“Kamu kenal dengan salah satu pasien korban kebakaran tadi itu?”Di saat sedang merenung di taman dekat parkir area rumah sakit, senior Siska mendekat sembari membakar kreteknya. Sebelum menjawab, wanita muda itu mendelik ke pria beruban itu sembari mengisyaratkan untuk tidak merokok.“Ah, gatal mulutku. Makanya nggak betah di dalam,” jawab pria itu nekad menyalakan kreteknya dan duduk di sebelah Siska.“Kamu belum jawab pertanyaanku,” protesnya menatap wanita yang tampak mendung tersebut.“Masa lu lupa? Dia kan, Nirmala, Nirmala Dwi Kumalasari. Oh, ya, Kumala. Lu taunya nama udara,’kan?” jelas Siska yang tetap menggunakan sapaan ‘lu-gue’ pada seniornya.“Oh ya? Kok, aku pangling?” Pria itu tampak kaget, tak menyangka jika wanita yang ditangisi rekannya itu juga mantan rekannya.“Mungkin karena luka wajahnya yang diperban, jadi lu nggak mengenalinya. Gue langsung tahu, karena tahi lalat di cuping hidung sebelah kanan. Dan, baju dikenakan sama seperti...”Demi mengingat sesuatu, Siska m
“Maaf, Mbak itu yang penyiar radio, ‘kan?” tanya Anggara, begitu tamu di depannya duduk dan beberapa detik tidak bersuara. Setelah bertanya, Anggara menatap Tante Ayu dan ibunya yang berdiri bersebelahan di ambang pintu.Wanita yang tampak kuyu dan lelah itu mengangguk sembari mengatur napas. Melihat reaksi tamu keponakannya itu, tante Ayu ke belakang untuk mengambil air minum hangat untuk menenangkan.“Mas Anggara sudah dengar berita?” tanya Siska sembari melayangkan tatapan sedih.“Berita apa, ya? Maaf, belakangan aku jarang pegang hape dan tidak pernah nonton berita di TV. Memangnya ada berita apa, ya?” tanya Anggara penuh kecemasan.Kemarin dirinya bertemu wanita itu dan pulang dengan hati penuh rasa bersalah. Kini, mantan rekan kerja kekasihnya datang, pastilah ada berita penting.“Ya, Mas. Gue dateng mau memberi tahu sesuatu,” ucap Siska masih berusaha mencari kata-kata yang pas untuk mengungkapkan sebuah berita.“Minum dulu, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari menyodorkan secangkir te
“Apa Mas lagi nyari pasien seorang wanita di ranjang nomor empat?” tanya seorang perawat yang keheranan melihat seorang pria menyelonong dan mengecek satu per satu pasien di sebuah bangsal. Pria yang wajahnya dipenuhi rasa cemas itu mengangguk cepat.“Iya, Suster. Namanya Nirmala Dwi Kumalasari. Ke mana dia, ya?”“Sudah dipindahkan ke ruang khusus, Mas. Kalau boleh tahu, Mas ini siapanya pasien, ya?”“Saya calon suaminya, Sus. Dibawa ke ruang khusus mana? Kenapa?” tanya pria muda berwajah pucat itu sangat penasaran, hingga apa yang ia ucapkan terasa mengalir dan mantap menyebut dirinya sebagai calon suami. Hal itu ia lakukan agar bisa segera bertemu wanita pujaan hatinya.“Oh, begitu, ya. Jadi begini, Mas. Tadi, pasien kehilangan kontrol hingga mencoba melukai diri. Jadi, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami memindahkannya ke ruangan khusus,” jelas perawat tersebut sembari mencatat sesuatu.“Sebelumnya, sudah datang seorang wali pasien yang merupakan seorang kenalan. T
Nirmala membuka mata. Kali ini, ia tidak merasakan begitu sakit seperti sebelumnya. Wanita yang pakaiannya telah berganti itu kini sudah bisa berdamai dengan rasa sakit akibat luka bakar yang diderita. Sebaliknya, rasa hampa, sepi, kecewa dan cemas tiba-tiba saja menyerang. Di saat begini, biasanya dia membutuhkan seperangkat alat tulis untuk mencurahkan segala isi. Namun, dia sadar jika benda-benda itu tak ada di sekitar.Bola mata Nirmala bergerak menyusuri seisi ruangan. Tempat yang ini terlihat lebih luas, lega dan tenang dari ruangan sebelumnya. Tiba-tiba saja, dia penasaran, siapa yang telah memberikan jaminan layanan medis yang spesial untuknya.“Ini pasti mahal,” gumamnya masih terus memperhatikan ke sekeliling.Rasa penasarannya kian membuncah. Namun, ketika hendak bergerak untuk bangun, tangan kanannya terasa berat. Sekuat tenaga bagaiamana pun ia berusaha, nyatanya tak sanggup melawan borgol yang mengaitkan pergelangan tangan dengan railing ranjang pasien yang kukuh. Kini, i
Melihat tindakan Pak Harsono, hati Anggara meronta. Tiba-tiba saja kejadian itu mengingatkan dirinya pada kisah seorang bocah laki-laki yang dengan sekuat tenaga memohon pada seorang lelaki dewasa, tapi tanpa rasa iba sedikit pun, bocah itu ditendang hingga tersungkur. Karena perasaan sakit yang senasib itu, bocah yang kini telah beranjak dewasa tersebut tiba-tiba memiliki kekuatan untuk berdiri tegap dan menatap ke arah pria bermata merah di hadapannya.“Putri Bapak sedang sekarat dan membutuhkan perawatan medis secepatnya. Karena kalau tidak, dia bisa mati kapan pun semaunya,” kata Anggara dengan suara lantang.Pak Harsono menatap Anggara semakin tajam, seolah menantang dan tak gentar. Ia memang kaget dengan nada suara tegas yang dikeluarkan dari lelaki yang selalu dianggapnya lemah itu, tapi egonya masih belum juga luluh. Justru, pria itu semakin ingin menunjukkan betapa ia adalah seorang yang patut ditakuti dan dihormati.“Memangnya siapa yang peduli? Dia mau mati atau hidup, aku s
