas dalam. Dia sengaja memberi jeda, menyeruput es kopi sambil menenangkan hati. Setelah cangkir kembali diletakkan di atas meja, ia berkata, “Cuma itu yang mau kamu omongin?” “.... Tidak,” ucap Randi setelah terdiam sesaat. “Aku juga kangen sama kamu dan Arjuna.” “Terus?” “Terus ….” Bola mata Randi bergerak cepat tanda ia sedang memikirkan alasan yang lain. “Aku masih cinta sama kamu. Wilona—” “Astaga.” Helaan kasar keluar dari bibir Wilona.
“.....”Makan malam kali ini hanya ditemani oleh gesekkan sendok dan piring. Jika biasanya Arjuna akan banyak mengoceh, kali ini bocah itu terlihat sangat tenang. Atau mungkin … ketakutan?Bayangan tentang Arshaka yang lemah lembut dan menyenangkan, mendadak hilang begitu Arjuna tidak sengaja melihat bagaimana pria itu memukuli salah satu anak buahnya tadi pagi.Namun bukan hanya Arjuna, Wilona juga terlihat lebih banyak diam. Kalau bukan karena hutang yang mengikat leher, ia akan segera mengemasi barang-barang dan hengkang dari rumah mewah itu.Sayangnya akal wanita itu masih bekerja dengan baik. Jika kesalahan kecil seperti tadi pagi saja bisa membuat Arshaka sangat murka, apalagi jika dirinya kabur begitu saja?Tidak ada pilihan lain. Untuk saat ini sampai hutang mantan suaminya lunas, ia akan berusaha menahan diri, dan bersikap sebaik mungkin.Wilona menarik napas panjang sebentar. Kemudian menampilkan senyum untuk membuat putranya merasa tenang.“Mau tambah ayam?” tanyanya.Arjun
Jika ada yang lebih cepat dari kedipan mata, itu adalah waktu yang dilalui oleh Wilona. Rasanya baru kemarin mereka menjadi tawanan di rumah rentenir itu, sekarang sudah satu minggu berlalu sejak saat itu.Selain pekerjaannya yang berbeda, kehidupan mereka juga banyak berubah. Salah satunya, ia harus mengurus perpindahan sekolah Arjuna. Kemudian hari ini adalah hari pertama anak itu di sekolah baru. Berterima kasihlah pada Arshaka, sebab atas bantuannya, Arjuna masuk ke sekolah swasta ternama dengan mudah.Pukul setengah enam pagi adalah jadwal Wilona memasak sarapan untuk tuan barunya, Arshaka. Alih-alih bertanya, ia mempunyai cara tersendiri untuk mengetahui makanan apa yang ingin disantap pria itu.Sebuah catatan menu dari sarapan sampai makan malam akan dipajang, lalu Arshaka akan mencoret masakan yang tidak ingin ia makan.Hal itu lebih memudahkan bagi Wilona.“Daging lada hitam, brokoli dan jamur,” gumam wanita itu sambil membaca menu sarapan yang Arshaka tandai.Tak banyak ber
Matahari yang semakin tinggi di luar mengembalikan kesadaran Wilona secara perlahan. Cahaya terang yang menyelinap di balik tirai membuat mata wanita itu mengerjap.Silau dan hangat. Itulah kesan sesaat yang ia rasakan. Sebelum bagian kosong di samping akhirnya menyadarkannya.“Arjuna!” Wilona memekik kaget. Tempat yang semalam masih dipenuhi dengan kehangatan tubuh Arjuna kini kosong, bahkan sudah terasa dingin.Mendadak perasaan cemas menggerayangi hati Wilona. Terlebih saat ia menatap seluruh ruangan, dan batang hidung putranya sama sekali tidak bisa ditemukan. “Jangan-jangan mereka berbuat sesuatu pada putraku.”Tak sempat menunggu detik beralih, Wilona segera menyingkap selimut. Langkah besar diambil, dengan terburu-buru ia membuka pintu sambil meneriakkan nama sang anak.“Arjuna! Arjuna!” panggilnya seraya terus melangkah menyusuri lorong yang terlihat asing.Apakah ke kiri atau ke kanan. Wilona tidak sempat berpikir, kemanapun kakinya pergi, ia hanya berharap segera menemukan A
“Kamu yakin cuma ini?”Satu tas berukuran tidak terlalu besar yang Wilona bawa setelah mengemasi barang-barang, membuat dahi Arshaka mengerut. Untuk orang yang akan pindahan, bukankah bawaannya terlalu sedikit?“Aku sudah membawa semua yang kami butuhkan,” ucap Wilona, “kenapa? Kamu berharap aku juga membawa perabotan ke rumahmu?”Pertanyaan tidak masuk akal barusan membuat Arshaka terdiam. Tak mau berdebat, pria ini hanya mengangguk sekenanya. “Ya sudah. Bawa barang-barangmu ke mobil.”Jika bukan karena kemampuan memasak Wilona, sepertinya akan lebih mudah bagi Arshaka untuk melenyapkan wanita itu. Sayang sekali, ia tidak ingin keuntungan sekecil apapun hilang begitu saja.“Jalan, Pras.”Mesin mobil yang langsung dinyalakan menandakan kepatuhan dari Pras. Dengan kecepatan sedang, ia membawa mobil membelah jalanan yang perlahan menggelap.Di kursi belakang, Wilona banyak diam. Pandangan dialihkan ke luar jendela, sedangkan sisi yang lain ia gunakan untuk menyangga tubuh Arjuna. Apakah
Setelah semalaman bulan menggantung, kini giliran matahari yang perlahan naik ke peraduan. Kedua mata Arshaka mengerjap ketika mendengar alarm yang tak kunjung berhenti dari tadi. Tak perlu menoleh, ia segera meraih benda pipih di atas nakas dan melihat pukul berapa sekarang. Namun saat ia melihat angka sembilan di layar, kedua mata yang tadi masih berat mendadak terbuka lebar. "Sial! Aku benar-benar tidur seperti orang mati," pekiknya, di detik berikutnya ia segera bangkit dari ranjang. Entah kapan terakhir kali Arshaka tertidur nyenyak. Agaknya perut yang dipuaskan semalam sungguh membuatnya terlena dalam kenyamanan. Tak suka membuang waktu, Arshaka bergegas keluar setelah mengenakan pakaian. Rambut disisir seadanya, wajah yang kusut kini sudah rapi seperti baru disetrika. "Pukul berapa pertemuan dengan Grup Sean?" tanyanya seraya menerima beberapa dokumen dari anak buah. "Pukul sebelas. Masih ada waktu, Bos." Mendengar itu Arshaka mengangguk. Dalam hatinya merasa lega, bagai