Kepanikan segera tercipta manakala Anggara datang tergopoh-gopoh dan langsung memberitahu apa yang terjadi di ruang isolasi.“Nadia, bukankah kamu yang terakhir kali memeriksa? Kenapa pasien bisa melakukan self-injury?” tanya salah satu perawat kepada rekannya yang tampak paling cemas, sembari bersiap-siap menuju ruangan yang sedang dibicarakan.“Iya. Tadi, pasien sudah menunjukkan kemajuan pesat. Perilakunya sama sekali tidak memperlihatkan gangguan apa pun. Bahkan, terlihat tenang saat saya mengganti perbannya. Pasien juga yang meminta untuk dilepaskan gembok. Dia bilang kalau tangannya sakit. Karena kasian, saya lepaskan,” jawab perawat junior itu merasa sangat menyesal.Mendengar penjelasan juniornya, perawat lain merasa kecolongan. Beberapa saat, mereka saling pandang.“Sepertinya, kamu harus banyak belajar dan membaca buku,” ujar salah satu perawat yang tampak sangat kecewa dengan keteledoran rekannya tersebut.“Sudah, sudah, ayo, kita ke sana sebelum terlambat,” perintah perawat
Kepanikan segera tercipta manakala Anggara datang tergopoh-gopoh dan langsung memberitahu apa yang terjadi di ruang isolasi.“Nadia, bukankah kamu yang terakhir kali memeriksa? Kenapa pasien bisa melakukan self-injury?” tanya salah satu perawat kepada rekannya yang tampak paling cemas, sembari bersiap-siap menuju ruangan yang sedang dibicarakan.“Iya. Tadi, pasien sudah menunjukkan kemajuan pesat. Perilakunya sama sekali tidak memperlihatkan gangguan apa pun. Bahkan, terlihat tenang saat saya mengganti perbannya. Pasien juga yang meminta untuk dilepaskan gembok. Dia bilang kalau tangannya sakit. Karena kasian, saya lepaskan,” jawab perawat junior itu merasa sangat menyesal.Mendengar penjelasan juniornya, perawat lain merasa kecolongan. Beberapa saat, mereka saling pandang.“Sepertinya, kamu harus banyak belajar dan membaca buku,” ujar salah satu perawat yang tampak sangat kecewa dengan keteledoran rekannya tersebut.“Sudah, sudah, ayo, kita ke sana sebelum terlambat,” perintah perawat
Jarak tinggal beberapa meter lagi. Anggara berusaha mencari kata-kata untuk menyapa atau membuka pembicaraan saat berpapasan dengan Pak Harsono itu tiba. Sekuat tenaga, ia juga berusaha mengontrol debaran jantung yang berdetak begitu kencang karena gerogi.Pemuda yang sangat penasaran dengan angin apa yang membawa Pak Harsono kemari itu mulai membuka mulut hendak mengucapkan suatu kata. Namun, secara mendadak, orang yang selangkah lagi berpapasan dengannya itu meletakkan telepon ke telinga. Lalu, dengan suara keras bercakap-cakap dengan seseorang di seberang sana. Alhasil, ia dilewati lelaki paruh baya itu begitu saja. Bahkan, dengan sengaja lelaki itu pura-pura tidak melihat dan mengenalinya.Kecewa tidak bisa lagi ditahan. Tapi, tak lama tersadar bahwa memang begitu adanya. Pemuda itu terlalu sadar diri bahwa ia memang tidak diinginkan menjadi menantu. Sembari menelan ludah kepahitan, Anggara berjalan lunglai menuju ruangan isolasi. Di sana sudah ada Bu Harsono yang sedang memeluk pu
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras sembari
Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilakan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan kam
“Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat.Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum....Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita
Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil saat bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu sedang membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa santri
“Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil, sebelum pada akhirnya sang kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah yang kini ia tempati. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia in
“Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, Ma
“Bapak ...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang, ayo,
“Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, lho. Kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatn
Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memerdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-bena